terlambat 1 jam, maaf ya othor ketiduran 🙃🙃 sampai jumpa besok lagi 🤗✨🩷 jangan lupa tinggalkan komentar ulasan like vote buat mereka 😗
.... Kayden telah mendengar dari Evan yang melaporkan selesainya tugas ia mengusir Julia pada pagi hari berikutnya. Ia tengah duduk di dalam kamar miliknya dengan kepala yang pening, sisa mabuk semalam yang masih belum bisa teratas sekalipun ia meminum pereda mabuk. “Saya sudah mencari tahu tentang pria yang dibawa masuk oleh Julia semalam, Tuan Kayden. Tetapi sepertinya dia ketakutan dengan siapa dia berhadapan dan pergi dari tempat yang dia tinggali,” ucap Evan yang berdiri di dekat Kayden. Kedua tangannya ada di belakang tubuhnya, seolah itu adalah sikap tenang tetapi juga waspada. Ia siap dengan apapun yang diminta oleh Kayden ke depannya. “Dia teman kuliahnya Julia, dari informasi yang saya dapatkan dari beberapa teman Julia, mereka dekat sejak satu tahun terakhir. Saya akan mencarinya lagi dan memberi pelajaran padanya.” Kayden tak menjawab. Ia hanya tertunduk, diam, tanpa suara tetapi helaan napasnya membuat Evan justru bisa merasakan kehancuran yang tengah dipikulnya. “Ti
“Tuan Kayden?!” panggil Evan yang berlari menghampiri Kayden yang berdiri di bawah hujan yang mendadak jatuh di atas langit Bordeaux malam itu. Ia menggigil saat Tuannya itu melepas jas yang ia kenakan, membantingnya ke halaman. Tanpa kata, tetapi riak kemarahannya bisa dirasakan oleh Evan yang lalu meraih lengannya. Setidaknya untuk sementara ini Kayden harus berteduh. “Brengsek,” umpat Kayden sembari melepaskan tangannya dari cengkeraman Evan. “Maaf,” ucap Evan, menundukkan kepalanya di hadapan Kayden yang tubuh dan pakaiannya hampir basah kuyup. “Bukan kamu.” Kayden mendorong napasnya dengan kasar. “Seret keluar perempuan yang tinggal di apartemenku itu secepatnya, Evan Lee!” “Tiba-tiba saja?!” Keterkejutan Evan membumbung menyentuh lampu chandelier yang bergantung di lobi. “Apa yang terjadi, Tuan? Dia—“ Evan berhenti bicara, untuk beberapa saat terhening. Mengingat kemarahan Kayden yang seperti akan membunuh orang, sepertinya Evan bisa menebak duduk perkaranya. Ia urung bert
*** Enam bulan yang lalu, anniversary ke-dua Kayden dan Julia.*** .... Untuk merayakan genapnya dua tahun hubungannya dengan Julia, malam hari itu Kayden meminta Evan menepikan mobilnya di sebuah toko bunga yang terkenal di Bordeaux, Prancis. Kota yang sudah beberapa lama ini ia tinggali selama Kayden membangun anak agensi milik Evermore yang menanungi artis kenamaan Kota Mode ini. Sebuah buket bunga mawar merah berukuran besar yang ia bawa dengan hati-hati saat keluar dari Coeur de Rose—nama toko bunga tersebut—yang menyaksikannya mendongakkan wajah ke atas, menatap langit Bordeaux yang tampaknya sedikit tidak bersahabat malam itu. “Kita pergi sekarang, Evan,” pinta Kayden. “Baik, Tuan.” Evan mengemudikan mobilnya untuk menuju ke apartemen milik keluarga Baldwin yang Kayden pinjamkan pada Julia selama gadis itu menempuh pendidikan lanjutannya. Menengok sedikit lebih jauh, Kayden bertemu dengan Julia karena rupanya kedua orang tua mereka saling terhubung. Dari sekadar pertemuan
Tapi sepertinya, Kayden tak perlu bersusah payah mendatangi Julia. Karena saat ia baru saja beranjak, suara langkah beberapa orang membuatnya berhenti. Di hadapannya, wanita yang sejak tadi ia bicarakan itu muncul. Julia. Ia datang tak sendirian melainkan bersama dengan kedua orang tuanya—Tuan Carlos dan Nyonya May—yang dibersamai dengan kehadiran ibunya sendiri, Nyonya Rose. “Kayden?” sapa Julia. Ia yang tadinya berjalan dengan bergandengan tangan bersama Nyonya Rose melepaskan tangan tersebut kemudian berlari kecil menghampiri Kayden. Jari-jari lentiknya melingkari lengan Kayden yang berbalut coat hitamnya. Tapi itu hanya beberapa detik sebab Kayden menguraikannya dengan segera. Kayden menggeser dirinya, menjaga jarak, menjauh secara frontal dari Julia. “Kebetulan kamu ke sini,” tanggap Kayden, menebah lengannya seakan itu adalah penolakan. Julia memandanginya, dan tentu saja sadar dengan kebencian Kayden. Matanya bergoyang gugup. Senyumnya terukir tetapi terlihat begitu pah
“Kenapa Papa tidak mengatakan padaku sejak awal?” tanya Kayden pada sang ayah yang masih mengusap dadanya. Menyadari beliau melakukan itu, Kayden meralat kalimatnya. “Maaf—“ Ia menimpakan tangannya di atas punggung tangan renta ayahnya. “Maksudku tidak seperti itu. Apa ada sesuatu yang menjadi pertimbangan Papa untuk tidak mengatakannya sejak awal?” Tuan Owen menganggukkan kepalanya. Surainya yang hampir keseluruhan putih itu bergerak. “Papa hanya ...menolak apa yang Papa lihat, Kayden. Karena selama ini kita melihatnya sebagai seorang gadis baik yang datang dari keluarga baik. Tapi sepertinya rasa cintanya kepadamu sudah membuatnya gelap mata.” “Tidak ada cinta yang seperti itu, Pa,” jawab Kayden sebagai sangkalan. “Itu obsesi.” “Papa tidak tahu apakah kamu mempercayai Papa atau tidak, tapi saat serangan jantung pertama itu terjadi ... Papa baru saja bertemu dengan Julia.” “Ya?!” Kedua mata Kayden melebar, alisnya yang lebat terangkat. “Apa maksudnya, Pa?” “Dia datang mengunju
Bukan musim gugur yang membuat daun-daun itu berjatuhan. Tetapi hujan. Tak kunjung reda padahal sudah beberapa hari tanpa memberi jeda. Hujan membuat matahari hanya berdiam diri tanpa sinar, memberinya kemuraman, mengikis harapan orang yang mengandaikan mereka akan pergi keluar rumah sebelum tahu ini akan menjadi pagi celaka lainnya. Di dalam rumah besar milik Kayden, Evan menebah bahunya yang basah setelah berlari kecil—karena ia terlalu enggan untuk membuka payung—menuju ke teras setelah meninggalkan mobilnya. “Kenapa terlambat?” sambut Annie yang menunggunya di dekat pintu masuk. “Macet di Madison street,” jawabnya. “Tuan Kayden mencari Anda sejak tadi, tolong cepatlah sebelum dia membunuh orang.” “Ada apa?” “Cepat!” desis Annie, memohon sembari memberi sedikit dorongan di punggung Evan, isyarat agar ia tak perlu banyak tanya di sini dan melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Evan berlari meninggalkan ruang tamu setelah Annie menyebutkan bahwa Kayden sedang ada di dalam k