Sontak hal itu membuat bibi Gwen tertunduk lesu. Seolah ikut merasakan duka mendalam yang kini tengah melanda hati majikan kesayangannya."Nona, tidak perlu terlalu disesali. Cukup doakan Putri Anda setiap hari. Putri Anda juga pasti ingin Anda menjalani hidup normal seperti biasa," ucap bibi Gwen menenangkan majikannya.Ela pun mulai memejamkan matanya erat. Berusaha mati-matian meredam kesedihan yang mendalam. Deru nafas yang memburu berusaha ia atur agar kembali normal. Hingga air mata yang tadinya berjatuhan tak lagi terlihat."Terima kasih atas sarannya, Bi. Saya benar-benar beruntung memiliki orang seperti Anda dalam kehidupan saya saat ini." Ela menatap lekat manik hitam dengan kantung mata yang sedikit kendur. Tersenyum lembut. Menampakkan kesopanan yang tidak pernah terlihat di mata bibi Gwen selama ini.Sontak hal itu begitu menyejukkan kalbu. Bibi Gwen yang sejatinya adalah pengasuh kecil Ela, sangat mengetahui bagaimana perangai gadis itu semasa kecilnya. Selain tidak memi
"Lalu, untuk apa Anda bersikap sepanik itu, Bi?" tanya Ela di tengah kebingungannya."Nona, jika Anda terus bersikap seperti itu, akan membuat saya dipecat dari pekerjaan saya saat ini. Karena sebenarnya tanggung jawab mendidik Nona diserahkan kepada saya sejak Anda masih bayi, sebab kesibukan Tuan dan Nyonya yang tak bisa meninggalkan perusahaan mereka sama sekali," jelas bibi Gwen.Kini Ela mulai mengerti. Meski tak mengingat sedikit pun perihal sikapnya yang keterlaluan, namun nuraninya tetap merasa bersalah."Maafkan saya yang selalu membuat masalah untuk Anda, Bi. Sebisa mungkin, saya tidak akan melakukan hal bodoh seperti itu lagi," ucap Ela menenangkan kalbu. Bibi Gwen sontak tertegun melihat sikap itu. Permintaan maaf ya begitu tulus dari dalam hati dan raut penuh penyesalan, sebelumnya tak pernah ia lihat dari majikannya yang kini berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya."Ela!" Satu teriakkan lantang dari suara bariton sontak membuat Ela dan bibi Gwen terkesiap.
Kini ruang tamu itu mendadak sunyi. Suasana mencekam terasa begitu menusuk hingga membuat tubuh rapuh wanita itu mengigil tak terkendali."Bagaimana perasaanmu saat ini? Apakah kepalamu sudah tidak terasa sakit lagi?" ucap Deo yang memulai obrolan mereka. Namun merasa enggan untuk menatap lawan bicaranya. sesekali pria itu menyeruput segelas jus jeruk yang dihidangkan oleh Ela di depannya.Sedangkan Ela yang masih berdiri di samping tubuh pria itu sontak mematung dengan wajah menegang. Meremas kuat ujung nampan dengan kedua tangannya."Sa-saya sudah baik-baik saja, Tuan," jawabnya singkat dengan wajah tertunduk. Merasa rendah diri pada Deo yang memancarkan aura luar biasa.Deo pun lantas menatap wajah Ela saat mendengar panggilan itu. Apakah masih berat untuk Ela memanggil namanya? Padahal sebelum kecelakaan itu terjadi, Ela tak merasa sungkan sedikit pun memanggilnya 'sayang' di depan kedua orang tuanya."Duduklah! Untuk apa terus berdiri di sana?""I-iya, Tuan." Mulai terlihat salah
Kediaman Pram Sebastian. Pukul sembilan pagi.Brak! Brak!Beberapa perabot dapur melayang tak tentu arah. Menjadi pelampiasan amarah yang begitu menyesakkan dada.Pria berperawakan kurus nan tinggi itu berteriak dan memekik dengan lantang. Sesekali kedua tangannya meremas kuat rambut gondrongnya frustasi."Ke mana Jalang itu pergi beberapa hari ini?! Bahkan dia tak meninggalkan uang sedikit pun untukku. Dasar Jalang tidak berguna!" hardik Pram dengan suara teriakkan lantang. Tak peduli seberapa keras suaranya yang akan didengar oleh tetangga di samping rumah. Ia tak pernah peduli.Sesaat kemudian, Pram mulai kembali beranjak membuka tudung saji yang terbuat dari anyaman bambu. Sebelum melemparkannya dan memijakkan kaki di atasnya dengan kuat."Cih! Bahkan tak ada sedikit pun makanan yang tersaji!"Pram lantas diam tak bergeming. Menatap kekacauan yang diakibatkan oleh kekesalannya sendiri."Aku lapar sekali ... sejak kemarin belum makan apa pun. Apa yang harus aku lakukan sekarang?" r
