(Sekar)
Seseorang mengetuk pintu kencang sekali dan memencet bel berkali-kali. Padahal ini baru pukul 7 pagi. Akan aku maki-maki jika cleaning service memaksa untuk dibukakan pintu. Aku melihat siapa yang mengetuk pintu dari balik lubang pintu. Wajah Mahesa terpampang lebar tepat di depanku. Aku membukanya dengan malas. Mahesa tersenyum riang. Ketika aku melihat senyumannya, hatiku terasa bahagia. Ada untungnya juga aku mengganggunya tidur di pantai kemarin. Mahesa nyelonong masuk tanpa kusuruh. Dia membawa map warna merah.
“Di luar sudah terang sekali, Sekar sayang. Kamarmu gelap seperti di gua penyamun.” Mahesa duduk di pinggiran tempat tidurku yang berantakan. Dia melihat tisu-tisu yang berserakan di lantai. “Kamu masih menangis meratapi laki-laki itu?” Mahesa terlihat mencibir.
“Itu urusanku.” Aku sibuk membuka korden yang menutupi pintu balkon hotel.
“Bukannya besok kita akan menikah?” celetuknya.
Aku terbelalak. Menghampiri Mahesa yang terduduk santai.
“Besok???????!!!!!” Aku berteriak kaget.
“Aduh!” Dia memegang telinganya. Suaraku cukup kencang di dekatnya.
“Semalam kamu bilang orang tua dan kolega-kolegamu mau datang hari ini.” Mahesa mengangkat bahunya.
“Tapi kan nggak besok juga.”
“Pernikahanmu kan besok?!” Mahesa memastikan.
Iya pernikahanku memang besok di undangan yang sudah aku bagikan sebulan lalu.
“Tapi apa yang harus aku katakan ke mereka kalau aku menikah dengan laki-laki yang berbeda?” Aku mulai panik. Aku berdiri di depan pintu balkon. Melihat ke arah jendela dan membuka pintunya. “Astaga, semalaman saja aku susah tidur memikirkan apa yang akan aku katakan kalau aku gagal menikah…” Sekarang aku terduduk di kursi dekat jendela balkon. “Loh ini aku harus menikah dengan laki-laki yang berbeda.”
“Ada beberapa alasan.” Mahesa berhenti. Dia menatap ke langit-langit kamar. “Kamu bisa bilang bahwa calon suamimu memang selingkuh dan kamu menemukan cinta sejati dalam satu malam.”
Aku kehilangan penglihatanku sesaat. Aku mengambil udara banyak-banyak dan menghembuskannya keluar.
“Aku harus tahu apa yang disukai orang tuamu. Kamu punya adik? Punya kakak?” Mahesa mengeluarkan ponselnya. Dia seperti bersiap mengetik sesuatu sambil menunggu menjawab pertanyaannya.
Kakak? Astaga Reni pasti bisa mencium kejanggalan di sini. Daya analisa Reni sangat tajam.
“Reni, aku khawatir dengan Reni.”
“Siapa Reni?” Mahesa mengerutkan dahinya.
“Dia kakakku. Dia adalah orang yang paling bisa mendeteksi kalau ada orang berbohong padanya.”
“Mengerikan sekali. Kalau kita ketahuan?”
“Kita berdua harus bunuh diri sebelum Reni tahu bahwa kita menikah kontrak.”
“Jadi, aku harus gimana dong?” Mahesa sekarang yang terlihat cemas. Dia mengeluarkan kertas kosong dan pulpen padaku. “Kamu harus ceritakan padaku lebih mendetail nanti.”
Perjanjian Pernikahan Mahesa :
Perjanjian Pernikahan Sekar :
Aku membaca tulisan tangan Mahesa yang agak rapat dan rapih.
“Maksudnya apaan ini yang poin tiga?”
“Aku biasanya ada acara atau seperti gala dinner, nah kamu sebagai istri harus ikut juga. Terus misalnya juga, kamu harus memasak untukku. Soalnya aku nggak bisa makan makanan di luar. Oh ya, masakanku masakan sehat yang tanpa penyedap.” Mahesa menjelaskan.
