Mak Encum tubuhnya langsung terasa lemas, menggelosor begitu saja di atas rerumputan bagai badannya tak lagi bertulang. Dia sudah menduga jika suatu hari nanti hubungan gelap putranya dengan sang nyai pasti akan terbongkar juga.
Tangisannya sudah tidak lagi berarti, tidak bisa untuk menghentikan peristiwa yang sudah terjadi. Yang paling si emak sesali, mengapa putranya tidak mau mendengar dan mengikuti nasehatnya, agar jangan lagi melanjutkan hubungan gelapnya dengan Nyai Sumi.
Mak Encum sangat tahu, putranya itu hanya dimanfaatkan oleh sang majikan perempuan untuk melayani hasrat birahi sang nyai yang tidak terkendali.
Sejak dari pertama sang nyai masuk ke rumah Juragan Karta, bahkan hingga saat ini, Mak Encum adalah saksi dari aksi petualangan hasrat sang nyai dalam mencari mangsa untuk melampiaskan hasrat kelainan se*sualnya. Dan ternyata apesnya Nyai Sumi saat sedang bersama putranya si emak.
Sekali lagi, pemandangan yang sangat menyakitkan hatinya terpampang jelas di depan mata tuanya, saat sang putra semata wayangnya diseret-seret secara paksa dalam keadaan tel*njang dan tak sadarkan diri.
Tubuh putranya yang masih dalam keadaan bugil diseret oleh kedua centeng melewati lapangan rumput yang berbatu dan akar-akar pohon besar dalam keadaan menghadap ke langit. Sehingga kemalu*nnya dipertontonkan kepada para babu yang ikut melihat peristiwa penggerebekan itu.
Tidak ada daya upaya dan kemampuan bagi dirinya untuk bisa membebaskan putranya dari perlakukan majikannya Juragan Karta. Syarif memang dalam posisi yang bersalah, apalagi itu dilakukan kepada istri dari orang yang memiliki harta dan kuasa.
Suara Nyai Sumi yang memohon-mohon meminta pengampunan kepada suaminya Juragan Karta terus terdengar sepanjang jalan. Tubuh polosnya ditarik-tarik oleh para babu untuk dipaksa agar terus berjalan.
Tidak ada rasa iba sedikit pun di hati Juragan Karta. Selain untuk memberikan hukuman, perlakuannya terhadap Sumi pun pastinya akan disaksikan oleh sang pujaan hatinya, Asih Sukesih. Dia sudah bisa membuktikan janjinya kepada Asih, jika dirinya berani membuang Sumi dari rumahnya tanpa membawa apapun, bahkan pakaian yang melekat di tubuh.
Juragan Karta sengaja memperlakukan Sumi sekeji itu untuk membuktikan kesungguhan cintanya kepada Asih. Jika dia sangat serius untuk mengambil Asih menjadi pendampingnya menggantikan posisi Sumi.
Suara teriakan juga jerit kesakitan Sumi dan Syarif di waktu malam yang sunyi saat sang juragan sedang mengamuk, ternyata mampu membuat warga berkumpul di halaman rumah sang juragan.
Kabar burung cepat menyebar hingga ke pelosok desa yang jaraknya jauh dari rumah sang juragan, membuat banyak warga berdatangan tanpa diundang, karena rasa penasaran atas apa yang sedang terjadi di rumah orang yang paling kaya dan paling berpengaruh di Desa Kemangi ini.
Puluhan obor menyala yang dibawa oleh warga memenuhi halaman rumah Juragan Karta yang luasnya hampir seluas lapangan sepak bola. Nyala puluhan api obor meliuk-liuk mengikuti arah angin berhembus. Bisik-bisik dan suara orang mengobrol terdengar sangat riuh. Mereka saling mengeluarkan pendapat, menduga-duga, tentang peristiwa apa yang sudah terjadi di rumah sang juragan.
Suara keriuhan warga mendadak menjadi henig dan sunyi, saat dua orang centeng muncul dari halaman samping rumah besar milik dari Juragan Karta sembari menyeret tubuh pria dewasa tanpa busana.
