Mata Nizam membulat saat mendengar perkataan dari Rara. Istri yang selama ini penurut itu sudah berani menentang perintahnya!
Merasa egonya tersenggol, Nizam pun mendengus kesal. "Sombong kamu ya, sekarang!”
Akan tetapi, Rara tidak bisa bertahan untuk mendengar lebih banyak omong kosong. “Aku tidak sudi untuk dimadu! Kamu cuma bisa pilih aku atau Jeny!”
Mendengar hal itu, Nizam terkekeh. “Apa kamu masih perlu bertanya?”
Dari awal, kalau bukan karena calon istri barunya yang tidak ingin dianggap pelakor, juga karena Nizam berpikir ingin menghemat biaya pembantu, jelas dia akan menceraikan istri dekilnya itu!
Karena memang sekarang Rara yang meminta, maka Nizam pun mengambil keputusan bulat.
“Rara Marina, mulai saat ini kamu bukan istriku lagi!" Nizam menunjuk ke arah luar rumah. “Sekarang juga, pergi dari rumah ini!”
Mendengar kalimat itu, Rara menutup matanya sesaat dan menarik napas dalam-dalam.
Rara kemudian menatap Nizam lurus. "Aku harap, kamu tidak akan menyesal dengan keputusan ini, Mas."
Endang yang puas dengan keputusan anaknya langsung mendengus kasar mendengar ucapan Rara. "Banyak gaya kamu! Sudah cepat kemasi barang-barangmu dan pergi dari rumah ini!"
Rara tak lagi berkata-kata. Dia langsung berbalik masuk ke dalam rumah dengan niatan membenahi barang-barangnya.
Baru dia membuka pintu kamar, Rara terkejut dengan sosok Bella, anaknya yang berusia tiga tahun, yang menatapnya dengan mata bulat bak boneka. Gadis kecil itu tampak bingung. “Ibu …,” panggilnya.
Rasa bersalah merayap di hati Rara. Dia merasa berdosa kepada putri kecilnya karena tidak bisa mempertahankan rumah tangga yang sempurna. Akan tetapi, keputusan Rara sudah mantap, dia harus membawa Bella pergi dari sini!
Tepat saat memikirkan hal tersebut, suara Nizam kembali terdengar, “Jangan lupa bawa juga Bella pergi dari sini! Anak autis seperti itu, aku nggak perlu!" teriak Nizam tanpa rasa berdosa.
Rara langsung memeluk Bella, menutup telinga sang putri agar tidak mendengar ucapan kasar sang ayah. Dia menggertakkan gigi dan langsung membalas ucapan Nizam, “Nggak perlu kamu beri tahu! Aku pun nggak akan biarkan anakku tinggal dengan bapak jahanam seperti kamu!"
Tanpa banyak bicara lagi, Rara pun langsung mengemasi pakaian dan mengajak Bella keluar dari rumah itu. Barang mereka berdua tidak banyak, terutama karena Rara hanya dijadikan pembantu gratisan di rumah tersebut dan tidak pernah diberikan uang selain untuk keperluan rumah dari Nizam.
Lelah berjalan sembari menggendong putrinya, Rara memutuskan duduk di pinggir sebuah halte.
“Ibu … ke mana …?” tanya Bella, membuat Rara sedikit kaget karena sang putri akhirnya memilih bersuara saat ini.
Rara memaksakan sebuah senyuman. “Kita … ke tempat tinggal baru ya, Nak,” jawabnya. “Bella tidur saja, Sayang. Nanti Ibu bangunkan saat sudah sampai, ya.”
Bella hanya menatap Rara dalam diam. Kemudian, bocah kecil itu pun membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu, tidak berbicara lagi.
Melihat hal itu, hati Rara seperti diremas. Di saat seperti ini, dia sedikit bersyukur putrinya dulu divonis dokter sebagai penderita autisme. Demikian, Bella tidak merasakan kesedihan dan rasa sakit seperti yang Rara rasakan.
Menepiskan pemikiran itu, Rara menghela napas. ‘Sekarang … bagaimana?’
Uang tidak punya, tempat tinggal juga tidak ada. Yang Rara punya hanya ponsel butut yang sudah dia miliki sejak sebelum menikah.
