Ya, aku sedang ada di rumah Zahra, sahabat paling terbaikku, si hijabers akut, anaknya Ibu Solekhah dan bapak Soleh. Aku bangga memiliki sahabat seperti Zahra. Dia selalu ada untukku, disaat apapun itu. Bahkan saat aku tidak lulus pun, dia masih mau menjadi sahabatku. Dulu waktu aku harus mengulang kelas akhir kembali dan Zahra sudah memasuki dunia perkuliahan, dia seringkali bermain kerumahku, hang out bareng dan hal-hal lainnya yang selalu kita lakukan bersama ketika waktu SMA.
Zahra ini cantik, mirip model pakaian muslim. Tubuhnya yang tidak terlalu berisi, tinggi, mancung, putih, bola mata besar, berhijab dan berhati mulia.
Tidak sepertiku yang dibilang cantik juga tidak cantik-cantik amat. Kalau Zahra mirip model pakaian muslim, aku lebih mirip menjadi model iklan peninggi badan, yang katanya, 'tinggi tuh keatas bukan kesamping'. Lihat saja diriku. Sudah rambutnya pendek seleher, cungkring, tinggi badan juga tidak punya alias pendek, pesek, tapi untungnya aku sedikit putih dan bola mata... Jangan ditanya! Aku bukan orang Cina apalagi orang Korea, tapi kenapa mataku sipit? Sedikit sipit maksudku.
Masih banyak lagi perbedaanku dan Zahra. Contohnya seperti, aku seorang jomblo kurang Kasih sayang sedangkan Zahra... Dia sedang menjalani proses ta'aruf dengan seorang dokter psikiater.
Ketika televisi sedang menayangkan iklan, sontak aku berhenti memasukkan keripik kentang kedalam mulut. Kepalaku menoleh pada Zahra yang ternyata sedang senyum-senyum sendiri dengan layar ponsel. Kutebak, pasti dia lagi chat sama Mas Ridwan, Dokter psikiater muda, tampan dan kaya pastinya. Ah, mana mau Abinya Zahra kalo Ridwan tidak kaya. Pastilah yang utama harus punya Harta.
Itu berlaku hanya untuk Abinya Zahra saja. Karena bagiku, Cinta dan kesetiaan juga sudah cukup. Apalah arti sebuah Harta, kalo tifak ada Cinta hidup pastilah hampa. Sepertinya aku sudah gila Cinta dan kesetiaan. Ah! Ini pasti gara-gara Arman. Lhoh, kenapa Arman lagi yang dibawa-bawa? Asudahlah.
“Awas itu bibir kebuka mulu, sampe garing gitu.” kataku.
Membuat Zahra mengatupkan kedua bibirnya dan menoleh padaku. Dia tersenyum manis memperlihatkan deretan gigi putihnya.
“Kenapa senyum-senyum gitu? Kamu kesambet? Kesambet cintanya Mas Ridwan?” aku selalu memanggil Zahra dengan sebutan aku-kamu, dari jaman awal kenal sampai saat ini. Alasannya karena... Abi dan Uminya Zahra tidak mengizinkanku berbicara lo-gue kalo sama Zahra. Ampun banget kan mereka? Aku saja kadang bicara sama Mbak Mila suka lo-gue, padahal umur kita beda enam tahun.
Kepala Zahra menggeleng.
“Terus?” seruku menggema di seluruh ruang tengah milik rumah Zahra.
Terdengar Zahra menghela napas. Dia sabar banget kayaknya punya sahabat sepertiku. Kusuka gayamu Zahra. “Jadi gini Na, kamu kan lagi cari pasangan yang mau diajak nikah cepet-cepet nih. Nah, Mas Ridwan punya kenalan. Dia juga sama kayak kamu, lagi cari yang seriusa—”
“OKE! Nggak usah dijelasin lagi. Aku udah ngerti. Sekarang, bilang sama Mas Ridwan, aku mau di kenalin sama temannya. Sekalian, Kasih aja nomorku ke temannya. Kapan kita bisa ketemuan?”
Cerocosanku hanya dibalas putaran kedua bola saja dari Zahra. Tapi wanita itu tak urung untuk melaksanakan apa yang aku perintahkan.
“Udah. Katanya siang ini bisa. Hape kamu mana? Barangkali dia sms kamu.”
