Nadira hanya mendengus geli, seperti menahan tawa yang nyaris tumpah. “Lucu juga kamu,” katanya, sambil menyandarkan tubuh ke kursi rotan dan menyilangkan kaki.
Sinar matahari sore menyusup lewat sela tirai, menggambar pola lembut di wajahnya yang tenang. “Kalau nanti Aidan Satriya bosan dan usir kamu, kabari aku ya. Aku bantu kamu debut jadi pelawak. Kayaknya kamu punya bakat.”
Tina berdiri mematung, rahangnya mengeras, matanya menyipit seperti kucing yang siap mencakar. “Kamu ngeledek aku?!”
Nadira hanya mengangkat alis, suaranya ringan seperti angin menyisir permukaan teh hangat. “Aku lagi muji kamu, tahu nggak? Jadi pelawak itu nggak gampang, jauh lebih susah dari sekadar kawin sama orang kaya.”
Pipi Tina merona merah, bukan karena malu, tapi amarah yang memuncak. “Coba aja sentuh aku lagi! Aku suruh Aidan ajarin kamu pelajaran!”
Nadira tersenyum kecil, bibirnya melengkung sinis. “Coba deh kamu tanya Aidan, dia berani nggak?” ucapnya datar.
Mahesa mengangkat botol kaca itu dengan tangan kanan yang dibalut perban putih tipis, sudah mulai tembus warna merah muda dari luka yang belum kering.Ia berniat menuangkan wiski ke dalam gelas, tapi tangan Lukas lebih cepat, menahan gerakannya dengan tegas.“Lo luka, masih juga mau minum? Mau infeksi, hah?” Nada suara Lukas seperti gabungan antara kesal dan cemas, matanya mengerjap cepat, penuh teguran.“Cuma luka kecil,” jawab Mahesa dengan enteng, menepis tangan sahabatnya. “Gak papa.”Tanpa menunggu tanggapan, ia menuang dua gelas penuh. Cairan keemasan itu mengalir mulus, memantulkan cahaya lampu gantung yang hangat di ruang tamu kayu tua mereka, menciptakan ilusi seolah api menari di dasar gelas.“Minum,” katanya pendek, menyodorkan satu gelas. “Temani gue.”Lukas menatap gelas itu sebentar. Pandangannya tersangkut pada pantulan cahaya di permukaan minuman, lalu sebuah senyum samar mengendap di wajahnya.Senyum yang lebih banyak
Mata Nadira tampak berkilat—bukan oleh cahaya lampu gantung kafe kecil itu, tapi oleh lapisan bening yang hampir tumpah dari pelupuknya.Senyumnya tetap mengembang, meski matanya memuat sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebahagiaan.Ada haru, dan mungkin juga kerinduan."Terima kasih, Giranda. Kamu juga jaga diri baik-baik, ya," katanya pelan, suaranya seperti embusan angin sore yang lewat di sela dedaunan kering.Dari sisi meja yang lain, muncul kepala Bayu, separuh wajahnya masih terpantul dalam layar ponsel yang menyala.Senyumnya lebar dan nakal, seolah ia baru saja melanggar sebuah aturan penting."Nadira, gara-gara kamu nih, aku jadi bisa makan kue. Biasanya mereka galak banget, pantang ngizinin," ujarnya sambil menunjuk potongan kue tart yang tinggal remah di piring plastik."Selamat ulang tahun, ya?"Nadira menggeleng, tapi senyumnya tak pudar. Ia menatap Bayu seperti seorang kakak yang tak bisa menahan geli m
Bukan Nadira yang berubah. Ia hanya menarik kembali apa yang dulu sempat ia buka: sisi lembutnya, yang dulu hanya Mahesa yang bisa menjamah.Kini, sisi itu menghilang seperti kabut pagi yang disapu angin. Yang tertinggal adalah tajamnya tatapan, dinginnya nada, dan ketegasan langkah yang menggelegar di tiap ruangan yang ia lewati.Suara Rafael menembus lamunan Mahesa seperti ketukan jari di permukaan kaca.“Pak Mahesa, tadi sempat bicara sama Mbak Nadira?” tanyanya santai, tapi matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang terlalu besar untuk disembunyikan.Mahesa hanya menoleh sekilas, bibirnya menekan satu helaan napas yang nyaris menjadi dengusan.“Kenapa cepat banget keluar? Sayang banget, padahal kesempatan langka,” lanjut Rafael, lalu tertawa kecil, “Kita udah bikin Teguh panik banget, lho. Dia kira kita mau nyulik dia. Apa saya perlu siapin bingkisan buat minta maaf?”Mahesa mendesis, lelah, “Lakukan saja apa yang menurutmu perlu.”
