Mengapa rasa sakit ini melebihi rasanya sakit hati ketika putus cinta? Aku seakan tengah berlayar di lautan tenang tiba-tiba di terjang badai ombak yang begitu dahsyat hingga kapal yang kukemudikan terombang-ambing.Aku melajukan mobilku menuju ke pemakaman dimana Bapak beristirahat dengan tenang, teringat saat aku masih anak-anak dulu, Aku pernah di ajak Bapak ke pemakaman, namun aku yang masih kecil pun tak bertanya itu makam siapa, dan Bapak juga tak bicara apapun soal makam itu. Aku yang sejak kecil tak pernah kekurangan kasih sayang dari orang tua pun tak sedikitpun aku mengira akan seperti ini kenyataannya.Terlihat sepele, aku ternyata bukanlah anak kandung Ibu, tapi Ibu menyayangiku seperti anak kandungnya, tapi tetap saja hati ini terkoyak, ada rasa sakit menelusup ke dalam sini. Air mataku luruh begitu saja, di sepanjang jalan aku mengemudi. Sakit. Aku mengetahui kenyataan ini di saat Bapak sudah tiada, andaikan saja mereka menceritakan ini jauh sebelum Bapak pergi, mungki
"Firman! Gimana? Yunita sudah telat haid?" tanya Ibu mertua yang tengah menelpon Mas Firman, kebetulan panggilan teleponnya di loud speaker jadi aku bisa mendengarnya.Aku hanya menggigit bibir bawahku, meski aku tahu jawabannya, sampai kini aku masih belum juga hamil."Belum Bu! Ibu doain aja ya!" sahut Mas Firman seraya menatapku."Ibu rasa istrimu itu mandul Man! Kamu harus menikah lagi!" Degh!Perkataan Ibu membuatku tercekat, aku yang tengah merapikan tempat tidur pun terdiam seketika."Ibu! Ngomong apaan sih! Poligami itu bukan perkara mudah, salah-salah malah jadi dosa Bu!" Mas Firman mengusap kasar rambutnya."Kalau kamu merasa berat jika poligami, ya sudah ceraikan saja istrimu! Kamu pikir menikah hanya modal cinta saja itu cukup! Adanya anak itu juga penting Firman!" Terdengar suara Ibu begitu menggebu.Aku pun terduduk di tepi ranjang, membelakangi Mas Firman. Menatap ke arah luar jendela. Rasanya hatiku seperti tersayat."Bu! Sudah ya, ini Firman udah harus berangkat ke r
Apa kira-kira yang akan dikatakan Mas Firman, apakah ia akan mengiyakan ucapan ibunya? Aku terus menatapnya dengan suasana hati yang begitu sulit di jelaskan. Harap-harap cemas, akankah Mas Firman tetap teguh pada cintanya?"Bu, pernikahan kami juga baru berjalan tiga tahun, itu masih seumur jagung. usia kami juga masih muda, tentu masih banyak waktu dan kesempatan hingga waktu itu tiba, tak perlu lah ibu terus menerus menekan kami seperti ini." Mas Firman menjatuhkan bobotnya di kursi samping ibunya duduk. Ia berkata lembut memberi pengertian pada wanita yang juga begitu dicintainya.Aku melangkah ke dapur hendak membuatkan teh hangat untuk ibu mertuaku, rasanya tak sanggup berdiri lama-lama di sana mendengarkan semua cercaan yang beliau utarakan.Aku merebus air di dalam teko untuk menyeduh teh, aku hafal kesukaan ibu mertuaku, Beliau lebih menyukai teh bubuk daripada teh celup.Menunggu air mendidih, aku sejenak termenung, mengusap lembut wajah ini dengan kedua telapak tanganku, p
"Ehm, Kak Firman, kenalin ini temenku, namanya Tania. Tania ini kakakku, ganteng kan!" Laras memperkenalkan temannya itu, dengan gaya centilnya, gadis itu pun bangkit dan mengulurkan tangannya di hadapan suamiku, Mas Firman pun menerima uluran tangannya.Mas Firman hanya diam, meski Tania terlihat begitu lekat menetap Mas Firman. Hanya sekejap ia menatap ke arah Tania kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain."Saya, Yunita. Istrinya Mas Firman," sergahku cepat mengulurkan tangan, melihat Tania masih terus memandangi wajah suamiku, tentu aku merasa gerah melihatnya."Ah, iya Kak Yunita, saya Tania, teman seprofesi dengan Laras." Aku mengangguk dan tersenyum tipis. Kami berjabat tangan. Kemudian ia kembali duduk."Yunita, sana kamu bikinin minum. Masa ada tamu gini di diemin aja." Ibu tiba-tiba bersuara saat kami semua sedang duduk. Suaranya terdengar seperti memerintah.Bahkan di saat ada orang lain pun, Ibu tetap menunjukkan sikap tak sukanya padaku. Tak bisakah barang sedikit sa
