Hiraya Clearwing berubah menjadi yatim piatu sejak Viscount Clearwing meninggal dunia, memaksanya untuk tersingkir oleh paman dan bibinya. Pada sebuah pesta dansa di istana, Hiraya, dibantu temannya, Diora Mistwatcher, melarikan diri ke pesta dan berdansa dengan orang asing bertopeng. Di sisi lain, Pangeran Alaric Fireheart tengah dipaksa untuk mencari istri oleh ibunya, dan justru jatuh cinta pada gadis bertopeng yang berdansa dengannya. Kini, dengan bantuan putra Duke of Flarevana, Dimitri Fernthier, Alaric harus mencari gadis itu bagaimanapun caranya.
View MoreHiraya meringis ketika merasakan Diora mengoleskan obat ke pipinya. Orang-orang yang berada di dapur dengan tergesa memintanya untuk pulang. Tak ada satupun yang tega ketika melihatnya kembali penuh coreng moreng dan luka.Bertepatan sekali bahu dia sejalan dengan gadis itu yang tengah berjalan-jalan dengan kakaknya. Menahan membantunya membeli obat, lalu temannya itu membersihkan wajahnya yang penuh abu. Julian memperhatikan dari tempat dia duduk.Ketiganya berada di rumah kecil Hiraya, dia gadis duduk di ranjang — satu menggenggam obat sementara yang lain terlihat menyedihkan."Apa yang terjadi?” tuntut laki-laki itu.Di0ra menoleh pada kakaknya. "Jules–”“Aku rasa ini adalah giliran temanmu untuk menjawab,” tegur sang Mistwatcher, menoleh padanya. “Nah,” dia memulai. "Kan bisa menjelaskan dirimu?”Sebelum gadis itu dapat membuka mulutnya, Hiraya memutuskan untuk bicara. “Aku tak tahu apa yang harus aku jelaskan padamu,” ujarnya."Aku adalah seorang pelayan dan aku dipukuli — semudah
Hiraya tak tahu jika harinya yang akan dia jalani seperti biasa di dapur, mendengarkan ocehan Anna sambil tertawa dan menyusun roti yang baru saja dia beli akan terhadang oleh Helena yang mendobrak masuk ke sana.Para pelayan ikut terlonjak dengannya, beberapa mundur karena rasa takut — tak hanya Hiraya yang pernah disiksa oleh sepupunya. Gadis itu menoleh padanya, yang menatapnya dingin. Seharusnya dia berpikir bahwa Helena akan selalu menatapnya seperti itu. Namun ada yang berbeda darinya — ada satu rasa yang lebih mencekam di pandangan matanya.Dan itu menakuti Hiraya hingga ke tengkuknya.“Hel–”Orang-orang mulai berteriak ketika melihat gadis itu menyeret sepupunya pergi dari dapur. Hiraya mencoba menahan akar rambutnya, seolah itu akan membuat tangan yang menariknya berubah.Dia tak memiliki pilihan kecuali mengikuti Helena keluar dari dapur, jambakannya pedih di kepala. Dia tak tahu apa yang terjadi pagi itu padanya — mungkin dia terbangun dalam suasana hati yang buruk. Mungkin
Alaric tahu jelas dengan apa yang dia harapkan ketika dia turun dari kereta, bunga di tangan dan senyum di bibirnya. Dia mengharapkan, ketika dia menunggu di ruang rekreasi, Hiraya akan menemuinya di sana. Namun dia bertemu mata dengan Viscount Clearwing, yang membungkukkan tubuh padanya. “Yang Mulia,” panggilnya. “Aku tak tahu apa yang membuatmu berada disini.” "Untuk salah satu putrimu,” dia menjelaskan, membuatnya mengerutkan dahi. “ Aku sudah pernah mengirim surat, aku percaya bahwa dia telah menerimanya.” Seharusnya sudah. Dia yakin sekali bahwa Hiraya telah menerima suratnya, dia tahu sekali akan hal itu — dia ingat bagaimana gadis itu telah memberinya kehangatan yang berbeda dengan perlahan yang selalu dia berikan. Atau mungkin dia tidak menceritakan apapun pada orang tuanya. Jika itu adalah yang terjadi, maka sepertinya Alaric telah membocorkan sebuah rahasia yang dimiliki gadis itu. Tapi walaupun begitu, hukuman separah apa yang bisa diberikan dari anaknya pada orangtuan
