“Tapi tetap saja warga kami meminta dua remaja ini untuk dinikahkan,” sela Pak RT. “Kami mengambil langkah ini agar tidak menjadi fitnah, dan agar kejadian serupa tidak terulang lagi.”
Mama dan papa Deo saling pandang, begitu juga dengan orang tua si cewek. “Boleh kami rundingan dulu, Pak?” tanya papa Deo. “Silakan.” Pak RT mengangguk. Kedua orang tua Deo mendekati orang tua si cewek, sementara Deo tetap di kursinya dengan pasrah. Tidak berapa lama kemudian, mereka kembali lagi dengan berita yang sudah Deo duga. “Yo, kamu harus nikah sama Veren. Mau, ya?” bisik mama. “Orang tua Veren udah setuju, kok. Paling nggak, urusan sama kampung sebelah selesai dulu.” “Ma, aku masih mau kuliah ...” ujar Deo. “Aku belum sanggup ngangon anak orang, belum nanti kalo ada bayi, mau aku kasih makan apa mereka?” “Mikirmu kejauhan, Yo,” tukas papa. “Yang penting satu masalah selesai dulu. Soal makan, tempat tinggal, sama kuliah kamu nanti dipikirin lagi.” “Aku nggak mau berhenti kuliah, Pa ...” “Siapa yang nyuruh kamu berhenti kuliah?” tukas papa lagi. “Kamu nurut aja, ya? Nikah dulu sama Veren biar kasus ini cepet berlalu.” Bener-bener mampus, batin Deo nelangsa. Veren menangis tersedu-sedu di samping Deo sementara para orang tua merundingkan hari dan tanggal pernikahan mereka. Deo tidak tahu harus menghibur dengan cara apa supaya bisa meredam tangis Veren yang mulai membanjir. Otaknya terus berpikir bagaimana caranya dia bisa keluar dari situasi sulit semacam pernikahan. “Udah, jangan nangis mulu. Entar air matanya abis,” kata Deo akhirnya. “Elo kok tenang-tenang aja, sih?” sahut Veren sambil mengusap matanya. “Lo seneng ya sama rencana pernikahan ini?” Deo menarik napas. “Elo nggak bisa bedain ekspresi seneng sama duka cita, ya?” komentarnya. “Kalo gue seneng, udah dari tadi gue jingkrak-jingkrak.” “Terus gimana, gue kan masih mau kuliah ...” “Sama, emang lo doang yang punya cita-cita?” tukas Deo. “Gue ada ide sih sebenernya.” “Apa, cepetan bilang!” desak Veren. Deo mengawasi para orang tua yang masih sibuk mengobrol dengan Pak RT kampung sebelah. “Kita bikin perjanjian pernikahan aja diem-diem,” usul Deo dengan suara pelan. “Nikahnya nggak usah lama-lama, setahun atau dua tahun aja. Setelah itu kita pisah, gimana?” Veren membulatkan matanya yang sembab. “Gue setuju, tapi ... kita kan tetep bakalan serumah nantinya. Kalo elo kebablasan gimana, dong?” “Enak aja, itu nanti bisa dibikin dalam surat perjanjian. Salah satunya kalo kita harus jaga jarak satu sama lain selama jadi suami istri. Paham nggak?” jelas Deo, masih dengan suara pelan. “Oke, gue ngerti. Tapi ada lagi yang menurut gue lebih penting kalo kita mau ide ini berjalan lancar,” kata Veren ikut berbisik. “Apaan?” tanya Deo ingin tahu. “Jangan ada anak di antara kita,” jawab Veren sungguh-sungguh. “Gue setuju.” Deo mengangkat jempolnya. Mama Deo betul-betul merasa pusing sekarang, dalam satu waktu dia harus merelakan kedua putra kebanggaannya untuk melepas masa lajang masing-masing. “Emang kamu beneran udah siap jadi seorang suami, Yo?” tanya mama di suatu malam, saat Deo sedang belajar di kamarnya. “Kalo ditanya siap