Share

Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?
Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?
Penulis: Andrea Luna

Eps.1 - Sapaan Ombak

(Sekar)

          Aku menginjak pedal gas agar mobilku melaju lebih kencang. Lebih kencang lagi dari perkiraanku. Serasa berada di arena sirkuit, tapi tidak bertahan lama. Akhirnya kulonggarkan kakiku yang menekan pedal gas sampai mobilku memelan sendiri. Di kananku terhampar lautan luas yang bisa dilihat dari jalan raya. Akhirnya aku membelokkan setirku ke arah pantai tersebut dan memarkirkannya di dekat jalan. Aku turun dari mobil dan melempar high heels ku ke dalam mobil. Aku berlari ke arah pantai pagi itu. Terlalu pagi malah. Pukul 06.30 kurasa.

          Aku berhenti melihat ombak yang bergulung cepat kemudian tertarik lagi ke tengah lautan. Anginnya menerpa rambutku yang tergerai. Hampa. Tatapanku nanar ke depan mengikuti alur gulungan ombak. Terlintas aku memikirkan mobilku yang kuparkir di belakang, apakah aku sudah menguncinya atau belum? Dan terlintas lagi, aku rasa aku tidak peduli dengan hilangnya mobil itu. Duniaku serasa runtuh. Tubuhku bergetar, dadaku sesak, dan tangisku meledak. Terpendam diantara gemuruh suara ombak dan desiran angina pantai. Entah siapa yang bisa mendengarku. Pantai ini sepi, tidak banyak pengunjungnya. Di area aku berdiri tidak ada manusia sama sekali.

          Karena kakiku lemas, aku jatuh berlutut di atas pasir. Aku tertunduk lesu masih sambil menangis. Mungkin detik ini aku merasa ingin merebahkan tubuhku karena lelah menangis. Air mataku sudah sangat berusaha untuk tidak ku keluarkan sejak kemarin. Hanya dadaku saja yang sesak menahannya. Dan entah sudah berapa lama aku menangis, tiba-tiba tubuhku tertutup oleh satu bayangan.

          “Aku perhatikan kamu dari jauh, ini sudah satu jam dan kamu masih saja menangis di sini?!” ujarnya. Suaranya agak meninggi. Terlihat seperti risih.

          “Aku tidak mengganggumu. Ini alamiah aku ingin menangis.” Aku sebetulnya yang risih. Tangisku masih terisak-isak, yang pasti aku sudah berhenti menangis karena laki-laki ini datang. Aku mendongakkan wajahku ke atas. Tampangnya kusut, rambutnya acak-acakan mungkin karena diterpa angin dan memakai kacamata hitam. Jika dilihat dengan seksama, laki-laki ini sangat dingin.

          “Kamu menggangguku tidur.” Dia menunjuk ke arah pohon kelapa yang berpondok dan di dalamnya ada dipan.

          “Memangnya kamu tidur disana semalaman? Kamu yang jaga pantai ini?” Aku mencibir. Aku mencoba untuk berdiri tapi terjatuh kembali. Lututku masih lemas. Dadaku masih sesak. Laki-laki itu memang terlihat memakai sweater berwarna khaki dan setelan jeans.  

          Akhirnya laki-laki itu membuka kacamata hitamnya. Matanya melihatku tajam. Dia membantuku berdiri. Aku menerima bantuannya dan cepat melepaskan tangannya dan sibuk membersihkan pasir-pasir yang menempel di celana jeans yang kupakai.

          “Thank’s” ucapku singkat. Aku berbalik menjauh darinya. Telapak kakiku menginjak pasir-pasir yang basah dan masih saja air mataku menetes tidak mau berhenti.

          “Kamu bisa saja bunuh diri di sini.” teriak laki-laki itu.

          Langkahku berhenti. Jarakku sudah 2 meter jauhnya.

          “Aku bantu.” teriaknya lagi.

          Kurang ajar. Siapa yang mau bunuh diri? Aku putus asa tapi tidak ada kepikiran untuk bunuh diri.

          “Kita sama-sama.” Dia berteriak lagi. Kemudian dia berjalan ke arahku. “Aku semalaman memikirkan bunuh diri apa yang cocok untukku agar semua orang mengenangku dengan momen yang indah.”

          “Siapa yang mau bunuh diri? Aku nggak ada niatan untuk bunuh diri.” Aku berusaha tersenyum. Mataku sembab. Mungkin ingusku juga terlihat dari balik hidungku. “Kalau mau bunuh diri, ya bunuh diri aja sendiri kenapa ajak-ajak orang?!”