Langsung saja aku merogoh saku celana jeans, mengambil ponsel disana. Mengecek ponsel, ternyata ada satu pesan dari nomor asing. Kutebak dia adalah temannya Mas Ridwan, yang entah siapa namanya dan bagaimana rupanya. Semoga saja aku bisa cepat bertemu dengannya dan duduk di pelaminan bersama. Nah, mulai lagi sesi khayalnya.
0877******** :
Assalamualaikum...Yah! Nomernya XL gaesss... Sedangkan aku Telkomsel. Bales tidak, ya? Mahal tidak sih? Bukannya aku pelit, hanya saja ini pulsaku tinggal sedikit. Telkomsel memang murah, tapi kalo cuma sesama saja. Kalo beda? Pulsa 10000 ribu cuma bisa nelpon beberapa menit saja!
Ah sudahlah. Masalah pulsa, biarlah. Nanti aku beli pake uang pendapatan kaffee saja, tentunya tanpa sepengetahuan Mas Reza. Aku membalas pesan salamnya.
Me:
Wa'alaikumsalam........ Maaf, ini siapa ya?Pesan terkirim, aku tersenyum girang pada Zahra. “Yaampun Zahra... Jantungku mau lahiran deh kayaknya... Aduh...” kataku berlebihan.
“Relax Na... Istigfar... Jangan berlebihan. Allah nggak suka sama yang berlebihan. Tuh, hape kamu nyala, dia bales mungkin.”
Dengan wajah masam aku membuka pesan dari nomor asing itu.
0877******** :
Sy Arsyad. Km Nawang Wulan, kan?Tidak bisa lagi membendung kebahagiaan, aku meloncat kegirangan lalu memeluk Zahra berlebihan. Sambil bilang makasih sebanyak-banyaknya sama dia yang lantas dijawab, “Makasih sama Allah...”
Sebelum membalas pesan Arsyad kembali, lebih dulu kusimpan nomor ponselnya. Setelah itu aku buru-buru membalas pesan Arsyad. Namanya saja sudah Indah sekali... Apalagi tampangnya? Semoga saja melebihi ketampanan Arman. Semoga.
Me :
Ooh, Arsyad. Iya aku nawang Wulan, tp km panggil aku Nana aja ya, heheheLhoh? Nomor siapa ini? Kukira Arsyad membalas pesanku, tapi ternyata ada nomor asing lagi. Segera kubuka pesan itu yang berisi;
0823******** :
Hai? Saya, Samuel temannya Ridwan. Km nawang, kan?Mataku terbelalak kaget, aku segera memperlihatkan ponselku pada Zahra. “Kamu tanya gih sama Mas Ridwan. Nama temannya sebenarnya siapa sih?” suruhku yang langsung dilaksanakan oleh Zahra.
“Samuel, Na... Namanya.” kata Zahra.
“Lah terus si Arsyad ini siapa?” tanyaku padanya dan hanya dibalas gidikan bahu.
Aku menatap ponsel frustasi. Kenapa jadi banyak nomor asing yang nyangsang di ponselku? Ah, mungkin aku yang berlebihan. Karena hanya ada dua nomor saja, hehehe. Malas-malas akhirnya aku membalas pesan dari Samuel-Samuel ini.
Me :
Halo, Samuel. Iya aku nawang heheheAgar tidak pusing, aku simpan saja nomornya Samuel. Kali saja dia tampan dan kaya. Kan bisa aku seret dia ke pelaminan.
Alih-alih menunggu balasan pesan dari Samuel, aku malah membuka room chat Arsyad. Menscrool keatas dan kebawah seperti tidak ada kerjaan. Tidak lama kemudian, masuklah pesan dari orang yang tidak aky tunggu.
Samuel :
Salam kenal y, nawangMe :
👌 panggil aku Nana sajaSamuel :
Iya, Nana. Siang ini kt bisa ketemu? Mf kalo terlalu cepat.Me :
Bisa kok bisa. Santai ajaSamuel :
Oke. Kita makan siang di resto arby yaMe :
OkSelanjutnya aku asik chat sama Samuel dan melupakan Arsyad. Samuel ini, jika diprediksikan lewat smsnya, dia humble orangnya. Aku jadi penasaran sama tampangnya. Kira-kira dia ganteng atau... Pas-pasan ya? Hehehe.. Biarpun wajahku amburadul kayak begini, aku harus mencari pasangan yang tampan dan terjamin kualitasnya. Guna untuk memperbaiki keturunan. Kan nggak lucu kalo akunya jelek, pasangannya juga jelek. Nanti anaknya bakal gimana?
