Hiraya membereskan pakaiannya. Dia tak yakin jika dia akan diizinkan untuk membawa gaun-gaun seperti ini. Gadis itu mengangkat salah satu, sebuah gaun putih yang selalu dia kenakan hingga ada beberapa bagian yang membercak kuning.Tidak. Mereka takkan membiarkannya mengenakan ini lagi.Jadi dia menghela nafas, melipatnya kembali dan meletakkannya di bagian lain atas ranjangnya. Gadis itu menoleh pada tumpukan tak jauh dari mejanya — seonggok pakaian yang sama sekali baru, dikirimkan dari istana, beserta dengan barang-barang lainnya.Sudah beberapa hari semenjak mereka menerima berita itu, dan dengan berita yang datang, persembahan dari istana mengiringi. Pada satu hari, Hiraya akan menerima separuh peti gan-gaun, lalu pada hari berikutnya, dia akan menerima perhiasan.Lalu terkadang, akan tersembunyi sebuah kantong uang dengan sulaman api, warna oranye dan merah bertabur di atasnya. Dan semakin Hiraya menghitung, koin-koin di dalamnya akan semakin banyak.Gunakan sebanyak yang kau ing
Hiraya tak pernah mengira bahwa dia akan mengenakan gaun yang dibuat oleh para penjahit istana. Bahkan dengan ayahnya yang dulunya seorang viscount, gadis itu tahu jelas betapa berbedanya penjahit di kota dan yang berada di dinding istana. Mereka akan lebih lihai, lebih mumpuni, lebih detal dalam mengerjakan jahitan mereka. Bahkan yang terkaya sekali pun akan terus bermimpi untuk memiliki gaun jahitan mereka. Dia menatap dirinya di depan cermin, gaun merah menatap balik padanya. Satin memeluk erat tubuhnya sementara manik putih menuruni seperti aliran di lengan dan pinggangnya. Renda yang nyaris tak kasat mata menutupi roknya dengan corak bebungaan hitam di atasnya. Gaun itu memeluknya erat dan korset memaksa dadanya terangkat. Renda yang menjadi sarung tangannya membuatnya merasa tak terlalu terekspos. Gadis itu menelusuri lengannya, rambutnya jatuh. Apa ini adalah selera sang pangeran? Gadis itu menarik rambutnya ke atas, menoleh pada sebuah pita hitam dengan bunga merah di atasn
“Kau mengatakan padaku,” mulai Dimitri, keduanya tengah berjalan-jalan di promenade. “Kau mendatanginya kemarin?”Sepupunya itu membawa sebuah bunga yang hendak dia berikan pada gadisnya, sementara Alaric sedang menanti waktu dimana gadisnya sendiri datang. Sang pangeran mengangguk. “Aku merindukannya.”Putra sang duke menghela nafas, menggelengkan kepala. “Kau tahu bahwa terlalu sering mengunjunginya juga akan membuatnya dalam masalah 'kan?”Alaric terdiam. Ada banyak kontra sebagai dia yang memiliki posisi sebagai selir sang pangeran — orang-orang akan menganggapnya sebagai gadis yang terlalu lugu dan bodoh untuk menjadi seorang putri mahkota. Beberapa orang akan menganggapnya hanya mengandalkan kedipan mata dan gerakan kipasnya — tak memiliki potensi apapun kecuali tubuhnya.Itu benar-benar akan menyakitinya.Namun dia telah menahan dirinya sendiri untuk mengunjunginya, dan memang seharusnya tidak. Hiraya seharusnya diberikan hari- hari terakhir penuh ketenangan sebelum pergi ke is
Ketika Hiraya membuka pintunya, dia dapat melihat beberapa orang membungkukkan tubuh padanya, seorang wanita di antara mereka. Dan bahkan dari pakaiannya, dia dapat menyadari bahwa gadis itu mungkin saja adalah seorang pelayan, di tangannya adalah sebuah kotak kecil.“Lady Clearwing,” dia menyapa, membuatnya menganggukkan kepala. “Kami datang untuk mempersiapkanmu.”Gadis itu membuka pintunya lebih lebar. Dia selalu tahu bahwa hari dimana dia masuk ke istana akan dekat, namun terkadang sulit untuk membayangkan bahwa hari itu akan tiba.“Siapa namamu?”Dia tersenyum. “Eloise, Nona,” balasnya. “Yang Mulia Putra Mahkota memberikan aku tugas untuk menjadi pelayanmu — aku harap kita bisa saling akur dengan satu sama lain.”“Tentu saja,” dia bergumam. “Masuklah, lakukan apa yang harus kalian lakukan.”Dan tepat setelah Hiraya mengatakan itu, mereka dengan sopan memasuki rumahnya. Dia memperhatikan orang-orang tersebut melihat-lihat kotak yang dia rapikan, dia isi dengan pakaian serta perhia
