Nissa seharian tertidur di kamarnya. Ia membawa semua masalah hidupnya dengan tidur dan terbangun pukul sembilan malam. Ia bahkan tidak tahu kepulangan Zaky bersama Dasma karena ketika ia membuka mata, tidak ada suara apapun dan yang terlihat hanya mobil Zaky yang berada di parkiran. Ia juga mengira kalau Zaky pasti sudah tertidur pulas pada jam itu. Nissa ingin berangkat awal karena harus menemui Arul untuk menanyakan kondisi ibunya. Ia berangkat ke rumah sakit menggunakan ojek online hingga tiba di pelataran parkir rumah sakit. Nissa tidak menyadari kalau kedatangannya di sana sejak memasuki gerbang besar rumah sakit, sudah menjadi tujuan utama sepasang mata yang memandangnya hangat. “Nis?” Langkah Nissa terhenti karena panggilan di belakangnya. Itu adalah Dimas. Awalnya Nissa ingin terus melangkah, tapi ingatannya tentang biaya rumah sakit sang ibu membuatnya berbalik mendekati Dimas. “Kamu telepon aku tadi pagi?” Dimas bertanya. “Hmm, iya. Kebetulan banget kamu di sini,” uca
Kecelakaan Arul “Mbak tau sendiri kalau malam ibu suka ke kamar mandi. Bakalan repot kalau bawa tiang botol infus kalau nggak ada yang pegangin ibu,” “Lah, kan ada suster? Minta tolong aja gih! Suster itu memang tugasnya bantuin ngerawat pasien. Lagian kamu yakin banget kalau mbak bakalan nggak diusir ibu. Gimana kalau pas lihat mbak, ibu malah marah lagi? Bisa batal pulang besok jadinya!” Nissa menjawab dengan hal yang masuk akal. “Kalau aku bilang dan pamit ke ibu kalau aku mau ambil buku buat ujian, pasti ibu bakalan suruh aku pulang aja buat belajar di rumah. Terus nanti jawabnya sama yang baru Mbak bilang kalau ibu bakalan minta tolong ke suster,” “Mbak kayak nggak tau ibu itu gimana. Aku jamin dua ribu persen kalau ibu nggak bakalan panggil suster dan ngelakuin semuanya sendirian malam-malam gini, dan nggak tidur sampai pagi. Habis itu tekanan darah ibu bisa naik karena kurang tidur. Jadinya, besok batal pulang. Mbak nggak ngerasa alasan aku masuk akal?” “Bener juga, sih…”
“Baik, Dokter, terima kasih atas nasihatnya. Saya ke departemen saya dulu buat ngurus surat izin cuti. Habis itu saya ke ruangan ibu saya,” Nissa menjawab setuju. Ia juga berterima kasih atas bantuan Fandy pada ibunya dan Arul.“Ya, itu baru Nissa yang saya kenal. Kamu nggak usah ke sini lagi tengah malam nanti buat ngecek keadaan adik kamu. Lagian di dalam udah banyak orang, kan? Adik kamu juga nggak boleh dijenguk dulu. Masih dalam pantauan intens kami, jadi kamu tenang aja sambil rawat ibu kamu. Saya masuk dulu, ya. Sampai jumpa besok!”Dokter Fandy kembali masuk ke pintu menuju ruang operasi dengan senyuman yang tidak lekang untuk Nissa.Ya, itu bukan tanpa alasan karena dokter muda itu memiliki perasaan lebih untuk Nissa. Terlebih setelah ia mendengar isu yang tersebar di rumah sakit kalau Nissa dan Zaky sudah putus, dan Zaky sudah semakin intens menunjukkan kedekatannya dengan Dasma. Itu mem
[Lin, kalau Elo udah di darat, kabari gue, ya!]Nissa mengetik satu kalimat pesan pada Novellin dan setelah itu ia meletakkan ponselnya lalu memejamkan mata sejenak.Perawat cantik itu duduk di teras luar lorong rawat bayi, di dekat pos perawat. Ia menikmati embusan semilir angin malam yang tenang, meskipun tidak demikian dengan hatinya.Nissa memang sudah memutuskan untuk mengambil cuti, tapi ia tetap ke gedung perawatan ibu dan anak untuk memastikan keadaan bayi yang berada di inkubator.Entah mengapa wajah bayi-bayi mungil yang baru terlahir ke dunia itu membuat hati Nissa bahagia. Ia merasa sejenak melupakan jati dirinya yang merupakan anak terbuang dari ayahnya, hingga mengantarkan hidup yang berliku baginya. Nissa selalu berharap para bayi di sana akan tumbuh dan sehat serta bahagia bersama orang tua mereka.Tidak menunggu lama, hanya berselang beberapa menit saja setelah N
