Zico menatap tubuh polos Nara yang penuh bekas merah karena ulahnya, dan setelah itu dia pun pergi keluar untuk memanggil pelayan untuk memakaikan pakaian Nara.“Hey kau!” Panggil Zico kepada pelayan yang ada di sekitar kamarnya.Pelayan itu pun melihat kepada Zico dan menghampirinya dengan cepat. “Iya, Tuan.” jawabnya."Masuk ke dalam kamarku, dan gantikan pakaian dari wanita itu!” titahnya.“Baik Tuan.” Pelayan itu pun masuk ke dalam kamar Zico dan memakaikan pakaian kepada Nara, pelayan itu sangat syok ketika membuka selimut yang menutupi tubuh polos Nara, dia syok karena melihat bekas kiss mark yang begitu banyak dan berwarna sangat pekat.Glek! Pelayan itu bahkan sampai menelan salivanya dengan susah payah karena merasa ngilu ketika melihat tubuh Nara. “Seberapa kasar sebenarnya guan menyiksa nona, bahkan dia sampai tak sadarkan diri. Dan tubuhnya ini benar-benar tidak ada yang tersisa kecuali bekas ciuman ini,” gumamnya.Ceklek! Suara pintu terbuka dengan tiba-tiba itu men
Denis mulai menghubungi rekannya dan tak lama kemudian, terdengar jawaban dari seberang telepon.“Ada apa dokter Denis?” tanya seorang wanita dari seberang telepon.“Ahh begini dokter Citra, apa kau bisa datang ke mansion milik tuan Zico Alexander Tan yang beralamat di jalan XX no 7. Saya sedang membutuhkan bantuan Anda, apakah Anda bisa datang?”“Ohh baiklah dokter Denis, saya akan datang.”“Hmm dokter Citra, tolong datang dalam waktu 10 menit ya!”“Akan saya usahakan.”Tuttt! Bunyi panjang itu menandakan bahwa sambungan telepon antara dokter Denis dan dokter Citra sudah terputus. Denis memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jas dokternya dan kembali melihat kepada Zico.“Dokter Citra sebentar lagi akan sampai,” ucapnya.“Aku sudah dengar, jadi kau tidak perlu mengatakannya lagi!” jawab Zico dengan cueknya.“Cihh, aku kan hanya memberitahu. Apa susahnya sih mengucapkan terima kasih,” gerutunya.“Jo, keluarlah! Sambut dokter itu dan langsung bawa dia kemari!” titah Zico.
Saat mereka sibuk ribut dengan urusan mereka, dokter Citra sudah keluar dari kamar Zico dengan ekspresi wajah marahnya.Denis yang melihat dokter Citra sudah keluar dari dalam kamar Zico pun langsung menghampirinya. “Dokter Citra bagaimana hasil pemeriksaannya?” tanyanya.Zico memegang dan menekan bahu Denis dengan kerasnya. Membuat Denis merasa sangat kesakitan dengan ulah Zico.“A-awww,” ringisnya.“Bukankah harusnya aku yang bertanya?!”ucap Zico dengan dinginnya.Dengan wajah kesalnya, Denis pun akhirnya mundur dengan terus menggerutu. ‘Cih, dia sok-sokan mau bertanya keadaan istrinya. Padahal tadi dia menyebutnya wanita itu.” Jo yang mendengar gerutuan Denis pun melihat ke arahnya dengan tatapan yang sama tajamnya dengan Zico.Denis yang melihat tatapan tajam Jo padanya itu pun langsung menghentikan gerutuannya. Glek! Dia hanya menelan salivanya dan menunjukkan senyum keterpaksaan pada Jo.“Bagaimana keadaan wanita itu?” tanya Zico dengan ekspresi cueknya.“Tuan Tan, seb
Dengan tubuh yang masih lemas dan rasa sakit yang masih sedikit terasa. Nara mencoba untuk beranjak dari tempat tidur. Dia melangkahkan kakinya selangkah demi sekangkah untuk keluar dari kamarnya dan mendatangi ruangan Zico, Jo mengikuti Nara di belakangnya. Karena seperti yang diperintahkan Zico, Nara harus datang bersamanya.“Silakan Nona!” Jo membukakan pintu ruangan Zico untuk Nara, tanpa banyak bertanya lagi. Nara pun langsung masuk ke dalam dan melihat Zico yang tengah membaca buku di ruangannya.Glek! Nara menelan salivanya untuk menghilangkan rasa gugup dan juga takutnya. Karena dia masih belum tahu apa tujuan Zico memanggilnya ke ruangannya. ‘Apakah mungkin Zico akan meneruskan hukumannya karena tadi siang aku sempat pingsan dan membuatnya marah.’ Pikirnya.Nara terus melangkahkan kakinya untuk menghampiri Zico, pandangan mata Nara terus lurus menatap Zico yang sepertinya tidak menyadari kedatangannya. 'Alangkah baiknya jika dia terus diam seperti itu. Dia seperti anak yan
