Share

Married Young
Married Young
Penulis: Nur Hikmah

1. Tentang Aku

  “Pa, Ma aku pengin nikah!”

“APA?!”

   Dua pasang mata yang ada di hadapanku membelalak tidak percaya padaku. Papa dan Mama. Keduanya sangat kompak membulatkan bola mata mereka, bahkan ekspresinya pun sama. Sama-sama tegang. Beberapa detik memandangku seolah akan memakanku hidup-hidup, Papa dan Mama kini saling pandang. Sedangkan aku yang melihat tingkah Orangtuaku sendiri hanya bisa menghela napas gusar sambil garuk-garuk pantat.

     Diusiaku yang sudah menginjak 21 tahun, apa sebegitu diharamkannya untuk meminta nikah? Sehingga Papa dan Mama begitu terkejut sekali mendegar permintaanku. Ini sudah lebih dari satu menit mereka saling terkejut, tapi mereka sama sekali tidak menghentikannya. Membuatku berteriak, “Pa, Ma! Jadi gimana...?!”

Barulah Papa dan Mama menghentikan aksi terkejutnya yang berlebihan itu. Papa memandangku penuh selidik, sedangkan Mama malah senyum-senyum gulali. 

“Kamu nggak hamil, kan Na?” tanya Papa. 

Kontan saja bola mataku melotot kearah beliau. Sembarangan kalo tanya! Dengan wajah memerah karena menahan amarah, kepalaku menggeleng.

“Ish, Papa! Anak minta nikah kok malah di fitnah segala!” celetuk Mama, masih dengan senyum gulalinya yang bikin aku pengin narik itu bibir.

“Ya.. Bukan gitu, Ma. Papa heran aja sama anak kita. Tiba-tiba minta nikah. Nggak kayak biasanya, mintanya uang jajan.”

Setelah tadi bola mataku melotot tidak karuan, kini beralih memutar jengah karena perkataan Papa. Entah Papaku keturunan apa, kenapa bisa beliau punya mulut kok nyablak banget kalo ngomong. Beliau persis perempuan, suka ceplas-ceplos sekenanya kalo ngomong. 

“Terserah Papa mau bilang aku hamil atau apa. Yang jelas aku pengin nikah! Dalam waktu dekat ini! Sama siapapun yang penting dia bisa nafkahin aku!” aku berteriak lantang di ruang keluarga, didepan kedua orangtuaku. 

Usai berteriak, bisa kulihat Papa memijit pelipis sendiri sambil geleng-geleng. Lantas beberapa detik kemudian beliau menatapku, “Yasudah, nanti coba Papa carikan calon yang mapan. Tapi kamu harus mau dengan pilihan Papa dan tidak boleh dibantah.”

“Eh, nggak usah dicarikan, Pa! Sama anak teman arisannya Mama aja...” tiba-tiba Mama menimbrung lagi, memberi ide yang sangat tidak kreatif pada Papa. 

Iya, tidak kreatif. Bagiku, dijodohin sama anaknya teman arisan atau kerabat, itu sudah biasa.

Dan karena aku tidak mau, kepalaku menggeleng mengarah pada Mama “Nggak! Aku mau dicariin Papa aja!” lantas berlalih pada Papa, “Diusahakan jangan yang satu kerjaan sama Papa. Aku nggak mau punya suami yang pengusaha-pengusaha! Kalo bisa cariin yang jaksa-jaksa muda, atau... Apapun lah yang penting jangan pengusaha!” kataku. 

Hanya dibalas anggukan frustasi oleh Papa.

     Aku, Nawang Wulan biasa di panggil Nana oleh orang-orang. Usiaku 21 tahun, lahir pada rahim Ibu Amelia dan donoran sperma dari Bapak Abdullah. Aku anak terakhir dari 6 bersaudara.

Kakak pertama, kedua dan ketiga berjenis kelamin laki-laki. Namanya, Mas Jefri, Reza dan Mas Rean, semuanya sudah pada nikah dan punya anak. Sedang keempat, kelima dan keenam berjenis kelamin perempuan, bernama Mbak Mila, Anida dan aku. Mbak Mila sudah menikah dan sedang hamil saat ini. Kalo Mbak Anida, beliau sudah pulang ke rahmatullah karena kecelakaan mobil tiga tahun lalu, tepat saat aku sedang melaksanakan hari pertama UN tingkat SMA.

