Seseorang datang, terperangah dengan kaki membeku. Mulutnya ternganga dengan kedua tangan menangkupnya. Ia berdiri tepat di kaki Ibnu yang masih tidak sadarkan diri.
“Tttttt-tolonggg ...!” Wanita sekitar dua puluh tahunan itu berteriak. “T-tolong!”
Menit kemudian keadaan masih sepi tanpa seorang pun yang datang. Setelah menetralkan keterkejutannya, wanita itu berlari menuju ke rumah Pak Rt setempat.
Lalu sepuluh menit kemudian, Ibnu sudah sadarkan diri dan meringis kesakitan. Perlahan, ia menggeser tubuhnya ke tepi jalan. Menyenderkan pundaknya di tembok rumah kosong, sepertinya.
“I-itu, Pak!” kata seorang perempuan yang menemukan Ibnu, menunjuk. “Dia sudah sadar, sepertinya.”
Pak Rt yang melihat Ibnu langsung mendekat melihat kondisi Ibnu. “Adek, kenapa?”
Tak mendapat jawaban, Pak Rt dan satu warga lainnya membopoh Ibnu, membawanya ke rumah Pak Rt untuk penanganan pertama.
Di dalam rumah yang tidak terlalu besar, Ibnu berbaring di at
SELEPAS ISYA, setelah Ibnu memberi tahu rencananya pada Said, ia pamit pergi pada ibunya. Walau dilarang dan dihalang-halangi, Ibnu justru menerobos dengan mata menyorot tajam pada ibunya sendiri.Wanita itu tak bisa apa-apa selain melepas buah hatinya pergiIbnu berjalan keluar, menghentikan angkot kemudian menaikinya cepat-cepat. Ia begitu tidak sabar ingin segera memukul bagian kemaluan Zein, seperti yang dilakukan orang suruhannya.Setengah jam ia sampai di perempatan jalan. Menengok ke sisi kiri dan kanan, kemudian ia turun dari angkot dan memberi selembar uang.Gelap. Di daerah itu memang jarang ada lampu penerang jalan. Ibnu melangkah hendak menyebrang. Tapi ...BRUKKK ... Seseorang memakai helm menubruknya kencang-kencang dengan motor. Ibnu terpental beberapa meter dari lokasi. Tubuhnya menggelinding di jalan aspal.“I-ibu ....”Gamer’s king itu terengah-engah, sekarat. Wajahnya berlumuran darah tak berupa. C
“Di mana ada pertemuan, kita pun akan menjumpai sebuah perpisahan. Dan rasa sakit karena kehilangan, seharusnya menjadi cambuk untuk melanjutkan perjuangan.”***Malam semakin larut, tapi Nafisa belum juga melahirkan bayi yang diharapkannya. Bayi yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup saat tenggelam dalam tekanan batin. Ia hanya terus mengerang kesakitan, mengejan setiap kali terjadi kontraksi yang mengencangkan perut serta otot-ototnya. Membuat kaki yang semula menekuk seperti orang tengah berjongkok lurus seketika, menegang seiring jempol dan telunjuk bertaut. Barulah setelah hilang rasa sakit di perut, otot-ototnya melerai lagi. Ia tergolek lemah di tengah-tengah isak tangisnya.“Aa bangga padamu, Neng. Semangatlah.”Arzan berbisik seraya mengusap kening. Suasana di dalam ruang persalinan tersebut membuatnya kepanasan, semakin berkeringat karena perasaan cemas yang sedari tadi kem
Setelah beberapa waktu tak sempat pergi ke pemakaman karena sibuk bekerja, Arzan pun akhirnya berangkat hari itu juga tanpa ditemani siapa pun. Dia memang sengaja ingin pergi seorang diri, setelah terakhir kali pergi bersama keluarga juga anaknya. Selain karena ingin khusuk saat mengirim doa, lelaki berambut cepak itu pun ingin mencurahkan seluruh kerinduannya dalam setiap untaian kata.Dinyalakannya mesin motor yang biasa Arzan pakai untuk membonceng Nafisa ke mana pun. Lantas, ia lajukan motornya itu sehingga keluar dari halaman rumah sang Ibu. Ya, setelah sebelumnya mengontrak rumah sederhana dengan Nafisa, Arzan pun memilih untuk kembali tinggal dengan orang tuanya untuk bisa menitipkan Razan saat ia pergi ke pasar. Lagi pula, keluarga Nafisa benar-benar menyerahkan anaknya itu sebagai pengganti Nafisa.Di sepanjang jalan, isi pikiran Arzan dipenuhi oleh kenangan-kenangan bersama Nafisa. Mulai dari bagaimana dirinya bisa be
