"Ibu, bajunya bagus sekali. Ibu jadi cantik dan wangi. Hhuumm.... " Anak lelaki kecil itu terus memeluk ibunya dengan erat sambil tersenyum begitu lama. Nampak sekali ia bahagia dan terpesona dengan bentukan ibunya yang baru. Kuakui dengan berganti pakaian dan menumpang sholat di masjid, wajahnya tidak sekucel seperti awal.
"Izzam, ikut Om beli mainan yuk! Ibu mau bicara dulu sama Ayah Dhuha." Hakim yang sudah aku beritahu apa tugasnya, langsung bergerak cepat. "Iya, Om." "Adik Izzam siapa namanya, Mbak?" tanyaku. "Intan, Mas." "Umur?" "Setahun setengah." Aku memandangi wajah kecilnya yang tengah terlelap beralaskan kain gendongan. "Mbak mulung, Anak-anak ditinggal berdua saja?" ia mengangguk. "Kasihan kalau dibawa dua-dua. Tapi memang saya mulung gak jauh-jauh, Mas. Saya dua kali pulang kalau pergi mulung dari jam tujuh pagi sampai jam dua belas." Aku mengangguk paham. "Ayahnya anak-anak ke mana?" "Udah gak ada." "Meninggal?" ia mengangguk. "Usia kamu berapa?" tanyaku lagi. "Tiga puluh satu tahun dua bulan lagi." "Oh, berarti kamu lebih tua. Aku dua puluh sembilan. Terus, bagaimana bisa kamu malam-malam ada di kamar mandi masjid dan di toilet cowok?" "Oh, i-itu, Mas, s-saya ke kamar mandi yang cewek, emang mau numpang mandi, tetapi air di sana mati. Jadi karena kamar mandi cowok sepi, saya pindah. Saya lupa kalau belum kunci pintu. Maaf ya, s-saya sempat lihat waktu Mas nurunin celana." Aish! "Kamu salah lihat! Jangan ngaku-ngaku, begini, hari ini opa saya dan mama saya, juga keluarga besar mengetahui kalau saya sudah menikah dan mereka ingin bertemu istri saya. Pernikahan kita semalam memang aneh, saya tahu itu, tapi untuk sementara, kita harus benar-benar berlakon seperti suami dan istri sungguhan. Namun, mereka gak tahu kalau Mbak janda anak dua, jadi... nanti kalau mereka nanya apapun, biar saya yang jawab, paham!" "Ya sudah, habiskan makannya. Nanti Izzam dan Hakim juga balik. Oh, iya, itu tadi Hakim, sahabat sekaligus sepupu saya dari pihak almarhum papa. Jadi memang dekat. Gak usah takut." "Baik, Mas." Tidak lama, Hakim kembali membawa mainan bersama Izzam. Anak lelaki kecil itu langsung makan nasi yang sudah dipesan tadi. Makannya seperti orang buka puasa. Lahap dan tanpa bicara. Aku hanya bisa tersenyum melihat adegan yang tidak pernah ada dalam mimpiku. Apalagi wanita sederhana di depanku saat ini adalah istriku. Dahulu, saat masih kuliah, aku bermimpi bisa menikahi Luna, sang Bintang kampus. Pacaran setahun, akhirnya ia kuliah ke luar negeri. Padahal aku sangat ingin menghalalkannya begitu aku lulus kuliah. Sejak saat itu, aku jarang sekali pacaran. Hanya dengan Salsa dan Niken, itu pun hanya dua dan tiga bulan. Sekarang ditambah akan dijodohkan dengan Monik, tentu saja aku gak mau. Meskipun dari keluarga terpandang, tetapi aku gak suka. "Bos, kita udah sampai di rumah sakit. Di sebelah mobil Om Fauzan dan Tante Iin." Hakim menunjuk mobil yang parkir persis di samping mobilku. "Anak-anak di sini saja dulu, gue takutnya malah gaduh di dalam sana. Opa baru baikan. Bisa kena serangan jantung lagi kalau opa tahu, lu nikah sama janda anak dua," saran Hakim saat kami berdua melihat ke belakang dan mendapati Izzam serta adiknya tengah tertidur sangat pulas. "Benar juga ide lu, Kim. Ayo, Mbak Aini, kita naik ke dalam. Biar Hakim di sini nungguin anak-anak." "Baik, Mas." Aku berjalan bersama dengan mbak Aini, saat akan masuk ke dalam lift, aku menghentikan langkah wanita itu. "Mbak ke kamar mandi, cuci tangan lagi. Maaf, soalnya nanti kita harus pegangan tangan saat di kamar opa saya." "Oh, baik, Mas. Saya cuci tangan dulu." Aini menurut. Ia berjalan masuk ke kamar mandi. Aku menunggu dengan sabar sampai akhirnya ia keluar lagi dengan menujukan tangannya. Ya ampun, aku yakin sekali tangannya kasar. "Ayo, nanti pegangan tangannya saat kita mau masuk ke kamar perawatan opa saya." Aini kembali mengangguk. Kami pun naik lift. Kamar VVIP ada di lantai tiga rumah sakit. Semakin dekat dengan pintu kamar itu, detak jantungku semakin tidak karuan. "Siap ya, Mbak. Kita pegangan tangan." Aku menggenggam tangan istri jadi-jadianku dengan tegang dan benar-benar seperti tebakanku, bahwa tangannya sangat kasar. "Maaf, kalau