“Aku rasa itu terlalu berlebihan. Aku kan juga harus mengurus hal-hal lain.”
“Jadilah istri yang baik.” Mahesa membaca perjanjianku. “Sepertinya perjanjianmu isinya tidak ada yang sulit.”
“Cih, aku harus banyak meminta kompensasi. Tuntutanmu terlalu banyak.” Aku menatapnya kesal.
“Kamu minta apa?” Sekarang Mahesa yang menatapku serius.
Tidak ada. Tidak ada yang terbersit di benakku sama sekali. Aku hanya memikirkan rumah yang sudah aku dan Kevin DP. Oh, mungkin aku bisa memilikinya.
“Ada. Rumah.”
“Rumah? Aku punya rumah dan dua apartemen.” ujarnya.
“Aku mau tinggal disitu setelah menikah.”
Mahesa terlihat berat menanggapinya. Aku membuka ponselku dan menunjukkan rumah yang kumaksud.
“Rumah ini kecil sekali. Kamu kalau mau balas dendam harus yang totalitas.” ujar Mahesa setelah melihat tampilan rumah yang aku beli bersama Kevin. Mahesa mencibir rumah yang kupilih. Sepertinya memang ini rumah yang mampu kami beli. Menurutku dan Kevin itu pun harganya agak mahal.
Aku memikirkan kata-kata Mahesa. Betul juga.
“Dimana rumahmu?” tanyaku.
“Pondok Indah. Masih kosong belum kuisi apa-apa, karena aku tinggal di apartemen.” jawabnya santai. Dia menunjukkan rumahnya dan seluruh ruangannya yang ada di ponselnya.
Aku menganga. Nampaknya bebanku akan berat setelah ini. Akhirnya kami menambahkan beberapa poin kecil di atas kertas perjanjian itu dan masing-masing kami tanda tangani di atas materai.
“Cepat siap-siap. Aku udah nggak sabar mau jemput calon mertua dan saudara iparku.”
Mahesa cengengesan.
***
(Sekar) Aku berdiri di depan pintu terminal kedatangan di bandara. Aku memakai kacamata hitam untuk menutupi mataku yang bengkak. Sama halnya dengan Mahesa. Dia berdiri di sebelahku dan membawa karton tebal yang besar bertuliskan “Selamat datang keluarganya Sekar, Salam Kenal.” “Aku rasa nggak usah terlalu berlebihan seperti itu. Keluargaku masih mengenaliku.” “First Impression is a must.” ujarnya cuek. Aku memperhatikan satu per satu orang-orang yang keluar. Awalnya aku melihat Kamila, adikku keluar, disebelahnya ada Reni dan dibelakangnya diikuti oleh kedua orang tuaku. “Itu mereka?” tanya
Episode 5 – Pernikahan di Sore Hari (Sekar) Pukul 1 siang. Reni tidak menghubungiku sama sekali setelah tahu aku akan menikah dengan Mahesa. Hari ini. Aku baru saja mulai untuk didandani. Mbak Lina mengatur semua pernikahanku. Sepertinya Mbak Lina mengenal baik Mahesa, karena Mbak Lina berada di kamarku sekarang. Menungguku atas permintaan Mahesa. “Mbak Sekar, saya cuma mau bilang beruntung sekali Mbak Sekar menikah dengan Pak Mahesa.” ujarnya tiba-tiba. “Terima kasih, Mbak.”Mahesa01.06 PMSekar sayang, aku mau bilang sesuatu ke orang tuamu
(Kayshila) Aku selalu bermimpi indah. Sayangnya, setiap aku membuka mata terbangun, aku selalu lupa apa yang sudah kuimpikan. Lucunya, mimpi indahku selalu berbanding terbalik dengan kehidupanku. Miris. Tubuhku tertutup dengan selimut tebal dan udara di dalam kamar sangat dingin sekali. Aku berniat bangun tapi tempat tidur ini nyaman sekali. Tiba-tiba aku ingat, aku telah menjadi seorang istri sekarang. Hanya satu tahun. Aku melihat jari manisku dan terduduk di pinggiran tempat tidur yang agak tinggi. Kepalaku agak pusing. Mungkin aku terlalu banyak menangis setiap hari. Betapa rapuhnya aku. Seolah-olah tidak bisa menerima kenyataan, hingga aku melamun dan lamunanku buyar ketika seseorang memencet bel dengan membabi buta. Aku berlari menuju pintu dan melihat siapa yang datang melalui lubang pintu. Astaga! Kamila!&nbs
