Share

3. Pak Guru?


     Papaku ternyata beneran niat mencarikanku calon suami. Buktinya, saat ini aku sedang duduk bertiga dengan Papa dan Mama, tepatnya di ruang televisi. Setelah beberapa menit tadi membahas tentang Papa yang ternyata sudah pensiun jadi arsitek, beliau  mengganti topik lain yaitu mengenai calon suamiku. Duh, jadi malu. Deg-degan juga.

“Jadi gini, Na. Papa punya kenalan mantan client Papa. Kira-kira umurnya... Em.. 30-an, dia itu du—,”

“Namanya, Pa.. Nama...” selaku. 

“Arsyad.”

Arsyad? Itu bukannya nama orang yang kemarin SMS aku, ya? Oke-oke, di dunia ini pasti ada banyak orang yang bernama Arsyad. Tapi kok, bisa kebetulan begini. Untuk memastikan, aku kembali bertanya, “Nama panjangnya siapa, Pa?”

“Kamu kok buru-buru banget, gitu sih Na. Jangan terlalu antusias, jatuh itu sakit, Nana.” Mamaku menasehatiku. Kuputar bola mata untuk melihat ekspersinya saat berbica. Lantas kembali menatap Papa. 

“Papa lupa, Na. Kenalnya pake Arsyad doang.”

Aku manggut-manggut dengan fikiran masih berkecamuk mencari sebuah penerangan, apakah iya si Arsyad yang kemarin mengirimku SMS adalah orang yang akan Papa kenalkan padaku? Ah, tingkat kekepoanku jadi semakin menggila. 

“Dia udah SMS kamu belum?”

Dahiku berkerut. Dia siapa? Dianya Anji?

“Arsyad?” kata Papa. 

Ooh... Jadi benar terkaanku. Arsyad yang kemarin mengirim SMS padaku adalah Arsyad si client-nya Papa, yang akan dikenalkan padaku. Kira-kira seperti apa ya, rupanya? Aku jadi penasaran. Ah, jadi pengin VC-an sama Arsyad. 

“Udah SMS? Soalnya kemarin Papa ketemuan terakhir sama dia terus ngasih nomor kamu.”

“Iya, dia SMS. Dia kerja apa, Pa?”

Kulihat dari iris mata kanan, Mama mulai beranjak dari duduknya dan berlalu. Mungkin beliau jengah dengan pembicaraan ini. Atau mungkin juga jengkel karena aku lebih memilih Papa untuk mencarikan calon untukku.

“Guru kalau nggak salah, Na. Kalau kamu nanti beneran mau sama Arsyad, Papa setuju banget. Dia baik dan sopan, tutur katanya apalagi.”

Penjelasan Papa membuatku jadi semakin penasaran dengan sosok seorang Arsyad. Dari semua ucapan Papa sih, sepertinya Arsyad ini orang baik-baik. Maksudnya baik-baik itu, dia tidak pernah melakukan hal semacam minum minuman keras gitu. Karena aku benci sekali dengan orang yang mengkonsumsi minuman itu. Sangat benci. Dan semoga saja Arsyad tidak suka minum miras. 

Membalas ucapan Papa, kedua sudut bibirku tertarik membentuk senyum. Malu-malu aku berkata, “Iya, Pa. Aku mau kok sama Arsyad.”

Tiba-tiba saja Papa mengerutkan dahi, “Lhoh, belum juga ketemu sama orangnya kok kamu udah jawab gitu? Awas jangan nyesel nanti.” katanya. 

Bukannya ngeri, hatiku malah terus-menerus mengucapkan bahwa keputusanku adalah keputusan yang terbaik. Seolah-olah aku sudah tahu bagaimana sosok Arsyad dengan bibit bobot dan bebetnya.

“Nggak, aku nggak akan nyesel.” balasku tegas. 

***

     Hari sabtu ini begitu melelahkan. Selain seperti biasa harus mengontrol kaffee, aku juga disuruh jagain anaknya Mas Reza yang pertama, namanya Luna berusia 8 tahun. Entah ada urusan apa sampai-sampai aku disuruh jagain anak badung itu. Yang jelas pukul 11 lalu, Mas Reza datang ke kaffee dan bilang titip Luna selama tiga hari karena Mas Reza dan istrinya harus ke luar kota. 