tangan saya kasar ya, Mas," ujarnya setengah berbisik. Aku tak menjawab, tetapi langsung menekan kenop pintu kamar perawatan opa. "Opa, Mama, om, dan Tante, ini saya sudah bawa i-istri saya," kataku dengan sekali tarikan napas. Aku terlalu kuat menggenggam tangan wanita itu untuk mengurangi rasa gugupnya. Semua mata memandang ke arah kami, lebih tepatnya ke arah Aini. "Assalamu'alaikum, Opa, Mama, om dan tante lainnya. S-saya Aini." Wanita itu tersenyum ramah memperkenalkan diri. "Oh, iya, sini masuk!" Opa meminta kami mendekat ke arah brangkarnya. Aini menyalami satu per satu keluarga besarku yang ada di ruangan ini. "Siapa nama kamu tadi?" tanya opa. "Aini, Opa." "Umur?" "Tiga puluh satu tahun." "Wah, kamu lebih tua dari Dhuha kalau begitu. Dhuha dua puluh sembilan tahun." "Opa tahu saya suka sama yang lebih tua. Buktinya saya bisa jadi bestinya Opa," komentarku sambil ikut tersenyum. Pria berusia tujuh puluh tahun itu pun ikut tersenyum. "Jadi, keluarga kamu ada di mana? Ayah kamu punya usaha apa?" "Opa, Aini orang sederhana saja. Ayah dan ibunya sudah meninggal. Saya dan Aini kenal di sebuah restoran." "Wah, keren, Aini kelola restoran peninggalan orang tua ya? Bagus, bagus, yang beginian juga gak papa. Opa senang. Nanti kalian bisa segera bikin pesta pernikahan untuk mengundang semua relasi dan saudara. Opa setuju dan suka dengan pilihan kamu, Dhu." Aini melirikku dengan takut-takut. Namun, aku menggerakkan tangannya yang kasar yang masih dalam genggamanku. Dengan maksud mengatakan bahwa ini akan baik-baik saja dan ia tidak perlu takut. "Kenapa pernikahan kalian harus disembunyikan?" tanya om Fauzan. "Aini malu karena kita keluarga besar, sedangkan dia orang bisa yang ayah ibunya sudah gak ada, Om. Jadinya kami menikah diam-diam. Saya juga takut kalau gak direstui opa dan mama, makanya, udahlah, nikah aja dulu." "Oh, gitu, udah berapa lama kalian menjadi suami istri?" kali ini Tante Ara yang bertanya. "Baru seminggu. Ya, baru seminggu," jawabku. "Oh, alah, masih pengantin baru. Udah sana balik, kelonan lagi. Biar cepat kasih cicit buat Opa." Opa tertawa setelah berhasil membuatku malu. Kelonan katanya? Aku sepertinya tidak akan menyentuh Aini karena aku gak bisa. "Mama ikut, Mama juga mau balik. Kamu bawa mobil kan, Dhu? Mama ikut di mobil kamu aja."Hari itu, matahari bersinar lembut, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang memenuhi hati Aini dan Dhuha. Kabar kehamilan Aini menjadi hadiah yang tidak pernah mereka sangka akan datang secepat ini. Setelah bertahun-tahun penantian dan berbagai ujian, akhirnya doa mereka terjawab.Setelah meninggalkan klinik, Dhuha tidak henti-hentinya menggenggam tangan Aini. Tatapan matanya penuh dengan cinta dan rasa syukur.“Aku masih tidak percaya, Sayang,” gumamnya sambil mencuri pandang ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya di dalam mobil.Aini tersenyum, meski air matanya belum benar-benar kering. “Aku juga, Mas. Sepertinya Allah benar-benar ingin menguji kesabaran kita sebelum akhirnya memberikan anugerah ini.”Dhuha mengangguk. “Dan kamu lulus ujian itu dengan begitu sabar dan tulus.”Aini menatap suaminya. “Bukan cuma aku. Kita berdua.”Sesampainya di rumah, Dhuha langsung menghubungi keluarganya. Maria awalnya tidak percaya, tapi saat Dhuha menunjukkan foto USG Aini, maka wanita paruh b
Ria berdiri tidak jauh dari meja mereka, mengenakan blouse berwarna pastel dan rok panjang yang anggun. Wajahnya tampak terkejut, tetapi segera berubah menjadi senyum hangat saat ia mendekat."Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini," katanya sambil menarik kursi kosong di samping Aini.Dhuha hanya mengangguk kecil. Ia masih merasa canggung setiap kali bertemu Ria, mengingat alasan keberadaan wanita itu dalam hidup mereka. Sementara itu, Aini mencoba tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan tak nyaman yang berputar."Kak Aini, bagaimana kabarmu?" tanya Ria, nada suaranya lembut dan penuh perhatian."Baik, meskipun sedikit tidak enak badan hari ini," jawab Aini sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Dhuha menatap istrinya dengan cemas. "Kalau masih merasa pusing, kita pulang saja, Sayang. Istirahat lebih penting."Aini menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku justru senang bertemu Ria di sini."Mata Ria menatap Dhuha dan Aini bergantian. Ia bisa merasakan ketegangan yan
