Sesaat Satria hanya diam sembari menatap wajah Rara. Akan tetapi, tekad sang adik membuatnya menutup mata dan berujung mengangguk.
“Lakukan apa yang kamu mau,” ucap pria tersebut seraya berdiri dari kursinya. “Sudah malam, istirahatlah. Besok kita bahas kembali masalah ini.”
Sepeninggal Satria, Rara langsung membersihkan diri dan menidurkan Bella. Namun, dirinya tidak kian bisa tertidur karena terus memikirkan masalah yang menimpanya hari itu.
Alhasil, Rara pun memutuskan untuk keluar kediaman dan berjalan-jalan di taman perumahan tersebut.
“Sudah banyak yang berubah …,” gumam Rara seraya memerhatikan sekeliling.
Ditemani remang lampu taman dan sejumlah orang yang masih berjalan-jalan santai, Rara menjejakkan kaki di taman perumahan. Hal itu membuat wanita itu teringat akan masa kecilnya.
Setiap sore Rara akan menghabiskan waktu bersama orang tua dan kedua kakaknya di taman. Berbincang, bermain, dan berbagi kebahagiaan yang terasa begitu sederhana.
Namun, semua itu berubah ketika suatu musibah menimpa.
Siang itu, orang tua dan kakak kedua Rara sedang dalam perjalanan pulang dari sebuah konferensi. Mendadak, sebuah truk tronton yang melintas dari arah berlawanan menghantam mobil mereka karena sopir truk yang mengantuk. Seketika, hal itu menyebabkan orang tua dan kakak kedua Rara meninggal di tempat.
Akibat kejadian itu, Rara yang berusia enam tahun menjadi seorang yatim piatu. Dan Satria, kakak pertama Rara yang di masa itu berusia tujuh belas tahun, dipaksa dewasa lebih cepat untuk mengurus semuanya.
‘Kalau dipikir-pikir lagi, tidak heran Kak Satria begitu keras dan dingin,’ batin Rara. ‘Takdir hidup memang tidak begitu ramah padanya ….’
Dari kematian orang tua dan adik keduanya, sampai seluruh harta peninggalan ayah dan ibunya. Satria harus mengurus semuanya seorang diri selagi menghindari pihak-pihak yang berusaha mengambil keuntungan dari meninggalnya kedua orang tuanya.
Dengan sifat yang begitu keras, Satria sampai-sampai lebih memilih mengusir Rara saat wanita itu menentangnya untuk menikah dengan Nizam.
"Bodoh kamu, Rara,” gumam Rara saat mengenang masa-masa dirinya memperjuangkan Nizam dan melawan Satria.
Saat memikirkan hal tersebut, tiba-tiba saja sesuatu menabrak kaki Rara dengan kencang.
DUGH!
“Ah!”
Rara menoleh, mendapati seorang bocah laki-laki kecil berumur lima tahun menabraknya dan terjatuh di tanah.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Rara yang langsung berjongkok di depan bocah itu.
Saat bocah tersebut mengangkat kepalanya, Rara tercengang.
Mata sehitam obsidian itu sangat menghipnotis, terlebih dipasangkan dengan hidung mancung dan wajah bulat menggemaskan.
‘Bocah yang tampan,’ batin Rara.
Melihat Rara mengkhawatirkan keadaannya, bocah laki-laki itu langsung memeluknya. "Tolong Daffa, Tante!" Dia menunjuk ke belakang. "Daffa dikejar orang!"
Mendengar ucapan itu, segera Rara menggendong bocah yang sepertinya berusia empat tahun tersebut, khawatir bocah bernama Daffa itu hampir menjadi korban penculikan.
"Daffa tenang saja. Daffa aman sama Tante," hibur Rara sembari tersenyum dan menepuk punggung Daffa, membuat bocah laki-laki tersebut mengamatinya dalam diam, seakan terpesona dengan kelembutan Rara.
Tepat pada saat itu, seorang wanita muda dengan pakaian pelayan datang terengah-engah.
"T-Tuan Muda, Tuan Muda kita pulang, ya …,” pinta wanita muda itu dengan wajah kelelahan. “K-kalau Tuan pulang dan tahu Tuan Muda masih belum tidur, pasti Tuan marah!” rengek sang pelayan sebelum Rara sempat bertanya apa pun.
