Share

Eps.2 - Dilamar

(Sekar)

          “Halo.” jawabku. Waktu itu aku sibuk memilah-milah baju.

          “Ya, halo. Kita pergi ke pasar ya?”

          “Pasar?” Aku mengerutkan dahi. Mengecek make up di bawah mataku dan memasang anting-anting. “Emangnya ada yang buka? Kan udah tutup?”

          “Ada. Sebetulnya ada beberapa barang yang mau kubeli. Pakai baju santai saja ya!?”

          “Ohh…” Aku membulatkan mulutku berbentuk O sambil menggoreskan lipstick ke bibirku. “Oke deh tunggu ya.” Aku menutup sambungannya.

Laki-laki ini benar menungguku di lobi. Dia memakai kaos dan celana pendek. Kaosnya terlihat santai sekali. Semua pelayan di hotel bahkan porter yang menunggu di depan pintu pun tersenyum ramah padanya. Tampilanku juga santai, sesuai permintaannya. Sebelumnya aku terbersit sesuatu ketika hendak turun dan masuk ke lift. Apakah hal yang kulakukan bersama laki-laki asing ini benar atau tidak? Tapi setelah diingat-ingat lagi, kenapa tidak? Kevin saja berani selingkuh beberapa hari sebelum hari pernikahannya dan kenapa aku harus pusing?

“Kamu mau ke klub malam apa ke pasar?” Dia melihatku dari atas sampai bawah.

“Kalau ke pasar harusnya pakainku seperti gembel?” Aku menunjuk ke arahnya.

WHAT!” Dia kaget. Tidak terima kukatai. Dia berjalan ke arah resepsionis yang sibuk dengan beberapa orang yang hendak check in. “Mbak, tahu kan siapa saya?” tanyanya pada salah satu resepsionis yang cantik. Mbaknya kaget karena laki-laki ini tiba-tiba menanyakan sesuatu padanya.

“Oh iya, Pak. Saya kenal Bapak.” jawabnya malu dan bingung.

See?” Dia membanggakannya.

“Alaaah, ya dia emang kenal kamu, kan kamu menginap di sini.” Aku berjalan meninggalkannya keluar.

“Aku yang punya hotel ini.” ujarnya masih membela diri.

Aku tidak menggubrisnya kali ini dan menunggunya untuk mengambil motornya.

“Dimana motormu?”

“Tunggu di situ.” Dia menunjuk ke arah lobi yang ada tempat duduknya. Wajahnya kesal. Tidak perlu menunggu lama, aku melihatnya datang menumpangi motor bebek matic berwarna hitam. Lucu sekali. Mungkin karena tubuhnya yang tinggi dan besar jadi motor tersebut terlihat kecil. Aku mengambil helm dari tangannya dan memakainya. Ketika aku mengunci helm di leherku, dia membantuku untuk menguncinya. Lalu aku naik di belakangnya dan hanya memegang kaosnya yang agak longgar. Tidak memeluknya.

Aku tidak banyak bicara ketika di atas motor. Laju motornya tidak terlalu kencang dan tidak terlalu pelan. Dia banyak melihat-lihat di jalanan. Seolah-olah dia ingin mengecek beberapa spot yang dilihatnya. Akhirnya kami sampai di sebuah pasar. Bukan pasar malam nampaknya. Pasarnya ramai sekali dan terlalu terang menurutku.

“Ada pasar yang buka malam-malam begini?” tanyaku sambil melepaskan helmku.

“Kamu kemana aja selama ini? Baru pertama kali ke Bali?” Dia malah balik bertanya. “Ini namanya Pasar Kreneng. Bukanya sampai tengah malam nanti.” sambungnya menjelaskan.

Aku melihat jam tanganku. Baru jam 9 malam.

Laki-laki ini menuntunku ke dalam pasar. Dia benar-benar melihat ke setiap toko yang buka. Sepertinya ada yang dia cari. Aku pun juga sambil melihat-lihat. Siapa tahu ada barang yang bagus, pastinya aku akan beli. Terlintas aku ingat, uangku mungkin akan menipis jika aku berniat berbelanja di sini. Tiba-tiba hatiku miris.