Seluruh tubuh dan wajahnya yang menghadap ke atas membuat warga langsung cepat mengenalinya, walaupun ada banyak bercakan darah menempel pada tubuh dan kepala pemuda telanjang tersebut.
"Eta, teh, lamun si Syarif bukan?"
"Iya, itu si Syarif, putranya Mak Encum."
Suara riuh kembali terdengar, semuanya bertanya-tanya apa yang sudah dilakukan oleh remaja berumur belasan tahun tersebut sampai sang juragan memperlakukan dan mempermalukannya seperti itu. Hampir semua mulut yang ada di situ mengeluarkan suara, dengan pendapatnya masing-masing. Kebanyakan wanita mengasihani setelah melihat kondisi Syarif.
Asih dan Narti yang sedari awal sudah berada di antara kerumunan warga di halaman rumah sang juragan juga menjadi bertanya-tanya. Apa yang sudah dilakukan oleh Syarif terhadap Juragan Karta. Kenapa remaja itu ikut dilibatkan, padahal tujuan mereka berdua ke rumah ini adalah untuk menyaksikan terusirnya Sumi dari kediaman Karta.
Kuro dan Sarkim menghempaskan begitu saja tubuh telanjang Syarif di tengah-tengah lapangan. Puluhan obor yang dibawa warga mulai mendekati, hampir membuat sebuah lingkaran. Sebagian warga hanya ingin memastikan, apakah Syarif masih hidup atau sudah meninggal. Suara riuh terus saja terdengar, bahkan semakin ramai.
"Ammpunnn, Kang ... ampunnn ... jangan perlakukan Sumi seperti ini, Kang?"
Sumiarsih terlihat melakukan perlawanan sengit kepada para babu perempuan yang memeganginya tepat di samping rumah besar ini. Dia memberontak, memukul, bahkan menendangi babu-babu itu, yang bersusah payah terus berupaya agar sang nyai tidak terlepas dari tangan mereka.
Dia tidak mau dipermalukan dalam kondisi seperti ini dan menjadi tontonan warga sekampungnya. Setelah dari kejauhan Sumi mulai melihat banyak menyala puluhan api obor yang meliuk-liuk dari warga yang berkerumun.
Juragan Karta memperhatikan Sumi yang mengamuk dengan wajah yang geram karena amarah. Tangannya mengepal keras, lantas menghampiri Sumi yang masih meronta-ronta mengamuk meminta dilepaskan.
"Dasar perempuan su*dall ....!"
PELET DARAH KOTORPart 8Seperti tidak lagi punya rasa kasihan terhadap Sumi, Karta langsung menjambak rambut istrinya tersebut, memaksa menyeretnya ke halaman depan rumah yang sudah berkumpul banyak warga desa. Tubuh Sumi langsung tertarik dengan badan membungkuk. Sumi berteriak kesakitan. Berkali-kali meminta pengampunan dan minta dilepaskan, tetapi Karta seperti tidak menghiraukan. Sumi benar-benar diperlakukan dengan tidak manusiawi oleh suaminya sendiri. Teriakan meminta tolong Sumi pun dianggap percuma. Karena, tidak ada satu orang warga pun yang berani berurusan dengan Juragan Karta. Sama saja dengan mencari perkara. Suara riuh semakin ramai terdengar, setelah semua warga yang datang berkumpul juga melihat Nyai Sumi datang dengan rambut panjangnya yang dijambak oleh suaminya sendiri, juga tanpa busana. Sebagian besar warga yang kaum lelaki tidak menyia-nyiakan hal ini. Perempuan primadona istri sang juragan, yang selalu menjadi bahan hayalan dipertontonkan dengan keadaan ya
