"Apaa? Khilaf katamu? Khilaf itu sekali, bukan berkali-kali! Dasar perempuan jal*ng!" bentak Juragan Karta lagi, masih terbakar emosinya. Lantas dia ambil kain dan kebaya milik sang istri, dan langsung menyobek-nyobeknya hingga tidak lagi berbentuk. Sobekan kain dia buang sekenanya tangan melempar.
"Jangan, Kang, ampunn." Berkali-kali Sumi berusaha mencegah perbuatan suaminya, tapi Karta terus saja melakukannya.
Kuro dan Sarkim, yang sedari tadi diperintahkan untuk menyeret Syarif, namun keduanya hanya berdiri terdiam. Sepertinya, mereka sedang menikmati tubuh sang nyai secara gratis.
Karena, siapa pun pria di Desa Kemangi ini pasti bermimpi untuk bisa tidur dengan istri dari sang juragan, tidak terkecuali dengan para centeng suaminya.
"Setan alass! Dasar manusia tidak ada guna! Cepat seret mereka keluar!" bentak Karta gusar, melihat Sarkim dan Kuro hanya diam saja memperhatikan Sumi.
"Maaf, maaf, Juragan," jawab keduanya sampai terbungkuk-bungkuk tubuhnya untuk meminta maaf, karena keasikan melihat keindahan yang tersaji di depan mata mereka, sehingga mengindahkan perintah sang majikan.
Kuro dan Sarkim menarik dan menyeret Syarif keluar rumah, tubuhnya tidak bergerak sama sekali, entah pingsan, entah sudah mati. Pemuda itu pun diseret masih dalam keadaan polos tanpa busana.
Karta melangkah ke arah pintu gubuk, menunjuk ke arah dua orang babu perempuan yang langsung meringked ketakutan, karena takut disalahkan atas kejadian ini.
"Kalian, Babu?" ucap Juragan Karta dengan tangan menunjuk kepada dua pekerja tersebut. "Seret perempuan jalang itu sampai ke depan halaman rumah. Ingat? Jangan kalian berikan kain ataupun kebaya untuk menutupi tubuhnya."
"Ba-baik, juragan." Dua orang babu perempuan lantas masuk ke dalam bedeng gubuk. Mendekati Nyi Sumi yang masih terduduk di pojokan sembari menangis karena ketakutan. Bayang-bayang hukuman karena akan dipermalukan di depan khalayak ramai sudah terbayang di dalam pikirannya.
"Ayuk, Nyai. Ikut kami ke depan," pinta salah seorang babu dengan masih menghormati majikan perempuan mereka. Cara mereka yang bersikap sopan justru malah mendapatkan bentakan dari sang juragan.
"Maneh berdua ini dongo, ya? Tidak usah basa-basi! Langsung seret si jalang ini, bawa ke depan halaman rumah!" teriak Karta memarahi kedua wanita pekerjanya.
"Maaf, Juragan, baik ... baik, Gan."
Tidak ada satu pun warga di Desa Kemangi ini yang tidak mematuhi perintah Juragan Karta. Bahkan, kepala dusun desa ini sekali pun, Ki Sukron, juga takut kepadanya.
Juragan Karta sudah seperti raja kecil di Desa kemangi ini.
Tanpa lagi bertanya secara sopan, kedua babu itu mencekal kedua tangan Sumi. Menarik-nariknya secara paksa, hingga Sumi mengaduh kesakitan.
Kedua tangannya sudah tidak bisa lagi untuk menutupi sebagian tubuh telan*angnya. Terseret-seret dia secara hina. Sesosok perempuan yang dahulunya merasa paling sempurna dan paling dihormati. Merasa dirinya paling segalanya. Kini terhina bagaikan seonggok sampah tak berguna.
"Ampunn, Kang ... ampunnn, Gustii nu Ageng." Sumi masih berharap rasa iba dari suaminya, yang malah meludahi wajahnya saat terseret tepat di depan Karta. Caci maki pun kembali terlontar dari mulut si juragan."
"Dasar perempuan sinting! Selesai berzi÷ah malah kau bawa-bawa nama Tuhan!"