“Keluarkan uangku.” perintahnya.

Aku sadar dari lamunanku.

“Apa?”

“Uangku. Ada uang lima puluh ribu selembar.” Dia menunjuk ke arah tas selempangku. Oh iya. Dompetnya masih aku simpan. Aku mengeluarkan uangnya selembar berwarna biru tanpa mengeluarkan dompetnya karena ini di pasar. Aku hanya takut copet. Dia mengambil uangnya dengan cepat dan ternyata memberikannya kepada tukang minuman. Ada dua minuman yang dibelinya. Salah satunya untukku.

“Tidak ada yang mau kamu beli?” tanyanya. Dia meneguk beberapa tegukan air mineralnya yang dingin.

“Nggak ada.” Aku menunjukkan ketidak-tertarikanku.

“Apa kamu suka belanja di Mall?”

“Bukan. Maksudnya tidak ada yang ingin kubeli.”

Dia mengangguk cepat.

“Masih ada yang ku cari. Mudah-mudahan toko yang diujung itu ada modelnya.”

Aku tidak menanyakan sebetulnya apa yang dia cari. Karena kami selalu keluar masuk toko perak, yang menyediakan beberapa perhiasan dari perak dan aku selalu mencoba beberapa cincin yang dipilihnya. Aku juga tidak menanyakan cincinnya untuk siapa dan kenapa dia membeli cincin.

Di toko terakhir aku mencoba cincin perak berlapis berlian. Toko ini berdiri sendiri. Berupa bangunan daripada toko-toko yang buka di pasar ini. Terlihat mewah walaupun kecil. Memiliki interior yang high class. Aku memakainya di jari manisku. Melihatnya dan terlintas mirip sekali dengan cincin nikahku yang sampai sekarang masih dipegang laki-laki brengsek yang selingkuh beberapa hari sebelum hari pernikahannya.

“Bagus?”

“Ya yang ini bagus.” ujarku.

Dia tersenyum puas.

“Kelihatannya pas ya di jarimu?”

“Iya pas. Apa kamu suka model lain? Biar aku pas kan lagi.” tawarku jenuh.

“Oh ini, menurutmu untuk laki-lakinya bagusan yang mana?” Dia menunjuk ke arah etalase di bagian cincin pria. Aku memandangi seluruh cincin pria dan menunjuk ke arah salah satu cincin. Cincin perak dan memiliki tiga mata berlian saja.

“Yang ini.” tunjukku.

Si penjual langsung mengeluarkan cincin yang kutunjuk dan memberikan kepada laki-laki itu dan mencobanya.

“Oke.” Dia hanya mengangguk.

Kemudian, laki-laki ini menyuruhku untuk memilih beberapa gelang diantara 4 gelang yang dia pilih. Aku memilih gelang berbentuk dolphin terlihat simple tapi mewah. Lagi-lagi, laki-laki ini terlihat senang dan puas atas pilihanku. Aku menunggunya di luar ketika dia membayar barang-barangnya dan melihat-lihat beberapa toko dan sempat jauh sekali berjalan. Tanpa sadar.

Tanpa sadar aku menangis di dalam keramaian. Meneteskan air mata adalah hal yang mudah seharian ini. Aku menjatuhkan botol air minumku dan seseorang telah mengambilnya.

“Kamu memang nggak mau pulang ya?” Laki-laki ini terlihat marah. Tapi ada rasa khawatir di raut wajahnya.

Astaga. Aku melihat ke belakang ternyata sudah jauh sekali aku berjalan meninggalkan toko yang tadi.

“Ya ampun, aku nggak sadar loh. Maaf, maaf.”