PELET DARAH KOTORPart 9Baru saja Juragan Karta hendak kembali memberikan pelajaran kepada mulut kurang ajar Sumi, seorang lelaki tua mendekatinya, sembari membawa dua lembar kain jarik yang dilipat rapih. Bapak tua itu adalah kepala dusun di Desa Ini, Ki Sukron. Juragan Karta yang melihat Ki Sukron mendatanginya dengan membawa kain, langsung membentak keras laki-laki tua itu."Buat apa kau bawa kain itu, Ki! Bukannya sudah aku larang untuk memberikan penutup apapun kepada dua orang manusia sialan ini!"Sebelum Ki Sukron menjawab, terlihat oleh semua warga yang berkumpul, jika Sumi kembali terjatuh setelah tadi bersusah payah untuk bangun. Tubuhnya terasa lemas, kepalanya pun masih terasa pusing akibat terkena hantaman balok suaminya sendiri, badannya pun mengigil kedinginan. Dia merasa sudah tidak sanggup lagi diperlakukan sekeji ini. Udara Desa Kemangi sepertinya memang sedang tidak bersahabat malam ini, teramat dingin sekali. Ditambah lagi badannya Sumi yang basah terkena air k
Part 10"Kamu mau tidak kain ini, Sum?"Halaman rumah Juragan Karta yang sudah dipenuhi banyak warga mendadak hening dan sunyi, tidak ada satu pun yang bersuara, bahkan suara jangkrik pun tak lagi terdengar.Mereka semua seperti sedang menyaksikan pertunjukan peran antara dua tokoh utama, Asih Sukesih dan Sumiarsih. Dua orang perempuan yang dulunya dianggap beda kasta. Antara seorang ratu dan budak. Penghina dan yang selalu dihina. Kelakuan Sumi sang istri juragan, memang bagi sebagian warga sering dianggap sangat keterlaluan. Mulutnya jahat dan pedas, juga sering kali menghina orang. Sebenarnya, sudah cukup banyak masyarakat yang merasakan sakit hati terhadap ucapan Nyai Sumi, atau perlakuannya yang sering meremehkan dan merendahkan. Namun, keberadaan suaminya Karta membuat warga yang sakit hati atas ucapan Sumi berpikir ribuan kali jika harus berurusan dengan mereka. "Kamu beneran mau kain ini atau tidak, Sum?" Asih kembali mengulang tawarannya, karena Sumi hanya menatap ke arahn
Bagian 11"Juragan tidak ingin menari bersama saya?" Ajakan menari dari Asih Sukesih tidak perlu diulang dua kali. Juragan Karta langsung menyambutnya dengan suka cita. Turun ke tengah arena, langsung nandak bersama Asih dengan penuh semangat. Keanehan yang tidak mungkin terjadi ternyata bisa terjadi. Juragan Karta yang sebagian orang tahu sangat membenci dan sering menghina Asih, kini terlihat berbeda 180 derajat. Dari sikap dan gerakannya saat menari jaipong, Juragan Karta terus saja memepet Asih, seolah olah tidak ingin perawan setengah tua itu jauh darinya. Dan tidak ada yang tahu mengapa Juragan Karta bisa dikenakan seperti itu, selain hanya Asih dan Narti. Satu per satu warga yang tadinya ikut berjaipong, mulai mundur meninggalkan arena. Menyisakan hanya Juragan Karta dan Asih Sukesih saja. Saking asyiknya mereka berdua seperti tidak sadar, sedang menjadi tontonan hampir seluruh warga Desa Kemangi. Dalam gigil, Sumi masih bisa melihat semuanya. Menyaksikan bagaimana suaminy
Part 12Sabetan arit dari salah satu pemuda yang memang niatnya ingin mematikan karena dihantamkan ke arah kepalanya, dengan mudah berhasil Ikhsan hindari. Amarah remaja itu semakin meluap, kali ini sabetan arit dia arahkan ke leher dari Ikhsan, itu pun dengan mudah bisa Ikhsan elakkan. Jika dari gerakannya, pemuda di hadapannya ini sama sekali tidak memiliki ilmu bela diri, keberaniannya hanya karena membawa senjata tajam. Dua orang kawannya ikut mengurung Ikhsan, semua menatapnya dengan penuh kemarahan. Cukup kiranya bagi Ikhsan untuk bermain-main, dengan gerakan cepat yang tak terduga, Ikhsan langsung menerjang dengan tendangannya yang keras, menghantam dada pemuda yang pertama kali menyerangnya hingga jatuh terjungkal. Matanya melotot, mulutnya termagap-magap karena kesulitan bernafas. Satu orang lagi yang masih terkesima, kembali jatuh dengan hidung dan mulutnya langsung mengeluarkan darah. Pukulan keras Ikhsan menghajarnya dengan tanpa ampun, dan langsung berteriak kesakitan.