Sebenarnya, hubungan gelap Sumi dengan pemuda pencari rumput dan perawat domba itu sudah diketahui oleh semua babu yang bekerja di rumah sang juragan, termasuk juga Mak Encum. Namun, tidak ada yang berani melarang, mereka hanya sebatas tau saja.
Mak Encum pun seringkali menasehati putra sulungnya tersebut untuk tidak melakukan hubungan gelap dengan istri dari sang juragan, namun tidak diindahkan oleh Syarif.
Pesona kecantikan dan kemolekan dari istri sang juragan, sudah membius hampir semua laki-laki di desa ini, tidak terkecuali pemuda remaja tersebut. Apalagi Syarif, yang masih berjiwa muda, memiliki rasa penasaran yang tinggi tentang bagaimana rasanya kenikmatan dunia. Bahkan, kawannya pernah bercerita sampai membayar untuk bisa merasakan kenikmatan, apalagi ini yang gratisan. Bahkan, sang nyai jauh lebih cantik dari perempuan yang dibayar oleh temannya.
Bagi Syarif, dia seperti mendapatkan bintang jatuh. Seorang remaja tukang angon domba bisa bercinta dengan mantan primadona desa bekas penari jaipong yang terkenal. Bahkan, si sang primadona itu sendiri yang selalu mendatanginya terlebih dahulu. Karena Syarif walaupun ingin, tetap tidak punya keberanian jika melakukannya di rumah sang juragan.
Kemampuannya yang bisa memikat istri dari sang juragan, dia jadikan sebagai kebanggaan. Selalu bercerita dengan bangganya di depan teman-teman sepermainannya di saat sedang mencari rumput. Setiap kali berhasil mereguk manisnya madu sang nyai. Namun, malam ini adalah malam apes baginya, juga bagi sang nyai.
Sebenarnya, buat Sumi sendiri, berhubungan intim dengan Syarif bukan lah soal cinta ataupun perasaan. Remaja itu hanyalah tempat pelampiasan hasrat bagi sang nyai yang tidak bisa terpenuhi dengan Karta. Sang juragan tidak bisa memberikannya kepuasan. Sumi merasa dirinya hanyalah seperti tempat pembuangan sampah akhir. Setelah selesai membuang cepat, langsung ditinggalkan.
Hukuman dari sang raja kecil Karta sudah menanti mereka berdua. Selain juga akan dipermalukan di depan khalayak ramai. Apalagi ini terjadi kepada perempuan yang dianggap terhormat di pandangan warga desa. Istri dari sang juragan sendiri.
Mak Encum tubuhnya langsung terasa lemas, menggelosor begitu saja di atas rerumputan bagai badannya tak lagi bertulang. Dia sudah menduga jika suatu hari nanti hubungan gelap putranya dengan sang nyai pasti akan terbongkar juga. Tangisannya sudah tidak lagi berarti, tidak bisa untuk menghentikan peristiwa yang sudah terjadi. Yang paling si emak sesali, mengapa putranya tidak mau mendengar dan mengikuti nasehatnya, agar jangan lagi melanjutkan hubungan gelapnya dengan Nyai Sumi. Mak Encum sangat tahu, putranya itu hanya dimanfaatkan oleh sang majikan perempuan untuk melayani hasrat birahi sang nyai yang tidak terkendali. Sejak dari pertama sang nyai masuk ke rumah Juragan Karta, bahkan hingga saat ini, Mak Encum adalah saksi dari aksi petualangan hasrat sang nyai dalam mencari mangsa untuk melampiaskan hasrat kelainan se*sualnya. Dan ternyata apesnya Nyai Sumi saat sedang bersama putranya si emak. Sekali lagi, pemandangan yang sangat menyakitkan hatinya terpampang jelas di depan ma
