Share

5. Malam Pertama

Aвтор: Diganti Mawaddah
last update Последнее обновление: 2024-08-04 20:06:54

Benar seperti tebakanku bahwa mamaku terdiam sepanjang jalan pulang ke rumah. Wajahnya nampak tidak senang dengan kenyataan bahwa aku menikahi janda anak dua. Aku pun bingung mau mengatakan apa karena ini semua serba tiba-tiba dan aku belum menyiapkan plan A ataupun plan B.

"Tante mau mampir ke mana, biar Hakim anter," kata Hakim mencaurkan suasana.

"Pulang saja. Tante mau bicara sama sepupu kamu ini!" Jawab mama ketus. Aku menelan ludah. Aku perhatikan Aini pun sama. Ia tertunduk malu sambil memilih ujung bajunya.

"Masih lama gak sih, mobil kamu bau banget ini, Dhu. Apa nggak dicuci?" tanya mamaku sebal.

"Dikit lagi Tante. Sabar ya. Iya, ini Dhuha belum sempat cuci mobil semalam, cucian mobilnya udah keburu tutup."

"Ck, ya sudah, cepat, cepat!" Lima belas menit berlalu dan kami pun tiba di rumahku. Lebih tepatnya rumah mamaku. Untung saja Izzam dan adiknya masih tidur sampai aku dan Hakim membawa keduanya masuk ke kamarku yang ada di lantai dua.

"Kamu di sini dulu, Aini. Jangan keluar ke mana-mana. Kalau mau ke kamar mandi, ada di ujung sana!" Aku menunjuk pintu yang ada di sebelah kanan dari posisi ranjang.

"Mas, maaf ya, k-karena saya jadi Mas nya kena masalah."

"Udah terlambat. Nasi udah jadi bubur!" Aku bergegas keluar dari kamar dan langsung menuju kamar mama.

Tok! Tok!

"Ma, ini Dhuha."

"Masuk." Aku menelan ludah dan siap mendapatkan karma atas apa yang sudah aku lakukan semalam. Mama rupanya baru selesai mandi dan tengah menggunakan spray di wajahnya.

"Sekarang jelaskan, bagaimana bisa kamu menikahi janda anak dua? Kamu gak pernah cerita apapun tentang wanita itu sama Mama. Apa kamu gak perlu ridho Mama untuk menjalani rumah tangga? Anak dua? Mama gak masalah kamu menikahi wanita biasa, tapi bukan janda. Bukan pula ditambah paket hemat dengan punya anak dua. Apa kata teman-teman dan sodara nanti? Relasi bisnis opa, papa kamu juga pasti menyayangkan keputusan kamu ini, Dhuha!"

"Sebutkan hal istimewa apa yang bikin kamu menikahi wanita itu?" baru saja akan menjelaskan, mama sudah kembali menyela.

"Dia sekolah di mana? Dia rumahnya di mana? Siapa orang tuanya? Ceritakan semua sama Mama!"

"Ma, maafkan Dhuha, tapi Dhuha gak bisa cerita sekarang. Nanti Dhuha pasti cerita. Intinya Dhuha sudah punya istri dan dua anak sambung. Mama tolong memahami kondisi Dhuha." Suaraku yang memelas, malah membuat mama berlinang air mata.

"Luna, Niken, dan satu lagi pacar kamu itu, kenapa gak seperti mereka yang kamu nikahi? Atau paling nggak, jangan begitu jauh bedanya. Mama lahirkan kamu, merawat, sekolahin, dan mengurus semua keperluan dan kebutuhan kamu, tapi kamu malah nikah sama wanita gak jelas! Mama kecewa sama kamu! Jadi jangan harap Mama bisa menerima istri kamu begitu saja!" Mama mengusirku keluar kamar. Dengan langkah gontai, aku berjalan kembali ke kamarku.

Namun, aku begitu terkejut saat melihat Aini dan dua anaknya malah tidur di lantai. Ya, mereka bertiga tidur di lantai beralaskan karpet.

"Aini, bangun! Kenapa tidur di sini?" tanyaku setengah berbisik. Wanita itu begitu lelap. Ia tidak bergerak sama sekali. Hanya suara embusan napasnya yang terdengar begitu teratur.

Tidak ingin mengganggu mereka yang sudah tidur, maka aku pun memutuskan mandi. Setelah mandi, aku menyelimuti ketiganya, sedangkan aku kembali tidur di ranjangku. Sepertinya aku harus menambahkan kasur lagi di kamar untuk Izzam dan adiknya.

Suara berisik membuat mataku terbuka. Rupanya adik Izzam yang merengek dan sedang digendong oleh Aini.

"Ada apa?" aku menoleh ke arah jam dinding. Masih jam tiga pagi, tapi tidurku sudah diganggu.

"Intan lapar sepertinya, Mas. Waktu kita makan tadi siang, Intan tidur." Aku pun langsung bangun duduk.