“Tante... Ayo pulang... Aku mau main piano-pianoan sama mbak Olif...” Luna berteriak sambil menarik-narik lenganku.

Posisiku yang sedang duduk di sofa yang ada di ruanganku segera meliriknya lalu kembali lagi menyibukkan diri dengan ponsel. Wajah Luna terlihat kusut, karena memang sudah satu jam dia membujukku untuk pulang. Namun selalu kutolak, karena ini belum pukul 3. Lagian, alasan dia pulang hanya untuk bermain piano bareng Olif, anaknya Mas Jefri yang usianya sudah menginjak 12 tahun. Dan lagi, aku sangat malas jika di rumah.

Selain banyaknya anggota keluarga, kepalaku juga dipusingkan dengan Mama. Sampai saat ini beliau terus-menerus membujukku untuk berkenalan dengan anak teman arisannya. Mama ini keras kepala.

“Kalau Tante nggak mau pulang, aku bakalan pulang sendiri! Jalan kaki!” tiba-tiba Luna mengancamku. Gadis kecil itu beranjak dari duduknya dan melangkah menuju pintu.

Kalau saja si Luna tidak memanggilku 'Tante', mungkin aku akan sedikit baik padanya. Dengan terpaksa, kuseret langkahnya dan mendudukkan Luna kembali. Dia meronta dan menangis tapi aku tidak peduli. Biar saja. Lagian, ponakan-ponakanku yang lain pada panggil Aunty, eh si dia sendiri yang memanggilku Tante. Kecuali anak sulungnya Mas Jefri, si Fika, dia memanggilku Teteh. 

“Aku mau pulang... Aku mau pulang... Aku mau pulang.... Ayah... Bunda.... Tante jomblo nakal....”

Mataku melotot tajam mendengar teriakannya yang kurang ajar itu. Tante jomblo? Sial! “Diem! Bentar lagi pulangnya!” ketusku sambil sedikit menjambak rambut pendeknya. 

“Nggak mau... Aku maunya sekarang....”

Ketika hendak membalas teriakan Luna, ponsel di genggamanku berdering nada panggilan masuk. Segera kuangkat telepon itu yang ternyata Papa. 

“Hallo, Pa? Kenapa?”

“.....”

“Apa? Arsyad main ke rumah?”

“.....”

“Iya-iya, aku pulang nih. Tunggu sebentar.”

Setelah panggilan terputus, buru-buru aku membuka aplikasi Uber untuk kendaraan pulang setelah itu mengemasi ruangan agar tidak berantakan. 

Aku menarik lengan Luna tanpa banyak bicara. Dia juga diam saja mengikutiku keluar dari kaffee yang sore begini juga masih rame. Memang dasar, rejeki tidak akan kemana. Driver uber sudah menungguku, aku masuk ke dalam mobil setelah Luna. 

Tiba di rumah, lagi-lagi aku menarik Luna. Entahlah, aku ingin sekali menyiksa anak ini. Selain kelakuannya yang tidak akan membuat semua orang suka, wajahnya juga ngeselin, judes gitu padahal masih kecil.

Sekilas aku melihat mobil SUV hitam terparkir di pekarangan rumah. Sampai di teras, Luna meronta membuat tangannya yang ada digenggamanku jadi terlepas. Dia menatapku tajam sambil bicara, “Aku bisa jalan sendiri, Tante! Nggak usah di gandeng!” lalu dia masuk ke dalam meninggalkanku yang sudah mentertawakannya. 

Tawaku terhenti ketika langkahku tiba di ruang tamu. Aku menoleh ke kanan dimana disana ada Mama, Papa dan... Siapa itu? Sepertinya aku kenal. Rasanya tidak asing lagi dengan wajah garang itu. 

“Nana, ayo salaman dulu sama Arsyad. Katanya kamu udah nggak sabar pengin kenalan, ini orangnya sudah ada didepan mata, lhoh.” ujar Papa. 

