(Sekar)
Aku membuka mataku. Seseorang mengelus pipiku dengan lembut. Ternyata Mahesa.
“Ayo bangun, Sleeping beauty.” ujarnya. “Aku harus kerja. Ini udah jam setengah delapan.”
Karena aku yang masih belum sadar memeluknya dan menjadikan lengannya sebagai bantal, langsung saja terduduk.
“Jam setengah delapan?!” Aku terkejut. Langsung saja aku turun dari tempat tidur, tentunya sambil meringis. Aku lupa karena kakiku masih sakit. Walaupun tidak sesakit beberapa hari yang lalu. Aku sempat berhenti berjalan.
“Kamu ini, selalu lupa kalau kakimu sakit. Pelan-pelan sedikit
(Brian) Aku menghisap rokokku cepat-cepat. Rasa kekesalan memuncak setelah tahu kemarin Farel dipukul oleh Mahesa. Kurang ajar sekali anak haram itu. “Jadi apa yang lo lakukan?” tanya Farel. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi bar yang keras. “Gue akan menghancurkannya.” “Perusahaannya?” “Nggak bisa. Karena hampir semua sahamnya atas nama Papa. Kalau perusahaan Mahesa terjadi apa-apa, Papa akan turun tangan dan akan menyelidiki langsung.” terangku pada Farel. “Pinter juga taktik Mahesa. Trus gimana ca
(Kiano) Semenjak aku mengenal Mahesa dan mengklaim bahwa dia adalah penyelamatku sewaktu dulu aku di masa sulit dan dia juga sahabatku, aku tidak pernah melihat Mahesa sekacau ini. Dia seperti kehilangan arah. Tidak tahu apa yang harus diperbuat sejak Sekar, istrinya menghilang. Kali ini aku yang berpikir keras. Mengerahkan semua koneksi dan kemampuan dengan membawa nama Mahesa Elangga Putera anak dari pemilik Langga Perdana Grup. Aku sibuk sekali mengangkat telepon yang masuk ke ponsel Mahesa. Dia sama sekali tidak bisa berbicara apalagi berpikir jernih. “Oke, oke. Saya tunggu. Apapun yang terjadi Pak Mahesa berharap banyak.” kataku tegas. Mahesa hanya menatap nanar ke sebuah ponsel. Ponsel milik Sekar.
(Sekar) Badanku lemas sekali. Seperti habis mengikuti lomba lari atau mendaki gunung. Kelihatannya aku butuh istirahat yang lama. Tapi mataku memaksa untuk terbuka perlahan-lahan. Sebuah lampu yang terang di sebelah kepalaku dan atap yang putih bersih menjadi pemandanganku. Aku bisa merasakan oksigen mengalir di hidungku. Aku ingat, waktu itu aku sempat tidak bisa bernapas ketika rombongan orang memapahku ke dalam sebuah mobil yang kupikir itu adalah ambulans. Tubuhku terbungkus selimut dan tanganku terasa hangat sekali. Ternyata Mahesa tertidur di kursi dengan kepalanya berada di bangsal tempat tidur sambil menggenggam tanganku. Aku menggerak-gerakkan tanganku. Mahesa terbangun dengan mendadak. “Sekar!” Dia setengah berter
(Sekar) Hari ini, Aku menatap kosong laptop di depanku. Seseorang dengan suara berat berbicara dan aku benar-benar mengabaikannya. “Jadi… ruangan ini nanti wadrobe ya? Agak memanjang.” jelasnya. Aku memikirkan sesuatu. Sesuatu yang tidak kuduga sebelumnya. Bukan karena aku tidak menerimanya. Tetapi lebih kepada aku tidak percaya bahwa aku hamil. Ya hamil, dengan pria yang baru aku sukai. Bukan. Lebih tepatnya aku mulai mencintainya. Apa mungkin karena bawaan bayi bahwa aku hamil? Bukan. Bukan. Aku menghela napasku panjang sekali. Mungkin seperti naga yang akan mengeluarkan api. “A
(Sekar) “Kamu mau yang mana?” tanyaku. Kedua tanganku menunjukkan dua kemeja berbeda warna dan dua jas berbeda warna. “Terserah.” ketus Mahesa. Dia baru selesai mandi dan memakan sarapannya dengan diam. Dia tidak banyak bicara, mungkin karena aku tidak mau memeriksakan kandunganku ke dokter. Hanya dikarenakan aku belum percaya bahwa aku hamil. “Kalau begitu ini aja ya?” Aku mengeliminasi salah satu kemeja dan jas. Aku memberikannya padanya. Dia memakai pakaiannya dengan cepat kemudian memasang dasinya sendiri. Di saat dia memasang dasi di depan kaca, aku hanya memperhatikannya karena aku tidak bisa memasang dasi untuknya. “Aku akan belajar memasang dasi untukmu.” ujarku.&nbs
(Mahesa) Aku datang pagi-pagi ke kantor dan berjanji pada Marcel untuk melanjutkan permainanku di sebuah game yang baru diluncurkan kemarin. Aku terlalu sibuk mengurusi segala sesuatu semenjak peluncuran dua game baru bersamaan. Jadi, aku akan menaikkan level permainanku. “HAH!!” Aku berteriak. Menghentakkan kakiku lalu meregangkan semua tangan dan jemariku yang pegal ke udara. Aku sudah berada di level yang sama dengan Marcel. Aku berdiri dan juga meregangkan pinggangku karena terlalu lama duduk. “Bos, ada yang mau ketemu.” Kiano muncul di balik pintu ruangan Marcel. “Siapa?”&n
(Brian) Dua hari kemudian, Amarahku sedang meliputi diriku. Hingga ke ubun-ubun. Tidak terbendung. Aku melempar seluruh barang yang ada di meja kecilku dekat jendela. Beberapa benda yang berbahan keramik pecah berantakan. Farel tiba-tiba masuk ke ruanganku dan aku nyaris melemparnya dengan stick golf-ku yang berat. “Heh STOP! ELO KENAPA!??” teriak Farel. “Ini kantor bukan rumah!” Farel memperingatkan. “Mahesa sialan itu! Berani-beraninya menolak kita.” Aku setengah berteriak. Aku tahu dan sadar bahwa semua karyawan di luar pasti mendengar keributan dari ruangan ini. 
(POV) Sekar mendatangi rumah Darius dengan perasaan takut dan cemas. Dia melihat ke halaman dan menghitung mobil yang terparkir di situ. Biasanya beberapa mobil terparkir di halaman ini. Semoga saja Farel tidak ada di rumah. Orang yang paling ditakuti Sekar adalah Farel. Dia menyapa beberapa asisten yang bekerja di rumah dan munculah Mama Rosa dari tangga ketika dirinya sedang turun. “Wah Sekar.” Wajahnya terlalu berseri-seri untuk ukuran seseorang yang tidak terlalu dekat dengannya. “Sama siapa?” Matanya mencari-cari seseorang yang akan muncul di belakang Sekar. “Sendiri, Ma.” jawab Sekar. “Mama dengar kamu hamil?”&nbs