Dengan sigap, anak buah juragan Dadang itu menarik paksa tangan Wina dan menyeretnya masuk.Aku sudah tak tahan lagi melihat penindasan terjadi di depan mataku. "Lepaskan dia!" teriakku lantang. Seketika pandangan mereka beralih ke arahku.Laki-laki yang yang bernama juragan Dadang itu pun menatap tajam ke arahku, kemudian tersenyum miring, senyuman yang lebih mirip di katakan seringai."Jangan ikut campur urusan kami, Bung." Juragan Dadang itu bangkit dan mengucapkan itu padaku."Tentu aku harus ikut campur," sahutku."Mas, saya ucapkan terimakasih atas sumbangan yang tadi Mas berikan, tapi Mas tak perlu ikut campur urusan kami." Bu Warsih ikut bicara."Lepaskan! Jangan kasar sama perempuan," desis Dimas tepat di samping telinga pengawal Juragan Dadang itu.Namun laki-laki tegap itu tetap bergeming, ia mencengkram erat tangan Wina. Hingga Wina meringis pasti ia merasakan sakit di pergelangan tangannya."Lepaskan dia! Aku bilang!" Lagi aku berkata lantang.Sontak wajah Juragan Dadan
Wina mengangguk. Sontak membuat wajah ibunya itu semakin murka."Tidak itu tidak mungkin. Kamu pasti bohong! Beraninya kamu membohongi Ibu?! Hah?!" bentaknya lagi."Wina tidak bohong, Bu," jawab Wina lemah.Cih!Juragan Dadang itu meludah sembarangan, wajahnya memerah, kemudian menoleh ke arah Bu Warsih, melihat tatapan juragan Dadang, Bu Warsih pun menciut."Kamu pikir, saya percaya dengan kata-kata kamu." Juragan Dadang itu meminta pembuktian ternyata."Saya punya buktinya, kami memang menikah di rumah sakit, Pak Wiryo yang meminta saya menikahi putrinya sebagai bentuk tanggung jawab atas kecelakaan yang terjadi, pak RT dan Ustadz Ghofur serta Pak Andi dan Pak Toni, juga sahabat saya Dimas ini yang menjadi saksinya, dan satu lagi, kami punya bukti tertulis untuk itu. Dimas tunjukkan surat bukti pernikahan itu padanya," titahku, tanpa menoleh sedikitpun ke arah Dimas, pandanganku tetap pada laki-laki arogan di depanku ini.Tanpa bersuara, Dimas mengambil secarik kertas itu dan mendek
Pov YunitaKepergian Mas Firman ke rumah makan cabang kali ini sungguh membuatku begitu khawatir, terlebih saat aku menerima kabar kalau Mas Firman telah menabrak seseorang di jalan, pikiranku semakin tak karuan.Hari ini rencananya Mas Firman akan pulang, tapi hingga sore menjelang, belum tampak batang hidungnya, terlebih Ibu yang datang sejak pagi tadi, kembali berbagai cercaan aku dengar dari mulut Ibu mertuaku."Mana ini, si Firman, kenapa belum sampai juga hingga sore begini?" Ibu tampak risau menunggu anak lelakinya pulang."Mungkin lagi di jalan, Bu. Kita tunggu semoga sebentar lagi Mas Firman sampai" sahutku. Ibu hanya melirik sinis ke arahku."Saya udah nggak sabar denger penjelasan dari dia, kenapa dia sampai mengusir Tania." Lagi Ibu terlihat kesal atas pengusiran Tania dari rumah ini."Pokoknya, saya nggak mau tau, kalau perlu Firman segera nikahi Tania, dia itu cantik, pinter, dan yang pasti dia pasti segera bisa kasih cucu buat ibu," desisnya dengan menekan kata-kata 'cu
"Bu, ini adalah rumah tangga Firman, cuma aku yang mengambil keputusan, jika Ibu ingin Tania tinggal di sini untuk teman Laras, silahkan Laras bisa ikut tinggal di kosan, menemani dia.""Firman! Jadi kamu mengusir Laras adik kamu? Iya?! Kamu semenjak nikah sama Yunita, kamu selalu melawan kata ibu.""Terserah apa kata Ibu, Firman Capek Bu. Firman mau istirahat." Hening.Sepertinya Mas Firman sudah naik ke atas meninggalnya obrolan yang terlihat belum ada ujungnya.Aku membuat dua cangkir jahe hangat untuk Mas Firman dan Ibu, berharap bisa menghangatkan di saat suasana sore yang mendung ini.Setelah semuanya siap aku membawakannya untuk Ibu yang masih duduk di ruang tengah."Ini minuman jahe, Bu. Untuk menghangatkan tubuh, karena di luar mulai gerimis." Aku meletakkan cangkir di atas meja. Ibu hanya diam, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya."Yunita tinggal ke atas dulu ya, Bu. Membawakan minuman untuk Mas Firman." Aku pun membalikkan badan hendak naik ke atas."Ini semua pasti ga
