Share

2. Bukan Tipeku

      Tanganku terus memasukkan keripik kentang goreng kedalam mulut, tidak ada hentinya. Sedangkan mata kuarahkan selalu pada layar televisi yang tengah menayangkan sebuah FTV pagi. Aku tidak menonton televisi sendirian, disebelahku ada Zahra, sang pemilik televisi dan seisi rumah.

Ya, aku sedang ada di rumah Zahra, sahabat paling terbaikku, si hijabers akut, anaknya Ibu Solekhah dan bapak Soleh. Aku bangga memiliki sahabat seperti Zahra. Dia selalu ada untukku, disaat apapun itu. Bahkan saat aku tidak lulus pun, dia masih mau menjadi sahabatku. Dulu waktu aku harus mengulang kelas akhir kembali dan Zahra sudah memasuki dunia perkuliahan, dia seringkali bermain kerumahku, hang out bareng dan hal-hal lainnya yang selalu kita lakukan bersama ketika waktu SMA.

Zahra ini cantik, mirip model pakaian muslim. Tubuhnya yang tidak terlalu berisi, tinggi, mancung, putih, bola mata besar, berhijab dan berhati mulia.

Tidak sepertiku yang dibilang cantik juga tidak cantik-cantik amat. Kalau Zahra mirip model pakaian muslim, aku lebih mirip menjadi model iklan peninggi badan, yang katanya, 'tinggi tuh keatas bukan kesamping'. Lihat saja diriku. Sudah rambutnya pendek seleher, cungkring, tinggi badan juga tidak punya alias pendek, pesek, tapi untungnya aku sedikit putih dan bola mata... Jangan ditanya! Aku bukan orang Cina apalagi orang Korea, tapi kenapa mataku sipit? Sedikit sipit maksudku.

Masih banyak lagi perbedaanku dan Zahra. Contohnya seperti, aku seorang jomblo kurang Kasih sayang sedangkan Zahra... Dia sedang menjalani proses ta'aruf dengan seorang dokter psikiater.

Ketika televisi sedang menayangkan iklan, sontak aku berhenti memasukkan keripik kentang kedalam mulut. Kepalaku menoleh pada Zahra yang ternyata sedang senyum-senyum sendiri dengan layar ponsel. Kutebak, pasti dia lagi chat sama Mas Ridwan, Dokter psikiater muda, tampan dan kaya pastinya. Ah, mana mau Abinya Zahra kalo Ridwan tidak kaya. Pastilah yang utama harus punya Harta.

Itu berlaku hanya untuk Abinya Zahra saja. Karena bagiku, Cinta dan kesetiaan juga sudah cukup. Apalah arti sebuah Harta, kalo tifak ada Cinta hidup pastilah hampa. Sepertinya aku sudah gila Cinta dan kesetiaan. Ah! Ini pasti gara-gara Arman. Lhoh, kenapa Arman lagi yang dibawa-bawa? Asudahlah.

“Awas itu bibir kebuka mulu, sampe garing gitu.” kataku.

Membuat Zahra mengatupkan kedua bibirnya dan menoleh padaku. Dia tersenyum manis memperlihatkan deretan gigi putihnya.

“Kenapa senyum-senyum gitu? Kamu kesambet? Kesambet cintanya Mas Ridwan?” aku selalu memanggil Zahra dengan sebutan aku-kamu, dari jaman awal kenal sampai saat ini. Alasannya karena... Abi dan Uminya Zahra tidak mengizinkanku berbicara lo-gue kalo sama Zahra. Ampun banget kan mereka? Aku saja kadang bicara sama Mbak Mila suka lo-gue, padahal umur kita beda enam tahun.

Kepala Zahra menggeleng.

“Terus?” seruku menggema di seluruh ruang tengah milik rumah Zahra.

