“Kamu mengumpat saya?”
Nindy langsung membalik tubuhnya dengan cepat saat mendengar suara yang berasal dari belakangnya. Wajahnya seketika memucat saat melihat Billy sudah berdiri di pintu dengan wajah datarnya. Dia terlihat bersandar di pintu dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada, matanya nampak menyorot tajam dirinya.
“Tidak, Pak. Sepertinya Bapak salah dengar,” jawab Nindy setelah terdiam selama beberapa detik. Dia menggigit bibir bawahnya dengan wajah tegang, takut Billy akan marah karena dia sudah berani mengumpatnya.
“Kamu kira saya tuli?” Melihat aura mengintimidasi yang kuat dari Billy, Nindy pun tidak berkutik untuk membela diri.
"Saya tidak mengatakan Bapak tuli," jawab Nindy lirih.
"Lalu?"
Belum sempat Nindy menjawab pertanyaan Billy, terdengar suara dari arah belakang Billy.
“Permisi, Pak.” Orang yang menginterupsi obrolan keduanya adalah Dewi.
“Ada apa?” Billy menoleh pada Dewi dengan ekspresi kesal, merasa sedikit terganggu dengan kedatangan Dewi yang tiba-tiba.
“Itu ...” Dewi berjalan mendekat, lalu melanjutkan ucapannya, “Saya mau bicara sama Nindy sebentar, Pak.”
Billy hanya diam, tapi dia menyingkir dari pintu, memberikan jalan untuk Nindy yang sudah berjalan menuju Dewi. Dengan wajah datarnya, Billy memperhatikan interaksi keduanya dengan tangan yang kini sudah berada di saku celananya.
“Kenapa?” Nindy bertanya dengan suara pelan setelah berada di dekat Dewi.
“Dimas cari kamu. Dia ada di bawah.”
Nindy mengerutkan kening sebentar, lalu mengangguk. “Iyaa, nanti aku ke bawah.”
Setelah Dewi pergi, Nindy meminta ijin pada Billy untuk pergi sebentar.
“Jangan lama-lama. Saya butuh data itu cepat.” Usai mengatakan itu, Billy melangkah pergi menuju ke ruangannya dengan ekspresi acuh tak acuh.
Nindy menghela napas panjang dengan wajah kesal. Lama-lama berada di dekat Billy membuat tekanan darahnya naik. Dia pun segera berjalan ke bawah untuk menemui Dimas.
“Kenapa, Dim?” tanya Nindy sambil menghampiri Dimas yang sedang menyadarkan tubuhnya di samping kanan pintu mobilnya. Keduanya saat ini sedang berada di parkiran depan kantor Nindy.
“Ini dari mama,” ucap Dimas sambil menyodorkan dua paper bag pada Nindy.
“Kamu habis pulang?” tanya Nindy setelah meraih paper bag tersebut.
Pria itu bernama Dimas itu terlihat tersenyum manis. “Iyaa. Cuma dua hari. Itu mama titip buat kamu, katanya harus langsung kasih ke kamu,” Dimas berdiri tegak, lalu berkata, “Tadi aku ke rumah kamu, tapi kamunya gak ada.”
“Aku udah berangkat.”
“Tumben.”
Biasanya Nindy berangkat pukul 7 pagi dari rumahnya. Itu sebabnya, Dimas merasa heran. Padahal, saat tiba di rumah Nindy, masih pukul 06.40 WITA.
“Iyaa, ada bos baru di kantor, jadi disuruh datang pagi.”
Dimas manggut-manggut mendengar itu. “Ya udah, aku balik, ya?”
“Iyaa, sorry gak bisa ngajak ngobrol. Lagi banyak kerjaan.”
Biasanya, jika Dimas sedang ke kantornya, Nindy akan mengajaknya untuk mengobrol sebentar di kantin kantornya. Berhubung ada Billy, dia tidak bisa melakukan itu, takut mantan kekasihnya itu nanti memarahinya.
“Gak apa-apa. Aku juga harus kerja.”
Setelah berpamitan, Dimas masuk ke dalam mobil. “Nanti malam aku ke rumah kamu.”
Nindy hanya mengangguk, lalu melambaikan tangannya saat mobil Dimas mulai melanju meninggalkan kantornya. Nindy tidak tahu kalau di lantai atas, ada sepasang mata yang sejak tadi menatap ke arah mereka berdua.