"Oh, iya, belum makan ya."

"Saya gak berani keluar kamar karena kata Mas jangan ke mana-mana," katanya lagi sambil menimang Intan yang terus saja merengek.

"Ayo, kita ke bawah." Aku mengantar Aini turun ke dapur. Ada bubur instan yang biasa aku panaskan menggunakan microwave.

"Air putih ambil di dispenser itu!"

"Mm.. caranya, Mas? Maaf, saya gak pernah punya dispenser." Aku menghela napas dan segera mengambilkan segelas air putih hangat. Intan sudah lebih tenang sekarang karena ia tengah mengunyah pisang.

"Ini dapur, kamu gak boleh ke sini sembarangan. Gak perlu kerjakan pekerjaan rumah ini jika tidak diminta mamaku. Paham!" Aini mengangguk. Penurut sekali wanita ini, batinku.

"Mas tidur lagi saja. Maaf saya dan Intan sudah ganggu," katanya tidak enak hati. Aku meletakkan kembali kepala ini di atas bantal empuk.

"Kalian kenapa tidur di bawah? Emang gak masuk angin?"

"Nggak, Mas, emang biasa begini. Makasih ya, kamar ini nyaman sekali. Lagian mamti seprei Mas bau dan kotor karena pakaian anak-anak."

"Oh, gitu, padahal kalau kotor dan bau, nanti juga ada bibi yang cuci. Coba kamu ke sini, Mbak!" Aku menepuk kasur di sampingku. Wajahnya mendadak kaku. Apa dia takut aku kenapa-napain dia? Ya ampun, seperti anak perawan saja!

"Sini!" akhirnya ia menurut. Berjalan bagaikan siput sambil menggendong Intan yang sepertinya sudah kembali mengantuk.

"Ini malam pertama kita sebagai suami istri dan saya rasa, ada yang harus kita berdua lakukan."

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Комментарии (20)
goodnovel comment avatar
Debay2025 Cantik
lucu ceritanya
goodnovel comment avatar
Aminah Adjaa
nyiiiiiiiiiiiiimaaaak
goodnovel comment avatar
Mulyati Radaud
lajutkan Ka bagus Ceritanya
ПРОСМОТР ВСЕХ КОММЕНТАРИЕВ

Latest chapter

  • Malam Pertama dengan Janda Anak 2   326. Buah Kesabaran

    Hari itu, matahari bersinar lembut, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang memenuhi hati Aini dan Dhuha. Kabar kehamilan Aini menjadi hadiah yang tidak pernah mereka sangka akan datang secepat ini. Setelah bertahun-tahun penantian dan berbagai ujian, akhirnya doa mereka terjawab.Setelah meninggalkan klinik, Dhuha tidak henti-hentinya menggenggam tangan Aini. Tatapan matanya penuh dengan cinta dan rasa syukur.“Aku masih tidak percaya, Sayang,” gumamnya sambil mencuri pandang ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya di dalam mobil.Aini tersenyum, meski air matanya belum benar-benar kering. “Aku juga, Mas. Sepertinya Allah benar-benar ingin menguji kesabaran kita sebelum akhirnya memberikan anugerah ini.”Dhuha mengangguk. “Dan kamu lulus ujian itu dengan begitu sabar dan tulus.”Aini menatap suaminya. “Bukan cuma aku. Kita berdua.”Sesampainya di rumah, Dhuha langsung menghubungi keluarganya. Maria awalnya tidak percaya, tapi saat Dhuha menunjukkan foto USG Aini, maka wanita paruh b

  • Malam Pertama dengan Janda Anak 2   325. Kejutan dari Ria

    Ria berdiri tidak jauh dari meja mereka, mengenakan blouse berwarna pastel dan rok panjang yang anggun. Wajahnya tampak terkejut, tetapi segera berubah menjadi senyum hangat saat ia mendekat."Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini," katanya sambil menarik kursi kosong di samping Aini.Dhuha hanya mengangguk kecil. Ia masih merasa canggung setiap kali bertemu Ria, mengingat alasan keberadaan wanita itu dalam hidup mereka. Sementara itu, Aini mencoba tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan tak nyaman yang berputar."Kak Aini, bagaimana kabarmu?" tanya Ria, nada suaranya lembut dan penuh perhatian."Baik, meskipun sedikit tidak enak badan hari ini," jawab Aini sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Dhuha menatap istrinya dengan cemas. "Kalau masih merasa pusing, kita pulang saja, Sayang. Istirahat lebih penting."Aini menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku justru senang bertemu Ria di sini."Mata Ria menatap Dhuha dan Aini bergantian. Ia bisa merasakan ketegangan yan