Rara memandang satu nomor kontak yang tersimpan di sana. Akan tetapi, dia tidak berani menghubungi nomor tersebut setelah apa yang terjadi di antara dirinya dan pemilik nomor itu empat tahun yang lalu.
Namun, saat Rara melamun, mendadak ponselnya berdering. Wanita itu lebih terkejut saat layar ponsel menampakkan nama orang yang sejak tadi ragu dia telepon.
Satria.
Itu adalah nama Kakak kandung Rara. Pria yang mengusir Rara dari keluarga karena tidak setuju dengan pernikahannya dengan Nizam.
Sekarang, kenapa kiranya pria itu menghubungi Rara?
Setelah menarik napas dalam-dalam, Rara mengangkat panggilan tersebut.
“K-kakak …?” sapa Rara dengan sedikit canggung.
“Di mana kamu?” tanya Satria, nada bicaranya sangat dingin.
"Aku di luar,” jawab Rara, mengelak untuk menjawab terlalu detail. “Ada apa?”
"Kenapa suamimu sebar undangan pernikahan?"
Sontak, mata Rara terbelalak. Dia sendiri tidak menyangka Nizam sudah menyebar undangan, dan sang kakak juga mendapatkannya!?
"Suamiku akan menikah lagi," jawab Rara jujur.
"Aku tidak bodoh, Rara!” geram Satria, menyentak Rara. “Maksudku bertanya adalah kenapa suamimu bisa sebar undangan pernikahan?! Apa kamu setuju dimadu?!" Pria itu kembali bertanya dengan nada tinggi, seperti kehilangan kesabaran.
Rara menarik satu sudut bibirnya membentuk senyuman kecut. "Dimadu?” ulangnya. “Aku setuju untuk bercerai."
Keheningan langsung menghiasi percakapan keduanya. Kentara bahwa Satria sangat terkejut dengan informasi yang baru saja dia dapatkan.
Di sisi lain, Rara merasa sangat malu karena dulu terlalu memperjuangkan seorang Nizam sampai setuju memutus hubungan dengan kakak kandungnya.
‘Kakak pasti menertawakanku sekarang ...,’ batin Rara. Kemudian, dia menarik napas dalam dan berkata, “Kalau Kakak tidak ada keperluan lagi, maka–”
"Pulang."
Rara menautkan kedua alisnya, kaget dan berpikir jika apa yang baru didengarnya itu salah.
“Apa?”
Suara Satria yang rendah menyatakan dengan lantang, "Sebagai pewaris kedua keluarga Wijaya, Kakak perintahkan kamu untuk pulang!"
Ya ampun, ternyata Rara anak keluarga kaya ....
Di ruang tengah kediaman Wijaya.BRAK!"Beraninya mereka melakukan hal seperti itu!" Setelah mendengar cerita Rara, tampak sosok Satria menggebrak meja karena terlewat marah perihal perilaku Nizam dan ibunya. "Memilih wanita lain hanya karena dia sendiri tidak becus menafkahi istri, suami macam apa itu!?" maki Satria dengan tatapan nyalang. “Selain itu, ibunya itu … sebagai seorang wanita, bisa-bisanya dia dengan tega malah mendorong putranya menikahi wanita lain!?”Rara menautkan jari-jarinya, hanya bisa tertunduk diam mendengarkan kemarahan kakaknya. Memikirkan kebusukan Nizam, Satria berakhir melotot ke arah sang adik dan menuding wanita itu. “Bukankah aku sudah bilang dari dulu kalau dia itu bajingan?! Pria manja dengan gaya sok elit tanpa kemampuan yang berarti!" Dada Satria naik-turun karena emosi."Dulu kamu membanggakan sifat lembutnya dan bagaimana dia begitu mapan karena sudah bisa berada di posisi yang cukup tinggi di usia muda, sekarang mana?! Membuang istri demi mend