          Laki-laki itu menghela napas berat. Dia melepaskan sweater-nya. Tubuhnya atletis sekali dibalik kaos lengan pendeknya walaupun kaosnya agak kebesaran. Kali ini dia dekat sekali denganku. Lagi-lagi aku menjauh darinya dan berbalik kembali berjalan menjauhinya. Aku tidak suka orang asing. Pikiranku masih berada di malam itu.

          “Kalau kamu nggak mau bunuh diri lalu apa?” Dia berteriak dan berusaha mengejarku.

          “Bukan urusanmu. Dasar orang gila!”

          “Kalau aku gila, aku saja yang bunuh diri.”

          Aku berbalik lagi ke arahnya. Aku mendapatinya sudah memegang pisau lipat kecil yang siap-siap ditusukkan ke arah perutnya. Aku tidak peduli tapi adegan itu mengkhawatirkanku.

          “Ada banyak yang harus kamu lakukan daripada kamu menghabisi nyawamu sendiri.”

          “Oh begitu?”

          Aku mengernyitkan dahi. Laki-laki ini melipat pisaunya kembali dan memasukkan ke saku jeans-nya. Maksudnya dia apa? Mau menggangguku?

          “Feeling better now?

          Dia tersenyum senang. Senyumannya sangat membuatku tersentuh. Dibalik senyumannya aku bisa melihat kesedihan yang mendalam. Kenapa laki-laki ini? 

          “Karena kamu mengganggu tangisanku, aku agak lebih baik dari beberapa menit yang lalu.”

          “Kupikir setelah menangis kamu mau bunuh diri.” tukasnya.

          “Memangnya sehabis menangis diharuskan bunuh diri?”

          “Jika itu yang diharuskan, mungkin aku akan ikut denganmu.”

          “Baik. Terima kasih.” ucapku sopan. “Semoga hidupmu penuh suka cita, selalu senang, dan bahagia bersama orang yang kamu cintai.” Aku menunduk. Kali ini aku berharap dia tidak mengganggu atau berusaha menghentikan langkahku.

          “Terima kasih juga sudah membangunku dari tidur di pondok sana.”

          Aku meninggalkannya. Dia tidak memanggilku lagi. Sempat aku menoleh ke belakang dan mendapatinya menatap ombak-ombak yang bergulung lalu tertunduk lesu. Aku menyalakan mesin mobilku dan melaju seperti biasa. Kencang.

Malam harinya,

          Aku memakai dress hitam. Dandananku agak terlalu berlebihan karena menutupi mataku yang bengkak dan sembab. Bahkan, aku tidak bisa memakai lensa kontak karena mataku yang pedih. Terkadang air mataku ingin keluar. Wanita yang kutunggu di restoran hotel akhirnya datang juga. Senyum yang cerah dan terlihat ramah sekali.

          “Hi, Mbak Sekar. Akhirnya kita ketemu lagi ya.” sapanya. Dia mencium kedua pipiku. Parfumnya sangat menusuk hidungku. Mungkin sebagai marketing hotel dia selalu totalitas dalam penampilannya.

          “Hi, Mbak Lina.”

          “Mana calon suaminya?” Mata Mbak Lina mencari-cari sosok yang dia kenalnya.

          Aku hanya tersenyum tidak menjawab pertanyaannya.

          “Mbak begini. Pernikahan saya kan tinggal empat hari lagi. Sebelum terlambat, bagaimana kalau saya batalkan?”

          Mbak Lina terkejut. Wajahnya yang penuh senyuman berubah heran. Dia tidak bertanya apa-apa.

          “Jadi, saya mau membatalkan pernikahan saya hingga waktu yang tidak ditentukan. Mohon maaf sekali. Ada beberapa kendala yang harus saya hadapi.” Tampangku sudah memelas. Aku berharap Mbak Lina memberikan kelonggaran baik uang yang sudah aku berikan sebagai tanda jadi penyewaan ballroom dan yang lainnya untuk keperluan pernikahanku empat hari ke depan.

          Mbak Lina menghela napas. Turut prihatin.

          “Begitu ya, Mbak. Saya turut prihatin ya, Mbak.”

          Mbak Lina memulai membuka tas tangannya yang lumayan besar dan mengeluarkan tab nya. Dia memperhatikan beberapa dokumen dan menunjukkannya padaku. Aku sangat senang, ternyata Mbak Lina memberikan semua uang yang sudah aku berikan padanya.

          “Mbak, jangan kuatir, walaupun saya nggak jadi menikah, keluarga saya tetap datang kok dan teman-teman saya mungkin yang sudah terlanjut beli tiket ke sini tetap saya berikan menginap di hotel ini gratis.”

