Share

Setelah Malam Pertama

"K—kamu mau ngapain, Mas?"

Pertanyaan Naomi dibalas Adrian dengan pagutan kasar pada bibirnya. Adrian sama sekali tak memberinya kesempatan untuk melihat kamar, atau menarik nafas lega karena memiliki ruang kamar yang besar mewah. Pria itu malah memberondongnya dengan ciuman bertubi-tubi.

Butuh waktu beberapa detik hingga Naomi sadar kalau Adrian sedang menciumnya. Bola matanya sontak membelalak dengan nafas yang ngos-ngosan.

Astaga!

Ini pertama kalinya bagi Naomi. Bibir polosnya disentuh oleh pria. Bukan cuma sentuhan biasa, tapi pagutan kasar, lumatan, sesapan layaknya gula yang diserbu oleh ribuan semut. Rasanya bibir tipis Naomi akan bengkak sekejap lagi. Mana asupan udara tinggal sedikit di paru-parunya.

"Humfff—" Naomi mendorong dada bidang Adrian agar menjauh dan melepas pagutannya, jika tidak ingin ia mati kehabisan nafas. Tapi, semua itu sia-sia karena suaminya malah makin agresif, kembali menyatukan bibir, mendorong tengkuknya agar ciuman lebih leluasa dan dalam.

Adrian tetaplah Adrian, seorang pria dewasa yang telah cukup lama menyandang status duda. Yah, walau pernah beberapa kali mengikuti saran sahabatnya untuk one nigth stand dengan wanita bayaran, tapi mendapati daging segar di depannya, seekor kucing biasa saja tetap akan memangsa, bukan? Begitu juga seorang Adrian.

Apalagi saat suara lenguhan Naomi 'eugh' memenuhi ruang pendengarannya, membuat hasrat dalam dadanya makin bergejolak. Adrian makin tak sabaran hendak membawa miliknya menuju ke puncak kenikmatan bersama Naomi.

Peduli amat Naomi akan berpikir buruk tentangnya, yang penting malam ini dia bisa melepaskan hasrat kejantanannya.

"Mas, aku bisa mati kehabisan nafas," keluh Naomi dengan posisinya yang ditindih dari atas.

"Nggak ada orang mati karena ciuman apalagi malam pertama." Adrian menyeringai disela ciumannya. Ditatapnya penuh nafsu Naomi yang telah separuh terbuka, lalu dengan jemarinya Adrian membelai bibir merah yang telah pula membengkak seraya berbisik tepat di daun telinga Naomi, bikin gadisnya makin menggelinjang.

"Just calm down and enjoy it, baby."

Begitulah, hingga malam panas mereka berlalu sangat menggelorakan. Naomi tak pasti apa yang terjadi dengan dirinya, namun yang ia pasti tubuhnya merespon positif perlakuan Adrian.

Walau pertama kalinya harus menahan nafas, juga perih pada bagian inti hingga hentakan demi hentakan yang pria itu berikan serta sentuhan sensual pada bukit kembarnya membuat Naomi terbang melayang. Yang Adrian lakukan memang jauh dari kata lembut, melainkan dia seperti singa kelaparan, meraup daging segar di depan mata dengan beringas, tapi anehnya Naomi merasa keenakan. Desahan demi desahan yang lolos dari bibir mungilnya ialah bukti betapa dia juga menikmati malam panas itu.

Eugh!

"Nyonya, sudah bangun?"

Naomi melenguh seraya perlahan memutar badan demi memastikan pendengarannya. Suara seorang wanita dari arah belakang dan bayang-bayang gorden yang disibak hingga cahaya matahari masuk mengenai kelopak mata telah mengganggu tidurnya.

Berputar dan samar-samar melihat wajah seseorang, Naomi lalu mengerjap-ngerjap matanya. Apa wanita tua ini yang barusan bicara? Ah, Naomi tak bisa berpikir banyak karena rasa nyeri yang bersarang di kepala, belum lagi perih pada bagian bawahnya dan remuk seluruh badan. Seolah tadi malam itu, dia dibantai habis-habisan.

Di hadapannya berdiri seorang wanita umur kira-kira 50 keatas yang tampaknya membawakan nampan berisi susu hangat dan roti. Wanita itu tersenyum cerah ke arah Naomi.

"Nyonya, saya bi Inah, pembantu di rumah ini. Ini saya ada bawakan sarapan."

Melihat sarapan yang dibawa bi Inah, Naomi perlahan mengatur posisinya, duduk dengan menyandarkan punggungnya di ranjang. Eugh! Dia mengeluh karena tak bisa bergerak leluasa.

"Makasih banyak ya, bi. Tapi, besok-besok nggak usah antar ke kamar ya. Aku bisa ke dapur untuk sarapan kok."