Sesaat Satria hanya diam sembari menatap wajah Rara. Akan tetapi, tekad sang adik membuatnya menutup mata dan berujung mengangguk.“Lakukan apa yang kamu mau,” ucap pria tersebut seraya berdiri dari kursinya. “Sudah malam, istirahatlah. Besok kita bahas kembali masalah ini.”Sepeninggal Satria, Rara langsung membersihkan diri dan menidurkan Bella. Namun, dirinya tidak kian bisa tertidur karena terus memikirkan masalah yang menimpanya hari itu.Alhasil, Rara pun memutuskan untuk keluar kediaman dan berjalan-jalan di taman perumahan tersebut.“Sudah banyak yang berubah …,” gumam Rara seraya memerhatikan sekeliling. Ditemani remang lampu taman dan sejumlah orang yang masih berjalan-jalan santai, Rara menjejakkan kaki di taman perumahan. Hal itu membuat wanita itu teringat akan masa kecilnya. Setiap sore Rara akan menghabiskan waktu bersama orang tua dan kedua kakaknya di taman. Berbincang, bermain, dan berbagi kebahagiaan yang terasa begitu sederhana.Namun, semua itu berubah ketika su
“Rara?” panggil pria tampan itu dengan alis tertaut, seakan tak menyangka akan melihat sosok Rara di sana.Dengan wajah kebingungan, Rara memiringkan kepala. “Anda mengenal saya?” tanyanya dengan bahasa yang sangat sopan.Raut wajah yang tadi dingin dan serius itu sedikit melembut. “Kamu tidak ingat?” balasnya, membuat Rara menggelengkan kepala. “Aku Arjuna.”Sontak, Rara terbelalak. “Arjuna?!” ulangnya sembari memeriksa penampilan pria itu dari atas ke bawah, mencoba meyakinkan diri sendiri. “Kak Arjuna temannya Kak Satria?!”Arjuna mengangguk, wajahnya datar. "Ya. Lama tidak bertemu."Kedua sudut bibir Rara tertarik membentuk sebuah senyuman. "Lama tidak bertemu, Kak Juna."Arjuna Maheswara, itu adalah nama lengkap pria di hadapan. Pria dingin yang merupakan sahabat Satria sejak SMA … sekaligus cinta pertama Rara yang tak pernah terungkapkan. Kalau bukan karena dulu pria itu bertunangan lebih dulu dengan wanita lain sebelum Rara berani mengutarakan perasaannya, mungkin Rara tidak a
Tiga hari setelah tinggal bersama Satria, Rara telah didorong kakaknya itu untuk membenahi berbagai macam hal dalam hidupnya. Dimulai dari penampilannya, pola makannya, juga waktu istirahatnya. Bahkan pendidikan Bella pun diwajibkan oleh Satria untuk diurus dengan lebih hati-hati.Walau kelelahan dan penderitaan selama empat tahun ke belakang masih sedikit terlihat dari kantung matanya, tapi pancaran mata Rara yang sebelumnya kuyu itu sudah berubah menjadi jauh lebih cerah. Sekarang, berbalut kemeja putih dan rok pensil hitam, terlihat wanita itu sedang dalam perjalanan ke suatu tempat.Sambil menatap ke luar jendela mobil, Rara mengingat perkataan Satria tiga hari yang lalu."Kamu harus melatih kemampuan bisnismu lagi," titah Satria. “Temui aku di Jaya Corp besok jam sembilan.”Dengan tekad bulat untuk membenarkan hidupnya dan juga memastikan hidup Bella tercukupi, Rara pun hanya bisa menuruti perintah sang kakak. Walau sejujurnya, dia ragu apakah kemampuannya masih bisa digunakan.
