Masuk“Daisy ….” Nama itu meluncur dari bibir Jade dengan suara rendah dan serak.
Jarak mereka menyempit ketika pria itu menunduk, wajahnya semakin dekat, hingga Daisy bisa melihat pantulan dirinya sendiri di mata Jade yang gelap. Napas mereka saling bersentuhan, hangat, berat, sarat sesuatu yang tidak terucap. Jade hendak mendaratkan ciuman itu. Namun sebelum bibir mereka benar-benar bertemu, Daisy mengangkat tangan. Jari telunjuknya menempel ringan di bibir Jade, menghentikan gerakan pria itu tepat di ambang. Jade terpaku. Detik itu terasa ganjil. Dia tidak melawan saat Daisy mendorong sedikit dadanya, cukup untuk memberi jarak. Ironisnya, penolakan halus itu justru membuat rahang Jade menegang, dan hasrat di matanya semakin kentara. “Jangan,” sergah Daisy pelan, napasnya belum sepenuhnya stabil. Jade menelan ludah, kedua matanya tidak lepas dari wajah Daisy. “Kenapa?” “Itu Andrew, Tuan.” Daisy menjelaskan sDaisy mengangkat kedua bahunya masa bodoh. Gadis itu tidak mau terlalu memikirkan itu sekarang. Ada terlalu banyak hal yang harus Daisy kelola dan segala macam emosi yang harus dia tahan. Kepala Daisy terasa pusing karena penat penerbangan. Lima jam duduk, udara kabin yang kering, dan ketegangan emosional sejak pagi membuat pelipis Daisy berdenyut. Di depan, Jade dan Bianca berjalan seirama, terlalu cepat untuk diikuti Daisy tanpa usaha ekstra. Beberapa langkah di depan mereka, seorang pria berambut cokelat muncul dari kerumunan. Postur tinggi dan wajahnya memiliki garis-garis yang jelas mengingatkan Daisy pada Jade, rahang tegas, alis tebal, dan hidung lurus. Namun aura pria itu berbeda. Lebih santai dan hangat. "Kak Jade!" seru pria itu sambil mengangkat salah satu tangan tinggi-tinggi. Dalam sekejap, Jade berhenti. Pria itu langsung memeluk Jade erat, satu tangan menepuk punggung kakaknya dengan akrab. Mereka bertukar beberapa kal
Jade mengangkat salah satu sudut bibirnya, lalu menimpali dengan nada yang terdengar menggoda, "Ke mana keberanianmu?" Daisy menoleh refleks. Dahi gadis itu mengernyit dan matanya menyipit penuh tanya. “Apa maksud Tuan?” bisik Daisy tidak mengerti. Jade tidak langsung menjawab. Dia memiringkan sedikit wajah, jarak mereka semakin dekat. "Kau tidak ingat apa yang pernah kau tawarkan pada saya satu minggu lalu?" Jade melanjutkan sambil berbisik, suaranya rendah supaya hanya Daisy yang mendengar. Kernyitan di dahi Daisy semakin dalam. Seperti gelombang yang surut perlahan, ekspresi itu memudar. Ingatan itu datang terlalu jelas. Hari ketika emosi Daisy meledak hingga membuat keberaniannya melampaui akal sehat. Saat Bianca nekat mengacak-acak makan ibunya, dan Daisy, dalam keadaan putus asa, menawarkan dirinya pada Jade. Pipi Daisy menghangat. Merona, meski Daisy berusaha menahannya. Daisy segera men
"Jika kau tidak bisa memutuskannya, saya akan kembali ke rumah sekarang. Lebih baik saya beristirahat." Jade menambahkan seraya mengangkat salah satu sudut alisnya, menatap Bianca dengan tatapan menantang. Bianca menegang. Jemarinya yang semula mencengkeram tas kini mengendur perlahan, lalu tanpa sadar mengepal kembali. Wanita itu melirik Daisy sekilas dengan tatapan tajam, sebelum kembali menatap Jade dengan sorot mata yang tidak lagi menyembunyikan kejengkelannya. “Aku juga bisa menjadi