Hiraya menatap ke arah depan, dimana sepupunya berada. Dia dapat menebak beberapa dugaan tentang kenapa Helena hendak menemuinya. Kemarahan. Kedengkian. Dia dapat melihatnya berjalan ke arahnya, langkahnya lambat, seolah dia menahan untuk tidak melukainya.“Apa ada sesuatu yang ingin kau beritahukan padaku?”Mata Helena berkedut. Dari jarak seperti ini, begitu mustahil bagi sepupunya itu untuk tidak menjambak rambutnya. Namun mereka tengah berada di luar sekarang, dan Hiraya kini telah menggenggam perlindungan sang putra mahkota.Helena adalah seorang yang cerdas, dia takkan dengan mudah melukainya jika itu akan menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri.“Bagaimana perasaanmu, sepupuku?” dia bertanya pada akhirnya. Dan sebelum Hiraya dapat menjawab, dia kembali memotong. “Bagaimana perasaanmu setelah mencuri priaku?”Gadis itu terdiam. Dan dari sudut matanya, dia dapat melihat Eloise yang menutup mulut dengan telapak tangannya, mata membulat. Dia tak yakin jika dia bisa menceritakan
Hiraya menatapnya, tepat ketika Alaric mengulurkan tangan padanya. Sang pangeran membantunya turun, sementara gadis itu membiarkan Eloise membantunya dengan roknya — dia sendiri memfokuskan diri untuk turun di tanjakan.“Hai,” sapanya, membuatnya menundukkan kepala. Dia dapat merasakan mata yang menelusurinya dari atas ke bawah. “Kau mengenakan gaun yang kuberikan.”Gadis itu memperhatikan gaunnya sendiri. “Itu pantas dipakai,” ucapnya, beralasan. “Dan aku harap kau tak keberatan jika aku tak membawa pakaian lamaku — aku tak yakin akan ada tempat yang tepat untukku menggunakan mereka.”Alaric tertawa, membawanya berjalan masuk ke dalam istana. Mereka yang membawa barangnya mengikuti kereta dan kuda untuk mengangkutnya, sementara Eloise mengikutinya dengan s
Agatha Fireheart telah menjadi seorang ratu sejak dirinya masih berusia delapan belas tahun, ketika dia menarik hati sang raja di tahun debutnya. Dia masih dapat mengingat rasa sedihnya ketika dia harus menunda debutnya — Agatha tak ingin menjalani tahun debut yang sama dengan kakaknya.Lucu sekali jika dia mengingat bahwa sang raja — yang saat itu masihlah seorang putra mahkota, baru saja kembali dari studinya di kerajaan lain. Adalah suatu kebetulan ketika dia baru saja debut dan ayahnya, yang memiliki koneksi dengan sang ratu, mengundang mendiang mengunjungi rumahnya. Dengan itu, sang putra mahkota terdahulu menemaninya datang.Phillip Fireheart telah melihatnya bermain di taman dengan coreng-moreng lumpur di wajah, satu tangan menggenggam seonggok tanah basah itu dan bersiap melemparnya pada satu anak pelayan laki-laki yang seumuran dengannya. Dan Agatha harus terdiam ketika dia tanpa sengaja melontarkan lumpur tersebut ke wajah sang pangeran.Itu bukanlah cinta pada pandangan per
Hiraya berjalan ke arah ruang tengahnya, dimana seorang laki-laki berdiri dan menunggunya. Dia berpakaian seperti pamannya, seperti ayahnya, seperti laki-laki dewasa yang selalu mengenakan jas dan kemejanya. Walaupun dia dapat melihat jam saku yang dia genggam, juga kacamatanya.Laki-laki itu tersenyum padanya, mengangguk. “Nona Hiraya.”Gadis itu menganggukkan kepala, membungkuk padanya. Dia masih mengenakan hitam, pakaian berkabungnya begitu kentara bahkan ketika keluarga pamannya datang.Dia menoleh pada bibinya, yang menatapnya tak jauh dari sofa. “Dia adalah pengacara ayahmu,” dia menjelaskan. “Dia akan menjelaskan apa yang akan terjadi padamu.”Hiraya mengerutkan dahi. Bahkan dengan dirinya yang masih kecil, dia memahami bagaimana ayahnya akan mewariskan banyak untuknya — sang mendiang viscount tak memiliki pilihan, dia hanya memiliki satu orang anak.Lalu kenapa ada ketentuan tentang bagaimana jadinya hidupnya?“Mendiang viscount memberikan ini padaku,” mulainya, mengeluarkan s