Satu Minggu sudah semenjak kepulangan Mas Firman dari rumah makan cabang. Saat kutanya bagaimana kronologi kejadiannya, Mas Firman bilang, kejadiannya begitu cepat, saat ia mengemudi tiba-tiba Pak Wiryo, laki-laki paruh baya itu menyebrang jalan tanpa menoleh kanan dan kiri, dan beruntung semua musibah yang terjadi pihak keluarga tidak membawanya ke polisi, aku pun tenang mendengarnya.Semenjak kepulangannya, Mas Firman jadi lebih sedikit pendiam, entah apa yang dipikirkannya, apa dia masih merasa bersalah atas kejadian itu? Entahlah setiap aku tanya, dia hanya berkata, tak ada apa-apa.Aku mencoba memahaminya, mungkin dia belum siap cerita apa masalah yang sedang dipikirkannya, aku pun tak ingin memaksanya."Mas, sarapan dulu, yuk. Aku udah siapin sarapannya," ucapku pagi ini, Mas Firman yang sedang mengancing kemejanya itu pun menoleh ke arahku. "Iya, Sayang. Hari ini kamu di rumah aja ya. Jangan terlalu capek. Pasti masih capek kan akibat kegiatan kita semalam, Hem?" Ucapan Mas Fi
"Ehm, Maaf Dim, maksudnya yang kamu bilang tadi apa ya? Mas Firman minta kamu bawa seorang cewek? Siapa?" tanyaku hati-hati, rasa penasaran memberanikanku untuk bertanya."Oh, hehe, maaf Yun, bukan siapa-siapa kok. Ehm ... itu, ehm ... cuma si Firman kasih ide buat aku deketin cewek, maklumlah aku kan lama jomblo, jadi Firman mau aku cepet-cepet cari cewek gitu, ehm... Hehe aku jadi malu kelamaan jadi jomblo." Terdengar tawa renyah dari seberang sana. Entah mengapa ada rasa ganjal dari penjelasan Dimas. Sedikit tak masuk akal."Oh, gitu. Makanya jangan lama-lama jomblo, nunggu apa lagi sih kamu, Dim. Udah mapan usia udah matang, segeralah cari istri," timpalku."Hehehe iya maunya sih, cari istri yang cantik, pinter, lembut, kaya kamu, haha." Aku hanya tersenyum menggeleng mendengar kelakarnya, Dimas memang orangnya suka bercanda, aku cukup kenal baik dengannya sebagai sahabat Mas Firman."Gampang buat kamu cari cewek cantik, pinter, dan lembut, Dim," jawabku. Memang benar Dimas seoran
Aku membuatkan secangkir kopi untuk Mas Firman, dan meletakkannya di meja ruang tengah, kemudian kembali naik ke atas.Aku membuka pintu kamar yang memang tak tertutup sempurna, Terlihat Mas Firman tengah menengadahkan tangan, usai melaksanakan salat Maghrib, terdengar doa yang ia lantunkan, meski lirih tapi masih terdengar jelas di telingaku, posisinya yang duduk membelakangi pintu membuatnya tak sadar jika aku sudah berada di kamar ini."Ya Allah, sungguh aku mencintai istri hamba, semua keadaan ini terjadi di luar kendaliku, hamba tahu tak sepantasnya mengabaikan Dia yang di sana. Sungguh aku belum mampu membagi hati dengan Dia, beri hamba kekuatan untuk menjalani semua ini, ya Allah." Suara Mas Firman terdengar bergetar, dengan napas berat.Mendengar doa yang diucapkan, membuatku sedikit bingung, siapa yang di maksud, 'Dia' Mas Firman menyebut Dia, membagi hati? Dia siapa?Aku masih berdiri berusaha mencerna setiap kata yang Mas Firman ucapkan dalam doanya.Beberapa detik berlalu
"Apaan sih Kak, aku baru juga pulang, Kakak udah marah-marah." Suara Laras terdengar tidak terima dengan apa yang di katakan Mas Firman, aku sendiri juga kurang tahu apa yang baru saja Mas Firman katakan.Mereka masih di depan rumah belum masuk ke dalam."Kamu itu perempuan, nggak pantes kamu begitu dekat dengan laki-laki, terlebih laki-laki itu bukan suami kamu, kamu harusnya malu, Laras!" ucap Mas Firman dengan nada meninggi.Laras melengos masuk ke dalam rumah, melewatiku begitu saja."Laras! Dengerin kalau Kakak lagi ngomong! Siapa laki-laki itu? Kenapa kalian sampe pulang bareng berboncengan dengan begitu dekat, bahkan dia berani cium pipi kamu, Mas nggak suka! Kamu itu perempuan, harus punya harga diri donk, Laras!" pekiknya lagi. "Kak, aku itu udah gede, nggak perlu Kakak nasehatin aku kaya gitu, dia itu fotografer di tempat kerja aku, Kak. Dia juga baik kok," sahut Laras enteng seraya menjatuhkan bobotnya di sofa."Kamu udah gede tapi makin susah di atur! Kakak cuma nggak mau