asisten pribadimu selama di sana, Jade,” kata Bianca akhirnya, terdengar gemas meski bibirnya berusaha tersenyum. “Kenapa harus memaksa membawa Daisy?” Udara di sekitar mereka terasa menipis. Daisy bisa merasakannya dari cara pundaknya mengeras dan detak jantungnya yang memberat. Gadis itu tetap berdiri tenang, seolah tidak sedang menjadi topik utama pembicaraan. Jade menghela napas pendek. Rahang Jade bergerak, tanda dia hampir bicara. Namun sebelum satu kata pun keluar, Neil melangkah maju sat
Jam dinding di lorong menunjukkan pukul enam kurang lima ketika pintu kamar Daisy terbuka perlahan. Gadis itu keluar sambil menarik koper sedang berwarna merah muda. Dia membiarkan rambutnya tergerai dan hanya dihiasi oleh bando sederhana. Wajah Daisy nyaris tanpa riasan. Ada kantung tipis di bawah matanya, bukti malam yang Daisy habiskan dengan terlalu banyak pikiran dan terlalu sedikit tidur. Rumah tampak sunyi. Tidak ada suara langkah Bianca yang biasanya berderap heboh, tidak terdengar Olga yang gemar memberi instruksi sejak pagi, juga tidak ada Neil yang biasanya sudah duduk membaca berita. Daisy berhenti sejenak, menoleh ke ruang makan, lalu ke ruang keluarga. Semuanya kosong. Gadis itu menghela napas pelan. Tidak ingin membuang waktu, Daisy melangkah keluar, menutup pintu dengan hati-hati, lalu memesan taksi daring. Udara pagi terasa dingin di kulitnya, membuat Daisy sedikit menggigil. Entah karen
Satu hari sebelum berangkat ke Highvale, tepatnya saat hari Sabtu, Daisy menyempatkan diri pergi ke rumah sakit tempat Arthur dirawat. “Eyang pasti sudah bosan berada di rumah sakit,” ucap Daisy sambil mendorong pintu kamar rawat Arthur. Sinar matahari pagi menyelinap lewat jendela besar, memantul di lantai yang mengilap. Daisy tampak jauh lebih santai dari biasanya, mengenakan sweater rajut lengan panjang berwarna merah membungkus tubuhnya, dipadukan dengan rok putih di atas lutut. Tidak tertinggal bando warna putih yang tersemat di kepalanya, menambah kesan cantik gadis itu. “Oh, Daisy,” sapa Arthur yang tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam koper kecil. “Seharusnya kau tidak perlu repot-repot datang ke sini. Aku bisa pulang sendiri.” Wajah pria tua itu tampak cerah. Daisy tersenyum dan menghampiri. Dia memeluk Arthur beberapa saat, lalu menatapnya penuh perasaan lega. Tidak ada lagi jarum infus di t
“Daisy ….” Nama itu meluncur dari bibir Jade dengan suara rendah dan serak. Jarak mereka menyempit ketika pria itu menunduk, wajahnya semakin dekat, hingga Daisy bisa melihat pantulan dirinya sendiri di mata Jade yang gelap. Napas mereka saling bersentuhan, hangat, berat, sarat sesuatu yang tidak terucap. Jade hendak mendaratkan ciuman itu. Namun sebelum bibir mereka benar-benar bertemu, Daisy mengangkat tangan. Jari telunjuknya menempel ringan di bibir Jade, menghentikan gerakan pria itu tepat di ambang. Jade terpaku. Detik itu terasa ganjil. Dia tidak melawan saat Daisy mendorong sedikit dadanya, cukup untuk memberi jarak. Ironisnya, penolakan halus itu justru membuat rahang Jade menegang, dan hasrat di matanya semakin kentara. “Jangan,” sergah Daisy pelan, napasnya belum sepenuhnya stabil. Jade menelan ludah, kedua matanya tidak lepas dari wajah Daisy. “Kenapa?” “Itu Andrew, Tuan.” Daisy menjelaskan s