          Mbak Lina mulai sumringah. Hatiku menangis. Disamping uang tanda jadiku kembali tapi aku harus mengorbankan uang untuk teman-teman yang sudah mau datang ke pernikahanku nanti. Setelah urusanku selesai dengan Mbak Lina, aku melangkah gontai di lobi hotel menuju lift hendak ke kamarku. Entah mengapa langkah kakiku mengembalikanku menuju restoran hotel yang ramai sekali.

          Mungkin memesan minuman ide yang bagus.

          Aku lapar sekali.

          Atau aku harus mabuk?

          Aku duduk di meja sendirian.

          Seseorang membanting kamera di atas mejaku. Aku nyaris tersedak.

          “Hei!” Aku menegurnya agak marah.

          “Aku menunggu seseorang yang akan duduk denganmu, tapi nggak ada yang datang. Yaudah, aku yang duduk di sini.”

          Laki-laki ini lagi. Kali ini dia memakai kemeja santai berwarna biru. Bersih sekali dan tidak sekusut tadi pagi.

          “Kamu lagi. Seharusnya ketika aku mendoakan seseorang dan tidak berharap bertemu dengan orang itu, harusnya orang itu tidak muncul di depanku.”

          Dia mengangguk-angguk.

          “Oh begitu ya? Mungkin karena aku juga belum mendoakanmu?”

          Aku diam. Makananku datang. Seorang waitress terlihat tersenyum ramah padanya.

          “Selamat menikmati.” ucapnya lalu pergi.

          Aku makan, tidak memperdulikannya. Dia melihatku, lalu melihat ke keramaian, lalu melihatku kembali.

          “Kamu sendirian?” Akhirnya dia bertanya.

          “Kenapa? Kamu berusaha menggodaku? Atau kamu mau mendekatiku karena mau mengambil ginjalku?”

          “Terlalu biasa. Ada yang lebih luar biasa?” tanyanya menantang.

          Jika aku tidak menahan emosiku. Aku sudah menyiram beer besar di depanku ke wajahnya. Sebelum aku ada niatan seperti itu, dia sudah meraih gelas beer-ku dan meneguknya hingga setengah. Aku melotot ke arahnya.

          “Belum ada ide cerita?” Dia masih bertanya. Seolah-olah menunggu jawabanku.

          “Kamu mau apa sih?” Aku sudah mulai risih.

          “Aku bosan.”

          “Lakukanlah hal-hal yang menyenangkan.”

          “Aku sendirian.”

          “Carilah teman.” usulku.

          Dia melihatku. Sungguh menatapku yang sedang mengunyah. Mengatakan dengan matanya bahwa aku adalah temannya. Teman yang baru ditemukannya tadi di pinggir pantai. Teman yang dia pikir akan bunuh diri sehabis menangis.

          “Aku rasa juga kamu sendirian?”

          Aku mulai bergidik ngeri. Aku meraih pouch-ku dan meraba ponselku. Laki-laki ini aneh sekali.

          “Oh, jadi aku orang jahat? Mulai terancamkah kamu?”

          Dia melepas jam tangannya, menyerahkan kameranya, memberikan ponselnya yang terlihat keluaran terbaru, memberikan dompetnya yang tipis, dan membuka kalung emasnya. Aku berpikir keras. Sambil menatapnya aku melihat senyumannya yang tulus dan gayanya yang konyol. Dia masih menungguku.

          Aku meraih ponselnya. Melihatnya dan membukanya. Tapi tidak berhasil.

          “Kamu harus tahu passwordnya untuk membukanya. Delapan belas delapan belas.” Dia memberikan password-nya. Aku mengetiknya dan memencet beberapa nomor. Nomorku dan seketika suara di ponselku berdering. Lalu aku meraih dompet tipisnya dan memasukkannya ke dalam pouch-ku.

          “Hei, buat apa kamu masukkan dompetku?”

          “Jaminan.” kataku singkat.

          “Ada identitas dan uangku di situ.” Dia menunjuk pouch-ku yang berada di sampingku.

          Aku menghabiskan sisa beer kemudian mulai berdiri. Dia bergegas memakai jam tangannya, mengantongi kalung emasnya, dan meraih kameranya. Dia mengikutiku ke meja kasir. Dia terlihat syok melihatku mengeluarkan kartu kreditnya dan memberikan ke kasir.

          “Jadi, bagaimana kalau kita mengusir kebosananmu?”

          Tawarku.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status