"Bapak lihat apa? Nggak sopan!" Suara Zea menusuk telingaku, tajam dan penuh amarah. Tubuhnya berputar cepat, meninggalkanku, berlari menjauh dari dapur. Namun, sebelum lenyap sepenuhnya, aku menangkap kilasan wajahnya yang merah padam, seperti memendam kekesalan. "Zea, tunggu!" Aku berteriak, langkahku terburu-buru, berusaha mengejarnya. Namun, sia-sia. Dia terlalu cepat masuk kamar. Ting, Tong! Ting, Tong! Suara dering bel rumah membuyarkan niatku untuk menemuinya. Aku menghela napas panjang, mengurungkan langkah, dan berjalan menuju pintu depan. Ceklek… Bunyi pintu yang terbuka. "Assalamualaikum," sapa Mbah Yahya yang sudah berdiri di depan pintu bersama Akmal. "Walaikum salam. Silakan masuk, Mbah," ujarku, mempersilakan mereka masuk sambil memperlebar pintu. Mbah Yahya mengangguk, langkahnya tenang mengikutiku menuju ruang tamu. "Mal, tolong buatkan kopi untukku dan Mbah Yahya," pintaku kepada Akmal, mencoba mengalihkan pikiranku dari Zea. "Memangnya Zea kemana,
“Kenapa tanya padaku? Temui saja dia besok, kamu akan langsung tau sendiri.” Mbah Yahya menjawab singkat, tampaknya enggan berbagi informasi lebih lanjut.“Tapi aku penasaran, Mbah.” Aku menatapnya memoh. “Aku akan memberikan Mbah uang tambahan kalau Mbah mau memberitahuku sekarang.” Aku menawarkan suap, berharap bisa membujuknya.“Nggak perlu. Lagian aku juga harus segera pulang sekarang, masih ada job di tempat lain.” Mbah Yahya berdiri, siap untuk pergi. Aku langsung menahannya.“Berapa pun yang Mbah minta… aku akan berikan.” Aku meningkatkan tawaran, keinginan untuk mengetahui jawabannya mengalahkan segala pertimbangan. Aku ingin menguji seberapa sakti pria tua ini.Mbah Yahya menghela napas panjang, tampak lelah. Namun, sebuah senyuman tipis terlihat di bibirnya. Aku begitu senang dengan jawabannya. “Baiklah …,” katanya, suaranya sedikit berat. “…Dia akan memperlihatkanmu sebuah foto yang membuatmu tercengang.”"Fo
"Untuk apa Zea kabur? Rasanya nggak mungkin, Pak." Pak Yanto terlihat tidak percaya."Tapi Zea nggak ada. Apa mungkin Zea dibawa pergi arwah Kakekku??" Rasanya ini semakin tak masuk akal, tapi entah kenapa kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku."Apalagi itu, lebih nggak mungkin, Pak," ujar Pak Yanto, menggelengkan kepala dengan kuat, ketidakpercayaan terpancar jelas dari raut wajahnya."Sekarang buka gerbangnya! Aku akan mencari Zea di luar. Kalau dia memang kabur baru tadi, aku mungkin bisa cepat menemukannya." Desakan kuat mendorongku berlari menuju mobil. Aku buru-buru masuk ke dalam, menyalakan mesin dengan tangan gemetar. Pak Yanto berlari menuju gerbang, membukakannya untukku dengan tergesa-gesa.**"Di mana Zea?" tanyaku, setibanya di rumah lama. Turun dari mobil. Aku yakin Zea datang ke sini, untuk bertemu Jamal—tanpa sepengetahuanku."Zea? Dia 'kan bersama Bapak," jawab Jamal, tatapannya penuh