Tidak kupedulikan ujarannya. Kakiku membeku di tempat dengan mata menatap seseorang yang bernama Arsyad itu. Tapi setahuku... Dia bukan Arsyad! Aku cukup kenal dengan lelaki yang kini duduk berhadapan dengan Papa. Kita saling tatap.

5 detik, 10 detik... Otakku berusaha mengingat-ingat masa lalu. Sampai akhirnya aku benar-benar ingat. Ya! Dia, lelaki yang mengaku bernama Arsyad itu adalah guru BK di sekolahan SMA-ku dulu. Setahuku, namanya bukan Arsyad melainkan Pak Arsan. Atau jangan-jangan nama panjangnya.... Arsan Arsyad? Jadi?

Lhoh? Bukannya Pak Arsan sudah menikah, ya? Kalau tidak salah, beliau menikah saat aku duduk di bangku kelas XI. Masa-masa itu sangatlah bahagia, dimana Pak Arsan mengambil cuti selama seminggu. Walaupun Pak Arsan ini bukan guru BK di jurusanku, aku tetap turut senang ketika mendengarnya cuti. Karena dengan tidak adanya beliau, aku bisa sepuasnya masuk keluar ke kelas IPA, untuk menemui pacar pastinya. Iya, jadi Pak Arsan guru BK-nya anak IPA, sedang aku anak IPS.

Kembali ke topik permasalahan. Jadi, bagaimana ini? Sebenarnya Pak Arsan sudah menikah atau belum? Jika sudah, kenapa beliau malah mau diajak kenalan sama Papa, dan kalau belum... Kenapa dulu cuti seminggu dan dikabarkan menikah, coba? Atau jangan-jangan, beliau duda? Nggak mungkin, ah! Nggak ada pengumuman juga disekolahan.

Mataku terbelalak, bayanganku melayang ketika aku dan Pak Arsan benar-benar akan menikah. Bagaimana mungkin? Guru BK menikah dengan mantan muridnya. Tidak lucu. 

“Pak Arsan?” mulut emberku malah menyuarakan namanya.

“iya?”

Sejak kapan guru BK SMA Satu yang terkenal garang, tidak berperikemanusiaan dalam memberikan hukuman itu berubah suara menjadi lembut? Setahuku, beliau itu kalau ngomong galak. Sumpah! Aku pernah di marahi sama Pak Arsan ini, dan itu sangat menakutkan. Lebih baik dengerin suara kuntilanak deh, daripada dengerin suaranya Pak Arsan.

Karena kesadaranku sudah mulai terkumpul, aku melangkah mendekatinya. Memberi salam padanya lantas duduk di kursi kecil yang paling ujung, jauh dari jangkauannya. 

“Na, kalo Mama nggak salah... Pak Arsan ini bukannya gurunya kamu, ya? Mama sering lihat dia waktu Mama ngambil raportmu.”

Nah, kan bener! Arsyad adalah Arsan, guru BK paling galak seindonesia. Lebih galak dari anjing liar. Suaranya lebih menakutkan daripada suara ngaungan serigala. 

“Iya, Ma. Pak Arsan guru BK di SMA Satu tapi di kelas IPA.”

“Jadi, kalian sudah lebih dulu ketemu, nak Arsyad? Waduh... Papa ketinggalan jaman dong!” Papa tertawa sendiri dengan ucapannya sendiri. Papa, waras kan? 

Diam-diam, kulirik Pak Arsan yang sepertinya berekspresi biasa-biasa saja. Apa beliau lupa padaku? Padahal kan, dulu aku juga sering di hukum olehnya, karena selalu keluar masuk kelas IPA dengan keperluan ingin bertemu pacar.

“Nak Arsyad, jadi gimana nih perasaannya, ketemu mantan anak murid?”

“Nana bukan murid saya, Pak. Kebetulan saya guru BK IPA. Perasaannya... Sempat kaget,” Pak Arsan melirikku sekilas lantas melanjutkan ucapannya, “Tapi, mungkin ini yang dinamakan taktir.”

Woahh.. Kandah takdir.

“Nggak nyangka, ya?”

“Iya, Pak. Sangat tidak menyangka.”