*****
Setelah meletakkan paper bag di ruangannya, Nindy kembali ke ruangan penyimpanan dokumen. Namun, ketika melewati ruangan Billy, dia tidak melihat sosoknya di dalam ruangan tersebut.
'Ke mana dia?
Aah, masa bodo. Apa peduliku, terserah dia mau ke mana. Akan lebih baik kalau dia segera kembali ke kantor pusat, biar aku gak perlu lihat dia lagi.'
Nindy kembali melanjutkan langkahnya menuju ruangan yang berada di pojok. Sementara di ruangan lain, masih di lantai 2, Billy sedang duduk di tengah meja panjang bersama dengan dengan tim audit, orang pusat serta Pak Edwin. Dia sedang mengawasi tim audit sambil bertanya pada Pak Edwin mengenai pekerjaan.
“Untuk lebih detailnya, Bapak bisa bertanya pada Nindy, karena semuanya dia yang mengurus," ucap Pak Edwin saat Billy menanyakan mengenai beberapa berkas penting padanya.
“Apa mungkin Nindy juga terlibat dengan kasus penggelapan yang dilakukan Pak Edwin?” tanya Billy dengan wajah serius. Pasalnya, beberapa dokumen yang janggal ada tanda tangan Nindy di dalamnya.
“Saya juga tidak tahu, Pak, tapi menurut saya tidak mungkin. Selama bekerja di sini, dia salah satu karyawan yang baik dan jujur. Tidak pernah sekali pun berbuat curang.”
Billy terdiam sejenak kemudian berkata, “Saya akan periksa dengan teliti. Jika terbukti dia terlibat dalam kasus penggelapan ini, terpaksa saya juga harus memecatnya sama seperti Pak Hengky.”
“Jika seandainya Nindy juga terlibat, apa Bapak juga akan melaporkannya ke polisi seperti Pak Hengky?” tanya Pak Edwin dengan wajah seriusnya.
"Menantu Anda tidak sakit, tapi dia sedang hamil," jawab Dokter wanita itu dengan senyuman tipis. "Hamil?" ulang Amara dengan wajah tercengang. "Maksud Dokter, ada calon cucu saya di perut menantu saya?" Meski dia sudah menduga kalau menantunya hamil, tapi Amara tetap terkejut ketika mendengar langsung berita baik itu dari mulut sang dokter. "Benar sekali." Nindy yang sejak tadi mendengar itu, tampak mengusap perutnya dengan lembut sambil tersenyum bahagia. Bagaimana tidak bahagia, dirinya bisa langsung hamil setelah pulang dari berbulan madu, sementara kakak iparnya belum hamil sampai sekarang. Padahal, dia sangat berharap bisa segera hamil setelah menikah. "Untuk memastikannya, silahkan langsung melakukan pemeriksaan USG dengan Dokter Obgyn." Setelah tiba di rumah sakit, Amara langsung membawa Nindy ke IGD. Sebenarnya, dia sudah curiga sejak awal kalau menantunya sedang hamil setelah putranya bercerita kalau sudah beberapa hari Nindy tidak napsu makan dan pagi tadi mengal
"Sayang, berhenti. Jangan main-main." Billy mencoba memperingatkan Nindy sejak tadi terus memainkan jemari lentiknya di dada bidangnya. Saat ini keduanya sedang berbaring di ranjang dengan posisi Billy bertelanjang dada menghadap ke langit-langit, sementara Nindy sedang berbaring miring menghadap Billy dengan mengenakan pakaian tidur tipis dan seksi "Aku cuma mau pegang, memangnya nggak boleh?" Billy memejamkan mata sambil menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan saat merasakan tangan Nindy semakin turun ke bawah. "Boleh, tapi jangan lama-lama. Nanti kamu menyesal." Nindy mengabaikan peringatan Billy dan semakin berani meraba tubuh sang suami. "Sayang, cukup." Nindy seketika menghentikan gerakan tangannya ketika tiba di otot perut Billy. "Kamu nggak suka aku pegang badan kamu?" Sebisa mungkin Billy berkata dengan pelan agar tidak menyinggung perasaan sang istri. "Nggak, Sayang. Aku suka, tapi ini untuk kebaikan kamu. Kamu sendiri yang rugi kalau terus memancin
