Maura mencintai suaminya—Dewangga— seperti orang gila. Sayangnya Dewangga sangat membencinya karena menuduh Maura telah menjebaknya di kamar hotel sehingga mereka terpaksa menikah. Ketika Dewangga mengajukan gugatan cerai, Maura melarikan diri ke Perancis untuk berlibur sejenak. Nahas, Maura kecelakaan di sana. Dia pulang ke rumah suaminya dalam keadaan amnesia. Dewangga segera menanyakan tentang berkas perceraian mereka yang harus ditandatangani Maura begitu Maura pulang. Tapi, Maura tak ingat. Ketika berkas perceraian itu sudah ditemukan, Dewangga hanya memberikan waktu tiga bulan pada Maura untuk bersiap-siap meninggalkan rumahnya. Dewangga tak akan pernah menyangka bahwa waktu tiga bulan sangat cukup untuk membuat hatinya dan hati Maura berubah.
Lihat lebih banyakDewangga mulai mengetuk-ngetukkan jarinya di permukaan kaca jam tangan tanda sudah tak sabar lagi. Sebenarnya dia sudah tak memiliki banyak waktu di rumah itu. Tapi, karena ada kejadian tak terduga seperti ini, terpaksa dia harus duduk lebih lama di sana."Dewangga, kamu nggak mungkin kalau nggak percaya sama aku, kan?" tanya Maura penuh harap.Dewangga terdiam dengan wajah datar. Pria itu melirik bu Asih yang masih sibuk membuka laci."Bu Asih, bagaimana? Sudah ketemu?" tanya pria itu sambil menatap punggung bu Asih yang sedang membelakanginya.Bu Asih segera berbalik dan menggeleng. "Ti-tidak ada lagi, Tuan."Dewangga mengangguk sambil berdiri merapikan pakaiannya. Dia tahu bu Asih belum selesai memeriksa semua laci yang ada."Bu Asih, ayo kita keluar," ujarnya tanpa ekspresi, kemudian dia menatap Maura. "Aku tahu sedikit mengenai dirimu, Maura. Aku tak akan mempermasalahkannya. Kamu jangan khawatir. Jadi, istirahatlah."Maura menghela napasnya dengan kecewa sambil menatap punggung
Maura terdiam. Waktu tiga bulan akan terus bergulir tanpa terasa. Tak mungkin baginya terus menerus berada di sekitar Dewangga. Mereka harus menjalani kehidupan masing-masing, bahkan mungkin mereka tak akan bertemu lagi nanti."Oma, ini tehnya," kata Zefan sopan sambil meletakkan beberapa cangkir teh di meja. Dia sedikit tertekan dengan situasi di sana. Jika Maura resmi menjadi asisten Dewangga, maka bagaimana dengannya?"Oma—""Oma, aku nggak mau jadi asistennya mas Dewangga," tolak Maura serius, memotong ucapan Dewangga yang hendak melayangkan protes."Kenapa?" tanya oma Ambar sambil menatap Maura. "Jadi pramusaji itu capek, lho, Nak."Narendra yang menyaksikan penolakan Maura menelengkan kepalanya. Dia tahu Maura yang dulu sangat mencintai Dewangga seperti orang gila. Cintanya tak pernah main-main dan tak bisa dirobohkan oleh apapun.Tapi Maura yang sekarang menolak berada dekat dengan Dewangga karena sedang amnesia. Sedikit lucu, d
"Jangan berwajah datar seperti itu, Dewangga," ujar pria itu tertawa rendah sambil melepaskan cengkeraman tangan Dewangga darinya. "Apa kamu sudah berubah pikiran?""Jangan main-main," kata Dewangga memberi peringatan. "Dan jangan mengganggu Maura.""Wah, kamu benaran sudah berubah pikiran, Dewangga." Pria itu menatap Dewangga tak percaya, kemudian pandangannya beralih pada Maura yang menatapnya asing. "Apa Dewangga masih bersikeras ingin menceraikanmu?"Maura mengerutkan alisnya dengan bibir terbuka seolah ingin menjawab, tetapi tak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya."Apa? Ada apa?" Pria itu menatap Maura dengan aneh. "Ada yang aneh denganmu."Dewangga menarik napasnya panjang. "Sebaiknya kamu pulang.""Aku akan pulang," jawab pria itu. "Tapi setelah memastikan sesuatu.""Tak ada yang perlu kamu pastikan, Naren," ujar Dewangga menahan kesal sambil merentangkan tangannya menahan pria itu agar tak semakin mendekati Maura."Tentu saja ada. Tak hanya kamu yang berubah. Bahkan Ma
Suasana kantor cukup sibuk dengan kegiatan masing-masing. Maura mengikuti langkah Zefan sambil menenteng tas thermal-nya.Zefan bersikeras menolak titipan Maura meskipun Maura sudah membujuknya. Mau tak mau akhirnya dia ikut dengan pria itu untuk mengantarkan sendiri makanannya."Bos di ruangannya. Masuk aja, Nyonya," ujar Zefan sambil mendorong pintu dan menunjuk Dewangga yang tengah sibuk berdiskusi di ruang kerjanya bersama dengan beberapa orang termasuk Alena dan Devina."Silakan, Nyonya duduk dulu di sini." Zefan menunjuk single sofa yang terletak di samping dinding kaca yang menyuguhkan pemandangan kota.Maura mengangguk sembari duduk dan meletakkan tas bekal di pangkuannya. Dia menatap Dewangga yang memakai kemeja putih tanpa jaket jas dan tengah memegang beberapa lembar kertas. Pria itu terlihat begitu serius dengan pekerjaannya.Tak jauh dari pria itu ada Devina juga Alena, dan beberapa orang lain yang Maura tak kenal. Mereka duduk berkumpul di sofa mengitari meja kaca yang pe