Destinasi kedua agak lumayan jauh perjalanannya. Aku sempat tertidur. Kepalaku tergeletak begitu saja di punggungnya. Mungkin karena aku lelah menangis. Aku tidak tahu mungkin laki-laki ini memegang tanganku dan mendekapnya di pinggangnya sendiri agar aku tidak terjatuh. Ketika aku bangun aku tersadar memang betul, laki-laki ini memegang tanganku dan aku langsung menariknya. Dia sempat kaget dan motor yang dikendarainya sempat oleng. Dia menoleh ke belakang sedikit dan mengomeliku.

“Jangan tidur di atas motor.” teriaknya.

“Kita mau ke mana sih? Kok nggak sampe-sampe?”

Dia tidak menjawab pertanyaanku. Ternyata ya ampun ke Pantai Jimbaran? Aku rasa aku akan masuk angin kena angin pantai malam hari. Dia mencari-cari spot bagus dan terang dan duduk menghadap pantai.

“Apa yang kamu lihat malam-malam begini ke pantai?”

“Mendengar suara ombak.”

Aku melihat ke sekitar dan suasanya ramai sekali. Ada juga beberapa grup pengamen yang menyanyi dengan merdu.

“Mendingan kita ke pantai di mana kamu tidur tadi pagi.” celetukku. “Nggak perlu ke sini jauh-jauh.” Aku terlihat merengut. Aku meraba tasku dan mengeluarkan dompetnya. Dia terlihat berharap.

Baru kuperhatikan dompetnya ternyata sebuah dompet kulit yang kemungkinan mahal. Aku membuka-buka dompetnya dan…

“Mau apa kamu?”

“Oh, Mahesa Elangga Putera.” Aku melihat kartu identitasnya.

Mahesa mengambil cepat dompetnya yang kuletakkan di atas meja. Dia berusaha merebut kartu identitasnya.

“Kamu lebih tua dariku.” celetukku.

“Berapa tahun?” tanyanya penasaran.

“Lima tahun.” asalku sambil tertawa.

“Jangan main-main. Wajahmu lebih tua daripada aku. Cepat balikan.”

Aku melempat kartu identitasnya dan dengan kesal mengeluarkan kartu identitasku.

“Enak saja. Ini lihat.” Aku memperlihatkan kartuku. Mahesa tampak memperhatikan dengan seksama dan tiba-tiba merebutnya.

“Coba aku lihat, Sekar Arum Minati.” Mahesa berdiri menjauh dan aku berusaha meraih kembali kartu identitasku. “Coba mana sih ini tahunnya? Kartunya udah jelek banget.” Dia membolak-balikkan kartuku yang sudah usang.

“Awas kamu main-main sama kartuku nanti hilang!” teriakku. Tapi suaraku tidak sebesar suaranya karena tenggelam oleh angin malam yang kencang.

“Oh, kamu beda empat tahun ya? Tapi kok wajahmu kayak tiga puluh lima sih?” Mahesa menyimpan kartu identitasku di dalam kantong celananya yang agak sempit sampai aku tidak bisa mengambilnya. “Eits, kalau kamu raba-raba tubuhku, ini namanya pelecehan.”

Sialan. Aku kesal sekali.

“Buat apa kamu simpan kartu identitasku sih!?”

“Jaminan.”

“Jaminan apa?”

“Kamu tadi bayar makananmu hampir 300 ribu sendiri pakai kartu kreditku.”

Astaga laki-laki ini. Membuatku naik darah.

Aku mengeluarkan beberapa lembar uang yang ada di dompet beserta receh-recehnya dan kuberikan padanya.

“Lunas!”

“Aku tidak terima receh.”

Seriously!!!?????” Aku berteriak.

“Sekar. Siapa sih namamu? Sekar? Arum? Cengeng?”

Aku melemparnya dengan papan nomor di meja dan dia hanya nyengir seperti kuda.

“Besok kamu mau kemana?”

“Besok sibuk.”

“Kerjaan?”

Mind of your business.”

Mahesa bertopang dagu melihatku.

“Pekerjaanku sih banyak, tapi aku terlihat bosan.”