PELET DARAH KOTORPart 8Seperti tidak lagi punya rasa kasihan terhadap Sumi, Karta langsung menjambak rambut istrinya tersebut, memaksa menyeretnya ke halaman depan rumah yang sudah berkumpul banyak warga desa. Tubuh Sumi langsung tertarik dengan badan membungkuk. Sumi berteriak kesakitan. Berkali-kali meminta pengampunan dan minta dilepaskan, tetapi Karta seperti tidak menghiraukan. Sumi benar-benar diperlakukan dengan tidak manusiawi oleh suaminya sendiri. Teriakan meminta tolong Sumi pun dianggap percuma. Karena, tidak ada satu orang warga pun yang berani berurusan dengan Juragan Karta. Sama saja dengan mencari perkara. Suara riuh semakin ramai terdengar, setelah semua warga yang datang berkumpul juga melihat Nyai Sumi datang dengan rambut panjangnya yang dijambak oleh suaminya sendiri, juga tanpa busana. Sebagian besar warga yang kaum lelaki tidak menyia-nyiakan hal ini. Perempuan primadona istri sang juragan, yang selalu menjadi bahan hayalan dipertontonkan dengan keadaan ya
PELET DARAH KOTORPart 9Baru saja Juragan Karta hendak kembali memberikan pelajaran kepada mulut kurang ajar Sumi, seorang lelaki tua mendekatinya, sembari membawa dua lembar kain jarik yang dilipat rapih. Bapak tua itu adalah kepala dusun di Desa Ini, Ki Sukron. Juragan Karta yang melihat Ki Sukron mendatanginya dengan membawa kain, langsung membentak keras laki-laki tua itu."Buat apa kau bawa kain itu, Ki! Bukannya sudah aku larang untuk memberikan penutup apapun kepada dua orang manusia sialan ini!"Sebelum Ki Sukron menjawab, terlihat oleh semua warga yang berkumpul, jika Sumi kembali terjatuh setelah tadi bersusah payah untuk bangun. Tubuhnya terasa lemas, kepalanya pun masih terasa pusing akibat terkena hantaman balok suaminya sendiri, badannya pun mengigil kedinginan. Dia merasa sudah tidak sanggup lagi diperlakukan sekeji ini. Udara Desa Kemangi sepertinya memang sedang tidak bersahabat malam ini, teramat dingin sekali. Ditambah lagi badannya Sumi yang basah terkena air k
Part 10"Kamu mau tidak kain ini, Sum?"Halaman rumah Juragan Karta yang sudah dipenuhi banyak warga mendadak hening dan sunyi, tidak ada satu pun yang bersuara, bahkan suara jangkrik pun tak lagi terdengar.Mereka semua seperti sedang menyaksikan pertunjukan peran antara dua tokoh utama, Asih Sukesih dan Sumiarsih. Dua orang perempuan yang dulunya dianggap beda kasta. Antara seorang ratu dan budak. Penghina dan yang selalu dihina. Kelakuan Sumi sang istri juragan, memang bagi sebagian warga sering dianggap sangat keterlaluan. Mulutnya jahat dan pedas, juga sering kali menghina orang. Sebenarnya, sudah cukup banyak masyarakat yang merasakan sakit hati terhadap ucapan Nyai Sumi, atau perlakuannya yang sering meremehkan dan merendahkan. Namun, keberadaan suaminya Karta membuat warga yang sakit hati atas ucapan Sumi berpikir ribuan kali jika harus berurusan dengan mereka. "Kamu beneran mau kain ini atau tidak, Sum?" Asih kembali mengulang tawarannya, karena Sumi hanya menatap ke arahn
Bagian 11"Juragan tidak ingin menari bersama saya?" Ajakan menari dari Asih Sukesih tidak perlu diulang dua kali. Juragan Karta langsung menyambutnya dengan suka cita. Turun ke tengah arena, langsung nandak bersama Asih dengan penuh semangat. Keanehan yang tidak mungkin terjadi ternyata bisa terjadi. Juragan Karta yang sebagian orang tahu sangat membenci dan sering menghina Asih, kini terlihat berbeda 180 derajat. Dari sikap dan gerakannya saat menari jaipong, Juragan Karta terus saja memepet Asih, seolah olah tidak ingin perawan setengah tua itu jauh darinya. Dan tidak ada yang tahu mengapa Juragan Karta bisa dikenakan seperti itu, selain hanya Asih dan Narti. Satu per satu warga yang tadinya ikut berjaipong, mulai mundur meninggalkan arena. Menyisakan hanya Juragan Karta dan Asih Sukesih saja. Saking asyiknya mereka berdua seperti tidak sadar, sedang menjadi tontonan hampir seluruh warga Desa Kemangi. Dalam gigil, Sumi masih bisa melihat semuanya. Menyaksikan bagaimana suaminy