Rasa malas berdebat membuatku menyerahkan uang yang diminta Pak Darman tanpa banyak berpikir. Tujuannya satu: segera meninggalkan tempat itu dan mengumpulkan energi untuk melanjutkan pencarian Zea. Ting! Notifikasi pesan masuk. Heru, nomornya sudah tersimpan di kontak ponselmu. [Aku sudah sampai di restoran. Kamu di mana?] Pandanganku tertuju pada jam di layar ponsel. Aku baru ingat janji dengan Heru. Membatalkannya akan terasa tidak enak. [Tunggu sebentar, aku masih di jalan.] Pesan balasanku terkirim. Setelah itu, aku langsung menghubungi Akmal. "Akmal, tolong bantu aku mencari Zea." Sejujurnya, jiwaku meronta ingin sendiri yang mencarinya, menjelajahi setiap gang sempit, tiap sudut kota yang mungkin pernah Zea singgahi, tapi aku harus menemui Heru dulu. "Memangnya Zea ke mana, Pak?" tanya Akmal, suara cemas terdengar jelas dari seberang telepon. "
Kalimat itu menusukku bagai sebilah pisau. "Kamu bercanda? Bagaimana mungkin dia hamil... hamil anakmu?!" Tidak! Aku tidak bisa membayangkan Helen hamil anak pria lain. Aku tidak terima dunia akhirat. Rasa sakit yang tak terkira memenuhi da*daku, sesak hingga napasku tersengal-sengal. Janji suci pernikahan kami, yang telah kami ucapkan, semuanya telah hancur berkeping-keping. Meskipun aku sendiri bukanlah perjaka, menerima kenyataan bahwa dia bukan lagi perawan mungkin masih bisa kuterima. Tapi ini... ini tentang anak. Anak yang dikandungnya, anak dari pria lain, sementara akulah suaminya yang sah, yang belum genap sebulan bersanding dengannya di pelaminan. Ini haram, sebuah pengkhianatan yang begitu menyakitkan. Seharusnya aku tak boleh menyentuhnya sampai dia melahirkan. Aku sadar diri, aku juga manusia yang tak luput dari salah dan dosa. Aku juga menghamili Zea, berzina dengannya. Tapi di sini posisiku dan Helen berbeda. Aku melakukannya tanpa sadar, khilaf karena alkohol
"Kamu telah bermain api di belakang Helen, dan kamu telah menyakitinya!" Suara Ayah menggema di ruang keluarga, keras dan bergetar, menguncang setiap serat tubuhku. Udara terasa tercekat, berat, dipenuhi aroma teguran dan kekecewaan yang menyesakkan. "Bermain api?" Dahiku mengerut, kebingungan bercampur dengan rasa takut yang mulai merayap naik ke tenggorokanku. "Apa maksud Ayah? Aku tidak mengerti, Ayah." Suaraku terdengar kecil, nyaris tak terdengar di tengah gemuruh amarah yang melingkupiku. Ayah menarik napas dalam-dalam, seakan menahan amarah yang siap meledak. Dia melepaskan pelukan yang sebelumnya terasa begitu hangat, meninggalkan kekosongan yang dingin dan mencekam di antara kita. Tatapannya tajam, menusuk kalbuku bagai sebilah pisau. "Jangan mengelak, Ken. Ayah tau kamu telah melecehkan Zea. Sebelum pernikahanmu dengan Helen. Benar, kan?" Dunia seakan runtuh di sekitarku. Lantai terasa bergetar, dan aku merasa pus
"Lho, Yang... kenapa kita di rumah sakit? Siapa yang sakit?" tanya Helen, suaranya bercampur kebingungan dan sedikit khawatir.Tatapannya mengamati sekeliling orang-orang, lalu kembali padaku dengan pertanyaan tersirat di matanya. Aku meraih tangannya, genggaman erat yang mungkin sedikit terlalu keras, dan menariknya dengan langkah cepat menuju ruang dokter spesialis kandungan."Lepas!" Suaranya sedikit lebih tinggi, menahan diri, tapi tangannya berhasil melepaskan diri dari