Besok aku harus mengecek beberapa kamar untuk keluargaku yang datang ke Bali dan beberapa teman yang sudah memesan tiket untuk hadir di pernikahanku. Juga, aku harus menyiapkan hati dan kata-kata untuk disampaikan oleh mereka bahwa aku tidak jadi menikah. Kemungkinan besar tidak ada keluarga yang datang dari mantan calon suamiku. Pastinya dia sudah memberitahukan kepada keluarga besarnya. Baiklah, berarti itu aku yang akan menanggungnya. Rasa malu itu. Sebetulnya menikahinya saja tidak akan sulit. Dijalani saja. Walaupun bisa diputuskan untuk cerai dalam waktu dekat.

“Gimana kalau kita menikah saja?” tanya Mahesa tiba-tiba. Suaranya lantang. Lamunanku buyar.

“Kenapa aku harus menikahimu?” Aku malah balik bertanya. Rasa mual datang. Perutku mulas. Aku terlihat seperti dendam dengan kata-kata itu. Menikah.

“Aku akan memberikan sesuatu yang ingin kamu miliki.”

“Tidak ada yang ingin aku miliki.” jawabku datar. “Aku bukan wanita matre’” sambungku.

Mahesa terdiam. Aku terdiam.

Aku tidak tahu siapa laki-laki ini. Dia cukup baik. Bahkan aku belum mengenalnya dengan baik.

“Apa kamu tipikal wanita yang menikah karena cinta?”

“Ya pastinya. Itu kan impian setiap wanita.”

“Tidak bisakah kita menikah karena simbiosis mutualisme?”

“Kamu mau apa dariku?”

“Membantuku.”

Aku terdiam lagi.

Jika aku membalaskan dendamku pada mantan calon suamiku dan membuatnya berlutut dan mengemis cinta padaku. Aku sudah akan cukup puas. Dengan Mahesa aku bisa membalaskan dendamku padanya. Tampang Mahesa tidak jelek. Malah terlalu tampan hanya wajahnya agak melankolis.

“Membantumu apa?” Aku mulai tertarik.

Mahesa mencondongkan tubuhnya padaku. Wajahnya bersinar. Senang karena aku tertarik dengan tawarannya.

“Jadi istriku. Mendukungku. Aku lihat kamu termasuk wanita yang tegar dan keras kepala.”

“Kamu menerka sifatku?” Aku menunjuk diriku sendiri.

“Aku bisa menebak sifat orang.” Mahesa nyengir kuda. Untaian rambutnya jatuh ke dahinya. “Ada yang ingin kamu mau dariku?”

Aku terdiam. Terlihat bimbang. Tidak apa-apakah aku melakukan hal ini?

“Aku ingin balas dendam.”

“Oh, WOW!” Mahesa membelalakkan matanya. “Aku mengajakmu menikah bukan untuk melakukan kejahatan!” Dia terlihat syok.

“Kurasa hidupmu terlalu banyak menonton drama.” Aku mencibir.

Mahesa mengubah wajahnya menjadi serius. Mendengarkanku.

“Sebelum kita buat perjanjian aku harus jelas, kategori balas dendam seperti apa yang harus aku lakukan.” Mahesa mulai menjabarkan.

Aku terasa sedang berbicara dengan anak ABG.

“Aku batal menikah.” ujarku pendek. Mahesa menutup mulutnya dengan tangannya. Terkejut. Lihatkan? Hidupnya memang drama dan seperti anak ABG. “Pernikahanku besok lusa.” Mahesa masih menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

“Oh, I got it. Being good husband.” Mahesa memperagakan gayanya yang seolah-olah berpikir. “Berarti aku harus tahu apa yang tidak pernah kamu lakukan dengan maaf mantan calon suamimu. Oh, itu perkara yang mudah.”

Mahesa memberikan tangannya. Ingin menjabat tanganku.

“DEAL.” ujarnya keras. “So, will you marry me?”

Aku sempat menyembunyikan telapak tanganku dibalik lipatan tanganku di dada. Kemudian, aku membalas jabatan tangannya.

“Deal. Yes, I do.” ujarku lemah.

Aku sudah gila. Aku benar-benar sudah gila.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status