Se connecterPria bermata abu-abu yang Daisy lihat di klub malam saat dia hendak bertemu Jade.
"Seleramu sangat buruk." Tiba-tiba sebuah suara di dekatnya mengejutkan Daisy. Itu Jade. Yang entah kapan datang, tetapi wajahnya sudah berada di samping wajah Daisy dengan jarak yang sangat dekat. Daisy sedikit terlonjak. Refleks, gadis itu menoleh ke arah Jade. Dan saat Jade juga menoleh, bibir mereka tidak sengaja saling bertemu. Lembut dan hangat. Hanya sesaat, tetapi cukup untuk membuat waktu di antara mereka seakan berhenti. Panik, Jade langsung menegakkan tubuh dan melangkah mundur dengan kaku. Sementara Daisy mendorong kursinya hingga jauh ke belakang, roda kursi berderit keras di lantai. Jantung Daisy berdegup dengan cepat. Pipinya merona, panas menjalar hingga ke telinga. Daisy kemudian kembali membawa kursinya mendekati meja dengan sedikit canggung, lalu segera menutup browser pencarian. Jade berdeham uSatu per satu penumpang mobil itu keluar, termasuk Daisy yang turun terakhir. Begitu telapak kaki Daisy menyentuh tanah, denyut di kepalanya semakin terasa. Seperti palu kecil yang memukul pelipisnya berulang kali. Udara dingin Highvale menusuk paru-parunya, membuat pandangan Daisy sedikit berkunang. Bianca memandang pintu utama itu dengan mata berbinar. "Wah, ini mansion tempat calon suamiku tumbuh. Besar dan mewah sekali, Sayang. Aku harap kau mau menjadi petaku selama tiga hari ke depan." Bianca tersenyum lebar penuh antusias. “Hati-hati, Kak. Kalau kau tersesat di dalam rumah sendiri, Kak Jade bisa kena omel Mami karena tidak bisa menjaga tunangannya.” Elias terkekeh geli menanggapi ucapan Bianca. Daisy berusaha tersenyum. Namun senyum itu tidak pernah benar-benar sampai ke wajahnya. Dunia di sekeliling Daisy terasa terlalu terang dan luas. Suara-suara di sekitarnya terdengar menjauh, seolah ditarik oleh ruang kosong. P
Kemudian Elias kembali dengan senyum di bibirnya dan membukakan pintu mobil bagian depan untuk Daisy. "Masuklah." Elias mempersilakan sambil mengarahkan tangannya ke dalam mobil. “Terima kasih,” sahut Daisy. Begitu masuk ke dalam mobil, Daisy tidak bicara apa-apa atau menoleh ke belakang. Gadis itu bisa merasakan Jade yang duduk tepat di belakangnya, tengah menatap Daisy tajam dan membuat tengkuknya geli. Saat Elias masuk dan menyalakan mesin mobil, suara halus mesin mewah itu mengisi keheningan. "Apakah Primus yang menyetir mobil belakang?" tanya Jade kemudian. Elias menoleh sekilas sambil tersenyum. "Ya. Rupanya kau masih mengingat dia." Mobil mulai melaju, meninggalkan area bandara. Jade mendesah dan menyandarkan kepala ke sandaran kursi. "Dia yang mengantarku ke sekolah saat Mami tinggal di Suri tanpa Papi. Tentu aku mengingatnya, walaupun sekarang dia sudah bertambah tua," sahut Jade. Hanya sebaris kalimat dari Jade tentang masa kecilnya, tetapi itu berhasil me