genggamanku. Langkahnya terhenti, seolah sebuah penghalang tak kasat mata menahannya."Yang, kamu kasar banget! Kenapa tiba-tiba narik aku kayak gini? Dan kita ngapain ke sini?" Tanyanya, nada suaranya terdengar kesal namun di baliknya tersirat kecemasan. Dia mengusap pergelangan tangannya yang memerah, sentuhan lembut yang menunjukkan rasa sakit dan sedikit trauma atas perlakuanku yang tiba-tiba. Aku tahu genggamanku tadi terlalu kuat, tapi itu refleks karena menahan emosi
(POV Kenzie) Keputusan telah bulat. Kenyataan pahit itu telah memaksaku mengambil langkah ini. Setelah meninggalkan Helen di rumah sakit, aku segera menuju kantor pengadilan. Aku akan mengajukan perceraian dengan Helen. Aku yakin dengan semua bukti-bukti yang kupunya, hakim pasti mengabulkan permintaanku. Driiiinnnggg! Suara dering ponsel membuyarkan lamunanku. Secangkir kopi hangat di tanganku mendadak terasa dingin. Pagi yang seharusnya tenang, kini diwarnai kecemasan yang menghimpit. Nomor Akmal terpampang di layar. Sekelebat harapan, setipis benang, muncul di dadaku. Mungkinkah dia sudah menemukan Zea? Do'a itu terucap dalam hatiku, lirih dan penuh harap. "Halo, Pak Kenzie... selamat pagi." "Pagi. Bagaimana Zea? Sudah ketemu?" Suaraku bergetar, menahan kecemasan yang hampir meruntuhkan diriku. "Belum, Pak." Jawaban itu seperti palu yang menghantam tulang rusukku. Tubuhku terasa lemas. Sampai kapan aku harus menunggu? Dua hari. Dua hari Zea menghilang dari rumah. Bayangan
"Jangan bilang kamu selingkuh dengannya?" Pertanyaan mendadak Pak Kenzie membuatku tersentak. Tuduhan yang begitu tiba-tiba dan tanpa sebab itu sungguh membuatku marah. Apa-apaan dia ini? Mobil yang dikendarainya langsung berhenti. "Bapak ini ngomong apa sih?! Pak Bahri itu mantan bosku di rumah makan Padang, masa Bapak lupa?" "Ingat, tapi kenapa dia menghubungimu? Pasti ada alasannya, kan? Pasti karena kalian ada hubungan!" Nada bicaranya semakin meninggi, menunjukkan ketidakpercayaannya yang begitu besar. "Astaghfirullah, Pak... Bapak jangan su'uzon padaku! Aku sama dia nggak ada hubungan apa-apa. Dia cuma mau main ke sini." Aku berusaha menjelaskan dan bersikap tenang, walau amarahku masih menggelayuti. "Main?" Matanya membulat, tatapannya tajam seperti elang yang mengintai mangsa. Menurutku, reaksinya itu terlalu berlebihan. Pak Kenzie ini selain plin plan dan menyebalkan, dia juga lebay. "Itu sudah cukup membuktikan kalau dia naksir sama kamu, Zea. Seharusnya tadi k
"Kalau kita sudah bercinta, aku bisa tidur nyenyak, dan aku bisa lebih mudah memikirkan biaya mahar itu.” Pak Kenzie menghela napas, mencoba menjelaskan dengan sabar, namun nada bicaranya terdengar sedikit memaksa supaya aku menuruti permintaannya. "Tidur nyenyak?" Aku mendengus kesal. Itu terdengar tak masuk akal. “Jangan mengada-ada, Pak. Setiap malam bukannya Bapak tidur nyenyak?" "Enggak kok." Dia menggeleng cepat, membantah. "Semalam buktinya Bapak tidur nyenyak.” Aku sengaja menekankan kata ‘nyenyak’, karena aku jelas-jelas mendengar dengkur kerasnya semalam. Dia berdusta! “Kamu nggak akan mengerti, Zea. Yang tau tentang ini hanyalah laki-laki. “Kenapa bisa begitu?” tanyaku, merasa kecewa. “Kalaupun dijelaskan, kamu tetap tidak akan paham." Cih! Sifat menyebalkannya muncul