Selanjutnya mereka berbincang asyik sendiri sambil sesekali Mama menimpali. Karena merasa di kacangin, aku memutuskan untuk undur diri secara diam-diam. Aku tahu, Pak Arsan pasti melihatku yang melintir pergi, tapi beliau diam saja dan lanjut bicara. 

Setelah bersih-bersih badan, kubaringkan tubuh diatas kasur. Aku masih tidak menyangka bahwa Arsyad adalah Pak Arsan. Pikiranku bertanya-tanya apakah Pak Arsan sudah menikah atau belum. Dan ketika mataku hendak terutup untuk lenyap dalam mimpi, Mama membuka pintu kamar.

“Nak Arsyad mau pamit pulang, keluar gih.” katanya. Kenapa sih, segala panggilnya Arsyad? Kalau dari awal, Papa mengenalkan Arsan itu sebagai Arsan seorang guru BK SMA Satu, sudah pasti aku akan menolaknya. 

Alhasil aku diharuskan melihat wajah garangnya Pak Arsan lagi. Setelah tadi salaman dengan Papa dan Mama, aku mengantarnya keluar.

Iseng-iseng aku memanggilnya, “Pak Arsan,”

Pak Arsan yang posisinya berjalan didepanku menjadi berhenti di tempat. Membalikkan tubuh dan kini kami saling berhadapan dengan kedua alisnya yang naik. Aku benci ekspresi itu! 

“Ada apa?”

“Pak Guru bukannya sudah menikah, ya?” tanyaku lirih. Panci mana panci? Aku malu sekali. 

Kulihat beliau malah menundukan kepala lantas sedetik kemudian kembali terangkat. Bukannya mengabaikan pertanyaan konyolku dan lanjut berjalan, Pak Arsan malah mengambil duduk di kursi teras, yang kursinya cuma dua dengan meja bundar kecil. Aku ikut duduk, kami sekarang bersebelahan. 

“Saya sudah menikah.”

Jawabannya membuatku yang tadinya menundukkan kepala dalam-dalam segera mendongak menatapnya. Kalau sudah menikah, kenapa mau diajak kenalan?? Mau cari istri kedua nih, ceritanya? Ogah! Jelek-jelek begini, aku masih memiliki harga diri. Harga diriku tinggi, aku tidak mau menjadi istri kedua. Kayak nggak ada laki lain saja! 

Dengan raut sebal aku membalas, “Kalau sudah punya istri kenapa mau diajak kenalan?!”

“Tapi tiga tahun yang lalu dia meninggal.”

Ooh... Pantas tidak ada pengumuman tentang kematian istrinya Pak Arsan, wong meninggalnya waktu aku sudah lulus, kok!

“Ma-maaf Pak, nggak tau.” ucapku agak merasa bersalah. 

Kepala Pak Arsan mengangguk. Walaupun kami sedang berbicara tentang hal yang sedih-sedih, wajahnya tetap saja garang! Tidak ada raut sedih sama sekali, membuatku ingin sekali bertanya, 'itu muka ato patung, nggak berubah-ubah ekspresinya?' tapi kuurungkan niatku bertanya. Aku masih punya kewarasan, ya. 

“Lhoh, Pak Guru?”

Itu bukan suaraku, melainkan suara anak sulungnya Mas Jefri alias si Fika. Jangan tanya kenapa Fika memanggil Pak Arsan dengan sebutan Pak Guru, karena memang Fika adalah salah satu muridnya. Fika sekolah di SMA Satu, duduk di kelas akhir dengan jurusan IPA. Jadi jelas dia kenal, bahkan sangat kenal. 

Sepertinya Fika baru pulang sekolah, karena kulihat dibalik jaket denimnya masih mengenakan seragam putih abu-abu. Dia menyalami tangan Pak Arsan lantas tanpa basa-basi lagi dia langsung masuk. Untunglah, dia nggak punya keberanian untuk bertanya perihal kedatangan Pak Arsan kesini atas urusan apa. Mungkin si Fika berfikir bahwa Pak Arsan kesini karena dia melanggar aturan sekolah. 

Tiba-tiba saja Pak Arsan berdiri, “Saya permisi,” katanya dan pergi begitu saja. 

Ketika mobilnya sudah menghilang, aku masuk ke dalam rumah sambil terus memikirkan nasibku kedepannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status