nggak sih aslinya nggak siap,” jawab Deo jujur. “Namanya juga orang dipaksa. Lagian kan Mama sendiri yang setuju buat ngawinin aku sama si Eren.” “Veren,” kata mama meralat. “Gimana ya, Yo ... mama juga bingung karena semuanya serba mendadak gini. Kalo acaranya Aro kan udah mama persiapin mateng-mateng.” Deo menutup semua buku-bukunya kemudian memandang sang ibu. “Ijab doang juga udah cukup kok, Ma. Tuntutannya warga kampung sebelah kan gitu, yang penting aku sama Veren dinikahin. Nggak usah pake resepsi segala, dua minggu bakalan nggak kekejar buat persiapan.” Mama menarik napas dengan wajah muram. “Mama sih berharapnya bisa nikahin kamu sama cewek pilihan kamu, terus bikin acara sakral yang akan selalu kamu kenang seumur hidup kamu, Yo ...” curhatnya. “Jujur mama sedih lihat kamu nikah karena kepaksa, padahal nikah itu kan cuma sekali seumur hidup.” “Dua kali,” sahut Deo keceplosan. “Apa kamu bilang?” “Eh, enggak ada, Ma!” Deo buru-buru menggelengkan kepala. Setelah pisah sama Veren, nantinya kan aku kawin lagi ... batin Deo. “Sedih mama tuh.” “Udah lah, Ma. Kali nasibku udah kek gini,” ujar Deo dengan nada menghibur. “Yang penting mama konsen aja sama persiapan pernikahannya Kak Aro. Acaraku sih simpel aja kalo ijab doang.” Mama mengelus puncak kepala Deo. “Ya udah, kapan-kapan kalo mama ada rejeki, nanti mama bikin acara yang sama kayak acaranya Aro.” “Nggak usah, Ma.” Deo menolak. “Acaranya Kak Aro kan juga karena kakak ipar yang mau. Kalo Veren keknya juga nggak ngadain acara apa-apa.” “Ya udah, kamu persiapin aja mental kamu buat ijab,” pesan mama. “Kamu juga harus siap sama cibiran orang-orang, kalo nantinya mereka tau penyebab kamu nikah dadakan kayak gini, Yo.” “Yang penting Mama percaya sama aku, kan?” tanya Deo serius. “Sumpah Ma, aku nggak sebejat itu. Aku sama Veren cuma ketiduran dalam satu tempat tanpa disengaja ...” “Mama percaya, Yo. Kalo gitu mama keluar dulu,” kata mama. Setelah mamanya keluar kamar, Deo merebahkan dirinya ke atas kasur. Dia nyaris menyesali keputusannya menolong Veren dulu. Kalau mereka tidak bertemu, Deo tidak akan perlu menyelamatkan Veren dari niat bunuh dirinya itu. Dia juga tidak akan berteduh bersamanya di dalam pos ronda kampung sebelah sampai ketiduran berdua. Semua ini juga tidak akan terjadi seandainya Veren tidak ikut ketiduran di sana. *** “Deo, apa bener kamu mau nikah?” tanya Freya ketika dia tidak sengaja berpapasan dengan Deo yang sedang duduk di taman kampus. “Iya.” Dio mengangguk tanpa memandang Freya. “Kok bisa tiba-tiba kayak gini, Yo?” tanya Freya lagi. “Kamu nikahnya barengan sama kakak kamu dong?” “Duluan aku malah,” ralat Deo. “Tapi kamu kan masih di bawah umur,” ujar Freya. “Sedangkan kakak kamu udah dewasa, umurnya udah lebih di atas rata-rata usia nikah yang dianjurkan pemerintah ...” “Iya, iya. Apalah aku yang baru lulus SMA tahun lalu, kuliah aja baru permulaan semester,” potong Deo. “Kek kata mamaku, aku masih bau kencur, keringet, ketek, puas?” Deo berdiri, tanpa menunggu komentar apa-apa dari Freya, dia bergegas pergi meninggalkannya sendirian. Hari itu Deo dan Veren sudah berjanji untuk ketemu