Share

Bab 2. Pewaris Kedua Keluarga Wijaya

Mata Nizam membulat saat mendengar perkataan dari Rara. Istri yang selama ini penurut itu sudah berani menentang perintahnya!

Merasa egonya tersenggol, Nizam pun mendengus kesal. "Sombong kamu ya, sekarang!” 

Akan tetapi, Rara tidak bisa bertahan untuk mendengar lebih banyak omong kosong. “Aku tidak sudi untuk dimadu! Kamu cuma bisa pilih aku atau Jeny!”

Mendengar hal itu, Nizam terkekeh. “Apa kamu masih perlu bertanya?” 

Dari awal, kalau bukan karena calon istri barunya yang tidak ingin dianggap pelakor, juga karena Nizam berpikir ingin menghemat biaya pembantu, jelas dia akan menceraikan istri dekilnya itu!

Karena memang sekarang Rara yang meminta, maka Nizam pun mengambil keputusan bulat. 

“Rara Marina, mulai saat ini kamu bukan istriku lagi!" Nizam menunjuk ke arah luar rumah. “Sekarang juga, pergi dari rumah ini!”

Mendengar kalimat itu, Rara menutup matanya sesaat dan menarik napas dalam-dalam. 

Rara kemudian menatap Nizam lurus. "Aku harap, kamu tidak akan menyesal dengan keputusan ini, Mas."

Endang yang puas dengan keputusan anaknya langsung mendengus kasar mendengar ucapan Rara. "Banyak gaya kamu! Sudah cepat kemasi barang-barangmu dan pergi dari rumah ini!"

Rara tak lagi berkata-kata. Dia langsung berbalik masuk ke dalam rumah dengan niatan membenahi barang-barangnya.

Baru dia membuka pintu kamar, Rara terkejut dengan sosok Bella, anaknya yang berusia tiga tahun, yang menatapnya dengan mata bulat bak boneka. Gadis kecil itu tampak bingung. “Ibu …,” panggilnya.

Rasa bersalah merayap di hati Rara. Dia merasa berdosa kepada putri kecilnya karena tidak bisa mempertahankan rumah tangga yang sempurna. Akan tetapi, keputusan Rara sudah mantap, dia harus membawa Bella pergi dari sini!

Tepat saat memikirkan hal tersebut, suara Nizam kembali terdengar, “Jangan lupa bawa juga Bella pergi dari sini! Anak autis seperti itu, aku nggak perlu!" teriak Nizam tanpa rasa berdosa. 

Rara langsung memeluk Bella, menutup telinga sang putri agar tidak mendengar ucapan kasar sang ayah. Dia menggertakkan gigi dan langsung membalas ucapan Nizam, “Nggak perlu kamu beri tahu! Aku pun nggak akan biarkan anakku tinggal dengan bapak jahanam seperti kamu!" 

Tanpa banyak bicara lagi, Rara pun langsung mengemasi pakaian dan mengajak Bella keluar dari rumah itu. Barang mereka berdua tidak banyak, terutama karena Rara hanya dijadikan pembantu gratisan di rumah tersebut dan tidak pernah diberikan uang selain untuk keperluan rumah dari Nizam.

Lelah berjalan sembari menggendong putrinya, Rara memutuskan duduk di pinggir sebuah halte.

“Ibu … ke mana …?” tanya Bella, membuat Rara sedikit kaget karena sang putri akhirnya memilih bersuara saat ini. 

Rara memaksakan sebuah senyuman. “Kita … ke tempat tinggal baru ya, Nak,” jawabnya. “Bella tidur saja, Sayang. Nanti Ibu bangunkan saat sudah sampai, ya.”

Bella hanya menatap Rara dalam diam. Kemudian, bocah kecil itu pun membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu, tidak berbicara lagi.

Melihat hal itu, hati Rara seperti diremas. Di saat seperti ini, dia sedikit bersyukur putrinya dulu divonis dokter sebagai penderita autisme. Demikian, Bella tidak merasakan kesedihan dan rasa sakit seperti yang Rara rasakan.

Menepiskan pemikiran itu, Rara menghela napas. ‘Sekarang … bagaimana?

Uang tidak punya, tempat tinggal juga tidak ada. Yang Rara punya hanya ponsel butut yang sudah dia miliki sejak sebelum menikah.

Rara memandang satu nomor kontak yang tersimpan di sana. Akan tetapi, dia tidak berani menghubungi nomor tersebut setelah apa yang terjadi di antara dirinya dan pemilik nomor itu empat tahun yang lalu.

Namun, saat Rara melamun, mendadak ponselnya berdering. Wanita itu lebih terkejut saat layar ponsel menampakkan nama orang yang sejak tadi ragu dia telepon.

Satria. 

Itu adalah nama Kakak kandung Rara. Pria yang mengusir Rara dari keluarga karena tidak setuju dengan pernikahannya dengan Nizam. 

Sekarang, kenapa kiranya pria itu menghubungi Rara?

Setelah menarik napas dalam-dalam, Rara mengangkat panggilan tersebut. 

“K-kakak …?” sapa Rara dengan sedikit canggung.

“Di mana kamu?” tanya Satria, nada bicaranya sangat dingin.

"Aku di luar,” jawab Rara, mengelak untuk menjawab terlalu detail. “Ada apa?”

"Kenapa suamimu sebar undangan pernikahan?" 

Sontak, mata Rara terbelalak. Dia sendiri tidak menyangka Nizam sudah menyebar undangan, dan sang kakak juga mendapatkannya!?

"Suamiku akan menikah lagi," jawab Rara jujur.

"Aku tidak bodoh, Rara!” geram Satria, menyentak Rara. “Maksudku bertanya adalah kenapa suamimu bisa sebar undangan pernikahan?! Apa kamu setuju dimadu?!" Pria itu kembali bertanya dengan nada tinggi, seperti kehilangan kesabaran.

Rara menarik satu sudut bibirnya membentuk senyuman kecut. "Dimadu?” ulangnya. “Aku setuju untuk bercerai."

Keheningan langsung menghiasi percakapan keduanya. Kentara bahwa Satria sangat terkejut dengan informasi yang baru saja dia dapatkan. 

Di sisi lain, Rara merasa sangat malu karena dulu terlalu memperjuangkan seorang Nizam sampai setuju memutus hubungan dengan kakak kandungnya.

‘Kakak pasti menertawakanku sekarang ...,’ batin Rara. Kemudian, dia menarik napas dalam dan berkata, “Kalau Kakak tidak ada keperluan lagi, maka–”

"Pulang."

Rara menautkan kedua alisnya, kaget dan berpikir jika apa yang baru didengarnya itu salah. 

“Apa?”

Suara Satria yang rendah menyatakan dengan lantang, "Sebagai pewaris kedua keluarga Wijaya, Kakak perintahkan kamu untuk pulang!"

Anggrek Bulan

Ya ampun, ternyata Rara anak keluarga kaya ....

| 2
Komen (6)
goodnovel comment avatar
Mimi Pakpahan
lanjut seru ni
goodnovel comment avatar
Winwin Tri Winwin
kereeennnaq syukkaaakkkkk
goodnovel comment avatar
Ismah Nurmillah Hayati
ayo Rara pulanglah, kakakmu sudah menyuruh mu untuk pulang. Balaskan semua rasa sakitmu pada Nizam dan keluarganya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status