Mendengar permohonan sang pelayan, Rara mengerjap bingung. Namun, balasan Daffa membuatnya lebih terkejut.
“Nggak! Daffa nggak mau tidur! Papa sudah janji mau temenin Daffa tidur, tapi malah belum pulang!”
Tak elak Rara pun tersenyum tak berdaya. Ternyata, bocah ini yang kabur dari rumah, itulah alasan dirinya dikejar sang pelayan.
“Jadi, Daffa kabur karena tidak mau tidur?”
Pertanyaan Rara membuat Daffa terkesiap, sadar dirinya sudah membocorkan kebenaran. Dengan dua mata bulatnya, Daffa memasang wajah memelas.
“Iya, Tante …,” jawab bocah itu dengan jujur. Kemudian, Daffa cepat-cepat memohon, “Tapi Daffa nggak mau pulang, Tante. Tante jangan serahin Daffa ke Kakak Jahat ya!”
Mendengar dirinya dipanggil ‘Kakak Jahat’, pelayan wanita itu meringis, seakan ingin menangis karena sakit hati. Dirinya hanya orang yang bekerja sesuai perintah, oke!?
Menepiskan rengekan Daffa, Rara mengusap kepala bocah itu dan bertanya, “Kenapa Daffa tidak minta ditemani mama Daffa saja? Sama saja ‘kan ditemani tidur Mama maupun Papa?"
Mendengar pertanyaan tersebut, Daffa menjawab dengan wajah polos, "Daffa nggak punya Mama, Tante. Mama Daffa sudah nggak ada."
Mata Rara membesar, tidak menyangka bahwa ibu anak itu sudah meninggal!
"M-maafkan tante, Sayang, Tante–"
Belum sempat Rara selesai berbicara, terdengar suara seorang pria yang berseru, "Daffa!"
Daffa pun tersentak dan menoleh. Rara yang melihat ketakutan di wajah bocah tersebut juga mengarahkan pandangannya ke sumber suara.
Detik itu juga, Rara terkejut.
Tampak seorang pria dengan manik hitam segelap malam, bibir tipis, dan juga rahang tegas datang menghampiri dirinya dan Daffa. Dalam balutan jas mewah, pria itu menguarkan aura dominasi yang elegan.
‘Tampan sekali …,’ batin Rara dalam hati.
Saat pandangan mereka bertemu, pria tampan itu menautkan alis dan memanggil, “Rara?”
Dipanggil, Rara hanya bisa terbengong.
Tunggu, pria tampan itu … mengenalinya?
“Rara?” panggil pria tampan itu dengan alis tertaut, seakan tak menyangka akan melihat sosok Rara di sana.Dengan wajah kebingungan, Rara memiringkan kepala. “Anda mengenal saya?” tanyanya dengan bahasa yang sangat sopan.Raut wajah yang tadi dingin dan serius itu sedikit melembut. “Kamu tidak ingat?” balasnya, membuat Rara menggelengkan kepala. “Aku Arjuna.”Sontak, Rara terbelalak. “Arjuna?!” ulangnya sembari memeriksa penampilan pria itu dari atas ke bawah, mencoba meyakinkan diri sendiri. “Kak Arjuna temannya Kak Satria?!”Arjuna mengangguk, wajahnya datar. "Ya. Lama tidak bertemu."Kedua sudut bibir Rara tertarik membentuk sebuah senyuman. "Lama tidak bertemu, Kak Juna."Arjuna Maheswara, itu adalah nama lengkap pria di hadapan. Pria dingin yang merupakan sahabat Satria sejak SMA … sekaligus cinta pertama Rara yang tak pernah terungkapkan. Kalau bukan karena dulu pria itu bertunangan lebih dulu dengan wanita lain sebelum Rara berani mengutarakan perasaannya, mungkin Rara tidak a
Tiga hari setelah tinggal bersama Satria, Rara telah didorong kakaknya itu untuk membenahi berbagai macam hal dalam hidupnya. Dimulai dari penampilannya, pola makannya, juga waktu istirahatnya. Bahkan pendidikan Bella pun diwajibkan oleh Satria untuk diurus dengan lebih hati-hati.Walau kelelahan dan penderitaan selama empat tahun ke belakang masih sedikit terlihat dari kantung matanya, tapi pancaran mata Rara yang sebelumnya kuyu itu sudah berubah menjadi jauh lebih cerah. Sekarang, berbalut kemeja putih dan rok pensil hitam, terlihat wanita itu sedang dalam perjalanan ke suatu tempat.Sambil menatap ke luar jendela mobil, Rara mengingat perkataan Satria tiga hari yang lalu."Kamu harus melatih kemampuan bisnismu lagi," titah Satria. “Temui aku di Jaya Corp besok jam sembilan.”Dengan tekad bulat untuk membenarkan hidupnya dan juga memastikan hidup Bella tercukupi, Rara pun hanya bisa menuruti perintah sang kakak. Walau sejujurnya, dia ragu apakah kemampuannya masih bisa digunakan.