(Sekar) Hampir satu minggu aku tidur satu kamar dengan Mahesa di rumah orang tuaku. Banyak sekali kekacauan dari kehidupanku dengan Mahesa. Aku tidak bisa mendeskripsikannya. Setiap hari Mahesa selalu saja membuatku kesal. Dia selalu membuang waktu jika sedang mandi di pagi hari, tapi mandi di malam hari mungkin hanya lima menit. Kemudian dia selalu menyuruhku untuk mencuci bajunya. Mengesalkan sekali. Seharusnya bisa aku taruh di tempat laundry saja. Alasannya, dia tidak suka menggunakan mesin cuci yang dipakai orang lain yang tidak dikenalnya. Luar biasa ya! “Sekar, kemejaku yang warna biru dimana?” tanya Mahesa pukul 11 malam, sedangkan aku sedang memeriksa beberapa laporan yang selalu aku bawa pulang. Semenjak aku mengambil cuti seminggu lebih, perusahaan dalam keadaan rumit. Aku seorang Finance Execut
(Mahesa) Selama dua minggu kehidupanku dengan Sekar, aku sudah mulai terbiasa bahwa setiap malam aku melihatnya tidur dan setiap pagi aku melihatnya marah-marah. Ini adalah kehidupanku yang luar biasa. Tidak bisa kubayangkan. Mengingat selama 8 tahun ini, aku selalu hidup sendiri di apartemen di New York. Semua yang kulakukan adalah sendiri. Menjelajah dunia pun sendiri. Ada salah satu yang membuat tujuanku harus tercapai. Membuat diriku sendiri sukses dan mencari keberadaan Mama. Hari ini pekerjaanku tidak begitu banyak. Hanya rapat dengan beberapa tim desain dan marketing untuk melakukan beberapa bentuk promo kecil-kecilan untuk tes pasar. Ketika aku pulang ke Indonesia, aku memiliki ide untuk membentuk sendiri perusahaanku dari nol. Sebuah perusahaan games khas Indonesia yang bisa diundu
(Mahesa) Di dalam perjalanan pulang. Sekar langsung terdiam. Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil. Aku bisa menebak, pasti banyak sekali pertanyaan yang ingin ditanyakannya. “Minggu ini kita bisa pindah ke apartemen?” Aku membuka pertanyaan. Memecah kesunyian. “Boleh.” “Apa barang-barangmu banyak yang mau kamu bawa?” “Baju saja beberapa. Bukannya di apartemen sudah lengkap semua!? Misalnya peralatan memasak?” “Iya sudah.”&n
(Sekar) Aku menekan ponselku berkali-kali dan mengirimkan chat ke Mahesa. Dia tidak mengangkat bahkan melihat chat-ku. Sepertinya aku akan pulang naik bus. Aku mematikan layar komputerku dan tidak sengaja memandang wallpaper foto pernikahanku. Aku memandang Mahesa sejenak. Aku melihat pulpen di depanku dan ingin kulempar layar komputerku karena ada foto Mahesa di sana. Dengan cepat aku mematikan komputer dan bergegas pulang. “Pulang, Kar?” celetuk Laras yang muncul di lorong melewati ruanganku. Dia adalah Manajer Perencanaan. Tubuhnya gemuk dan wajahnya lucu sekali. “Iya.” “Dijemput? Tumben nggak naik sua
(Mahesa) Aku melempar proposal yang sudah dipersiapkan sejak pagi oleh karyawanku. Kemurkaanku bertambah ketika salah satu game developer yang kutemui kemarin mundur. “Kalian tahu market di Indonesia itu seperti apa?!” Semua karyawanku tertunduk dan sebagian masih berani menatapku. “Di sini nggak akan ada yang mau install game yang terlalu rumit.” Aku menghela napas dan berdiri di hadapan mereka semua. “Proposal game yang kalian berikan ke saya ini sampah. Mungkin a