di belakang kampus Deo, guna membahas soal perjanjian pernikahan yang telah mereka rencanakan diam-diam. “Ini udah gue tulis semua yang bisa gue pikirin soal perjanjian pernikahan kita besok,” kata Veren membuka percakapan. “Nih, lo baca dulu dengan teliti. Kalo ada yang kurang, bilang aja.” Bersambung—Sebelum mengakhiri percakapan, mama berpesan kepadanya untuk menjadi isteri yang baik dan berbakti. “Soal perempuan yang katanya mau jadi istri kedua Deo, kamu jangan mau kalah sama dia.” Mama menambahkan. “Ini saatnya kamu buktiin kalo kamu lebih pantas dipertahankan di sisi Deo daripada perempuan itu. Paham ya, Ver? Kuncinya kamu harus layani suami dengan baik, nurut, dan jangan kasar lagi.” “Iya, Ma.” Veren meringis. “Aku akan inget nasehat Mama.” *** Melihat kondisi fisik Veren yang makin hari kian menurun, Dela dan Vita mengusulkan untuk membeli alat tes kehamilan di apotik dekat kampus mereka. “Lo udah telat belom?” selidik Vita. “Gue udah telatan sejak SMA,” kata Veren. “Makanya gue nggak yakin kalo gue hamil. Orang tiap bulan gue telat.” “Tapi kan sekarang lo udah bersuami,” sergah Dela yang ikut kepo. “Udah, beli tespek murah dulu buat ngecek. Jangan sembarangan minum obat lho, Ver.” Veren terdiam, dia lupa kapan haid terakhirnya. Dia juga tidak pernah menghit
Deo mengulurkan tangan untuk menyingkirkan guling yang menghalanginya. “Ngambek nih?” katanya sambil membaringkan diri di samping Veren. Deo menarik Veren hingga tubuh ringkihnya hampir terbenam seluruhnya dalam dekapannya. Veren tidak menjawab, dia kesal sekaligus senang karena Deo tidak menuruti keinginannya untuk pergi dari rumahnya. Aroma minyak kayu putih yang telah dibalurkan Deo kepadanya membuat Veren sangat rileks dan perutnya yang tadi bergolak berangsur tenang, setenang dirinya yang kini memejamkan mata dengan lengan Deo sebagai bantalnya. Suara gemericik air hujan menjadi lagu pengiring perjalanan mereka berdua ke alam mimpi. *** Veren membuka mata sambil menggeliat, satu tangannya meraba-raba ke samping namun tidak menemukan apa yang dia cari. “Yo?” panggil Veren dengan suara serak. “Lo di mana?” Tidak ada jawaban. Veren menyibakkan selimutnya dan berjalan ke kamar mandi untuk mencari keberadaan suaminya. Nihil, Deo tidak ada di kamar mandinya yang kosong. Veren
“Kan ada elo,” timpal Deo sambil memejamkan kedua matanya. “yang bisa menghangatkan gue malem ini.” “Emang gue kompor,” tukas Veren sambil mengganti saluran tivi. “Halu lo malem-malem.” “Elo lebih dari kompor,” sahut Deo seraya membuka matanya. “Elo itu adalah separuh jiwa gue, dan juga tulang rusuk gue yang sempet ketuker sama kakak ipar ....” “Bisa ae lo, kaleng minyak.” Veren menukas, tangannya melempar bantal ke wajah Deo. “Aduuuh, sakit Ver!” protes Deo. “Kena bibir gue nih, kalo gue kenapa-napa lo siap tanggung jawab?” Veren langsung menyingkirkan bantalnya dan menubruk Deo yang masih berbaring. “Canda doang!” katanya sambil memeriksa luka di ujung bibir Deo. “Lo nggak papa kan?” Deo tidak menjawab, wajah Veren yang sangat dekat dengan wajahnya seolah mengalihkan dunianya untuk sementara. Kedua mata Veren yang besar seperti boneka balas memandangnya dengan sangat khawatir. Hawa dingin yang menguar karena hujan membuat Deo menginginkan kehangatannya. Veren seketika tersad
