Tapi tentu saja, ia terlalu takut untuk mengatakannya keras-keras.
Sejak perceraian itu, Mahesa tak lagi seperti Mahesa yang dulu. Pria yang dahulu dikenal sebagai CEO yang tak tertembus rasa gentar, kini kerap kehilangan kendali atas emosinya.
Dulu, sorot matanya dingin dan ekspresinya nyaris beku, seolah dunia tak bisa menyentuhnya. Kini, sesekali ia bisa terlihat pucat seperti baru mendengar kabar kematian, atau tersentak seperti anak kecil yang terbangun dari mimpi buruk.
Rafael, asisten setianya selama lima tahun terakhir, diam-diam mencatat perubahan itu dengan mata awas.
Ia tahu, semuanya mulai runtuh sejak sosok Nadira keluar dari hidup Mahesa. Bukan pergi pelan-pelan, tapi seperti badai yang mendadak reda, meninggalkan kehampaan dan puing-puing yang tak tersusun lagi.
Namun malam itu, tak ada waktu untuk menjelaskan atau bernostalgia. Mahesa melangkah tergesa ke sudut ruangan galeri pribadi mereka, lalu menarik kain penutup dari salah satu
“Nadira, benda antik ini berasal dari zaman apa, sih? Kenapa kelihatannya mirip kayak enamel?”Tama mencondongkan tubuhnya, alisnya menyatu dalam ekspresi penasaran. Cahaya lampu gantung di langit-langit memantul samar di permukaan botol porselen yang ia pegang, membuat warnanya tampak hidup sesaat.Nadira berdiri tak jauh dari sana, dikelilingi rak-rak kayu tua yang penuh barang antik dari berbagai zaman.Udara di ruangan itu berbau kayu tua dan kertas usang, membawa kesan masa lalu yang tak lekang. Ia meraih botol itu dengan hati-hati, seperti sedang menyentuh sesuatu yang memiliki napasnya sendiri.“Ini bukan enamel,” ucapnya perlahan, suaranya mengalun lembut namun penuh keyakinan. Jemarinya yang ramping menelusuri garis halus di permukaan botol.“Ini porselen lima warna, dari masa Renaisans. Kemungkinan besar dari era Kaisar Gilang.”Cahaya kekuningan dari lampu minyak kecil di pojok ruangan membelai wajahnya, memantulkan semangat di ma
Di ambang tangga restoran tua yang menghadap taman kecil bercahaya lampu-lampu gantung, Mahesa berdiri terpaku.Langit senja belum sepenuhnya padam, dan udara hangat yang mengambang membawa aroma bunga melati dari pot-pot besar di dekat pintu masuk.Matanya tak beralih, menatap sosok di dalam ruangan.Nadira.Gadis itu berdiri di tengah kilau lampu gantung kristal, dikelilingi keluarga dan suara obrolan hangat yang belum mereda.Gaun merah yang membungkus tubuhnya tampak seperti ciptaan dari dongeng klasik, motif sisik ikan mengilap halus ketika disentuh cahaya.Sanggulnya tinggi, rapi, dihiasi tusuk konde berujung burung phoenix ungu yang tampak seolah hendak terbang.Lehernya yang jenjang berhias kalung emas pucat, liontin wajah tersenyum yang ganjil tapi entah kenapa, serasi dengannya.Mahesa menahan napas. Kerongkongannya mengering.“Lehermu…” suaranya lirih, hampir tak terdengar oleh siapa pun kecuali dirinya sendir
Nadira tak banyak berkata. Wajahnya datar, tenang seperti danau sebelum badai. Ia mengangkat sebuah ketapel otomatis berwarna hijau tua, hadiah dari Tara saat kumpul keluarga tahun lalu, dan mengarahkannya tanpa ragu.Gerakannya cepat dan mantap, nyaris tanpa suara. Tama sontak menunduk, berlindung di balik tubuh Gilang seperti anak ayam di bawah induknya, meski tubuh Gilang tak cukup lebar untuk jadi perisai.Di seberang ruangan, Nayaka belum selesai menyelesaikan leluconnya. Sudut bibirnya masih mengangkat sisa tawa saat matanya melirik ke arah Nadira.Tapi ekspresi sang adik membuatnya berhenti sejenak, ragu. Dahi Nadira berkerut, rahangnya mengeras.Nayaka menghela napas, mencoba meredakan tensi dengan gaya santainya yang khas. “Aku nggak pernah ngerti,” ujarnya sambil mengangkat bahu, “adik kita ini dari kecil jeniusnya nggak kira-kira. Main kecapi, catur, kaligrafi, melukis… semua langsung bisa. Guru-guru privat sampe antre minta jadi mentornya.”
