"Kamu mau, Alula?" Sekarang giliran Gaza yang bertanya, dan mulai melihat ke arahku. Padahal dari tadi dia sok-sokan nggak menganggap ada aku di sini.
Pandangan mataku dan Gaza bertemu. Tatapan yang sudah lama nggak aku lihat semenjak dia mulai menghindariku. Dan sekarang, demi permintaan pacarnya itu, Gaza menyuruhku?
"Mau, ya, Alula, please ...," rayu Lashira dengan tatapan memohonnya, dan sekarang dia memegang lenganku, seperti anak kecil yang sedang meminta dibelikan permen oleh ibunya.
Aku bingung, mau menurutinya atau enggak. Mau menurut, kok aku rasanya kek jadi babu, tapi kalau nggak dituruti, aku kasihan sama Lashira.
"Eh, maaf, Alulanya nggak bisa. Dia lagi capek, jadi jangan disuruh-suruh," kata Alena dengan tegas. Kuyakin sahabatku ini pasti nggak rela aku disuruh-suruh sama pacar mantannya.
Alena menyenggol lenganku, dan reflek aku menoleh ke arahnya. Dia berkedip dan itu adalah isyarat agar aku menurutinya.
"I
"Kamu mau jadi partner saya malam ini, Baby?" bisiknya di telingaku. Seketika tubuhku menegang dipanggil seperti itu olehnya. Degub jantung kini kian kencang, apalagi saat kutahu Alena menghilang entah ke mana, hingga menyisakanku berdua dengan Gaza. Kenapa waktu dipanggil dengan sebutan 'baby' tadi, aku seperti akan mengingat sesuatu, tapi aku juga bingung itu apa. Rasanya sebutan itu kek familiar. "Kalau kamu diam, berarti jawabannya, iya," putus Gaza, dan kini dia sudah berani menggenggam tanganku. Ada gelenyar aneh saat tangan ini digenggam olehnya. Waktu pacaran dulu, sepertinya kami nggak pernah bergenggaman tangan seperti ini. Dulu Gaza adalah orang yang sangat menghormati perempuan. Aku buru-buru sadar saat Gaza mulai menuntunku dan berjalan beberapa langkah dari tempat tadi. "Lepas, Pak! Saya nggak mau jadi partner Bapak." "Kenapa kamu jadi berubah pikiran?" Gaza menatapku heran. "Saya da
Merasakan kepala yang sedikit pusing, aku mencoba untuk membuka mata. Tunggu, kenapa bagian perutku terasa berat, seperti ada sesuatu di atasnya?Begitu kubuka mata, aku langsung kaget karena ada sebuah tangan kokoh berada melingkar di perutku. Dan ...."Aaargh!" jeritku ketika tahu siapa pemilik tangan itu, yang posisinya tidur sambil memelukku. Refleks, aku pun terduduk.Dia pun terbangun, mungkin karena kaget mendengarku menjerit."Alula! Ini masih pagi, kenapa kamu teriak-teriak?" tanyanya tanpa merasa bersalah."Harusnya gue yang tanya sama lo, kenapa lo bisa tidur sambil meluk gue?" Aku balik bertanya dengan nada kesal.Yang ditanya hanya menaikkan sebelah alisnya, lalu kembali memejamkan mata. Tentu itu membuatku jadi tambah kesal."Gaza jawab! Kenapa lo bisa tidur di sini?" tanyaku lagi, "pasti lo nyelonong masuk ke kost gue, kan?"Gaza bangkit, lalu duduk sambil bersandar pada
"Bi, kalau boleh tau, hubungan Gaza sama Lashira sudah sejauh apa, Bi?""Non Lashira sama tuan Gaza ....""Bi Ijah, sarapannya sudah siap?" tanya Gaza yang tiba-tiba datang.Huh! Mengganggu saja, padahal sebentar lagi semua bakal terkuak."Sudah, Tuan. Nasi goreng ebi sesuai request-an Tuan tadi malam."Gaza mengangguk, lalu duduk di meja makan. Bi Ijah segera menyiapkan sarapan untuk majikannya itu, sedangkan aku kembali lagi ke kamar Gaza setelah dia menyuruh agar aku mandi di kamar mandi yang terletak di kamarnya.Setelah berada di kamar mandi, aku bingung, karena sehabis mandi nanti mau pakai baju apa. Nggak mungkin dong, piyamanya dipakai lagi, gaun yang tadi malam juga nggak tahu di mana.Saat sedang mikir sambil mondar-mandir di kamar mandi, tiba-tiba pintunya diketuk."Non Alula, ini bibi, mau bawain baju ganti buat Non."Wah, kebetulan banget, tuh."Iy
"La, lo dari mana aja?" tanya Alena begitu aku sampai di depan pintu kost-ku. Ternyata semalam dia pulang ke sini."Harusnya gue yang tanya ke lo, lo ke mana aja, sampai gue bisa di apartemen Gaza," kataku sambil nyelonong masuk ke tempat berteduhku selama aku mencari nafkah di kota ini. Setelahnya, aku langsung merebahkan tubuh di kasur lantai yang sudah mulai lusuh.Alena menggaruk-garuk kepalanya yang aku yakin nggak gatal itu. Dia duduk sambil mengamatiku."Keknya lo salah paham, La. Gue jelasin, ya." Dia mengambil napas sejenak. "Jadi, semalam gue liat lo pingsan, dan lagi ditolong sama pak Gaza, La. Gue mendekat, dan bilang sama pak Gaza kalau mau bawa pulang lo. Tapi, waktu gue mau pesen taksi online, pak Gaza bilang kalau dia yang mau nganterin lo pulang, dia minta alamat kost ini ke gue, ya, udah gue kasih.""Terus, setelah itu?" tanyaku mulai penasaran. Kini aku ikut duduk menghadap Alena."Setelah gu