“Kita mulai dari nol,” kata Veren. “Masa lalu nggak bisa diubah, tapi masa depan masih bisa kita rancang.” Deo mencium puncak kepala Veren dengan penuh sayang. Mereka memang tidak bisa mengubah masa lalu saat mereka terpaksa menikah karena tuntutan warga, tapi yang terpenting adalah kini mereka telah memantapkan hati untuk terus mengarungi bahtera mereka yang sempat karam. “Tapi Yo ...” Mendadak Veren ingat sesuatu, dengan segera dia melepas dekapannya . “Tania gimana?” Deo menghapus sisa-sisa air mata di wajah Veren. “Gue udah bilang sama Tania kalo gue nggak bisa menikahinya,” jawab Deo sungguh-sungguh. “Terus?” Veren mengernyit. “Dia nggak papa?” “Dia baik-baik aja.” Deo mengangguk. “Gimana kalo sekarang kita fokus sama hubungan kita aja?” “Iya Yo, gue akan nemenin elo apa pun keadaan lo.” Veren menyanggupi. “Ya udah, gue masak dulu di dapur.” “Kok buru-buru?” tanya Deo ketika Veren beringsut turun dari tempat tidur. “Nggak mau pelukan lebih lama lagi?” “Yang ada nanti gu
“Bukan Tania yang masakin gue,” kilah Deo. “Tapi itu jatah makan siang dari tantenya, semua karyawannya dapet. Makanya lain kali nanya dulu, jangan asal cemburu ....” “Gue nggak cemburu!” ketus Veren sambil berdiri. Hampir saja dia lolos jika Deo tidak buru-buru menarik tubuhnya kembali. “Terus kenapa makanannya lo kasih ke temen-temen gue?” tanya Deo tajam. “Mereka muji-muji masakan lo. Bangga sih bangga, tapi tetep aja kuping ini panas dengernya.” “Heleh, sendirinya cemburu.” Veren mendengus. “Nggak ada suami yang nggak cemburu denger isterinya dipuji sama cowok lain,” tukas Deo sambil memutar tubuh Veren hingga menghadap kepadanya. “Lo nggak pernah masak buat gue, tapi sekalinya masak yang ngabisin malah temen-temen gue.” Veren agak mengerut ketika melihat ekspresi wajah Deo saat menatapnya. “Iya deh, habis ini gue masak buat lo,” katanya mengalah. Belitan Deo mengendur dan Veren langsung berdiri dari pangkuannya. Baru saja dirinya akan melangkah pergi, seekor kecoa terbang
“Gue udah mau manggil elo, tapi Veren nyegah gue.” Septian membela diri. “Tapi kelihatan banget kalo dia cemburu lihat lo sama Tania tadi. Lo yakin dia serius mau cerai sama lo?” Deo menarik napas dan duduk si salah satu kursi sementara Hernandez dan yang lain keluar membeli minum. “Gue sendiri nggak tau apa maunya,” kata Deo lesu. “Akhir-akhir ini dia nggak bisa ditebak, sering banget marah karena hal kecil ....” “Kayak lo nggak sengaja meluk Tania itu?” tebak Septian. Deo mengangguk. “Gue udah ngaku salah, gue juga udah minta maaf. Tapi dia ngamuknya nggak kira-kira,” keluh Deo. “Tiap denger nama Tania, dia langsung ngegas sambil maki-maki gue nggak keruan.” Septian mengangguk paham. “Ada dua hal yang bikin emosi cewek nggak stabil,” katanya. “Kalo nggak lagi PMS ya ... lagi bunting.” “Bunting what?” tukas Deo tidak percaya. “Bunting sama siapa?” “Ya sama elo lah, lo kan suaminya!” Septian balik menukas. “Masa bunting sama cowok lain, sembarangan lo.” Deo berpikir sebenta