Terdengar Zahra menghela napas. Dia sabar banget kayaknya punya sahabat sepertiku. Kusuka gayamu Zahra. “Jadi gini Na, kamu kan lagi cari pasangan yang mau diajak nikah cepet-cepet nih. Nah, Mas Ridwan punya kenalan. Dia juga sama kayak kamu, lagi cari yang seriusa—”

“OKE! Nggak usah dijelasin lagi. Aku udah ngerti. Sekarang, bilang sama Mas Ridwan, aku mau di kenalin sama temannya. Sekalian, Kasih aja nomorku ke temannya. Kapan kita bisa ketemuan?”

Cerocosanku hanya dibalas putaran kedua bola saja dari Zahra. Tapi wanita itu tak urung untuk melaksanakan apa yang aku perintahkan.

“Udah. Katanya siang ini bisa. Hape kamu mana? Barangkali dia sms kamu.”

Langsung saja aku merogoh saku celana jeans, mengambil ponsel disana. Mengecek ponsel, ternyata ada satu pesan dari nomor asing. Kutebak dia adalah temannya Mas Ridwan, yang entah siapa namanya dan bagaimana rupanya. Semoga saja aku bisa cepat bertemu dengannya dan duduk di pelaminan bersama. Nah, mulai lagi sesi khayalnya.

0877******** :

Assalamualaikum...

Yah! Nomernya XL gaesss... Sedangkan aku Telkomsel. Bales tidak, ya? Mahal tidak sih? Bukannya aku pelit, hanya saja ini pulsaku tinggal sedikit. Telkomsel memang murah, tapi kalo cuma sesama saja. Kalo beda? Pulsa 10000 ribu cuma bisa nelpon beberapa menit saja!

Ah sudahlah. Masalah pulsa, biarlah. Nanti aku beli pake uang pendapatan kaffee saja, tentunya tanpa sepengetahuan Mas Reza. Aku membalas pesan salamnya.

Me:

Wa'alaikumsalam........ Maaf, ini siapa ya?

Pesan terkirim, aku tersenyum girang pada Zahra. “Yaampun Zahra... Jantungku mau lahiran deh kayaknya... Aduh...” kataku berlebihan.

“Relax Na... Istigfar... Jangan berlebihan. Allah nggak suka sama yang berlebihan. Tuh, hape kamu nyala, dia bales mungkin.”

Bahkan ketika jengkel padaku pun Zahra tetap saja berbicara halus padaku. Aku heran kenapa dia bisa sesabar itu. Legowo banget jadi manusia. Apalah aku yang hanya manusia setengah setan. Di marahin sedikit malah balik marah-marah. Di baikkin malah ngelunjak, itulah aku.

Dengan wajah masam aku membuka pesan dari nomor asing itu.

0877******** :

Sy Arsyad. Km Nawang Wulan, kan?

Tidak bisa lagi membendung kebahagiaan, aku meloncat kegirangan lalu memeluk Zahra berlebihan. Sambil bilang makasih sebanyak-banyaknya sama dia yang lantas dijawab, “Makasih sama Allah...”

Sebelum membalas pesan Arsyad kembali, lebih dulu kusimpan nomor ponselnya. Setelah itu aku buru-buru membalas pesan Arsyad. Namanya saja sudah Indah sekali... Apalagi tampangnya? Semoga saja melebihi ketampanan Arman. Semoga.

Me :

Ooh, Arsyad. Iya aku nawang Wulan, tp km panggil aku Nana aja ya, hehehe

Tubuhku panas dingin selesai menuliskan pesan dan telah terkirim. Aku terus menatap layar ponsel sambil senyum-senyum sendiri membayangkan wajah seseorang yang bernama Arsyad itu. Tidak lama kemudian, ponselku bergetar, menandakan bahwa ada pesan SMS masuk. Dari nomor asing lagi.

Lhoh? Nomor siapa ini? Kukira Arsyad membalas pesanku, tapi ternyata ada nomor asing lagi. Segera kubuka pesan itu yang berisi;

0823******** :

Hai? Saya, Samuel temannya Ridwan. Km nawang, kan?

Mataku terbelalak kaget, aku segera memperlihatkan ponselku pada Zahra. “Kamu tanya gih sama Mas Ridwan. Nama temannya sebenarnya siapa sih?” suruhku yang langsung dilaksanakan oleh Zahra.