Dewangga terdiam memikirkan banyak hal."Aku tak berpikir sejauh itu. Aku belum memiliki rencana untuk menikah lagi," ucap Dewangga sambil menatap Maura. "Ada banyak pekerjaan yang harus diurus.""Pekerjaan akan selalu banyak, Dewangga. Tapi kita hanya hidup sekali.""Setelah kita berpisah, kita pasti menjalani hidup kita masing-masing. Mungkin kamu akan bertemu seseorang yang mengubah pikiranmu dan ingin segera menikahinya. Aku juga mungkin akan bertemu dengan pria yang baik," lanjut Maura sambil menopang dagunya. "Sampai hari itu tiba, aku tak bisa terus menerus mengandalkanmu."Dewangga kembali terdiam. Berurusan dengan cinta dan wanita bukanlah keahliannya. Ada banyak hal membingungkan di dalamnya.Dia sendiri selalu merasa bingung dengan sikapnya apabila dia harus berhadapan dengan Maura.Ya, Maura selalu menjadi potongan puzzle yang tak bisa dipecahkannya terlebih Maura yang sekarang.Maura yang dulu selalu bertind
Maura mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Andreas sehingga membuat pria itu mematung masih tak percaya."Untuk sekarang, aku masih istrinya Dewangga," ujar Maura lebih jelas.Andreas mengerutkan alisnya, sedikit ganjil atas jawaban Maura. Sementara Dewangga, sedikit tak terima dengan ucapan wanita itu."Ya, udah. Sebaliknya kalian segera pulang. Periksakan luka Maura ke rumah sakit," kata Lusi. "Jangan lupa bawa ini," lanjut wanita itu sambil menyodorkan oleh-oleh pada Dewangga yang sudah dibelinya untuk mereka.Andreas mengangguk setuju dan mengizinkan Maura pulang lebih dulu."Lusi, saya harus merepotkanmu," kata Dewangga sambil mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya. "Tolong bayarkan tagihan tadi.""Oh? Oke." Lusi mengangguk senang sambil mengulurkan tangannya."Nggak perlu," tolak Andreas menahan tangan Lusi. "Saya tak akan meminta tagihan apapun."Dewangga tetap bersikeras memberikan kartunya pada Lusi sehingga Lusi kebingungan."Alena, pulanglah sendiri," kata Dewangga s
Maura tak menanggapi ejekan itu. Dia melirik kaki Alena yang memakai sandal wedges bertali."Sepertinya kakimu sudah lebih baik.""Tentu saja. Berkatmu, aku harus dirawat selama beberapa hari di rumah sakit," ujar Alena tersenyum sarkas."Oh, mungkin besok kamu akan kembali dirawat lagi. Bukankah konyol kakimu patah tapi memakai wedges?" ujar Maura dengan nada sedatar mungkin."Kamu!" Alena hampir saja kehilangan kendalinya andai saja dia tak menyadari bahwa Dewangga tengah memperhatikan mereka.Wanita itu menghela napas mengatur emosinya, kemudian dia tersenyum."Kamu belum meminta maaf atas apa yang kamu lakukan tempo hari, Maura.""Kamu sendiri yang bilang bahwa sesama saudara nggak perlu saling meminta maaf. Lagi pula aku nggak melakukan apapun sama kamu," jawab Maura sambil tersenyum tenang dan mengeluarkan sebuah memo serta pulpen untuk mencatat pesanan mereka. "Aku akan mencatat pesanan kalian."Dewangga menatap Maura. Maura yang dulu tak akan berdiri setenang itu ketika berhada
Maura tercekat. Senyumnya berubah kaku seketika."De-Dewangga, kamu ngapain di sini?" tanya Maura gugup.'Tunggu. Kenapa aku harus gugup? Harusnya aku biasa aja,' ucap Maura dalam hati."Kenapa memangnya kalau saya di sini?" Dewangga balik bertanya."Hehe ... nggak apa-apa," jawab Maura sambil tersenyum."Kenapa kamu baru pulang?" tanya Dewangga sambil melirik jam di ponselnya yang sudah menunjukkan pukul sembilan lebih beberapa menit."Tadi ada banyak barang yang harus diberesin," jawab Maura."Barang? Barang di mana? Kenapa kamu yang harus membereskan?""Kursi, meja, dan beberapa alat dapur. Aku ... mulai hari ini kerja di restorannya mas Andreas. Tapi restorannya belum resmi dibuka, sih," jawab Maura."Kerja?" Dewangga menatap Maura sedikit tak percaya. "Kamu bekerja?""Ya." Maura mengangguk.Dewangga tampak berpikir sejenak.
"Tak apa-apa, Dewangga. Udah aku bilang sebelumnya, kan? Sesama saudara tak perlu ada kata maaf," ujar Alena sambil memaksakan senyumnya."Saya tak bisa berlama-lama di sini karena Maura masih menunggu," kata Dewangga sambil bangkit dari duduknya. "Istirahatlah beberapa hari lagi dan jangan memaksakan diri untuk bekerja."Alena mengangguk kecewa sambil memperhatikan Dewangga yang pergi meninggalkan dirinya. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin meledak, yaitu amarahnya."Maura, aku bakal berusaha bikin kamu dan Dewangga bercerai secepat mungkin!"Di luar, Maura menunduk melamun menatap kerikil sambil bermain ayunan. Derit besi yang beradu membuat Dewangga yang baru keluar dapat menemukannya dengan mudah."Maura, ayo pulang," ujar pria itu sambil mendekat dan membuyarkan lamunan wanita itu.Maura mengangkat wajahnya. Dewangga benar-benar menemui Alena sebentar. Tapi mengapa?"Masih mau melamun?" tanya pria itu ketika Maura
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.