LOGINSatu keputusan nekat yang diambil Aisyah, membuat hidupnya hancur berantakan. Niat hati menolong seorang pria asing dari pengeroyokan, Aisyah justru menjadi tumbal. Ia kehilangan kesucian atau setidaknya itulah yang dunia percaya. Kehilangan pekerjaan, dan ditinggalkan oleh tunangannya yang jijik. Di titik terendah itu, Keinan Wijaya hadir. Pria yang diselamatkannya itu menawarkan sebuah pernikahan. Bukan karena cinta, melainkan rasa bersalah. "Menikahlah denganku. Satu tahun saja. Setelah itu kita bercerai, dan kau akan keluar dari rumahku dengan status 'janda terhormat', bukan lagi gadis korban perkosaan yang dipandang sebelah mata." Aisyah menerima, meski tahu Keinan mencintai wanita lain, seorang artis cantik yang sempurna. Selama setahun, Aisyah menjadi istri bayangan yang tak dianggap, menelan cemburu saat suaminya memuja wanita lain, sekaligus mengubah perasaan Keinan terhadap kekasihnya
View MoreSuara decit rem bus yang beradu dengan aspal panas menandai akhir perjalanan panjang itu. Terminal sore ini begitu sesak dan pengap. Debu beterbangan setiap kali roda-roda besar melindas jalanan yang berlubang, namun bagi Aisyah, kekacauan ini terasa melegakan.
Akhirnya dia pulang. Empat puluh hari menjalani Kuliah Kerja Nyata di desa terpencil tanpa sinyal dan listrik yang memadai rasanya seperti satu dekade. Satu per satu teman kelompoknya turun dari bus. Wajah-wajah lelah itu seketika cerah begitu melihat jemputan masing-masing. Ada tawa renyah saat koper-koper besar berpindah tangan ke bagasi mobil orang tua atau pacar yang sudah menunggu. Aisyah hanya berdiri diam di pinggir trotoar sambil memeluk tas ranselnya yang lusuh. Dia merapatkan gamis panjangnya yang sedikit berdebu, lalu memperbaiki letak cadar hitam yang menutupi separuh wajahnya. Matanya yang teduh menatap nanar pada teman-temannya yang mulai melambaikan tangan perpisahan dari balik kaca mobil ber-AC. Hati kecilnya sedikit mencelos. Tidak ada mobil bagus yang menjemputnya. Tidak ada pacar yang membawakan tas beratnya. Ibunya harus menyelesaikan jahitan yang akan diambil nanti malam. Aisyah sadar diri, ongkos pulang harus dia atur sendiri. Tangannya merogoh saku, menghitung sisa lembaran uang yang lecek. Kalau naik ojek pangkalan, dia harus merelakan jatah makan dua hari. Kalau jalan kaki lewat jalan raya utama, butuh waktu empat puluh lima menit sampai betisnya mungkin akan meledak. Aisyah menoleh ke arah gang sempit di sisi timur pasar. Jalan pintas. Lorong itu memang kumuh dan jarang dilewati orang saat sore menjelang maghrib begini. Bangunan tua bekas gudang pabrik tekstil mengapit di kanan kirinya, membuat cahaya matahari sulit masuk. Tapi lewat sana hanya butuh lima belas menit untuk sampai ke rumah. Lima belas menit yang akan menyelamatkan kakinya yang sudah gemetar kelelahan. Bismillah. Gadis itu memantapkan hati. Dia melangkah cepat memasuki mulut gang. Udara di dalam sana terasa lembap dan berbau pesing, bercampur dengan aroma sampah basah yang menyengat. Aisyah mempercepat langkahnya, setengah berlari kecil. Suara langkah kakinya menggema pelan, dipantulkan oleh tembok-tembok kusam yang penuh coretan. Namun langkahnya terhenti mendadak di tikungan kedua. Di sana, tepat di depan gundukan sampah kardus, tiga orang pria bertubuh kekar sedang menghajar habis-habisan seorang pria muda yang sudah tersungkur di tanah. Suara hantaman benda tumpul terdengar mengerikan. Bugh. Bugh. Disusul erangan tertahan yang menyayat hati. Darah segar mengucur dari pelipis pria malang itu, membasahi kemeja putih mahal yang kini sudah berubah warna menjadi merah dan cokelat tanah. Itu Keinan. Seorang direktur muda yang sedang menjadi pelampiasan sakit hati lawan bisnisnya, setelah dia berhasil menggenggam proyek