Share

Bab 4. Dua Sosok Tampan

Sesaat Satria hanya diam sembari menatap wajah Rara. Akan tetapi, tekad sang adik membuatnya menutup mata dan berujung mengangguk.

“Lakukan apa yang kamu mau,” ucap pria tersebut seraya berdiri dari kursinya. “Sudah malam, istirahatlah. Besok kita bahas kembali masalah ini.”

Sepeninggal Satria, Rara langsung membersihkan diri dan menidurkan Bella. Namun, dirinya tidak kian bisa tertidur karena terus memikirkan masalah yang menimpanya hari itu.

Alhasil, Rara pun memutuskan untuk keluar kediaman dan berjalan-jalan di taman perumahan tersebut.

“Sudah banyak yang berubah …,” gumam Rara seraya memerhatikan sekeliling. 

Ditemani remang lampu taman dan sejumlah orang yang masih berjalan-jalan santai, Rara menjejakkan kaki di taman perumahan. Hal itu membuat wanita itu teringat akan masa kecilnya. 

Setiap sore Rara akan menghabiskan waktu bersama orang tua dan kedua kakaknya di taman. Berbincang, bermain, dan berbagi kebahagiaan yang terasa begitu sederhana.

Namun, semua itu berubah ketika suatu musibah menimpa. 

Siang itu, orang tua dan kakak kedua Rara sedang dalam perjalanan pulang dari sebuah konferensi. Mendadak, sebuah truk tronton yang melintas dari arah berlawanan menghantam mobil mereka karena sopir truk yang mengantuk. Seketika, hal itu menyebabkan orang tua dan kakak kedua Rara meninggal di tempat.

Akibat kejadian itu, Rara yang berusia enam tahun menjadi seorang yatim piatu. Dan Satria, kakak pertama Rara yang di masa itu berusia tujuh belas tahun, dipaksa dewasa lebih cepat untuk mengurus semuanya. 

Kalau dipikir-pikir lagi, tidak heran Kak Satria begitu keras dan dingin,’ batin Rara. ‘Takdir hidup memang tidak begitu ramah padanya ….

Dari kematian orang tua dan adik keduanya, sampai seluruh harta peninggalan ayah dan ibunya. Satria harus mengurus semuanya seorang diri selagi menghindari pihak-pihak yang berusaha mengambil keuntungan dari meninggalnya kedua orang tuanya.

Dengan sifat yang begitu keras, Satria sampai-sampai lebih memilih mengusir Rara saat wanita itu menentangnya untuk menikah dengan Nizam.

"Bodoh kamu, Rara,” gumam Rara saat mengenang masa-masa dirinya memperjuangkan Nizam dan melawan Satria.

Saat memikirkan hal tersebut, tiba-tiba saja sesuatu menabrak kaki Rara dengan kencang.

DUGH!

“Ah!” 

Rara menoleh, mendapati seorang bocah laki-laki kecil berumur lima tahun menabraknya dan terjatuh di tanah. 

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Rara yang langsung berjongkok di depan bocah itu. 

Saat bocah tersebut mengangkat kepalanya, Rara tercengang. 

Mata sehitam obsidian itu sangat menghipnotis, terlebih dipasangkan dengan hidung mancung dan wajah bulat menggemaskan.

Bocah yang tampan,’ batin Rara. 

Melihat Rara mengkhawatirkan keadaannya, bocah laki-laki itu langsung memeluknya. "Tolong Daffa, Tante!" Dia menunjuk ke belakang. "Daffa dikejar orang!"

Mendengar ucapan itu, segera Rara menggendong bocah yang sepertinya berusia empat tahun tersebut, khawatir bocah bernama Daffa itu hampir menjadi korban penculikan.

"Daffa tenang saja. Daffa aman sama Tante," hibur Rara sembari tersenyum dan menepuk punggung Daffa, membuat bocah laki-laki tersebut mengamatinya dalam diam, seakan terpesona dengan kelembutan Rara.

Tepat pada saat itu, seorang wanita muda dengan pakaian pelayan datang terengah-engah. 

"T-Tuan Muda, Tuan Muda kita pulang, ya …,” pinta wanita muda itu dengan wajah kelelahan. “K-kalau Tuan pulang dan tahu Tuan Muda masih belum tidur, pasti Tuan marah!” rengek sang pelayan sebelum Rara sempat bertanya apa pun.

Mendengar permohonan sang pelayan, Rara mengerjap bingung. Namun, balasan Daffa membuatnya lebih terkejut.

“Nggak! Daffa nggak mau tidur! Papa sudah janji mau temenin Daffa tidur, tapi malah belum pulang!”

Tak elak Rara pun tersenyum tak berdaya. Ternyata, bocah ini yang kabur dari rumah, itulah alasan dirinya dikejar sang pelayan.

“Jadi, Daffa kabur karena tidak mau tidur?”

Pertanyaan Rara membuat Daffa terkesiap, sadar dirinya sudah membocorkan kebenaran. Dengan dua mata bulatnya, Daffa memasang wajah memelas.

“Iya, Tante …,” jawab bocah itu dengan jujur. Kemudian, Daffa cepat-cepat memohon, “Tapi Daffa nggak mau pulang, Tante. Tante jangan serahin Daffa ke Kakak Jahat ya!”

Mendengar dirinya dipanggil ‘Kakak Jahat’, pelayan wanita itu meringis, seakan ingin menangis karena sakit hati. Dirinya hanya orang yang bekerja sesuai perintah, oke!?

Menepiskan rengekan Daffa, Rara mengusap kepala bocah itu dan bertanya, “Kenapa Daffa tidak minta ditemani mama Daffa saja? Sama saja ‘kan ditemani tidur Mama maupun Papa?"

Mendengar pertanyaan tersebut, Daffa menjawab dengan wajah polos, "Daffa nggak punya Mama, Tante. Mama Daffa sudah nggak ada."

Mata Rara membesar, tidak menyangka bahwa ibu anak itu sudah meninggal!

"M-maafkan tante, Sayang, Tante–"

Belum sempat Rara selesai berbicara, terdengar suara seorang pria yang berseru, "Daffa!"

Daffa pun tersentak dan menoleh. Rara yang melihat ketakutan di wajah bocah tersebut juga mengarahkan pandangannya ke sumber suara. 

Detik itu juga, Rara terkejut. 

Tampak seorang pria dengan manik hitam segelap malam, bibir tipis, dan juga rahang tegas datang menghampiri dirinya dan Daffa. Dalam balutan jas mewah, pria itu menguarkan aura dominasi yang elegan.

Tampan sekali …,’ batin Rara dalam hati.

Saat pandangan mereka bertemu, pria tampan itu menautkan alis dan memanggil, “Rara?”

Dipanggil, Rara hanya bisa terbengong.

Tunggu, pria tampan itu … mengenalinya?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ismah Nurmillah Hayati
eiittsss siapa tuh Ra?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status