Tepat pukul 12 siang, setelah berhasil memesan ojek online untuk membawaku ke restoran. Aku berpamitan pada Zahra. Jangan pada tanya ya, kenapa aku pake jasa ojek online dan tidak memilih untuk mengendarai motor atau mobil. Karena aku sebenarnya nggak bisa bawa kendaraan itu. Mau mobil, motor ataupun bahkan sepeda, aku sama sekali tidak bisa. Bukannya tidak ada yang mengajariku, hanya saja aku memang terlalu bodoh untuk memahami cara menggunakannya. Dari dulu Mas Jefri, Reza dan Rean selalu memaksaku latihan naik sepeda tapi tetap saja aku tidak bisa, sampai saat ini.
***
Tiba di resto arby, aku masuk ke restoran elit itu. Mataku jelalatan mencari sosok Samuel yang katanya tadi kutanya dia sudah datang dan mengenakan kemeja biru dongker dengan tekstur garis-garis. Penampilanku yang hanya mengenakan celana jins putih, t-shirt oleh-oleh dari Jogja berwarna abu-abu menjadi bahan sorotan. Ada apa dengan mata kepala pada pengunjung restoran ini? Apakah aku terlihat sangat menjijikan menggunakan pakaian ini?
Duh!
Tidak peduli dengan pandangan mereka, aku tetap mencari sosok Samuel. Dan kudapati Samuel ketika kepalaku melirik kearah barat. Lelaki itu sudah duduk tampan disana. Buru-buru ku hampiri dia. Kami menyapa satu sama lain sampai akhirnya mencari menu makan. Kini tinggallah menunggu makanan tersaji.
Kepalaku yang tadinya hanya menunduk jadi terangkat, menatap wajahnya yang sumpeh... Guanteng! “Iya,” jawabku seadanya. Entahlah, kok mulutku jadi nggak bisa berkata-kata, ya kalo sudah menatap wajahnya. Aneh.
“Mereka kapan nikah?”
“Siapa?”
“Ridwan dan Zahra.”
“Ooh.. Ng.. Ngak tahu sih pastinya. Tapi kata Zahra, secepatnya.”
“Kalo kita, kapan?”
Sontak saja aku memelototkan mata padanya. Barusan ia bilang apa? Mencoba untuk menggombal, Mas? Duh... Nggak usah di gombal-gombalin juga aku sudah luluh padamu. Melihatnya malah terkekeh, aku buru-buru menundukkan kepala tentu dengan kedua pipi yang sudah sehijau daun kelor. Nggak tahu kenapa, aku kalau sudah malu pasti pipinya suka berwarna kehijauan bukan kemerahan. Mungkin itu bukti kecintaanku pada sayuran hijau kali, yak?
“Bercanda kok... Nggak usah malu gitu.” katanya.
Siapa yang malu? Aku tuh bukan malu, hanya saja.... Ah sudahlah! Iya, aku malu. Kudongakkan kepala untuk menatapnya. Duh, dia senyum. Manis sekali seperti gula aren.
“Kamu nggak mau tanya-tanya soal saya? Apa pekerjaan saya, umur, hobi, jumlah mantan gitu?”
Pengin banget di tanya sama Princess jadi-jadian ya, Mas? Iya deh.. Aku tanya biar nggak terlalu awkward. “E-Emangnya kamu kerja dimana?”
“Di daerah Kemang.”
“Eh, maksunya... Kerja apa?” aku jadi salah tingkah sendiri mendengar jawabannya.
“Saya dokter kandungan.”
Bola mataku terbelalak kaget mendengar pernyataannya. Benarkah dia dokter kandungan? Berarti selama ini dia sudah pernah melihat isi aset para wanita dong? Dengan mata masih melotot menatapnya, bulu kudukku berdiri merinding. Tipe-tipe dokter kandungan kayak dia itu kata teman SMP-ku, orangnya pasti mesum. Entah fakta atau mitos yang jelas aku sekarang jadi takut sama Samuel. Tampangnya memang ganteng tapi pekerjaannya gaes... Mengerikan dan menggelikan.