besar. Naluri Aisyah berteriak untuk lari, berbalik arah dan mencari bantuan. Tapi melihat salah satu preman itu mengeluarkan balok kayu dan bersiap mengayunkan ke kepala korban, mulut Aisyah bergerak lebih cepat daripada akalnya. "Berhenti! Tolong! Ada polisi!" teriak Aisyah sekuat tenaga, berharap gertakan itu berhasil. Hening sejenak. Gerakan tangan preman itu terhenti di udara. Ketiga pria berwajah beringas itu menoleh serentak ke arah sumber suara. Keinan, dengan sisa kesadarannya, membuka mata yang bengkak dan menatap ngeri pada sosok kecil bercadar di ujung gang. Dia menggeleng lemah, mencoba memberi isyarat agar gadis itu lari. “Hei, kau. Jangan di sini. Jangan ikut campur.” Tapi terlambat. Salah satu preman yang memiliki tato naga di lehernya menyeringai lebar. Gigi kuningnya terlihat menjijikkan saat dia membuang balok kayu di tangannya dan mulai berjalan mendekati Aisyah. "Wah, lihat siapa yang datang. Tuan Putri nyasar rupanya," ucapnya dengan nada yang membuat bulu kuduk Aisyah meremang. Aisyah mundur selangkah, kakinya tersandung batu kerikil. Jantungnya berdegup gila-gilaan, seakan ingin merobek rongga dadanya. Belum sempat dia berbalik untuk kabur, dua preman lainnya sudah mengepung dari sisi belakang. Jalan keluar tertutup. "Jangan mendekat!" Aisyah menjerit, suaranya bergetar hebat. "Suaranya bagus juga. Gimana kalau kita dengar desahannya?" Detik berikutnya adalah neraka. Tangan-tangan kasar itu mencengkeram lengan Aisyah, menarik tubuh mungilnya hingga terhempas ke dinding beton yang dingin. Aisyah memberontak, mencakar, menendang sekuat tenaga, tapi tenaganya tidak sebanding. Gamis panjangnya ditarik paksa. Suara kain robek terdengar begitu nyaring di telinga Aisyah, lebih menyakitkan daripada pukulan fisik manapun. Keinan melihat semuanya. Dari posisinya yang terkapar tak berdaya di tanah, dia menyaksikan pemandangan yang akan menghantuinya seumur hidup. Gadis yang berniat menolongnya itu kini menjadi tumbal. "J-jangan …" Keinan berusaha bangkit, mengerahkan seluruh sisa tenaga untuk merangkak. Jemarinya yang penuh darah menggaruk tanah, berusaha menggapai kaki para bajingan itu, berusaha menghentikan kegilaan ini. Tapi sebuah tendangan keras mendarat di rusuknya, membuat Keinan kembali terlempar dan memuntahkan darah. Pandangannya mulai kabur, berbayang, dan berputar. Dunia di sekelilingnya terasa melambat. Dia melihat Aisyah dijatuhkan ke tanah. Dia melihat gadis itu menangis histeris saat pertahanannya satu per satu dilucuti. Cadar yang menutupi wajahnya tersingkap kasar, memperlihatkan wajah ketakutan yang begitu cantik namun penuh penderitaan. Air mata Aisyah mengalir deras membasahi pipi, matanya menatap lurus ke arah Keinan. Tatapan itu bukan tatapan menyalahkan, melainkan tatapan memohon pertolongan yang amat sangat. Tatapan keputusasaan dari seseorang yang tahu bahwa harga dirinya sedang dihancurkan di depan mata orang lain. Tangan Keinan terulur gemetar di udara, berusaha menggapai Aisyah yang hanya berjarak beberapa meter namun terasa sejauh ribuan kilometer. Dia ingin berteriak, dia ingin membunuh mereka semua, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. "Maafkan saya," batin Keinan menjerit pilu. Pemandangan terakhir yang direkam retina mata Keinan sebelum kegelapan total merenggut kesadarannya adalah wajah Aisyah yang meringis menahan sakit luar biasa, dengan air mata yang terus meleleh jatuh ke tanah yang kotor. Lalu semuanya menjadi gelap."Aisyah Humaira," gumam Keinan membaca nama yang tertera di sana tanpa menatap orangnya. "Lulusan Sarjana Ekonomi dengan predikat Cumlaude. IPK 3.8. Prestasi akademik nyaris sempurna."Keinan meletakkan kertas itu ke meja, lalu menatap tajam tepat ke manik mata Aisyah."Pertanyaan saya sederhana. Kenapa