Setelah selesai makan malam, Mas Firman langsung beranjak naik ke atas, aku membereskan sisa makan dan piring di meja makan. "Sayang, tolong beritahu kamar untuk Laras, dan temanya di kamar bawah, dan tolong jangan keluyuran naik ke atas, boleh naik ke atas hanya untuk menjemur pakaian. Itupun di lakukan pada siang hari." Mas Firman yang baru menaiki beberapa anak tangga berhenti kemudian mengatakan itu, serentak kami yang masih berada di meja makan menoleh ke arahnya. "Baik, Mas," sahutku cepat. Aku melirik Tania dan Laras, mereka saling pandang, entah apa yang ada dipikiran mereka aku tak tau. "Firman, masa mau naik ke atas aja, nggak boleh." Ibu pun ikut bersuara. "Tolong, Bu. Hargai keputusanku, jika ingin tinggal di rumah ini, ikuti aturan di rumah ini." Semua terdiam. Begitulah suamiku, ia akan berkata lembut saat bersamaku, tapi ia juga akan tegas jika ada yang menentang keputusannya. Memang aku pikir itu memang yang terbaik, Tania bukan siapa-siapa dan bukan muhrim bag
Diri ini hanya manusia biasa, perempuan lemah yang begitu sangat mencintainya, pun dengan hati ini, begitu cepat terbakar api cemburu saat melihatnya tengah berdua dengan Dia, apa aku terlalu posesif, atau aku berlebihan? 🌺🌺🌺Sejenak aku terpaku menatap mereka. Ada rasa nyeri menjalar begitu saja di dalam sini, melihat pemandangan di hadapanku. "Saya bisa bersihkan sendiri." Terlihat Mas Firman mundur satu langkah dan meraih tisu di meja."Maaf Kak, aku tadi tak sengaja.""Iya sudah nggak apa-apa. Maaf juga saya tak lihat kamu datang tadi.""Ehem! Mas, kamu lagi ngapain?" tanyaku saat mereka belum menyadari kedatanganku. Sontak mereka berdua menoleh ke arahku. "Sa–Sayang. Kamu bangun?" Mas Firman melangkah maju melewati Tania yang masih berdiri menatapku dengan tatapan yang sulit kumengerti.Aku hanya memicing, menatap Mas Firman dan Tania secara bergantian. Sebisa mungkin aku tenang dan tak terpancing emosi, melihat Mas Firman tetap tenang sepertinya tak ada hal yang mengkhawat
Akhirnya Tania turun dari mobil dan duduk di samping Laras. Aku menoleh ke arah Mas Firman, ia tersenyum melihatku. Sepanjang perjalanan kami terdiam, Laras pun sibuk dengan ponselnya, Sedangkan Tania sibuk melihat suasana jalanan kota ini. Hingga kami sampai di depan sebuah hotel, dan mereka turun, kami memutar balik arah menuju Rumah makan. "Aku nggak nyangka kamu bisa galak kaya tadi," ucap Mas Firman di sela-sela kesibukan mengemudinya. Aku hanya meliriknya. "Ya bisalah, masa ada cewek ganjen yang mau deket-deket suamiku, aku harus diem aja. Nanti yang ada lama-lama Mas kesenengen," cebikku. "Ya nggak lah. Aku senengnya kalau kamu yang deket-deket Mas." "Beneran ya. Pokoknya aku nggak mau sampai Tania deket-deket Mas lagi. Aku nggak suka. Dia kelihatan banget pengin deketin kamu." Aku terus berbicara mengeluarkan kekesalanku. "Iya, iyaa, Sayang. Lagian aku juga jadi takut sendiri lihat cewek model Tania begitu. Bener lho." "Halah, takut apa malah seneng?!" Aku masih merajuk
"Makanya, Mbak kalo kerja itu yang bener donk! Mbak tau nggak, saya ini calon istrinya Kak Firman, kamu tau?! Saya bisa laporkan ini ke Kak Firman, biar di pecat aja kamu!" "Sekali lagi saya mohon maaf kakak, tolong jangan laporkan ke Pak Firman, saya sangat butuh pekerjaan ini." Lagi Fitri memohon. Tanpa membuang waktu aku segera berjalan menemui mereka yang tengah menjadi tontonan pengunjung lain. "Vita, tolong kamu panggilkan Pak Firman di ruangannya ya, cepat!" titahku pada Vita karyawan bagian kebersihan untuk memanggil Mas Firman, sebelum aku melangkah menuju Fitri dan Tania. Aku lihat sekeliling, Tania hanya sendiri dimana Laras. "Kamu tau nggak, baju ini harganya berapa, gaji kamu sebulan juga nggak akan cukup buat gantiin baju ini." Tania dengan suara lantang menghardik Fitri yang hanya terdiam. "Tania, Fitri, ada apa ini ribut-ribut? Kalian itu mengganggu ketenangan orang-orang yang lagi makan tau! Kita bicara di dalam, kalian ikut saya," ucapku. "Lihat aja nih Kak, di