“Kamu kenapa?” tanyanya menatap aneh padaku.
Buru-buru kugelengkan kepala. Tidak. Dia tidak boleh tahu kalau aku takut padanya hanya gara-gara profesinya yang sebagai dokter kandungan. Jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Keringat mulai membasahiku, karena kegelisahan ini. Aduh, bagaimana caranya untuk memutuskan acara ini? Makanannya saja belum sampai masa iya aku kabur? Kan sayang, sudah di traktir.
Tiba-tiba saja Tuhan memberiku jalan keluar. ponselku berdering menandakan ada panggilan masuk. Segera kurogoh saku celana dan mengangkat telepon siapapun itu. Aku tidak tahu siapa karena langsung saja kuletakkan telpon didekat telinga.
“Hallo, Na kamu dimana? Dicariin Mama ini kamu.” suara Mas Jefri terdengar dibalik telpon.
“A-aku di jalan Mas. Iya-iya sebentar lagi pulang kok. Iya, bye.” kataku gelagapan lantas segera mematikan telepon tergesa-gesa.
Kutatap wajah Samuel dengan pandangan memohon, “So-sorry, kayaknya saya harus pulang. Kita makan lain kali aja ya, bye.” tanpa menunggu jawabannya aku langsung melesat pergi. Tidak peduli panggilan Samuel dari belakang. Biarin lah, yang penting aku sudah terlepas dari jaring-jaring Samuel.
Karena jujur saja, setelah aku tahu pekerjaannya, dia langsung aku blacklist. Dokter kandungan itu bukan tipeku. Tipeku itu yang pastinya sih ganteng dan kerjaannya ringan, tidak ada lemburannya. Terserah dia miskin atau kaya, yang penting tampan dan memiliki banyak waktu untukku. Simple kan? Iyalah.
Ruangan tengah dipenuhi oleh suara tangis anak kecil laki-laki berusia dua tahunan itu. Dia terduduk dengan mainan berserakan diatas permadani. Tangisnya semakin pecah ketika menyadari bahwa dirinya sudah lama sekali menangis namun belum ada satupun manusia yang sudi menghampiri dan menggendongnya.Suara derap langkah terdengar. Itu Arsan. Dia baru pulang mengajar segera mempercepat langkahnya kala melihat Aiden Dwi Arsyad, anak keduanya menangis kencang sedangkan disekelilingnya tidak ada siapa-siapa.Tanpa pikir panjang ia menggendong Aiden dan menenangkannya.Nawang datang sambil membawa kemasan biskuit untuk Aiden. Dia menatap mainan yang berantakan macam kapal pecah.“Jangan lagi biarin Aiden main sendiri. Tadi dia nangis kencang banget, kamu nggak dengar?” ujar Arsan sedikit marah.“Tadi aku nyuruh Alin buat jagain kok. Aku pikir Aiden nangis cuma gara-gara Kakaknya
Lelaki itu menghela napas melihat pemandangan di depannya. Pemandangan kamar yang memperlihatkan Nawang dan Alin saling memeluk satu sama lain. Sudah berkali-kali mulut memanggil keduanya untuk bangun, namun sama sekali tidak ada yang menyahut. Sebenarnya, mimpi apa yang tengah mereka impikan sampai-sampai telinganya setuli itu.“Alin.. bangun Sayang. Kamu nggak berangkat sekolah?” ujar Arsan untuk kesekian kalinya.Masalah Nawang yang tidak mau bangun, Arsan tidak masalah tapi kalau Alin juga ikut-ikutan tidak mau bangun, itu menjadi masalah untuk Arsan. Alin yang selalu bangun pagi-pagi untuk berangkat sekolah kini berubah setelah seminggu belakangan ini pindah tempat tidur, kembali tidur bersamanya dan Nawang.“Sekali lagi Ayah panggil nggak bangun, Ayah buang semua boneka di kamar loh.” mungkin dengan ancaman Alin akan bangun.“Alin nggak mau berangkat sekolah! Mau tidur aja sama Mama!” teri