“Samuel, Na...  Namanya.” kata Zahra.

“Lah terus si Arsyad ini siapa?” tanyaku padanya dan hanya dibalas gidikan bahu.

Aku menatap ponsel frustasi. Kenapa jadi banyak nomor asing yang nyangsang di ponselku? Ah, mungkin aku yang berlebihan. Karena hanya ada dua nomor saja, hehehe. Malas-malas akhirnya aku membalas pesan dari Samuel-Samuel ini.

Me :

Halo, Samuel. Iya aku nawang hehehe

Agar tidak pusing, aku simpan saja nomornya Samuel. Kali saja dia tampan dan kaya. Kan bisa aku seret dia ke pelaminan.

Alih-alih menunggu balasan pesan dari Samuel, aku malah membuka room chat Arsyad. Menscrool keatas dan kebawah seperti tidak ada kerjaan. Tidak lama kemudian, masuklah pesan dari orang yang tidak aky tunggu.

Samuel :

Salam kenal y, nawang

Me :

👌 panggil aku Nana saja

Samuel :

Iya, Nana. Siang ini kt bisa ketemu? Mf kalo terlalu cepat.

Me :

Bisa kok bisa. Santai aja

Samuel :

Oke. Kita makan siang di resto arby  ya

Me :

Ok

Selanjutnya aku asik chat sama Samuel dan melupakan Arsyad. Samuel ini, jika diprediksikan lewat smsnya, dia humble orangnya. Aku jadi penasaran sama tampangnya. Kira-kira dia ganteng atau... Pas-pasan ya? Hehehe.. Biarpun wajahku amburadul kayak begini, aku harus mencari pasangan yang tampan dan terjamin kualitasnya. Guna untuk memperbaiki keturunan. Kan nggak lucu kalo akunya jelek, pasangannya juga jelek. Nanti anaknya bakal gimana?

Tepat pukul 12 siang, setelah berhasil memesan ojek online untuk membawaku ke restoran. Aku berpamitan pada Zahra. Jangan pada tanya ya, kenapa aku pake jasa ojek online dan tidak memilih untuk mengendarai motor atau mobil. Karena aku sebenarnya nggak bisa bawa kendaraan itu. Mau mobil, motor ataupun bahkan sepeda, aku sama sekali tidak bisa. Bukannya tidak ada yang mengajariku, hanya saja aku memang terlalu bodoh untuk memahami cara menggunakannya. Dari dulu Mas Jefri, Reza dan Rean selalu memaksaku latihan naik sepeda tapi tetap saja aku tidak bisa, sampai saat ini.

***

Tiba di resto arby, aku masuk ke restoran elit itu. Mataku jelalatan mencari sosok Samuel yang katanya tadi kutanya dia sudah datang dan mengenakan kemeja biru dongker dengan tekstur garis-garis. Penampilanku yang hanya mengenakan celana jins putih, t-shirt oleh-oleh dari Jogja berwarna abu-abu menjadi bahan sorotan. Ada apa dengan mata kepala pada pengunjung restoran ini? Apakah aku terlihat sangat menjijikan menggunakan pakaian ini?

Duh!

Tidak peduli dengan pandangan mereka, aku tetap mencari sosok Samuel. Dan kudapati Samuel ketika kepalaku melirik kearah barat. Lelaki itu sudah duduk tampan disana. Buru-buru ku hampiri dia.  Kami menyapa satu sama lain sampai akhirnya mencari menu makan. Kini tinggallah menunggu makanan tersaji.

Kami terdiam lama, hingga akhirnya Samuel membuka suara, “Kata Ridwan, kamu ini sahabatan dengan Zahra sudah sejak kelas 1 SMA, ya?”

Kepalaku yang tadinya hanya menunduk jadi terangkat, menatap wajahnya yang sumpeh... Guanteng! “Iya,” jawabku seadanya. Entahlah, kok mulutku jadi nggak bisa berkata-kata, ya kalo sudah menatap wajahnya. Aneh.