Daisy mengangkat kedua bahunya masa bodoh. Gadis itu tidak mau terlalu memikirkan itu sekarang. Ada terlalu banyak hal yang harus Daisy kelola dan segala macam emosi yang harus dia tahan. Kepala Daisy terasa pusing karena penat penerbangan. Lima jam duduk, udara kabin yang kering, dan ketegangan emosional sejak pagi membuat pelipis Daisy berdenyut. Di depan, Jade dan Bianca berjalan seirama, terlalu cepat untuk diikuti Daisy tanpa usaha ekstra. Beberapa langkah di depan mereka, seorang pria berambut cokelat muncul dari kerumunan. Postur tinggi dan wajahnya memiliki garis-garis yang jelas mengingatkan Daisy pada Jade, rahang tegas, alis tebal, dan hidung lurus. Namun aura pria itu berbeda. Lebih santai dan hangat. "Kak Jade!" seru pria itu sambil mengangkat salah satu tangan tinggi-tinggi. Dalam sekejap, Jade berhenti. Pria itu langsung memeluk Jade erat, satu tangan menepuk punggung kakaknya dengan akrab. Mereka bertukar beberapa kal
Jade mengangkat salah satu sudut bibirnya, lalu menimpali dengan nada yang terdengar menggoda, "Ke mana keberanianmu?" Daisy menoleh refleks. Dahi gadis itu mengernyit dan matanya menyipit penuh tanya. “Apa maksud Tuan?” bisik Daisy tidak mengerti. Jade tidak langsung menjawab. Dia memiringkan sedikit wajah, jarak mereka semakin dekat. "Kau tidak ingat apa yang pernah kau tawarkan pada saya satu minggu lalu?" Jade melanjutkan sambil berbisik, suaranya rendah supaya hanya Daisy yang mendengar. Kernyitan di dahi Daisy semakin dalam. Seperti gelombang yang surut perlahan, ekspresi itu memudar. Ingatan itu datang terlalu jelas. Hari ketika emosi Daisy meledak hingga membuat keberaniannya melampaui akal sehat. Saat Bianca nekat mengacak-acak makan ibunya, dan Daisy, dalam keadaan putus asa, menawarkan dirinya pada Jade. Pipi Daisy menghangat. Merona, meski Daisy berusaha menahannya. Daisy segera men
"Jika kau tidak bisa memutuskannya, saya akan kembali ke rumah sekarang. Lebih baik saya beristirahat." Jade menambahkan seraya mengangkat salah satu sudut alisnya, menatap Bianca dengan tatapan menantang. Bianca menegang. Jemarinya yang semula mencengkeram tas kini mengendur perlahan, lalu tanpa sadar mengepal kembali. Wanita itu melirik Daisy sekilas dengan tatapan tajam, sebelum kembali menatap Jade dengan sorot mata yang tidak lagi menyembunyikan kejengkelannya. “Aku juga bisa menjadi asisten pribadimu selama di sana, Jade,” kata Bianca akhirnya, terdengar gemas meski bibirnya berusaha tersenyum. “Kenapa harus memaksa membawa Daisy?” Udara di sekitar mereka terasa menipis. Daisy bisa merasakannya dari cara pundaknya mengeras dan detak jantungnya yang memberat. Gadis itu tetap berdiri tenang, seolah tidak sedang menjadi topik utama pembicaraan. Jade menghela napas pendek. Rahang Jade bergerak, tanda dia hampir bicara. Namun sebelum satu kata pun keluar, Neil melangkah maju sat
Jam dinding di lorong menunjukkan pukul enam kurang lima ketika pintu kamar Daisy terbuka perlahan. Gadis itu keluar sambil menarik koper sedang berwarna merah muda. Dia membiarkan rambutnya tergerai dan hanya dihiasi oleh bando sederhana. Wajah Daisy nyaris tanpa riasan. Ada kantung tipis di bawah matanya, bukti malam yang Daisy habiskan dengan terlalu banyak pikiran dan terlalu sedikit tidur. Rumah tampak sunyi. Tidak ada suara langkah Bianca yang biasanya berderap heboh, tidak terdengar Olga yang gemar memberi instruksi sejak pagi, juga tidak ada Neil yang biasanya sudah duduk membaca berita. Daisy berhenti sejenak, menoleh ke ruang makan, lalu ke ruang keluarga. Semuanya kosong. Gadis itu menghela napas pelan. Tidak ingin membuang waktu, Daisy melangkah keluar, menutup pintu dengan hati-hati, lalu memesan taksi daring. Udara pagi terasa dingin di kulitnya, membuat Daisy sedikit menggigil. Entah karen