“Niat Ayah dan Bunda datang ke rumah Papa sebenarnya ingin mengabarkan pernikahan kita, Pak. Tapi Papa malah membahas mahar,” kataku, menjelaskan inti kejadian pagi tadi. Pak Kenzie mengerutkan dahi. “Papamu meminta mahar untuk pernikahan kita?” Aku mengangguk cepat, “Iya. Semua ini gara-gara Juragan Udin. Papa berniat menjodohkanku dengannya karena Juragan Udin berani memberikan mahar rumah dan mobil.” Mata Pak Kenzie membulat. Dia tampak terkejut. “Memangnya Ayah dan Bunda tidak memberitahu Papamu kalau kamu sedang mengandung anakku?” Aku menggeleng pelan, “Tidak, Pak. Sepertinya mereka melakukan itu karena takut Papa marah.” “Terus, Papamu meminta mahar apa untuk pernikahan kita?” “Rumah, mobil, dan uang seratus juta,” jawabku, mencoba bersiap menghadapi reaksinya. Aku sudah menduga dia akan terkejut. “Apa?!” Seruannya kali ini lebih keras, menunjukkan keterkejutan yang nyata. Aku menunduk, menahan malu. “Maafkan Papaku, Pak. Seharusnya Ayah dan Bunda tidak langsung
Aku menghela napas lega, ketika kami bertiga akhirnya pulang dari rumah Papa. Meskipun sejak kecil aku tinggal di sana, hampir tak ada sedikit pun kenyamanan yang kudapatkan.Rumah itu lebih terasa seperti penjara daripada tempat tinggal yang sesungguhnya. Kenangan pahit lebih banyak terukir daripada kebahagiaan.Sangat jauh berbeda dengan saat aku tinggal di rumah Ayah Calvin dan Bunda Viona. Baru beberapa hari, aku sudah merasa betah, nyaman, dan diterima sepenuhnya. Bahkan kenyamanan itu sudah kurasakan jauh sebelum mereka menerimaku sebagai calon menantunya. Di sini, aku merasakan kasih sayang dan kehangatan yang selama ini tak pernah kurasa.Hari ini cuaca sangat panas sekali, tubuhku terasa lengket dan gerah. Sebaiknya aku mandi dulu untuk menyegarkan tubuh. Aku juga teringat kalau harus pergi ke mall bersama Pak Kenzie.“Zea… kamu mau ke mana?” Bunda Viona bertanya, suaranya lembut dan perhatian. Pertanyaannya membuat langkah
"Kalau langsung seratus juta saya tidak bisa memberikannya sekarang, Pak. Tapi kalau sebagai jaminan... bagaimana kalau sepuluh juta?" Ayah Calvin menawarkan nominal yang berbeda. Tapi tetap bagiku sangat besar dan tidak perlu diberikan kepada Papa."Tidak apa-apa, Pak," Papa mengangguk setuju. Senyum tipis mengembang di wajahnya, menunjukkan rasa puas yang terpancar jelas. Dia tampak sudah berhasil mendapatkan sebagian dari apa yang dia inginkan. Namun, dibalik senyum itu, aku merasa masih ada sesuatu yang disembunyikannya."Tapi saya mau uang tunai, ya, Pak ... karena saya tidak punya rekening bank," tambah Papa, suaranya terdengar sedikit lirih."Baiklah... saya akan ambil uangnya di ATM dulu, Pak. Tunggu sebentar." Ayah Calvin langsung berdiri.Saat Ayah Calvin hendak melangkah keluar rumah, aku cepat-cepat menahan tangannya."Ayah... Ayah nggak perlu memberikan uang itu. Uang itu nanti saja saat aku dan Pak Kenzie menikah."