Senyum Nawang mengembang bak adonan roti ketika melihat bayi laki-laki berusia 3 bulan dalam gendongannya itu tersenyum memamerkan isi mulut yang belum tumbuh gigi. Nawang tidak bisa lagi menahan rasa untuk tidak mendaratkan kecupan kecil di pipi gembul si bayi. Dengan gemas dia menciumi kedua pipi bayi itu hingga dirinya tertawa sendiri.“Ya ampun... Ucul banget sih kamu Arya...” katanya, menyebut nama si bayi.“Dih.. dibilang ucul ketawa dia, hahaha..” Nawang kembali mencium pipi Arya dan membuat bayi itu semakin tertawa bahak. “Mas, lihat deh Arya, dia ketawa mulu.” ujar Nawang memberitahu pada Arsan yang tengah duduk di sebelahnya dan sibuk dengan ponsel.Mendengar itu Arsan menghentikan aktivitasnya, dia menyimpan ponsel dan ikut bergabung menikmati tawa Arya. Arsan melongo tidak percaya ketika melihat sendiri tingkah Arya. Tangan Arsan terulur menyentuh pipi Arya dan mengelusn
Author POV Bel istirahat berdering nyaring di setiap kelas. Nawang, murid perempuan itu yang paling heboh diantara yang lain. Dia buru-buru mengemasi buku tulis, buku paket serta pena, dia memasukkan semuanya begitu saja di kolong laci meja.Setelah dilihatnya guru yang mengajar di kelasnya sudah keluar, ia segera keluar kelas. Dengan senyum mengembang dan langkah riang, dia menyusuri kooridor sekolahan untuk menuju taman belakang gedung.Gadis SMA itu mengembangkan senyumnya semakin lebar kala melihat seorang murid laki-laki duduk kursi panjang taman itu. Dia menghampirinya dan bergabung duduk. “Maaf ya, lama.” katanya.Murid laki-laki yang tak lain adalah kekasih Nawang itu mengangguk, “Nggak apa-apa, aku juga baru sampai.” balasnya disertai senyum.“Iiih, Arman jangan senyum gitu dong... Aku kan jadi meleleh..”Laki-laki yang di panggilnya Arman itu mala
Arsan benar-benar niat sekali untuk berusaha membawa pulang Nawang. Sebelum matahari menampakkan sinarnya, dia dan Orangtuanya sudah bersiap-siap menuju rumah Reza, tepatnya di Bekasi.Kurang lebih sekitar puluk delapan, mobilnya sudah sampai di depan gerbang rumah Reza. Arsan segera turun, mengetuk beberapa kali gembok besar dengan besi gerbang. Hingga datanglah lelaki paruhbaya yang kemarin telah membukakan pintu gerbang untuknya, yaitu Pak Amad.“Ada perlu apa ya, Pak?” Pak Amad.“Eh, saya mau ketemu sama Mbak Latiefah lagi, Pak.”Pak Amad terlihat berfikir sejenak sambil memandangi satu persatu Orangtua Arsan yang mulai keluar dari mobil. “Emm... Maaf Pak, Bapak ini yang kemarin kesini juga, kan?”Arsan mengangguk sesegera mungkin.“Maaf Pak, semalam Pak Reza bilang kalau ada orang yang kemarin kesini, dia ngga
Usai mengantar pulang Alin dan Hanna, Arsan tidak langsung pulang ke rumah sendiri, lebih dulu ke rumah Orangtuanya. Guna untuk meminta restu, dukungan serta saran pada anggota keluarganya.Masuk ke ruang tengah, Arsan tidak menemukan siapapun. Dia melangkah menuju dapur. Dan melihat anggota keluarganya tengah menyantap makan malam.Semua pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Karena memang selama ini Arsan jarang berkunjung ke rumah ini. Dia akan berkunjung jika sang Papa memaksanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Arsan masih belum bisa bertatap muka terlalu lama dengan sang Mama. Perasaannya akan terasa kacau jika dirinya menatap sang Mama. Di sisi lain ia sudah bisa memaafkan Mamanya, namun jika sudah mengingat bagaimana wajah histeris Nawang saat itu, ingin rasanya Arsan mencabik-cabik Mamanya sendiri.Setelah memasang ekspresi terkejut beberapa detik, Ma