"Sayang, kamu berdiri di sana, nanti aku foto," tunjuk Billy pada latar bangunan berwarna putih yang memiliki kubah warna biru. Saat ini keduanya sedang berada di Thira atau lebih dikenal dengan Santorini. Thira atau Santorini adalah pulau vulkanik yang berada di antara Pulau Ios dan Anafi, Yunani. Santorini terletak di Kepulauan Cyclades sekitar 200 km dari daratan Yunani. Di pulau ini, sangat terkenal dengan sejarah gunung meletus serta keindahan bangunan-bangunan putih dan gereja berkubah biru yang berada di pinggir tebing atau di bangun di atas lereng kaldera yang berada di kota Oia. "Aku nggak mau foto sendirian, maunya sama kamu." Ketika mendengar itu, Billy tidak tahan untuk menggodanya. "Sekarang, kayaknya kamu nggak bisa jauh-jauh dari aku, maunya nempel terus. Aku pergi ke mana, selalu aja mau ikut. Kamu begitu, apa karena takut suami kamu diambil orang?" "Jangan ngeledek terus. Cepetan, ke sini atau aku nanti aku foto sama orang lain." "Jangan coba-coba atau aku lempar
"Sayang, ayo kita berenang di bawah," ajak Nindy sambil menghampiri Billy yang sedang duduk bersantai di bawah payung pantai yang berada di pinggir kolam. "Kamu duluan aja, Sayang. Nanti aku nyusul." "Aku nggak mau berenang sendirian." "Aku istirahat sebentar, ya? Aku masih capek." Bagaimana tidak capek, kemarin dia habis menggempur Nindy hingga malam, lalu dia lanjutkan lagi menjelang pagi. Setelah itu, dia menemani Nindy bermain jet ski hingga pukul 9 pagi, kemudian bermain banana boat, parasailing hingga pukul 12 siang. Setelah makan siang, mereka berjalan-jalan di sekitar pulau sampai menjelang pukul 2 siang, kemudian pulang dan berendam bersama sambil menikmati pemandangan di luar. Jika dihitung-hitung, dia hanya beristirahat selama setengah jam. "Sebentar aja Sayang nanti habis berenang kamu bisa istirahat." Nindy meraih tangan Billy dan mencoba untuk menariknya, tapi sang suami tidak bergerak sedikit pun. "Nanti aku nyusul, Sayang. Aku liatin kamu dulu dari sini." "Ya, u
"Bagus banget pemandangannya." Mata Nindy tampak berbinar ketika melihat pemadangan bintang dari tempat tidurnya. Saat ini, dia dan Billy sedang berbaring di ranjang sambil menikmati pemandangan bintang di malam hari. Kebetulan sekali kamar mereka dilengkapi dengan atap kamar yang bisa dibuka tutup secara otomatis menggunakan tombol. "Rasanya aku pengen tinggal di sini terus." Billy yang sedang berbaring miring menghadap sang istri yang sedang tidur terlentang seketika tersenyum. "Nanti kita ke sini lagi kalau aku ada waktu." "Beneran?" tanya Nindy seketika memiringkan tubuhnya ke arah Billy. "Iya, Sayang." Nindy pun tersenyum. "Besok kita mau ke mana lagi?" Seharian ini, mereka sudah melakukan banyak hal. Snorkling, berjalan-jalan, bersepeda di sekitar resort, bermain air di pantai sampai sore hari, kemudian melakukan spa di resort tersebut. Malam harinya, mereka makan malam romantis di gedung utama resort. "Besok istirahat aja di kamar. Sorenya baru kita jalan-jalan
"Sayang, bangun. Ini sudah pagi."Billy sedang duduk di tepi ranjang kembali memberikan kecupan singkat di pipi sang istri yang masih terlelap sejak siang hingga 7 sore hari. Sejak tadi, dia sudah berusaha untuk membangun Nindy dengan memberikan kecupan-kecupan ringan di wajahnya, tapi sang istri tidak terpengaruh sedikit pun.Sore kemarin, mereka baru saja tiba di penginapan Soneva Jani yang terletak di pulau Medhufaru. Nindy yang kelelahan akibat perjalanan jauh langsung tertidur setelah makan malam bersama dengan Billy dan belum terbangun hingga kini. Padahal, dia bilang ingin berenang sambil melihat matahari terbit."Jam berapa ini?" tanya Nindy dengan suara serak.Akhirnya, dia membuka mata setelah dibangun selama kurang lebih 15 menit oleh Billy. Meski sudah terbangun, tapi matanya belum terbuka dengan sempurna."Jam 7 pagi, Sayang," jawab Billy lembut sambil merapihkan anak rambut sang istri yang menutupi sebagian matanya. "Kamu masih ngantuk?"Nindy menggeleng lemah. "Nggak. C