orang secerdas kamu melamar menjadi tukang pel di perusahaan saya? Apa kamu sedang merendahkan perusahaan saya, atau sedang merendahkan diri kamu sendiri?"Aisyah menelan ludah yang terasa pahit. Pertanyaan itu menohok harga dirinya, tapi dia tidak punya pilihan selain jujur. Kebohongan tidak akan memberinya makan."Saya tidak bermaksud merendahkan siapapun, Pak," jawab Aisyah pelan namun tegas. "Saya melamar karena saya butuh pekerjaan. Apapun itu. Ijazah dan nilai bagus di kertas itu tidak laku di tempat lain karena penampilan saya dan reputasi saya.""Reputasi?" pancing Keinan, pura-pura tidak tahu.Aisyah menunduk, menatap ujung sepatunya yang kusam."Saya baru saja dipecat dari bu
Layar ponsel retak milik Aisyah menyala redup menampilkan sebuah poster digital yang dibagikan di grup Facebook pencari kerja. Mata Aisyah membelalak membaca tulisan berwarna merah mencolok di bagian bawah poster tersebut.WALK-IN INTERVIEW. Posisi, Office Girl & Cleaning Service. Penempatan, Wijaya Tower. Batas akhir. HARI INI pukul 14.00 WIB.Aisyah melirik jam dinding tua di kamarnya. Pukul satu siang. Dia hanya punya waktu satu jam untuk menembus kemacetan Jakarta dan menyerahkan nasibnya di sana."Bu, Aisyah berangkat dulu! Ada lowongan yang tutup hari ini!" teriak Aisyah sambil menyambar map cokelat yang selalu siaga di atas meja belajarnya, semenjak dia selesai dengan kuliahnya. Meskipun harus meninggalkan banyak syarat yang belum terpenuhi untuk menebus ijazah asli yang masih tertahan di universitas. Tak apa, setidaknya Aisyah lega bisa selesai dengan baik di tengah gempuran masalah hidup yang dia alami. Bu Nur muncul dari dapur dengan wajah cemas. "Lho, Nduk. Kamu belum maka
Belum cukup sampai disitu kesialan yang dialaminya. Dengan langkah gontai Aisyah melangkah. Gadis itu berdiri di depan sebuah butik muslimah yang cukup besar di pusat perbelanjaan. Butik Annisa, tempatnya mengais rezeki selama setahun terakhir sebagai pramuniaga paruh waktu di sela-sela kuliahnya.Aisyah merapatkan cadarnya, menarik napas dalam untuk menenangkan gemuruh di dadanya. Dia butuh uang. Sangat butuh. Ancaman Bryan tentang hutang lima ratus juta itu berdengung di telinganya sepanjang malam seperti lebah yang marah.Dia mendorong pintu kaca. Lonceng kecil di atas pintu berbunyi kling, menyambut kedatangannya.Di balik meja kasir, Bu Rina, pemilik butik yang biasanya ramah, mendongak. Senyum yang biasa terulas di wajah wanita paruh baya itu lenyap seketika saat mengenali sosok berpakaian serba hitam yang masuk."Assalamualaikum, Bu Rina," sapa Aisyah pelan, suaranya terdengar ragu.Bu Rina tidak menjawab salam itu. Dia justru meletakkan majalah yang sedang dibacanya dengan kas
Suara motor sport berhenti di halaman depan rumah, disusul ketukan pintu yang bersemangat. Aisyah yang sedang melipat mukena setelah sholat Ashar terlonjak kaget. Dia mengenali suara itu. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena rindu, melainkan karena ketakutan yang mendadak menyergap."Assalamualaikum! Aisyah! Bu Nur!"Itu suara Bryan.Aisyah meremas jemarinya yang dingin. Dia menatap pantulan dirinya di cermin lemari. Wajahnya masih pucat, dan ada bekas lebam samar di sudut bibir yang tertutup cadar. Dia menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang dia punya. Cepat atau lambat, dia harus menghadapinya.Dengan langkah berat, Aisyah keluar kamar menuju ruang tamu. Di sana, Ibunya sudah membukakan pintu. Bryan masuk dengan senyum lebar, tangannya memanggul sebuah kardus besar berwarna cokelat yang terlihat berat."Waalaikumsalam, Nak Bryan. Tumben sore-sore mampir, nggak bilang dulu," sapa Bu Nur ramah, berusaha menutupi kegugupannya melihat kondisi putrinya






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.