“Harta ataupun rupa tidak selalu menjadi tolak ukur manusia, pada siapa mereka akan tanamkan rasa.”*****“Gimana kalau pernikahan anak kita segera dilaksanakan, Bu Mariam?”Laksmi, ibu dari tiga anak lelaki dan satu perempuan itu mengajukan usul setelah beberapa menit duduk berdua di ruang tamu dengan Mariam, ibu dari satu anak lelaki dan dua anak perempuan.Sebenarnya, ini bukan kali pertama Laksmi mendatangi rumah mewah berlantai dua itu. Sudah sering sejak terjalinnya hubungan antara anak mereka beberapa bulan yang lalu. Namun, keluarga Mariam belum juga menyanggupi apa yang dia ingin perihal kapan dilaksanakannya pernikahan.Hening. Ruang tamu berukuran 4x4m itu seolah senyap, sampai hanya terdengar suara kipas duduk menyala yang terletak di samping lemari kaca berisi pernak-pernik berbentuk hewan dari keramik. Mariam menghela napas sambil beringsut, tapi belum juga membuka mulut setelah beberapa detik Laksmi me
“Lelaki sejati tak kan pernah merasa takut, atau mundur saat mendapatkan ancaman. Entah itu berupa kekerasan, ataupun hanya sekadar pertanyaan yang menyudutkan pilihan.”***Arzan berdiri tegak di depan sebuah cermin yang memantulkan seluruh badan. Sambil menyisir rambut berantakannya ia tersenyum lebar, lalu mengatur napas agar tak terlalu tegang saat menjalani acara lamaran nanti. Aura positif kemudian terpancar, membuatnya semakin terlihat tampan dengan kemeja biru muda bertangan panjang yang ia pakai.“Nak,” panggil Mariam sambil membuka pintu. Dilihatnya anak lelaki yang ia sayangi itu menoleh sambil tersenyum. “Sudah siap?”“Ya, Bu. Insya Allah.”Arzan mengangguk antusias sebelum akhirnya berbalik badan membelakangi cermin, lalu melangkah cepat menghampiri Mariam yang masih berdiri di ambang pintu. Digandengnya tangan wanita paruh baya yang memakai
“Bukan hanya cinta yang akan membuat pernikahan kian sempurna. Akan tetapi tulusnya hati, untuk menerima setiap kekurangan pasangan.”Sudah dari tiga hari lalu kediaman Mariam ramai oleh orang-orang yang tak lain adalah para tetangga juga sanak saudara. Mereka sengaja datang untuk membantu mempersiapkan segala keperluan acara syukuran sebelum pernikahan. Mulai dari membuat berbagai jenis kue, termasuk bugis dan kue ali sebagai makanan khas di Jawa Barat. Setidaknya sampai tadi malam, saat acara syukuran selesai dilaksanakan.Namun sekarang, begitu pagi menjelang, keramaian bukan lagi karena harus membuat berbagai jenis makanan. Mereka sibuk mempersiapkan diri, memakai pakaian hasil sewaan dengan warna senada: Kebaya biru muda, dipadu padankan dengan kain sinjang batik cokelat yang menyerupai rok setumit.Farhat dan Mariam saling membantu saat merapikan pakaian. Begitu juga Fitri dan Aisyah yang saling memoles wajah dengan setu
“Alhamdulillah, Neng,” kata Tania, Kartika dan Kholiefah bersamaan di dalam kamar pengantin, begitu mendengar acara ijab qabul selesai dilaksanakan. Mencipta senyum dari bibir tipis Nafisa yang sedari tadi menunggu dengan jantung berdebar tak keruan.Istri dari ketiga kakak Nafisa yang datang seminggu sebelum pernikahan itu merasa lega, ikut bahagia karena sekarang status Nafisa bukan lagi seorang gadis. Melainkan istri dari seorang Arzan, pemuda tampan asal kampung Neglasari. Satu per satu dari mereka pun memeluk Nafisa bergantian dari belakang, bahkan mencium kening sebagai tanda sayang.Nafisa yang masih merasa gugup meraih sebelah tangan Tania, istri dari Alvin, kakak tertuanya yang tinggal di kota Sukabumi dengan begitu erat. Ia menoleh dengan bibir terkatup rapat.“Sudah, sekarang kalian sudah sah, toh? Jadi, jangan gugup lagi.” Tania menenangkan sambil menumpukan sebelah tangannya di atas jemari Nafisa.“Iya. Coba senyum,” goda Kartika dan Kholiefah bersamaa
“Jatuh cinta adalah sesuatu yang menyenangkan. Tetapi akan menjadi rumit, kalau masalah kecil saja dipermasalahkan."***Adzan Subuh berkumandang, terdengar jelas dari masjid ke masjid, terlebih yang terletak di belakang rumah Laksmi. Menggema, menggetarkan langit di kampung Jati. Nafisa yang biasa bangun pukul tiga dini hari mengerjap-ngerjapkan mata. Ia terlambat bangun sampai buru-buru menyingkap selimut tebal yang membungkus tubuhnya semalaman seraya duduk bersila.Namun, melihat tidak adanya Arzan membuat ia bergeming barang sejenak. Di mana dia? Pikirnya dalam hati. Barulah setelah itu ia menoleh dan mengedarkan pandangan sembari mengikat rambut yang terlepas saat tertidur pulas. Dilihatnya Arzan tidur di lantai, meringkuk beralaskan kasur lantai yang biasa dipakai tidur saat cuaca panas.“Aa?” gumamnya heran, “kok, tidur di lantai?”Nafisa yang merasa bingung akhirnya beranjak t