Di tempat lain, tepatnya di ruang Wakil Presdir Sagala Corporation.“Halo?” nada datar dari Dimas terdengar pada polisi yang meneleponnya saat ini.[Gila aja Elo, ya? Udah balik kampung tapi lupa telepon gue. Memangnya gue udah nggak Elo anggap sama sekali, mentang-mentang Elo udah jadi Presdir Sagala, ha?!]Dimas yang mendengar suara berat pria yang lumayan ia kenali, hanya bisa tersenyum kekeh sambil menaikkan kedua alisnya.“Gue nggak sombong. Cuma kemarin gue pikir Elo udah tinggal di barisan makam pahlawan, Jay,” Dimas menjawab santai dengan nada tenangnya. Tapi yang di seberang sana sudah kebakaran jenggot.Polisi itu bernama Wijaya Ambarita atau lebih akrab dipanggil Jay. Dia adalah sahabat karib Dimas sejak SMA. Itu artinya teman Nissa juga. Jay kini menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah Bandung, yang malam ini kebetulan ikut dalam razia putih yang dil
“Nissa? Ini beneran Elo, kan?” itu Jay yang berpura-pura baru melihat Nissa. Padahal sejak awal ia sudah melirik Nissa yang datang ke sana dari kejauhan.“Jay? Ngapain Lo di sini? Ketangkep juga?” Nissa langsung mencibir. Entah kenapa Nissa merasa Jay merupakan pelampiasan kekesalan yang baik saat ini. Itu karena di mata Nissa, Jay adalah sosok sahabat yang baik. Hanya saja mereka memang baru kembali bertemu saat ini.“Enak aja, Lo! Mentang-mentang gue cuma pakai kaos biasa gini, terus Elo bilang gue juga ketangkep razia? Gue nggak bajingan banget kayak mereka itu juga kali!” Jay balik mencibir.“Parah banget Lo, Nes. Masa Elo nggak tau kalau gue sekarang udah jadi Kapolsek? Temen apaan Lo, Nes? Sedih gue,” Jay berakting sedih.“Nggak usah lebay, Jay. Akting Lo udah gue hapal luar kepala tau? Gue memang nggak pernah denger kabar temen-temen lain.
“Ya, ini aku. Memangnya siapa lagi yang bakalan biarin kamu jatuh?”Itu Dimas dengan tatapan sayu dan sedih melihat kondisi wanita yang disayanginya. Dan ketika ia melihat ke Zaky yang sedang bergolek di tanah tanpa merasakan sakit karena jatuh, tatapan Dimas berubah nyalang.“Laki-laki yang model beginian yang kamu belain? Cuma karena cowok nggak berguna gini kamu nolak balik sama aku? Cuma karena dia kamu tolak perasaan kamu yang juga rindu aku, Nis?” Dimas begitu geram.“Kamu tau nggak, Nis? Ngelihat kamu sebegini repot dan sakit cuma karena laki-laki nggak guna ini buat aku sakit. Aku nggak sanggup lihat kamu kayak gini. Kamu nggak boleh sedih karena orang lain, Nissa!” Dimas membentak Nissa saat itu.“Jadi aku cuma boleh nangis karena kamu? Itu yang kamu mau bilang, kan? Jangan gila, Dimas. Itu nggak penting banget buat kamu omongin sekarang!” Bent
Dimas yang baru masuk ke dalam mobil langsung menatap Nissa serius tanpa bicara, dan itu membuat kekesalan Nissa terabaikan sejenak, terlebih ketika Dimas yang tetap diam malah memajukan tubuhnya perlahan pada Nissa."Mau apa kamu?" Nissa sedikit panik. Ia takut jika Dimas akan melakukan hal semberono lagi seperti mencuri ciuman tiba-tiba.Dimas tetap diam dan terus menggerus jarak di antara wajah mereka dan itu jelas membuat Nissa gugup."Dimas, jangan macam-macam. Aku bisa teriak biar polisi di luar denger dan tangkap kamu, loh!"Peringatan Nissa tetap tidak membuat Dimas bergeming. Ia terus mendekatkan wajah dan tubuhnya pada Nissa, seakan ia ingin memangsa Nissa bulat-bulat, karena dari pantulan bola mata Dimas, hanya ada wajah Nissa yang cantik.Merasa Dimas saat ini tidak mendengarnya sama sekali, Nissa pasrah meskipun ia tidak mau. Nissa refleks menutup mata dengan ekspresi kakunya.Akan tetapi, ekspresi Nissa yang seperti itu malah langsung membuat Dimas tersenyum geli. Ia tid