(Kiano – Intermezo)
Mahesa kalau sedang tidak waras selalu memberikanku banyak sekali tugas. Selesai rapat aku harus membuat beberapa rangkuman rapat yang akan disebar ke seluruh staf hotel. Pukul 4 sore, pekerjaanku baru selesai dan aku turun ke restoran di lantai bawah. Pagi hingga sore, restoran terbuka. Hanya bar saja yang ditutup. Aku duduk di bagian terluar restoran yang menghadap kolam renang dan mengeluarkan sebatang rokok dari kantong celanaku. Sebetulnya aku sudah mengurangi rokok satu tahun terakhir ini. Tapi entah kenapa ada satu batang rokok di dalam dompetku dan aku memindahkannya ke dalam kantong celana. Ketika aku menghembuskan asap pertama, aku melihat Sekar sedang berjalan di sekitar kolam. Sibuk foto beberapa pemandangan yang ada di kolam renang.
&
(Sekar) “Bangun Sekar.” Seseorang menarik selimutku dan mengguncang tubuhku. “Sekar.” panggilnya lagi. Suara Mahesa terdengar nyaring di telingaku. Dia duduk di sampingku dan mengganggu tidur. Semalam dia tidak pulang sama sekali hingga aku terlelap. Sekarang dia coba-coba membangunkanku? “Ada apa sih!” Aku kesal. Aku terduduk tiba-tiba dan membuka mataku. Mahesa sudah baru saja mandi. Rambutnya basah dan hanya berbalut handuk. Dadanya yang telanjang dan terlihat jelas tatonya membuatku terkejut dan menjauh darinya. “Kita mau pergi. Tiga pulu
(Sekar) Aku, Kiano, dan Lina duduk di taman. Malam ini udaranya dingin sekali. Desa ini terletak di dataran tinggi di bawah kaki bukit. Aku kurang tahu nama bukitnya. Kami baru selesai makan malam. Nampaknya Mahesa ingin sekali mengobrol banyak dengan Mamanya, jadi aku, Kiano, dan Lina meninggalkan meja makan dengan cepat. “Udah berapa lama Mahesa cari Mamanya?” tanyaku pada Kiano. “Setahuku semenjak dia di sekolah di New York. Dia aja ke New York waktu SMP dan dua tahun setelahnya dia pulang ke Indonesia, udah nggak pernah ketemu sampai ya… baru hari ini ketemu lagi.” Aku berpikir sejenak. Pasti bahagia sekali keadaannya sekarang.&n
(Sekar) Aku sempat lama terduduk di tempat tidur. Cerita semalam bersliweran di benakku. Apa yang harus ku lakukan? Menceraikannya? Mempertahankan kepura-puraan ini sampai habis kontrak? Aku akhirnya memilih langsung mandi dan berencana membuka e-mail-ku kembali. Tapi tab milik Mahesa tidak ada di kamar, dengan enggan aku akhirnya berjalan menuju ruang tengah dan masuk ke ruang makan yang agak luas dan menyatu dengan dapur. Di situ duduk Mahesa, Kiano, dan Lina sedang mengobrol ditemani dengan Siti Mariah. Apa harus kupanggil dirinya? “Tuan Putri baru bangun?” ejek Mahesa. Dia melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah 11 siang. “Agak pusing semalam.” N
(Mahesa) Rasanya jantungku berhenti berdetak sewaktu melihat Sekar tidak bisa bernapas di dalam lift kemarin. Baru ini perasaan takut kehilangan melandaku. Aku memutar pulpen di jemariku dan tidak fokus dengan rapat pagi ini. Kiano menyenggolku beberapa kali untuk memperhatikan ke arah monitor dari laporan yang sedang dipresentasikan dan beberapa rincian biaya untuk merenovasi beberapa titik di hotel ini. “If you don’t pay attention in this meeting, I swear to God I won’t help you in any way.” ujar Kiano lirih di sebelah telingaku. Aku meliriknya. “Then step down soon from me.” balasku. Rapat krusial tiga
(Mahesa) Hari ini adalah hari Sekar pergi ke dokter untuk memeriksakan kesehatannya terkait alerginya. Awalnya dia menolak. Aku meyakinkan dia agar dia tahu apa saja yang harus dihindari karena dia memiliki riwayat alergi makanan khususnya kepiting. Aku tidak mengantarnya sama sekali karena setelah cek ke dokter dia akan ke kantor. “Bos, istrimu menelponmu terus dari tadi.” celetuk Marcel dari belakang. Dari tadi memang aku sibuk bermain game tanpa memperdulikan sekitar dan jam pun sudah menunjukkan pukul 10 malam. “Kenapa kamu nggak bilang sih?” Aku terdengar kesal. Delapan belas missed called. Aku berdiri yang menimbul
(Sekar) Aku menaikkan kakiku di sofa. Rasanya santai sekali malam ini. Seolah semua kepenatanku hilang. Ditambah angin malam yang tidak seperti biasanya berhembus agak semilir di pipiku. Aku berada di lantai 3 di rumahku. Tidak begitu sepi dan tidak begitu ramai. Karena aku masih bisa mendengar orang bercengkrama di gang sebelah. “Tumben lo ke sini?” Reni duduk di sebelahku. Menatapku sinis. “Pijat kepala gue dong.” Aku menyuruhnya dan mengambil tangannya dan meletakannya di dahiku agar dia mulai memijat. Kepalaku mulai kuletakkan di pahanya. “Beban lo nambah setelah nikah?” Reni mulai memijat. Tekanan pada j
(Mahesa) Aku mendengar semua perkataan Kevin, si bajingan ini. Ketika dia melemparkan kata bahwa dia masih mencintai Sekar, seluruh darahku berdesir ke kepala seakan-akan harus meledak saat itu juga. Aku menarik napasku dan mencoba untuk masuk ke dalam rumah. “Apa Anda tidak memikirkan sesuatu hal bahwa Sekar sudah menikah dan Anda mengatakan seperti itu di rumah orang tuanya dan Anda tidak ada sangkut pautnya lagi dengan keluarga ini.” ujarku datar. Tidak ada perkataanku yang meninggi. Aku berusaha tenang. Aku berjalan melewati Kevin dan mendekat ke arah Sekar. Kevin hanya tertawa dan tidak terkejut dengan kedatanganku. Aku pikir, Kevin datang dan sengaja membuat keributan. Sekar yang terkejut dengan kedatanganku langsung merangkul lenganku.&nb
(Mahesa) Keringatku mulai muncul di seluruh badanku. Mungkin bantal pun sudah basah. Aku seperti tidur di sauna. Panas sekali. Suhu ruangan yang panas ditambah… oh Sekar memelukku! Tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Aku melepaskan handuk yang menempel di dahiku. Mungkin semalam aku tertidur dengan satu posisi saja. Sekarang aku membetulkan posisiku. Menghadap Sekar. Ternyata selain suhu ruangan yang panas, ada juga suhu dari Sekar yang berada di tubuhku. Cukup lama aku menatap Sekar. Dia tidak bergeming sedikit pun ketika aku membetulkan posisi tidurku hingga menghembuskan napasku ke wajahnya. Sepertinya dia kelelahan karena aku menyusahkannya semalaman. Pelan-pelan aku bangun. Rasa lapar melandaku. Hanya aku tidak nafsu makan sejak kemarin. Pikiranku masih berkecamuk mengenai Kevin yang mene