Alaric dapat mendengar dehaman ibunya secepat dia melewati ruang rekreasi. Sejujurnya, dia tak memiliki niatan apapun untuk mendatangi ibunya — jadi dia seharusnya berjalan melewati ruangan itu saja.“Terlambat,” tegur sang ibu. “Aku sudah melihatmu.”“Ibu,” sambutnya, tertawa penuh kegugupan. “Aku tak melihat Ibu disini tadi.”Sang ratu mengerutkan dahi. “Kenapa kau bau amis?” Alaric tertawa, menunduk untuk mencium pipinya. Dia duduk di depannya, dan para melayan mulai menyiapkan cangkir dan tatakan tambahan untuknya. “Kau berada di suasana hati yang bagus, sepertinya.”“Oh,” ucapnya. “Lumayan.”“Kenapa?” ibunya menyeruput tehnya. “Menemukan seseorang di promenade?”“Bukan disana,” gumamnya. “Tapi, Ibu, aku memang menemukan seseorang,” jawabnya jujur.Dan mungkin dia akan menyesali ini, namun dia begitu bahagia bahwa Hiraya sebenarnya tak memiliki seseorang di hatinya — bahwa dia masih memiliki kesempatan. Sang ratu meletakkan cangkirnya, mendengarkan. Matanya memicing seolah mencoba
Hiraya berusaha untuk tidak menghindari tatapan laki-laki di depannya, namun begitu sulit ketika dia terpikir bahwa dia masih saja mengingat apa yang dia lakukan padanya malam itu — akan ada sedikit pembelaan darinya bahwa dia mengira bahwa dirinya sendiri telah melupakannya.Tapi tidak.Dia masih merasakan sisa-sisa bibir di atas kulitnya, atau bahkan sedikit dari sentuhan tangannya. Gadis itu menundukkan kepala, menatap ke arah pergelangannya, dimana dia meletakkan tangannya ketika perasaannya terlalu membuncah.“Nona Clearwing,” dia memanggil, membuatnya mendongak padanya. “Aku minta maaf atas perlakuanku malam kemarin. Itu sungguh tak adil bagimu.”Dia mengangguk. “Kau sudah menyebutkan itu,” ucapnya.“Kau membaca suratku?”“Tak adil bagimu jika aku tak membacanya.”Dia melirik Diora dan orang asing itu, yang dia bisikkan sebagai Dimitri Fernthier beberapa saat yang lalu. Tak ada yang lebih membingungkan daripada ketika mereka melihat keduanya bertarung seperti anak-anak di depan
Alaric memainkan batu yang dia genggam, di depannya adalah sebuah danau sementara pohon mengelilinginya. Tak sulit untuk melarikan diri untuk sejenak dari istana, terutama ketika dia memiliki pakaian yang selalu dia kenakan jika dia tak ingin dirinya diketahui. Lagipula, danau ini tak terlalu jauh dari istana dan pasar.Ada sebuah perasaan ketika sepupunya mengucapkan perkataan itu padanya.Dan walaupun itu baru saja diutarakan sekarang, pangeran itu menyadari bahwa pertanyaan itu telah mengganggunya sejak dia mulai akan mengejar Hiraya. Dan mungkin, di lubuk hatinya yang paling dalam, dia belum siap untuk mengikat dirinya sendiri. Sekuat apapun perasaannya pada gadis itu.Jika memang begitu, dia tahu bahwa dia akan mendatangi rumahnya dengan segera, dia takkan dengan penuh rasa pengecut mengirimkan surat dan bunga. Dia seharusnya datang dan bertemu dengannya. Atau lebih lagi, bertemu dengan ayahnya.Dia tak hanya mempermainkan Hiraya, namun juga dirinya sendiri."Aku tahu aku akan me