  • Malam Pertama dengan Janda Anak 2   324. Ucapan Maria

    Sore itu, langit menguning keemasan, memberi nuansa hangat yang kontras dengan perasaan Dhuha yang penuh beban. Ia melangkah menuju rumah besar yang sudah sejak kecil ia tinggali, rumah tempat ibunya, Maria, menunggunya dengan segudang pertanyaan yang selalu ia hindari."Duduklah, Nak," Maria mempersilakan putranya duduk di kursi teras yang nyaman. Di hadapannya, teh melati mengepul, menebar aroma menenangkan. Namun, Dhuha tahu, pembicaraan kali ini tidak akan senyaman teh itu."Apa kabar, Ma?" tanya Dhuha, mencoba mencairkan suasana. Pria itu membuka sepatunya, sekaligus melepas dua kancing kemeja abu-abunya paling atas. "Mama sehat, kamu minum dulu!" Dhuha mengangguk. Mengambil teh melati yang aromanya sangat sedap itu. "Mama bikin pisang goreng?" "Bukan, bibik yang masak. Kamu cuci tangan dulu sana, kalau mau makan pisang goreng." Dhuha mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia mencuci tangan di wastafel ruang tengah. "Keliatannya Mama sehat, ada apa Mama panggil aku ke

  • Malam Pertama dengan Janda Anak 2   323. Bertemu Izzam dan Intan

    Aini meraih tangan Alex dan menjabatnya pelan. Kesepakatan ini mungkin bukan yang terbaik baginya, tapi setidaknya ini adalah langkah awal untuk bisa kembali dekat dengan anak-anaknya."Terima kasih, Mas," ucapnya dengan suara nyaris berbisik.Alex mengangguk tanpa ekspresi, sementara Zita masih menampilkan senyum ramahnya. Dhuha yang duduk di samping Aini tetap tenang, meskipun tatapannya sesekali bergeser pada Zita, menilai bagaimana wanita itu bersikap."Kapan aku bisa mulai bertemu mereka?" tanya Aini hati-hati.Alex menatap Zita sejenak, seolah meminta pendapatnya."Bagaimana kalau akhir pekan ini? Hari Sabtu setelah makan siang? Kita bisa bertemu di taman dekat rumah," usul Zita."Anak-anak pasti senang sekali," tambahnya masih dengan senyum yang sama. Aini tersenyum lega. "Baik, aku akan datang."Percakapan pun berlanjut dengan membahas hal-hal ringan mengenai kegiatan anak-anak. Zita dengan santai bercerita bagaimana Intan kini semakin menyukai menggambar dan Izzam mulai tert

  • Malam Pertama dengan Janda Anak 2   322. Berdamai dengan Takdir

    Mobil sedan hitam itu berhenti di halaman rumah besar dengan taman yang tertata rapi. Anton menatap bangunan megah itu dengan napas berat. Sudah lebih dari sebulan Amel tinggal di sini, di rumah orang tuanya, meninggalkan rumah mereka yang seharusnya menjadi tempat membangun kebahagiaan bersama.Anton turun dari mobil, mengetuk pintu dengan sedikit ragu. Tak lama, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu.“Masuklah, Mas. Mbak Amel ada di ruang tamu,” katanya dengan sopan.Anton melangkah masuk, mendapati Amel duduk di sofa, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sejujurnya, ia sudah mengira istrinya akan bereaksi seperti ini.“Assalamualaykum, Amel…” Anton membuka suara, suaranya bergetar. Kakinya melangkah pelan, sesekali melirik ruang tengah yang besar itu teramat sepi. Amel duduk di depan televisi dengan tatapan kosong. "Amel," panggil Anton lagi. Amel menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya tanpa minat. “Ada perlu apa datang ke sini?” tanya wanita itu sinis. Anton m

  • Malam Pertama dengan Janda Anak 2   321. Bertemu Alex

    Pagi harinya, Aini bangun dengan tubuh lebih segar, meski pikirannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Setelah menunaikan salat subuh berjamaah dengan Dhuha, ia menyiapkan sarapan sederhana berupa roti panggang dan omelet.Dhuha duduk di meja makan sambil menggulir layar ponselnya. Sesekali ia menatap Aini sambil tersenyum. "Aku selalu senang kalau lihat rambut kamu basah." Aini yang sedang mengangkat roti dari panggangan, langsung menoleh ke belakang. "Dih, dingin tahu!" balasnya sambil tersipu malu. Malu bila ingat kejadian semalam, ia yang terlalu bersemangat sampai mereka berdua jatuh dari ranjang. Suara tawa Dhuha menggema. "Tapi aku suka sama yang semalam. Boleh diulang dia hari lagi ha ha ha.... ""Emmoh!" Aini menaruh piring yang sudah ada roti panggang coklat di depan suaminya. "Diulang gerakannya, bukan jatohnya, ha ha ha... huk! huk!""Makanya jangan iseng, jadinya tersedak!" Aini memberikan air putih pada suaminya. "Maaf, Sayang, kenapa sih, aku selal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status