Bagian 13Kedua perempuan yang salah satunya masih anak-anak terlihat celingak-celinguk, ada kesan ketakutan yang terlihat dari gerak-gerik mereka. Di tangan mereka terlihat seperti membawa bungkusan dari daun pisang, dan sepertinya kedua perempuan itu adalah yang selama ini selalu membawakan makanan untuk Nyai Sumi. Ikhsan keluar dari tempat persembunyiannya dengan membawa air dan beberapa buah-buahan hutan. Kedatangan Ikhsan cukup mengejutkan keduanya. Dua perempuan itu cepat-cepat ingin pergi dengan raut wajah yang ketakutan, seperti maling yang tertangkap basah. "Tenang, tenang, nggak usah takut. Abdi bukan orang jahat," ucap Ikhsan mencoba menenangkan mereka berdua. Perempuan yang lebih tua memberanikan diri bertanya kepada Ikhsan. "U-ubi dan singkong yang dimakan Nyai Sumi dipersembahkan dari, Akang?" Ikhsan mengangguk. "A-Akang, bukannya anak buah Juragan Karta'kan?" tanyanya lagi. "Bukan, abdi nte kenal Juragan Karta. Tadi kebetulan abdi lewat hutan, dan melihat ada pon
Part 14"Maaf Yayi, apa perintah Yayi buat abdi?" tanya Ikhsan, setelah selesai bertanya wajahnya kembali menunduk. "Temui teman Yayi di Desa Kemangi? Maneh tahu Desa itu?" "Hanya pernah dengar, Yayi. Tapi Insya Allah pasti ketemu jika Allah mengijinkan.""Iya, San. Butuh waktu dua hari setengah bila ditempuh jalan kaki lewat jalan biasa. Tapi bisa lebih cepat jika lewat jalan pintas."Jalan pintas, Yayi?""Maneh bisa lewat Bukit Gumintang, turun bukit langsung Hutan Cipelang. Jika lewat jalan biasa, ya maneh harus memutari bukit dan hutan dulu, makanya lebih lama."Hanya tinggal mengikuti jalan setapak saja jika di Hutan Cipelang nanti, San?""Baik, Yayi, siap dipatuhi.""Setelah sampai Desa Kemangi, temui orang yang bernama Ki Sukron, tapi, San--" Ucapan Kyai Maksum berhenti, seperti ragu-ragu untuk melanjutkan. "Tetapi, kenapa, Yayi?""Ini tidak mudah, San. Ini tidak mudah, akan banyak hambatan nantinya yang akan kamu temui di sana.""Insya Allah, Yayi, semua akan mudah jika ada
Bagian 15Ikhsan memberikan satu dari dua sarung yang dia punya kepada Nyai Sumi, dan meminta Nengsih untuk mengganti kain jarik yang banyak terdapat sobekan dengan pemberian sarungnya. Nengsih juga yang mengelap wajah dan tubuh Sumi dengan kain basah. Agar tidak menjadi penyakit karena kotoran yang terlalu lama menempel di tubuhnya. Nyai Sumi tidak melawan, tidak juga berbicara, hanya diam saja saat Nengsih membersihkan tubuhnya. Matanya menatap Ikhsan dan Nengsih dengan tatapan kosong, saat keduanya memberitahu akan meninggalkan gubuk ini dan kembali membiarkan Nyai Sumi sendiri. Semuanya sudah disiapkan, dari persediaan minum dan makanan. Ikhsan hanya berharap tidak ada lagi orang-orang seperti yang kemarin, yang akan mengganggu Nyai Sumi hanya untuk melampiaskan hasrat birahinya. Bukannya Ikhsan tidak berani melepaskan Sumi saat ini juga, tapi dia belum tau seluk beluk dan watak warga desa Kemangi. Dia hanya berjanji sesekali akan datang untuk membawakan makanan, dan membicaraka