Permintaan Arjuna membuat suasana di lobi menjadi menegang. Semua orang langsung memusatkan perhatian kepada sosok Rara, bertanya-tanya apa sebenarnya identitas wanita itu beserta apa hubungannya dengan Arjuna.“Mungkinkah … wanita itu calon Tuan Arjuna yang baru?”“Cantik sih memang … jadi iri ….”Komentar-komentar itu membuat Rara merasa tidak nyaman. Dia pun menarik lengan pakaian Arjuna lagi.“Kak … sudah, jangan diperpanjang ….”Arjuna menautkan alis. “Tidak bisa,” tegasnya. “Yang bersalah harus minta maaf.”Mendengar balasan Arjuna, Rara merasa hatinya tergelitik. Sungguh … sudah berapa lama dirinya dibela seseorang seperti ini?Jujur, Rara jadi terharu.Sementara itu, di sisi Jeny dan Nizam, keduanya tampak marah dan tidak rela. Tangan Nizam bergetar, dia jelas tidak akan sudi minta maaf kepada mantan istrinya itu! Apa lagi saat melihat jelas Rara dan Arjuna saling menggoda di depan matanya!‘Dasar jalang!’ maki Nizam.Akan tetapi, di luar dugaan Nizam, Jeny akhirnya menyatakan
Mendengar ucapan Satria, kedua mata Rara membola. "Kakak, pikirkanlah dengan baik!” sergah Rara. “Posisi presdir bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan sembarang orang, terlebih aku yang tak pernah memiliki pengalaman bekerja."Selain membantu Satria perihal laporan keuangan dulu saat kuliah, Rara tidak sempat bekerja karena dirinya langsung menikah dengan Nizam. Oleh karena itu, wanita itu tidak yakin bisa menjabat dengan baik posisi presiden direktur perusahaan!“Bagaimana kalau perusahaan merugi di bawah pimpinanku?” tanya Rara.Satria menaikkan alis kanannya. "Bukan masalah,” jawabnya santai. “Yang penting dirimu belajar sesuatu.”Rara merasa keputusan Satria terlalu gegabah. Dia pun kemudian menoleh pada Arjuna, mencoba mendapatkan dukungan.Perusahaan Arjuna juga bekerja sama dengan Jaya Corp. Kalau Jaya Corp merugi, maka hal itu akan berdampak pada usaha pria tersebut juga."Kak Arjuna, tolong katakan sesuatu ….”“Aku tidak lihat ada masalah,” sahut Arjuna cepat tanpa keraguan.