"Ogah," sahut Nadira cepat, tanpa pikir panjang, suaranya tegas namun penuh gugup yang disembunyikan di balik sikap keras kepala.Ia menyilangkan tangan di dada, dagunya sedikit terangkat seperti hendak menantang siapa pun yang berani menyuruhnya."Aku nggak bisa nyanyi, nggak bisa nari. Masa aku harus pecahin batu di dada juga?"Tara yang duduk menyender di sofa sambil memainkan ujung rambutnya, menimpali dengan santai, “Bisa aja sih, kalau kamu niat.”Nadira menyambar segenggam kuaci dari mangkuk di meja dan melemparkannya ke arah Tara. Beberapa butir kuaci mengenai pipi dan rambut Tara, sisanya berceceran di lantai.“Pergi sana!” Nadira melotot, tapi senyumnya hampir tak bisa ditahan.“Kamu tuh bisa nyanyi, kok,” sahut Nayaka sambil bersandar pada kursi rotan tua yang berderit setiap kali ia bergerak.“Suaramu merdu banget. Kayak suara burung murai di pagi hari.”“Bener,” tambah Tama, yang sedang duduk bersila di lantai samb
Aroma gurih sup yang hampir matang merayap dari dapur, menyusup pelan ke sudut-sudut rumah kayu bergaya kolonial itu.Uap tipis mengepul dari panci yang dibiarkan terbuka sedikit, sesekali bergoyang halus oleh angin sore yang menyelinap dari jendela yang tak sepenuhnya tertutup.Di antara kehangatan itu, Nadira menyelipkan ketapelnya ke dalam saku apron dan tersenyum kecil.“Boleh,” katanya sambil menatap isi panci, “sebentar lagi sup-nya matang.”Seakan menjawab ucapannya, langkah kaki terdengar dari arah dapur. Dipa muncul membawa semangkuk sup hangat, aroma rempahnya langsung menguar begitu ia menjejakkan kaki ke ruang tengah.“Nona Nadira, apakah kita bisa mulai jamuannya sekarang?” tanyanya dengan nada sopan dan wajah yang berseri cerah.Nadira mengangguk, senyumnya ringan. “Bisa, kita mulai aja.”Saat meletakkan mangkuk di atas meja, mata Dipa sempat terpaku pada kalung liontin yang tergantung di leher Nadira.Liontin kec
Rambut Nadira disisir rapi ke belakang, ditata dengan presisi seperti karya seni yang nyaris sempurna, lalu disematkan penjepit berbentuk burung Fayra berwarna keemasan.Aksen kecil itu tampak hidup, seperti hendak mengepakkan sayapnya di antara helaian rambut gelap yang mengilap.Di bawah pencahayaan temaram ruangan, pundaknya tampak berpendar lembut, tertutup lapisan kain transparan yang memeluk kulitnya seperti kabut pagi.Payet merah di bagian dada gaunnya memantulkan cahaya dalam percikan halus, seolah Nadira mengenakan pecahan bintang yang dijahit dengan benang waktu.Ia berdiri di tengah ruangan seperti karakter utama dari dunia lain, sesuatu antara peri kota dan pejuang dongeng masa lalu.Tatapan tamu-tamu yang berkumpul di Warung Selera Nusantara mengarah padanya dalam senyap, seperti seisi ruangan terperangkap dalam jeda napas yang tertahan.Tiba-tiba pintu terbuka lebar. Tara masuk sambil terengah, jaket dan rambutnya bas