PELET DARAH KOTORPart 9Baru saja Juragan Karta hendak kembali memberikan pelajaran kepada mulut kurang ajar Sumi, seorang lelaki tua mendekatinya, sembari membawa dua lembar kain jarik yang dilipat rapih. Bapak tua itu adalah kepala dusun di Desa Ini, Ki Sukron. Juragan Karta yang melihat Ki Sukron mendatanginya dengan membawa kain, langsung membentak keras laki-laki tua itu."Buat apa kau bawa kain itu, Ki! Bukannya sudah aku larang untuk memberikan penutup apapun kepada dua orang manusia sialan ini!"Sebelum Ki Sukron menjawab, terlihat oleh semua warga yang berkumpul, jika Sumi kembali terjatuh setelah tadi bersusah payah untuk bangun. Tubuhnya terasa lemas, kepalanya pun masih terasa pusing akibat terkena hantaman balok suaminya sendiri, badannya pun mengigil kedinginan. Dia merasa sudah tidak sanggup lagi diperlakukan sekeji ini. Udara Desa Kemangi sepertinya memang sedang tidak bersahabat malam ini, teramat dingin sekali. Ditambah lagi badannya Sumi yang basah terkena air k
Part 10"Kamu mau tidak kain ini, Sum?"Halaman rumah Juragan Karta yang sudah dipenuhi banyak warga mendadak hening dan sunyi, tidak ada satu pun yang bersuara, bahkan suara jangkrik pun tak lagi terdengar.Mereka semua seperti sedang menyaksikan pertunjukan peran antara dua tokoh utama, Asih Sukesih dan Sumiarsih. Dua orang perempuan yang dulunya dianggap beda kasta. Antara seorang ratu dan budak. Penghina dan yang selalu dihina. Kelakuan Sumi sang istri juragan, memang bagi sebagian warga sering dianggap sangat keterlaluan. Mulutnya jahat dan pedas, juga sering kali menghina orang. Sebenarnya, sudah cukup banyak masyarakat yang merasakan sakit hati terhadap ucapan Nyai Sumi, atau perlakuannya yang sering meremehkan dan merendahkan. Namun, keberadaan suaminya Karta membuat warga yang sakit hati atas ucapan Sumi berpikir ribuan kali jika harus berurusan dengan mereka. "Kamu beneran mau kain ini atau tidak, Sum?" Asih kembali mengulang tawarannya, karena Sumi hanya menatap ke arahn
Bagian 11"Juragan tidak ingin menari bersama saya?" Ajakan menari dari Asih Sukesih tidak perlu diulang dua kali. Juragan Karta langsung menyambutnya dengan suka cita. Turun ke tengah arena, langsung nandak bersama Asih dengan penuh semangat. Keanehan yang tidak mungkin terjadi ternyata bisa terjadi. Juragan Karta yang sebagian orang tahu sangat membenci dan sering menghina Asih, kini terlihat berbeda 180 derajat. Dari sikap dan gerakannya saat menari jaipong, Juragan Karta terus saja memepet Asih, seolah olah tidak ingin perawan setengah tua itu jauh darinya. Dan tidak ada yang tahu mengapa Juragan Karta bisa dikenakan seperti itu, selain hanya Asih dan Narti. Satu per satu warga yang tadinya ikut berjaipong, mulai mundur meninggalkan arena. Menyisakan hanya Juragan Karta dan Asih Sukesih saja. Saking asyiknya mereka berdua seperti tidak sadar, sedang menjadi tontonan hampir seluruh warga Desa Kemangi. Dalam gigil, Sumi masih bisa melihat semuanya. Menyaksikan bagaimana suaminy
Part 12Sabetan arit dari salah satu pemuda yang memang niatnya ingin mematikan karena dihantamkan ke arah kepalanya, dengan mudah berhasil Ikhsan hindari. Amarah remaja itu semakin meluap, kali ini sabetan arit dia arahkan ke leher dari Ikhsan, itu pun dengan mudah bisa Ikhsan elakkan. Jika dari gerakannya, pemuda di hadapannya ini sama sekali tidak memiliki ilmu bela diri, keberaniannya hanya karena membawa senjata tajam. Dua orang kawannya ikut mengurung Ikhsan, semua menatapnya dengan penuh kemarahan. Cukup kiranya bagi Ikhsan untuk bermain-main, dengan gerakan cepat yang tak terduga, Ikhsan langsung menerjang dengan tendangannya yang keras, menghantam dada pemuda yang pertama kali menyerangnya hingga jatuh terjungkal. Matanya melotot, mulutnya termagap-magap karena kesulitan bernafas. Satu orang lagi yang masih terkesima, kembali jatuh dengan hidung dan mulutnya langsung mengeluarkan darah. Pukulan keras Ikhsan menghajarnya dengan tanpa ampun, dan langsung berteriak kesakitan.