Bab 9“Ini pasti ada kesalahan! Mana mungkin saya ditawarkan jadi cleaning service?!” sahut Nizam dengan setengah panik.Jeny yang ada di seberangnya juga tampak bingung."Ini sudah menjadi keputusan direktur Jaya Corp, tidak bisa diganggu gugat." Dari sisi telepon yang lain, terdengar perwakilan HRD Jaya Corp dengan suara yang tegas. "Jika Anda menolak, maka tawaran ini akan diberikan pada orang lain."Mulut Nizam menganga, tentu dia ingin protes dengan keputusan yang menurutnya sangat tidak benar itu. "Tapi, ini pasti ada kesalah–" "Saya menunggu jawaban Anda, satu kali dua puluh empat jam. Terima kasih."Belum sempat membalas, panggilan tersebut telah terlebih dahulu diakhiri, membuat Nizam melongo di tempat.Jeny yang sejak tadi terus mengamati Nizam pun ikut mengerutkan keningnya. "Kenapa, Zam? Kok kamu sebut-sebut cleaning service?" tanyanya.Nizam langsung mengalihkan pandangan pada Jeny. "Kamu yakin ‘kan ketika kita bicara dengan Pak James tadi kita sudah jelas bilang aku mau
“Pak Nizam, Bu Jeny, kita bertemu lagi.”Saat melihat mantan istri yang telah dibuangnya itu tiba-tiba kini berdiri tepat di hadapannya, di ruang presdir Jaya Corp, Nizam spontan mundur satu langkah dengan mulut terbuka. “Rara?!” seru Nizam dengan suara keras, membuat Linda mengerutkan keningnya dengan tidak nyaman, tidak suka nama sang atasan dipanggil langsung oleh pria itu.Tak jauh beda dengan ekspresi yang ditunjukan oleh Nizam, Jeny pun teramat kaget dan sampai membelalakkan matanya. 'Rara lagi?!' batinnya.Hanya saja, berbeda dari Nizam, wanita licik itu lebih mampu mengontrol perasaannya. Dengan agak ragu dia pun bertanya, "Kamu … presiden direktur Jaya Corp?"Otak dua orang itu–Nizam dan Jeny–berputar. Kalau jawaban pertanyaan itu adalah ‘ya’, maka lupakan saja bekerja di perusahaan ini, menginjakkan kaki lagi saja mungkin tidak akan bisa!Akan tetapi, bagaimana mungkin wanita seperti itu bisa menjadi presdir Jaya Corp? Memangnya dia itu putri hilang keluarga kaya!? Nggak m
Suara teh yang dituangkan ke dalam gelas terdengar dalam ruang kantor presdir Jaya Corp yang hening.Jeny dan Nizam tengah duduk berseberangan dengan Rara. Di dekat mereka, sosok Linda tengah menyuguhkan minuman untuk tiga orang tersebut.“Terima kasih, Linda,” ucap Rara setelah minumannya selesai dituang.Di seberang Rara, tampak wajah Jeny dan Nizam agak gelap. Berhadapan dengan Rara dalam posisi seperti ini, membuat Nizam ingin berkata kasar dan mengejek Rara seperti tadi pagi. Hanya saja lelaki itu terfokus pada inti masalah.“Jangan banyak mengulur waktu, Rara. Aku tidak punya waktu untuk dibuang karena harus kembali ke kantor!” celetuk Nizam dengan tidak sabar. “Apa pesan presiden direktur?!”Rara tersenyum tipis, lalu dia pun berkata, "Pesan sang presdir adalah … jika Pak Nizam ingin menjadi manager, maka harus menunjukkan kemampuan terlebih dulu." Dia sudah tidak sudi memanggil mantan suaminya itu dengan panggilan ‘mas’."Main curang dengan rekomendasi buta dan kolusi orang d
"Sial! Kenapa bisa seperti ini sih?!" Di dalam mobil, Nizam memukul setir dengan penuh amarah. "Kenapa wanita itu bisa jadi asisten presiden direktur?! Atas dasar apa?!"Sepanjang perjalanan pulang, Nizam terus menggerutu mengenai sikap Rara dan juga tawaran yang diberikan oleh presdir Jaya Corp. Sementara pria tersebut melakukan tersebut, di sebelahnya, Jeny terlihat melipat tangan dengan wajah serius. Ucapan Rara di ruang sang presdir tadi terus terngiang di otaknya. “Apa Nizam sungguh mencintaimu … atau hanya menginginkan harta dan mendapatkan keuntungan dari dirimu?”Dari detik pertanyaan itu terlontar, jujur saja hati Jeny diselimuti ketidaknyamanan. Bukan hanya karena sosok Rara yang dia kenal dari cerita Nizam jauh berbeda dari aslinya, tapi juga karena ucapan wanita itu menghantui ketenangannya.Diam-diam, Jeny melirik Nizam. Ada sejuta pertanyaan dalam hatinya.Dahulu, Nizam berkata bahwa Rara adalah wanita bodoh dan dekil yang bahkan tidak becus mengurus rumah. Tidak hanya