'Sayangnya, aku adalah wanita yang paling dibeci oleh Deo menurut bibi Gwen. Masih bisakah aku mendapatkan perlakuan istimewa seperti itu setelah menikah nanti?'Ela kembali tertunduk. Bimbangnya hati kembali menghampiri. Membuat kepalanya mendadak berdenyut nyeri."Setelah pulang dari perusahaan besok, Papa akan membawamu pergi menemui Mama. Semoga dengan kehadiran kamu di sana, membuatnya berangsur pulih seperti sedia kala," imbuh Matthew dengan tersenyum tipis.Ingatan akan sang istri yang mengalami gangguan jiwa, sesaat setelah Ela menghilang begitu menyiksa batinnya.Tak ada yang bisa ia perbuat, selain mengantarkan sang istri untuk mendapatkan perawatan seraya melakukan pencarian terhadap sang putri yang tak memiliki jejak sama sekali.Bahkan penjelasan Deo sebagai saksi tak membuat pencarian itu kunjung membuahkan hasil.Nampaknya seorang pria bertubuh tambun yang membawa Ela kala itu bukanlah orang biasa. Namun hingga saat ini, tujuan pria itu masih menjadi misteri. Apa yang s
"Bi, apakah ini tidak terlalu berlebihan?" Ela masih tidak terlalu yakin akan penampilannya sendiri."Tenanglah, Nona Ela. Meski tidak pernah berdandan sebelumnya, saya pastikan Anda akan terlihat berbeda dengan sentuhan saya," ucap bibi Gwen dengan begitu percaya diri.Wanita paruh baya keturunan Korea itu terlihat begitu telaten dalam memoles setiap sudut wajah Ela yang tak pernah tersentuh make up sedikit pun sebelumnya.Hingga beberapa saat kemudian. Bibi Gwen menaruh alat tempurnya seraya menghela nafas panjang. "Huh ... selesai," ucapnya lega.Sementara Ela masih diam tak bergeming. Wajahnya terasa kaku seperti ada lem yang menempel di seluruh wajahnya.Entah berapa lapis bedak yang digunakan bibi Gwen untuk memoles wajahnya."Lihatlah ke cermin, Nona. Anda sekarang terlihat lebih segar," ucap bibi Gwen dengan penuh percaya diri.Mendengar kalimat itu, sontak membuat Ela menoleh ke arah cermin rias di sisi sampingnya.Dahi Ela berkerut, dengan kedua alis menyatu. Menatap pantula
Wanita cantik dengan rambut bergelombang di ujungnya membuat tampilan itu menjadi lebih menarik.Bibi Gwen seketika menggelengkan kepalanya cepat. Menepis segala kekaguman yang memenuhi otaknya. Ia tak ingin terlalu lama mengulur waktu, yang pada akhirnya akan membuat Matthew lebih kesal lagi."Anda tidak sempat sarapan, Nona. Ini Bibi bawakan bekal untuk Anda. Jangan lupa dimakan jika ada waktu senggang," ucap bibi Gwen seraya mengulurkan kotak bekal berwarna merah jambu.'Seperti anak kecil yang ingin pergi ke sekolah saja' Begitu pikir Ela. Ada rasa hangat yang menyeruak masuk begitu saja ke dalam hatinya. Seperti perhatian kecil yang selalu ia impikan sejak lama.Namun tak ingin membuat sang ayah terlalu lama menunggu. Ela akhirnya menerima kotak bekal itu, sebelum mencium punggung tangan bibi Gwen seraya berpamitan pergi, "Ela pergi dulu, ya, Bi. Assalamualaikum.""Wa-waalaikumsallam," jawab bibi Gwen terbata saat Ela telah melangkah jauh dari tempatnya semula.Tubuhnya mendadak
Kini Ela yang telah masuk ke dalam ruangan pribadi miliknya nampak tertegun. Manik hitamnya menelusuri setiap inci dari ruangan itu.Desain elegan dan corak dindingnya seolah sengaja dibuat serasi. Bahkan nama lengkapnya tertulis di atas meja tempatnya akan memulai tugas barunya."Aku tidak pernah mengira hidupku akan berubah drastis hanya dalam satu malam," gumam Ela memegangi papan namanya.Hingga suara ketukan pintu membuat hatinya terhenyak kaget. Sontak hal itu membuat tatapan Ela tertuju pada daun pintu yang mulai bergerak.Tok! Tok! Tok!Detik berikutnya, pintu mulai terbuka perlahan tanpa menunggu Ela mempersilakan seseorang dari balik pintu itu untuk masuk.Lancang sekali, bahkan seorang karyawan perusahaan bisa bersikap selancang itu. Perlukah Ela memberinya sedikit pelajaran?"Bu Gabriela, saya membutuhkan tanda tangan untuk berkas-berkas saya," ucap salah seorang wanita yang tiba-tiba masuk tanpa sedikit pun kalimat permisi. Menghampiri Ela yang masih berdiri di depan meja