"Kami orang tua Kenzie, Pak," Ayah Calvin memulai, suaranya tenang namun tegas, menjawab pertanyaan Papa yang masih ternganga. Sorot matanya serius, menunjukkan kesungguhan niatnya. "Kedatangan kami untuk mempererat hubungan keluarga, berharap kita bisa menjadi besan." Kalimat itu diutarakan dengan penuh hormat, menunjukkan rasa saling menghargai.Papa terdiam sejenak, mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Matanya membesar, kejutan tergambar jelas di wajahnya yang biasanya tenang. Alisnya terangkat, menunjukkan betapa tak terduga pernyataan Ayah Calvin."Besan...? Tadi... kalian menyebut siapa?? Kenzie?" Ucapannya terbata-bata, mengungkapkan kebingungan yang mendalam. Dia tampak berusaha mengingat-ingat, mencari-cari jejak kenangan tentang nama yang disebutkan.Ayah Calvin mengangguk pelan, memperkuat pernyataannya. "Ya, Pak, Kenzie. Apakah Bapak masih ingat? Zea pernah mengatakan dia pernah datang ke rumah Bapak bersama Kenzie." S
"Nggak usah, Yah. Aku bisa beli sendiri kok," balasku menolak usulan baik dari Ayah Calvin. Lagipula, Pak Kenzie bukanlah pasanganku, aku merasa tidak nyaman dan malas pergi bersamanya. "Jangan sendiri, kamu sedang hamil," Ayah Calvin berkomentar, nada suaranya menunjukkan kepeduliannya. "Nanti siang deh kita ke mall buat beli baju, ya, Zea? Kalau pagi begini mall 'kan belum buka," Pak Kenzie menyambar kesempatan itu, mengajukan tawaran. "Aku .…" Aku ragu, sebetulnya ingin menolak. Namun, tatapan Ayah Calvin yang penuh perhatian membuatku sulit untuk menolak. Aku mengangguk setuju, suaraku terdengar lirih. "Oke." Aku berharap, ini hanyalah kunjungan singkat ke mall, tanpa ada kejadian yang tidak diinginkan. "Ya sudah sekarang kalian mandi. Kamu juga hari ini harus masuk ke kantor, ya, Ken. Udah berapa hari coba kamu libur kerja? Bisa bangkrut lama-lama perusahaanmu." Ayah Calvin kembali mengomel, suaranya terdengar tegas, menunjukkan otoritasnya sebagai seorang ayah. Dia menarik
"Aku ke dapur." "Dapur? Jadi kamu semalaman tidur di dapur?? Lho, Zea… harusnya kamu jangan melakukan hal itu!" suaranya meninggi, nada ketidakpercayaan dan bahkan sedikit amarah tersirat di balik kata-katanya. Matanya menyipit, seolah tak percaya dengan pengakuanku yang sederhana itu. Dia pikir aku gila? Mana mungkin aku menyiksa diriku dengan tidur di dapur? "Aku ke dapur cuma mau minum," kataku, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang, meskipun dalam hati aku sudah berteriak kesal. "Tapi semalam kamu tidur, kan?" Tangannya tiba-tiba menangkup wajahku, sentuhannya yang tak terduga membuatku tersentak kaget. Jari-jarinya yang menyentuh pipiku terasa begitu lembut. Untuk sesaat, pandangan kami bertemu, tatapannya yang intens membuatku tak nyaman. Jantungku berdegup kencang dan seperti ada kupu-kupu di perutku. Segera kutepis tangannya dengan gerakan cepat dan menundukkan pand
Segera kutepis kasar lengannya dan mundur beberapa langkah, menjauhkan diri dari sentuhannya. Rasa takut yang luar biasa membanjiri hatiku. "Zea, jangan pergi!" Pak Kenzie menarikku kembali, tangannya kuat dan mendesak. Dia menutup pintu dan kali ini menguncinya. "Aku hanya ingin tidur ditemani, aku takut tidur sendirian," katanya, suaranya sedikit gemetar, namun aku meragukan kejujurannya. Ketakutan? Itu hanyalah kedok, sebuah alasan yang dibuat-buat untuk menutupi niat sebenarnya. Aku bisa merasakannya. Rasa curiga dan ketidaknyamanan mencengkeramku. Aku berusaha tenang, namun jantungku berdebar-debar. "Begini saja deh ...," katanya, terlihat tengah mengusulkan ide. "Kita tidak perlu tidur satu ranjang. Kalau memang kamu takut padaku, aku bisa tidur di lantai atau di sofa. Bagaimana?" Dia mencoba menawarkan solusi, berharap dapat mengakhiri situasi ini dengan