Naomi memaksakan senyum seolah mengatakan dia baik-baik saja pada bi Inah. Namun, sebagai orang tua yang tentunya lebih berpengalaman, bi Inah paham posisi istri baru majikannya itu, apalagi di malam pertama setelah pernikahan.

"Iya, tadi sama Tuan, bibi disuruh antar langsung ke kamar, katanya Nyonya lagi susah jalan seharian ini."

Naomi refleks mendecak lidahnya, geram. Karena perbuatan siapa dia jadi susah bergerak seperti ini?

Melihat respon Naomi, Bi Inah menggeleng kepala seraya mengulum senyum senang. Sebagai orang yang telah bekerja lama di rumah Adrian, bi Inah ikut bahagia karena Tuannya akhirnya memiliki istri baru. Masih muda dan cantik lagi.

"Bibi permisi dulu, ya. Kalau Nyonya perlu apa-apa, telpon aja bibi dari telpon itu." Bi Inah menunjuk telpon rumah yang berada di atas nakas sebelum akhirnya beranjak meninggalkan kamar majikannya.

"Tunggu! Eugh—"

Bergerak sedikit saja perihnya minta ampun. Naomi meringis menahannya.

"Iya Nyonya? Ada perlu apa-apa lagi?" Bi Inah memandang Naomi dengan penuh tanda tanya.

"Nggak. Saya cuma mau nanya, Mas Adrian-nya mana?"

"Tuan sudah berangkat kerja dari tadi pagi, Nyonya."

Apa? Kerja? Bola mata Naomi terbelalak sempurna sampai ingin melompat keluar pula. Bisa-bisanya pria itu berangkat kerja padahal baru kemarin mereka melangsungkan pernikahan, walau pernikahan bukan atas dasar cinta. Bahkan setelah puas menyentuhnya tadi malam hingga badan Naomi jadi seremuk ini, pria itu pergi begitu saja tanpa ucapan apa-apa atau minta maaf sekalipun? Ck! Suami macam apa dia?

"Ya udah bi, makasih ya." Naomi pun membiarkan pembantunya itu pergi karena tidak ada yang ia perlukan atau tanya lagi. Ia sudah terlanjur kesal. Mau makan pun jadi malas. Padahal, perutnya lapar sekali. Kapan terakhir dia makan?

                                     ***

Siang harinya di kantor Kelana Group.

Adrian mematut berkas berisi angka-angka di meja kerjanya, demi mengalihkan pikiran dari Naomi. Bukan tanpa alasan Adrian pagi-pagi berangkat ke kantor padahal seharusnya dia masih dalam masa cuti, pun tidak ada pekerjaan darurat yang mengharuskan dia turun tangan. Semua demi menghindar dari istri barunya itu.

Tapi, niatnya tak berjalan semulus jalan tol, karena dalam pikirannya hanya ada bayang-bayang tubuh polos Naomi yang menari-nari. Gadis yang ia nikahi demi menghindar dari olok-olokan Marvin cs malah membuatnya gila bayang.

Sial!

Untuk kesekian kalinya dia mengumpat.

Dan yang lebih parahnya lagi, adik kecil di bawah sana juga ikut menegang hanya karena mengingat wajah merem-melek keenakan Naomi. Bikin kepalanya tambah berdenyut-denyut kalau tak segera dituntaskan.

Seolah kesialannya memang tak cukup sampai di situ. Ponsel pintar miliknya yang tergeletak begitu saja di meja malah berdering, menampilkan panggilan grup di aplikasi hijau. Dari siapa lagi kalau bukan Marvin cs.

"Ngapain lagi sih mereka?" Gigi Adrian bergemelutuk saking geramnya.

Sudah bisa Adrian tebak, kalau mereka ingin merecokinya soal malam pertama. Menyebalkan.

Setelah beberapa saat berbunyi dan tak diangkat oleh sang empunya, kembali ponsel itu berdering, menjerit minta diangkat. Adrian yang sudah tak sabaran, mengambil hendak melempar ketika matanya malah menangkap nama Tristan sebagai penelpon.

"Iya. Ada apa, Tris?" Cepat Adrian bertanya, khawatir ada hal penting yang ingin asistennya itu sampaikan. Mengingat beberapa hari ini, dia menugaskan Tristan untuk mengawasi pergerakan Elang.

"Bos, sekarang saya ada di depan rumah bos." Suara Tristan dari seberang telpon membuat alis Adrian berkerut heran.

"Ngapain kamu di sana?" Bukan mau melihat Naomi, kan? Ada-ada saja pikiran buruk Adrian. Ck.

"Elang pulang ke rumah, bos," terang Tristan.

Detik itu pula, bahkan tanpa sempat mematikan panggilan telpon, Adrian menyambar kunci mobilnya dan berlari tergesa keluar dari ruangannya.

                                  ***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status