Permintaan Arjuna membuat suasana di lobi menjadi menegang. Semua orang langsung memusatkan perhatian kepada sosok Rara, bertanya-tanya apa sebenarnya identitas wanita itu beserta apa hubungannya dengan Arjuna.“Mungkinkah … wanita itu calon Tuan Arjuna yang baru?”“Cantik sih memang … jadi iri ….”Komentar-komentar itu membuat Rara merasa tidak nyaman. Dia pun menarik lengan pakaian Arjuna lagi.“Kak … sudah, jangan diperpanjang ….”Arjuna menautkan alis. “Tidak bisa,” tegasnya. “Yang bersalah harus minta maaf.”Mendengar balasan Arjuna, Rara merasa hatinya tergelitik. Sungguh … sudah berapa lama dirinya dibela seseorang seperti ini?Jujur, Rara jadi terharu.Sementara itu, di sisi Jeny dan Nizam, keduanya tampak marah dan tidak rela. Tangan Nizam bergetar, dia jelas tidak akan sudi minta maaf kepada mantan istrinya itu! Apa lagi saat melihat jelas Rara dan Arjuna saling menggoda di depan matanya!‘Dasar jalang!’ maki Nizam.Akan tetapi, di luar dugaan Nizam, Jeny akhirnya menyatakan
Mendengar ucapan Satria, kedua mata Rara membola. "Kakak, pikirkanlah dengan baik!” sergah Rara. “Posisi presdir bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan sembarang orang, terlebih aku yang tak pernah memiliki pengalaman bekerja."Selain membantu Satria perihal laporan keuangan dulu saat kuliah, Rara tidak sempat bekerja karena dirinya langsung menikah dengan Nizam. Oleh karena itu, wanita itu tidak yakin bisa menjabat dengan baik posisi presiden direktur perusahaan!“Bagaimana kalau perusahaan merugi di bawah pimpinanku?” tanya Rara.Satria menaikkan alis kanannya. "Bukan masalah,” jawabnya santai. “Yang penting dirimu belajar sesuatu.”Rara merasa keputusan Satria terlalu gegabah. Dia pun kemudian menoleh pada Arjuna, mencoba mendapatkan dukungan.Perusahaan Arjuna juga bekerja sama dengan Jaya Corp. Kalau Jaya Corp merugi, maka hal itu akan berdampak pada usaha pria tersebut juga."Kak Arjuna, tolong katakan sesuatu ….”“Aku tidak lihat ada masalah,” sahut Arjuna cepat tanpa keraguan.
Bab 9“Ini pasti ada kesalahan! Mana mungkin saya ditawarkan jadi cleaning service?!” sahut Nizam dengan setengah panik.Jeny yang ada di seberangnya juga tampak bingung."Ini sudah menjadi keputusan direktur Jaya Corp, tidak bisa diganggu gugat." Dari sisi telepon yang lain, terdengar perwakilan HRD Jaya Corp dengan suara yang tegas. "Jika Anda menolak, maka tawaran ini akan diberikan pada orang lain."Mulut Nizam menganga, tentu dia ingin protes dengan keputusan yang menurutnya sangat tidak benar itu. "Tapi, ini pasti ada kesalah–" "Saya menunggu jawaban Anda, satu kali dua puluh empat jam. Terima kasih."Belum sempat membalas, panggilan tersebut telah terlebih dahulu diakhiri, membuat Nizam melongo di tempat.Jeny yang sejak tadi terus mengamati Nizam pun ikut mengerutkan keningnya. "Kenapa, Zam? Kok kamu sebut-sebut cleaning service?" tanyanya.Nizam langsung mengalihkan pandangan pada Jeny. "Kamu yakin ‘kan ketika kita bicara dengan Pak James tadi kita sudah jelas bilang aku mau
“Pak Nizam, Bu Jeny, kita bertemu lagi.”Saat melihat mantan istri yang telah dibuangnya itu tiba-tiba kini berdiri tepat di hadapannya, di ruang presdir Jaya Corp, Nizam spontan mundur satu langkah dengan mulut terbuka. “Rara?!” seru Nizam dengan suara keras, membuat Linda mengerutkan keningnya dengan tidak nyaman, tidak suka nama sang atasan dipanggil langsung oleh pria itu.Tak jauh beda dengan ekspresi yang ditunjukan oleh Nizam, Jeny pun teramat kaget dan sampai membelalakkan matanya. 'Rara lagi?!' batinnya.Hanya saja, berbeda dari Nizam, wanita licik itu lebih mampu mengontrol perasaannya. Dengan agak ragu dia pun bertanya, "Kamu … presiden direktur Jaya Corp?"Otak dua orang itu–Nizam dan Jeny–berputar. Kalau jawaban pertanyaan itu adalah ‘ya’, maka lupakan saja bekerja di perusahaan ini, menginjakkan kaki lagi saja mungkin tidak akan bisa!Akan tetapi, bagaimana mungkin wanita seperti itu bisa menjadi presdir Jaya Corp? Memangnya dia itu putri hilang keluarga kaya!? Nggak m