Sore itu, langit menguning keemasan, memberi nuansa hangat yang kontras dengan perasaan Dhuha yang penuh beban. Ia melangkah menuju rumah besar yang sudah sejak kecil ia tinggali, rumah tempat ibunya, Maria, menunggunya dengan segudang pertanyaan yang selalu ia hindari."Duduklah, Nak," Maria mempersilakan putranya duduk di kursi teras yang nyaman. Di hadapannya, teh melati mengepul, menebar aroma menenangkan. Namun, Dhuha tahu, pembicaraan kali ini tidak akan senyaman teh itu."Apa kabar, Ma?" tanya Dhuha, mencoba mencairkan suasana. Pria itu membuka sepatunya, sekaligus melepas dua kancing kemeja abu-abunya paling atas. "Mama sehat, kamu minum dulu!" Dhuha mengangguk. Mengambil teh melati yang aromanya sangat sedap itu. "Mama bikin pisang goreng?" "Bukan, bibik yang masak. Kamu cuci tangan dulu sana, kalau mau makan pisang goreng." Dhuha mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia mencuci tangan di wastafel ruang tengah. "Keliatannya Mama sehat, ada apa Mama panggil aku ke
Aini meraih tangan Alex dan menjabatnya pelan. Kesepakatan ini mungkin bukan yang terbaik baginya, tapi setidaknya ini adalah langkah awal untuk bisa kembali dekat dengan anak-anaknya."Terima kasih, Mas," ucapnya dengan suara nyaris berbisik.Alex mengangguk tanpa ekspresi, sementara Zita masih menampilkan senyum ramahnya. Dhuha yang duduk di samping Aini tetap tenang, meskipun tatapannya sesekali bergeser pada Zita, menilai bagaimana wanita itu bersikap."Kapan aku bisa mulai bertemu mereka?" tanya Aini hati-hati.Alex menatap Zita sejenak, seolah meminta pendapatnya."Bagaimana kalau akhir pekan ini? Hari Sabtu setelah makan siang? Kita bisa bertemu di taman dekat rumah," usul Zita."Anak-anak pasti senang sekali," tambahnya masih dengan senyum yang sama. Aini tersenyum lega. "Baik, aku akan datang."Percakapan pun berlanjut dengan membahas hal-hal ringan mengenai kegiatan anak-anak. Zita dengan santai bercerita bagaimana Intan kini semakin menyukai menggambar dan Izzam mulai tert
Mobil sedan hitam itu berhenti di halaman rumah besar dengan taman yang tertata rapi. Anton menatap bangunan megah itu dengan napas berat. Sudah lebih dari sebulan Amel tinggal di sini, di rumah orang tuanya, meninggalkan rumah mereka yang seharusnya menjadi tempat membangun kebahagiaan bersama.Anton turun dari mobil, mengetuk pintu dengan sedikit ragu. Tak lama, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu.“Masuklah, Mas. Mbak Amel ada di ruang tamu,” katanya dengan sopan.Anton melangkah masuk, mendapati Amel duduk di sofa, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sejujurnya, ia sudah mengira istrinya akan bereaksi seperti ini.“Assalamualaykum, Amel…” Anton membuka suara, suaranya bergetar. Kakinya melangkah pelan, sesekali melirik ruang tengah yang besar itu teramat sepi. Amel duduk di depan televisi dengan tatapan kosong. "Amel," panggil Anton lagi. Amel menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya tanpa minat. “Ada perlu apa datang ke sini?” tanya wanita itu sinis. Anton m
Pagi harinya, Aini bangun dengan tubuh lebih segar, meski pikirannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Setelah menunaikan salat subuh berjamaah dengan Dhuha, ia menyiapkan sarapan sederhana berupa roti panggang dan omelet.Dhuha duduk di meja makan sambil menggulir layar ponselnya. Sesekali ia menatap Aini sambil tersenyum. "Aku selalu senang kalau lihat rambut kamu basah." Aini yang sedang mengangkat roti dari panggangan, langsung menoleh ke belakang. "Dih, dingin tahu!" balasnya sambil tersipu malu. Malu bila ingat kejadian semalam, ia yang terlalu bersemangat sampai mereka berdua jatuh dari ranjang. Suara tawa Dhuha menggema. "Tapi aku suka sama yang semalam. Boleh diulang dia hari lagi ha ha ha.... ""Emmoh!" Aini menaruh piring yang sudah ada roti panggang coklat di depan suaminya. "Diulang gerakannya, bukan jatohnya, ha ha ha... huk! huk!""Makanya jangan iseng, jadinya tersedak!" Aini memberikan air putih pada suaminya. "Maaf, Sayang, kenapa sih, aku selal