"Lashira dan Agung ini kakak beradik," ucap Gaza, tapi tak membuatku percaya. Entah mengapa Gaza seperti menyembunyikan sesuatu."Kalau kakak beradik, kenapa cowok ini tadi panggil Lashira 'sayang' Pak?" tanya Alena. Aku yakin Lashira merasa semakin terpojok."Benar begitu, Agung?" Gaza menatap cowok yang disebutnya Agung itu.Agung menatap Gaza, kemudian beralih menatap Lashira. Seperti ada sesuatu yang Lashira utarakan lewat tatapan mata itu.Setelah bertatapan dengan Lashira, kini giliran Agung menatap ke arahku, dan Alena. "Iya, gue dan Lashira itu kakak adik. Karena Lashira adik gue, makanya gue panggil dia sayang.""Terus, kenapa lo kek bingung tadi, waktu gue bilang Lashira selingkuh?" tanya Alena ketus."Ya, gue bingung dong. Selama ini kan, Lashira emang nggak pernah selingkuh." Jawaban yang menurutku mbulet. Aku curiga si Agung ini bersekongkol sama Lashira. Bisa aja kan, kalau sebenarnya mereka
Tarik napas yang dalam, lalu keluarkan. Baiklah, tuan mantan, aku turuti kemauanmu. Kucium tangan kekar itu, dan aku rasa Gaza menegang akibat perlakuanku. Tiba-tiba .... "Gaza!" Karena kaget mendengar Gaza dipanggil seseorang, aku pun refleks melepaskan tangan Gaza, dan beralih menoleh ke sumber suara. Waduh, ternyata pak Abraham. Beliau kini menatap heran ke arahku, dan Gaza. "Iya, Pa," jawab Gaza datar, eh, lebih tepatnya santai kek nggak ada apa-apa. Berbanding terbalik denganku yang mulai merasa ketakutan. "Apa yang kalian berdua lakukan di sini?" tanya pak Abraham. "Papa tadi lihatnya bagaimana?" Gaza balik bertanya. Sumpah, ya, kalau aku jadi pak Abraham, sudah kupites tuh Gaza. Ngomong sama papanya sendiri kok nggak sopan. Pak Abraham menghembuskan napas kasar. Kalau kutebak sih, beliau lagi kesal karena jawaban dari anaknya tadi. "Ya, maksudnya kenapa Al
Dengan napas terengah-engah, aku menuju ruangan Gaza. Harus banget minta penjelasan ke dia, kenapa fitnah aku kalau aku hamil sama dia, sampai-sampai aku dibawa bu Indira ke rumah sakit buat cek kehamilan."Gaza! Apa maksud lo pake bilang ke pak Abraham, dan bu Indira, kalau gue hamil anak lo!" tuntutku begitu masuk ke ruangan Gaza, dan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu seperti biasanya.Dia sepertinya terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba, apalagi sambil marah-marah. Mungkin sekarang keadaanku di matanya bak orang gila."Kamu bisa ketuk pintu dulu sebelum masuk, kan?" Dia malah melempar tanya.Aku memutar bola mata, kesal rasanya. "Kelamaan! Gue ke sini mau minta penjelasan dari Lo.""Bisa bicara lebih sopan? Saya di sini atasan kamu, Alula," ucapnya sok.Menghembuskan napas kasar, kemudian aku berjalan mendekat ke arahnya. Tanpa menunggu disuruh duduk, aku lebih dulu mendaratkan pantat di kursi
"Baiklah. Saya mau mengantar ini," ucap Gaza seraya menyodorkan sebuah paper bag.Apa ya, isinya?"Apa, tuh?" tanyaku sambil menatap paper bag itu, namun belum kuterima."Kamu bisa membukanya nanti di dalam."Oke, aku terima aja, barangkali isinya emas atau berlian. Eh, nggak mungkinlah mantan ngasih gituan!"Thanks," ucapku, "ya, udah, lo nggak ada urusan lagi, kan? Pergi sana, gue mau masuk."Bukannya pergi seperti kataku, Gaza justru hanya sedikit bergeser dari tempatnya berdiri. "Silakan masuk. Saya harap kamu tidak terkejut setelah melihat isinya."Aku mengerutkan dahi, kurang paham dengan maksudnya. Jangan-jangan, di dalam paper bag ini ada barang terlarang atau ...."Kenapa kamu menatap saya seperti itu? Tenang saja, isinya bukan narkoba atau pun sejenisnya." Gaza tersenyum miring.Udahlah, buang pikiran buruk jauh-jauh. Nggak baik juga buat kesehatan kalau mikir yan