“Nadira, benda antik ini berasal dari zaman apa, sih? Kenapa kelihatannya mirip kayak enamel?”Tama mencondongkan tubuhnya, alisnya menyatu dalam ekspresi penasaran. Cahaya lampu gantung di langit-langit memantul samar di permukaan botol porselen yang ia pegang, membuat warnanya tampak hidup sesaat.Nadira berdiri tak jauh dari sana, dikelilingi rak-rak kayu tua yang penuh barang antik dari berbagai zaman.Udara di ruangan itu berbau kayu tua dan kertas usang, membawa kesan masa lalu yang tak lekang. Ia meraih botol itu dengan hati-hati, seperti sedang menyentuh sesuatu yang memiliki napasnya sendiri.“Ini bukan enamel,” ucapnya perlahan, suaranya mengalun lembut namun penuh keyakinan. Jemarinya yang ramping menelusuri garis halus di permukaan botol.“Ini porselen lima warna, dari masa Renaisans. Kemungkinan besar dari era Kaisar Gilang.”Cahaya kekuningan dari lampu minyak kecil di pojok ruangan membelai wajahnya, memantulkan semangat di ma
Di ambang tangga restoran tua yang menghadap taman kecil bercahaya lampu-lampu gantung, Mahesa berdiri terpaku.Langit senja belum sepenuhnya padam, dan udara hangat yang mengambang membawa aroma bunga melati dari pot-pot besar di dekat pintu masuk.Matanya tak beralih, menatap sosok di dalam ruangan.Nadira.Gadis itu berdiri di tengah kilau lampu gantung kristal, dikelilingi keluarga dan suara obrolan hangat yang belum mereda.Gaun merah yang membungkus tubuhnya tampak seperti ciptaan dari dongeng klasik, motif sisik ikan mengilap halus ketika disentuh cahaya.Sanggulnya tinggi, rapi, dihiasi tusuk konde berujung burung phoenix ungu yang tampak seolah hendak terbang.Lehernya yang jenjang berhias kalung emas pucat, liontin wajah tersenyum yang ganjil tapi entah kenapa, serasi dengannya.Mahesa menahan napas. Kerongkongannya mengering.“Lehermu…” suaranya lirih, hampir tak terdengar oleh siapa pun kecuali dirinya sendir
Nadira tak banyak berkata. Wajahnya datar, tenang seperti danau sebelum badai. Ia mengangkat sebuah ketapel otomatis berwarna hijau tua, hadiah dari Tara saat kumpul keluarga tahun lalu, dan mengarahkannya tanpa ragu.Gerakannya cepat dan mantap, nyaris tanpa suara. Tama sontak menunduk, berlindung di balik tubuh Gilang seperti anak ayam di bawah induknya, meski tubuh Gilang tak cukup lebar untuk jadi perisai.Di seberang ruangan, Nayaka belum selesai menyelesaikan leluconnya. Sudut bibirnya masih mengangkat sisa tawa saat matanya melirik ke arah Nadira.Tapi ekspresi sang adik membuatnya berhenti sejenak, ragu. Dahi Nadira berkerut, rahangnya mengeras.Nayaka menghela napas, mencoba meredakan tensi dengan gaya santainya yang khas. “Aku nggak pernah ngerti,” ujarnya sambil mengangkat bahu, “adik kita ini dari kecil jeniusnya nggak kira-kira. Main kecapi, catur, kaligrafi, melukis… semua langsung bisa. Guru-guru privat sampe antre minta jadi mentornya.”