“Ini tak berhasil.”Dimitri memutar matanya, mengerang. Dia tengah duduk di salah satu sofa ruang rekreasi milik Alaric, di dalam istana dimana dia menganggap itu menjadi rumah mainnya. Dia memperhatikan sepupunya yang menatap cangkirnya, bosan.“Lagipula,” mulai putra sang duke. “Siapa yang menyuruhmu menuliskan surat padanya?”Pangeran itu menoleh padanya, mata tajam.“Benar,” ujarnya lagi. “Tak ada.”“Rencanamu jelek,” dia menuduh, seperti di malam ketika dia mengatakan sarannya. Dimitri kembali menghela nafas. “Bagaimana bisa kau membuatku berpura-pura tak peduli padanya. Dia bisa saja berjalan di dinginnya malam saat itu — aku bisa saja menawarkan keretaku padanya saat itu.”Dimitri mengangguk. “Lalu apa? Kau juga akan menawarkan ranjangmu?”Alaric mengalihkkan pandangan, menggerutu. “Aku takkan.”Dia memperhatikan sepupunya — sang pangeran, putra mahkota kerajaan mereka. Seseorang yang tak lagi polos dan mampu memikat hati banyak orang. Namun justru lemah dan kebingungan ketika
Hiraya membaringkan tubuhnya ke atas ranjang, menghela nafas ketika Alaric mengusap kepalanya, meraih beberapa helai dari rambutnya dengan dua jarinya dan meletakkan mereka ke bawah hidungnya. Mata gadis itu bergetar ketika sang pangeran memindahkan pandangan padanya, hidung masih menghirup aroma yang tersisa di rambutnya.Dia meraih kerah kemejanya, menariknya ke dalam sebuah ciuman yang dengan senang hati diterima oleh laki-laki itu, tangan mengusap lengannya sebelum naik ke lehernya, menekan dimana nadinya berada, membuatnya menarik nafas, kepala mendongak.Alaric menurunkan bibir ke atas nadi tersebut, mengecupnya beberapa kali sebelum berpindah dan membuat tanda di bagian-bagian lehernya yang lain.Hiraya dapat merasakan tekanan tubuh di atasnya, dan bibir yang menjelajahi lehernya, tangan yang menyentuh dadanya. Gadis itu menutup mata, tangannya sendiri tiba di atas rambut laki-laki itu, meremasnya erat sementara kakinya mengejang.Ada tawa berat dari lehernya, dan sebuah ciuman
Hiraya mengira bahwa Alaric telah melupakannya. seharusnya begitu dengan bagaimana dia mengabaikannya malam itu. Namun dia memperhatikan sekuntum bunga dan sebah surat yang ada di atas meja. Anna, Fergus, dan yang lainnya menunggu agar dia membukanya.Dia mendongak pada Anthony. "Kurir mana yang mengirim ini?”penerima pesan itu menggelengkan kepala. "Yang jelas bukan dari istana, Nona,” dia menjelaskan. "Namun bahkan dari namanya. aku yakin sekali bahwa itu adalah sang pangeran.”"Kau dungu," Sahut Fergus. "Jika itu bukan sang putra mahkota dan nona kita telah berharap banyak–”Gadis itu menutup matanya. Dia benar-benar tidak berharap banyak. Faktanya, dia tak berharap. Dia menatap surat itu. Salahnya karena dia tak berbelok saat itu, ketika Alaric mengenalinya. Dia sudah mengetahui rumah ini. Takkan butuh waktu lama baginya untuk datang kemari."Apa ada yang tahu tentang surat ini?”Anthony menggelengkan kepala. "Aku membawanya secepat yang aku bisa.”Hiraya mengangguk, meraup bunga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.