Part 12Sabetan arit dari salah satu pemuda yang memang niatnya ingin mematikan karena dihantamkan ke arah kepalanya, dengan mudah berhasil Ikhsan hindari. Amarah remaja itu semakin meluap, kali ini sabetan arit dia arahkan ke leher dari Ikhsan, itu pun dengan mudah bisa Ikhsan elakkan. Jika dari gerakannya, pemuda di hadapannya ini sama sekali tidak memiliki ilmu bela diri, keberaniannya hanya karena membawa senjata tajam. Dua orang kawannya ikut mengurung Ikhsan, semua menatapnya dengan penuh kemarahan. Cukup kiranya bagi Ikhsan untuk bermain-main, dengan gerakan cepat yang tak terduga, Ikhsan langsung menerjang dengan tendangannya yang keras, menghantam dada pemuda yang pertama kali menyerangnya hingga jatuh terjungkal. Matanya melotot, mulutnya termagap-magap karena kesulitan bernafas. Satu orang lagi yang masih terkesima, kembali jatuh dengan hidung dan mulutnya langsung mengeluarkan darah. Pukulan keras Ikhsan menghajarnya dengan tanpa ampun, dan langsung berteriak kesakitan.
Bagian 13Kedua perempuan yang salah satunya masih anak-anak terlihat celingak-celinguk, ada kesan ketakutan yang terlihat dari gerak-gerik mereka. Di tangan mereka terlihat seperti membawa bungkusan dari daun pisang, dan sepertinya kedua perempuan itu adalah yang selama ini selalu membawakan makanan untuk Nyai Sumi. Ikhsan keluar dari tempat persembunyiannya dengan membawa air dan beberapa buah-buahan hutan. Kedatangan Ikhsan cukup mengejutkan keduanya. Dua perempuan itu cepat-cepat ingin pergi dengan raut wajah yang ketakutan, seperti maling yang tertangkap basah. "Tenang, tenang, nggak usah takut. Abdi bukan orang jahat," ucap Ikhsan mencoba menenangkan mereka berdua. Perempuan yang lebih tua memberanikan diri bertanya kepada Ikhsan. "U-ubi dan singkong yang dimakan Nyai Sumi dipersembahkan dari, Akang?" Ikhsan mengangguk. "A-Akang, bukannya anak buah Juragan Karta'kan?" tanyanya lagi. "Bukan, abdi nte kenal Juragan Karta. Tadi kebetulan abdi lewat hutan, dan melihat ada pon
Part 14"Maaf Yayi, apa perintah Yayi buat abdi?" tanya Ikhsan, setelah selesai bertanya wajahnya kembali menunduk. "Temui teman Yayi di Desa Kemangi? Maneh tahu Desa itu?" "Hanya pernah dengar, Yayi. Tapi Insya Allah pasti ketemu jika Allah mengijinkan.""Iya, San. Butuh waktu dua hari setengah bila ditempuh jalan kaki lewat jalan biasa. Tapi bisa lebih cepat jika lewat jalan pintas."Jalan pintas, Yayi?""Maneh bisa lewat Bukit Gumintang, turun bukit langsung Hutan Cipelang. Jika lewat jalan biasa, ya maneh harus memutari bukit dan hutan dulu, makanya lebih lama."Hanya tinggal mengikuti jalan setapak saja jika di Hutan Cipelang nanti, San?""Baik, Yayi, siap dipatuhi.""Setelah sampai Desa Kemangi, temui orang yang bernama Ki Sukron, tapi, San--" Ucapan Kyai Maksum berhenti, seperti ragu-ragu untuk melanjutkan. "Tetapi, kenapa, Yayi?""Ini tidak mudah, San. Ini tidak mudah, akan banyak hambatan nantinya yang akan kamu temui di sana.""Insya Allah, Yayi, semua akan mudah jika ada