Bagian 13Kedua perempuan yang salah satunya masih anak-anak terlihat celingak-celinguk, ada kesan ketakutan yang terlihat dari gerak-gerik mereka. Di tangan mereka terlihat seperti membawa bungkusan dari daun pisang, dan sepertinya kedua perempuan itu adalah yang selama ini selalu membawakan makanan untuk Nyai Sumi. Ikhsan keluar dari tempat persembunyiannya dengan membawa air dan beberapa buah-buahan hutan. Kedatangan Ikhsan cukup mengejutkan keduanya. Dua perempuan itu cepat-cepat ingin pergi dengan raut wajah yang ketakutan, seperti maling yang tertangkap basah. "Tenang, tenang, nggak usah takut. Abdi bukan orang jahat," ucap Ikhsan mencoba menenangkan mereka berdua. Perempuan yang lebih tua memberanikan diri bertanya kepada Ikhsan. "U-ubi dan singkong yang dimakan Nyai Sumi dipersembahkan dari, Akang?" Ikhsan mengangguk. "A-Akang, bukannya anak buah Juragan Karta'kan?" tanyanya lagi. "Bukan, abdi nte kenal Juragan Karta. Tadi kebetulan abdi lewat hutan, dan melihat ada pon
Part 14"Maaf Yayi, apa perintah Yayi buat abdi?" tanya Ikhsan, setelah selesai bertanya wajahnya kembali menunduk. "Temui teman Yayi di Desa Kemangi? Maneh tahu Desa itu?" "Hanya pernah dengar, Yayi. Tapi Insya Allah pasti ketemu jika Allah mengijinkan.""Iya, San. Butuh waktu dua hari setengah bila ditempuh jalan kaki lewat jalan biasa. Tapi bisa lebih cepat jika lewat jalan pintas."Jalan pintas, Yayi?""Maneh bisa lewat Bukit Gumintang, turun bukit langsung Hutan Cipelang. Jika lewat jalan biasa, ya maneh harus memutari bukit dan hutan dulu, makanya lebih lama."Hanya tinggal mengikuti jalan setapak saja jika di Hutan Cipelang nanti, San?""Baik, Yayi, siap dipatuhi.""Setelah sampai Desa Kemangi, temui orang yang bernama Ki Sukron, tapi, San--" Ucapan Kyai Maksum berhenti, seperti ragu-ragu untuk melanjutkan. "Tetapi, kenapa, Yayi?""Ini tidak mudah, San. Ini tidak mudah, akan banyak hambatan nantinya yang akan kamu temui di sana.""Insya Allah, Yayi, semua akan mudah jika ada
Bagian 15Ikhsan memberikan satu dari dua sarung yang dia punya kepada Nyai Sumi, dan meminta Nengsih untuk mengganti kain jarik yang banyak terdapat sobekan dengan pemberian sarungnya. Nengsih juga yang mengelap wajah dan tubuh Sumi dengan kain basah. Agar tidak menjadi penyakit karena kotoran yang terlalu lama menempel di tubuhnya. Nyai Sumi tidak melawan, tidak juga berbicara, hanya diam saja saat Nengsih membersihkan tubuhnya. Matanya menatap Ikhsan dan Nengsih dengan tatapan kosong, saat keduanya memberitahu akan meninggalkan gubuk ini dan kembali membiarkan Nyai Sumi sendiri. Semuanya sudah disiapkan, dari persediaan minum dan makanan. Ikhsan hanya berharap tidak ada lagi orang-orang seperti yang kemarin, yang akan mengganggu Nyai Sumi hanya untuk melampiaskan hasrat birahinya. Bukannya Ikhsan tidak berani melepaskan Sumi saat ini juga, tapi dia belum tau seluk beluk dan watak warga desa Kemangi. Dia hanya berjanji sesekali akan datang untuk membawakan makanan, dan membicaraka
Part 16"Tahan ...! Tahann ...!" Dari kejauhan, nampak seorang laki-laki tua dengan berlari tergopoh-gopoh, berteriak-teriak meminta agar perkelahian jangan sampai terjadi. Kedua centeng itu menoleh ke belakang, pria tua itu semakin mendekati."Tahan! Bahrun, Markum, ini saudara abdi, baru kali ini ke desa kita," jelasnya, dengan napas terengah-engah. Nampak sekali kelelahan. Ikhsan menduga, jika pria tua ini yang dimaksud oleh gurunya, kepala kampung Desa Kemangi, Ki Sukron. "Tapi anak muda ini kurang ajar, Ki, masa tangan aing dipukul," jawab si jangkung kurus yang ternyata bernama Markum. Tangannya masih memegang golok telanjang, begitupun dengan Bahrun. Ikhsan yang ingin menjawab tuduhan si Markum diberikan kode oleh Ki Sukron, agar diam saja. "Jika begitu, abdi mewakili saudara abdi meminta maaf kepada kalian berdua. Mohon dimaklumi, belum paham adat-istiadat di kampung kita," jawab Ki Sukron dengan merendahkan dirinya. Meminta kepada Ikhsan agar ikut sedikit membungkukkan ba