“Mereka kapan nikah?”

“Siapa?”

“Ridwan dan Zahra.”

“Ooh.. Ng.. Ngak tahu sih pastinya. Tapi kata Zahra, secepatnya.”

“Kalo kita, kapan?”

Sontak saja aku memelototkan mata padanya. Barusan ia bilang apa? Mencoba untuk menggombal, Mas? Duh... Nggak usah di gombal-gombalin juga aku sudah luluh padamu. Melihatnya malah terkekeh, aku buru-buru menundukkan kepala tentu dengan kedua pipi yang sudah sehijau daun kelor. Nggak tahu kenapa, aku kalau sudah malu pasti pipinya suka berwarna kehijauan bukan kemerahan. Mungkin itu bukti kecintaanku pada sayuran hijau kali, yak?

“Bercanda kok... Nggak usah malu gitu.” katanya.

Siapa yang malu? Aku tuh bukan malu, hanya saja.... Ah sudahlah! Iya, aku malu. Kudongakkan kepala untuk menatapnya. Duh, dia senyum. Manis sekali seperti gula aren.

“Kamu nggak mau tanya-tanya soal saya? Apa pekerjaan saya, umur, hobi, jumlah mantan gitu?”

Pengin banget di tanya sama Princess jadi-jadian ya, Mas? Iya deh.. Aku tanya biar nggak terlalu awkward. “E-Emangnya kamu kerja dimana?”

“Di daerah Kemang.”

“Eh, maksunya... Kerja apa?” aku jadi salah tingkah sendiri mendengar jawabannya.

“Saya dokter kandungan.”

Bola mataku terbelalak kaget mendengar pernyataannya. Benarkah dia dokter kandungan? Berarti selama ini dia sudah pernah melihat isi aset para wanita dong? Dengan mata masih melotot menatapnya, bulu kudukku berdiri merinding. Tipe-tipe dokter kandungan kayak dia itu kata teman SMP-ku, orangnya pasti mesum. Entah fakta atau mitos yang jelas aku sekarang jadi takut sama Samuel. Tampangnya memang ganteng tapi pekerjaannya gaes... Mengerikan dan menggelikan.

“Kamu kenapa?” tanyanya menatap aneh padaku.

Buru-buru kugelengkan kepala. Tidak. Dia tidak boleh tahu kalau aku takut padanya hanya gara-gara profesinya yang sebagai dokter kandungan. Jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Keringat mulai membasahiku, karena kegelisahan ini. Aduh, bagaimana caranya untuk memutuskan acara ini? Makanannya saja belum sampai masa iya aku kabur? Kan sayang, sudah di traktir.

Tiba-tiba saja Tuhan memberiku jalan keluar. ponselku berdering menandakan ada panggilan masuk. Segera kurogoh saku celana dan mengangkat telepon siapapun itu. Aku tidak tahu siapa karena langsung saja kuletakkan telpon didekat telinga.

“Hallo, Na kamu dimana? Dicariin Mama ini kamu.” suara Mas Jefri terdengar dibalik telpon.

“A-aku di jalan Mas. Iya-iya sebentar lagi pulang kok. Iya, bye.” kataku gelagapan lantas segera mematikan telepon tergesa-gesa.

Kutatap wajah Samuel dengan pandangan memohon, “So-sorry, kayaknya saya harus pulang. Kita makan lain kali aja ya, bye.” tanpa menunggu jawabannya aku langsung melesat pergi. Tidak peduli panggilan Samuel dari belakang. Biarin lah, yang penting aku sudah terlepas dari jaring-jaring Samuel.

Karena jujur saja, setelah aku tahu pekerjaannya, dia langsung aku blacklist. Dokter kandungan itu bukan tipeku. Tipeku itu yang pastinya sih ganteng dan kerjaannya ringan, tidak ada lemburannya. Terserah dia miskin atau kaya, yang penting tampan dan memiliki banyak waktu untukku. Simple kan? Iyalah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status