Nara sudah kembali ke kamarnya, saat ini dia hanya duduk melamun di atas tempat tidurnya. Air matanya menetes dengan tiba-tiba ketika dia mengingat kembali jawaban Zico atas keluarganya. Terlebih tidak ada yang bisa Nara lakukan di sini. Zico tidak memberikannya fasilitas apa pun. Bahkan buku pun tidak ada di sini.Mengingat masalah fasilitas, Nara langsung mengingat mengenai keberadaan ponselnya yang entah di mana. “Iya, aku baru ingat di mana ponselku? Apa aku menjatuhkannya sewaktu aku berlari dari anak buah Zico di malam hujan itu?”“Kia, aku yakin Kia pasti mencariku.” Nara mulai mencari letak tasnya yang dia bawa di malam itu. Dia mengobrak-abrik semua isi kamar Zico. Dia harus menemukannya, ponselnya. Dengan begitu dia bisa menghubungi Kia. “Tidak ada, tidak ada di mana pun,” lirihnya saat dirinya tidak menemukan keberadaan tas dan juga ponselnya. “Aku pasti menjatuhkannya waktu itu, dan aku yakin salah satu anak buah Zico pasti sudah memungutnya atas perintahnya. Tapi siapa
Jo mengerutkan keningnya, dia tidak mengerti apa sebenarnya maksud Nara. Dan hal apa yang ingin dia bicarakan dengannya.“Bisakah Anda ikut dengan saya, sekretaris Jo?” tanya Nara.Karena Jo penasaran mengenai hal yang ingin di tanyakan Nara padanya, Jo pun akhirnya setuju untuk mengikuti permintaan Nara. “Baiklah,” jawabnya.Setelah mendengar persetujuan dari sekretaris Jo, Nara lalu melangkahkan kakinya terlebih dulu. Sedangkan sekretaris Jo mengikutinya dari belakang. Sebenarnya Nara masih belum hafal tempat-tempat yang ada di rumah ini. Jadilah dia hanya mengikuti ke mana langkah kakinya membawanya. Dia akan berhenti melangkah saat setelah menemukan tempat yang dirasanya cocok untuk berbicara dengan sekretaris Jo. Dan dia juga tidak mungkin mengajak Jo ke dalam kamarnya, karena itu adalah kamar Zico, jika Zico tahu dirinya membawa seorang laki-laki ke dalam kamarnya, entah apa yang akan dia lakukan.“Anda ingin membawa saya ke mana, Nona?” tanya Jo, yang mulai waspada dengan s
"Kenapa ak ....” Nara tidak bisa melanjutkan kata-katanya saat dia melihat ponselnya yang berada di tangan Zico. 'Ponselku,' ucapnya dalam hati. 'Jadi, dia yang mengambilnya,' lanjutnya.Zico melihat arah pandangan Nara yang terfokus kepada tangannya yang sedang memegang ponsel miliknya. Zico menyeringai dan akan mulai menjalankan aksinya untuk membuat wanita di hadapannya ini kembali menangis menderita.“Jo bilang kau sedang mencari benda ini?” tanyanya, sembari memain-mainkan ponsel Nara yang dipegangnya.“Kembalikan ponselku!” pinta Nara.“Apakah kau masih membutuhkan benda ini? Memangnya siapa yang akan kau hubungi. Semua keluargamu kan sudah berada di neraka. Lalu kau ingin menghubungi siapa, hm?”Nara menunjukkan ekspresi marah dan bencinya pada Zico, karena dia kembali membawa-bawa nama keluarganya dengan menghinanya lagi. Kedua orang tua dan juga adiknya adalah orang-orang yang sangat baik. Mereka tidak akan berada di neraka, tapi pria di hadapannya inilah yang akan menja
Nara menangis tersedu-sedu di dalam kamarnya, dia merenungkan nasibnya yang berubah tiba-tiba. Kehidupan bahagianya bersama keluarganya hilang begitu saja bak angin yang lewat. Semuanya berubah, senyum kebahagiaan yang dulu selalu terlukis, kini berubah menjadi kesedihan yang begitu dalam. Apakah dulu dirinya terlalu bahagia, hingga karena rasa bahagia yang berlebihan itu kini ter bayarkan dengan lunas oleh penderitaan.Nara menghentikan tangisannya saat melihat ponselnya yang terletak di sofa bekas Zico duduki tadi. “Ponselku,” ujarnya. Nara langsung beranjak dari tempat tidurnya dan mengambil ponsel miliknya. Dia membuka ponselnya dan langsung melihat foto album yang ada di dalamnya. Nara tidak bisa berkata-kata lagi saat melihat album foto yang ada di ponselnya itu benar-benar hilang tanpa sisa. “Huhuhu, dia benar-benar menghapusnya hiks hiks,” tangisnya.“Sebenarnya aku menikahi manusia seperti apa? Kenapa dia tidak punya rasa belas kasih walau sedikit pun. Papa, mama, Najwa. Na