Yang membuat aku jadi tidak lulus. Karena hari UN selanjutnya, semangatku hilang melenyap bersama di kuburan Mbak Anida. Tapi... Entahlah, aku tidak konsentrasi menjawab soal UN karena kematian Mbak Anida atau aku-Nya saja yang memang bodoh dalam masalah materi. Alhasil aku harus mengulang kembali, duduk di kelas akhir selama 9 Bulan. Saat itu aku malu sekali dan ingin rasanya mengubur diri bersama Mbak Anida saja.

Bertelor di bangku sekolah itu rasanya tidak enak. Semua teman membullyku habis-habisan, mengataiku bodoh dan sebagainya. Bahkan tidak ada satu anak pun yang mau berteman denganku lagi, kecuali Zahra dan pacarku.

Dari dulu aku selalu mengatakan bahwa sekolah itu tidak enak. SD saja aku sering tidak berangkat tanpa keterangan. Apalagi SMP, seminggu aku cuma berangkat tiga hari saja. Itupun aku pilih-pilih hari yang tidak ada jadwal pelajaran matematika-Nya. Masa SMA tiga tahun yang lalu, sedikit ada perubahan. Satu minggu aku bisa berangkat terus, tapi kalo ada pelajaran yang hitung-hitungan aku selalu bolos. Jujur saja, aku ini orang bodoh. Apalagi tentang matematika. Ditanya lima tambah lima saja aku harus berfikir dulu beberapa detik. 

Dan, jangan tanya dulu aku masuk TK atau tidak. Tidak perlu masuk TK, langsung masuk SD, pada saat usiaku 6 tahun.

     Lulus dari bangku SMA, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan studi pendidikan lagi! Aku menolak Mama yang memintaku untuk masuk ke UI. Jangankan UI, universitas swasta saja belum tentu menerimaku. Aku juga menolak usulan Papa yang memintaku untuk lanjut ke pesantren dan ngaji-ngaji saja disana, tidak disuruh menjawab soal matematika seperti yang aku takutkan selama sekolah namun aku tetap menolak. 

Bully saja aku, karena diusiaku yang sudah menginjak 21 tahun ini baru khatam Juzz Amma. Doa-doa saja yang jumlahnya banyak, aku hanya bisa hapal doa mau tidur dan mau makan. Doa yang lain aku ganti saja dengan membaca bassmalah.

Akhirnya aku tidak melanjutkan sekolah dan dengan sah, Aku anak terakhir dari Bapak Abdullah dan Ibu Amelia hanya tamat pada pendidikan SMA saja. Selama tidak melanjutkan sekolah, aku bebas melakukan apa saja. Pacaran setiap hari, hang out sana-sini bareng Zahra, main pagi pulang malam, sudah kayak kerja saja.

Tapi itu hanya berlangsung selama dua tahun saja, karena selanjutnya aku disuruh mengelola caffee milik Mas Reza. Awalnya aku membantah, tapi karena Kakak-Kakakku mengancam tidak akan menganggapku sebagai adiknya lagi, akhirnya aku mau. Hingga saat ini aku masih mengelola caffee Mas Reza. Kerjanya enak kok, cuma marah-marahin pekerja yang tidak becus saja sama menerima duit.

     Tubuhku dikejutkan oleh seseorang dibelakang sofa yang aku duduki. Lamunan tentang lelaki tampan yang akan Papa kenalkan padaku tiba-tiba hilang dan mulutku tanpa di kontrol dulu sudah memanggil nama hewan, “Anjing!” sambil berjingkat kaget. 

Menoleh, aku melihat Mbak Mila ketawa keras sambil memegangi perut buncitnya. Kakakku yang keempat ini memang jahilnya tidak ada yang bisa ngalahin. Sejahil-jahilnya Sule dan Andre, masih jahilan Mbak Mila. Bola mataku memutar jengah melihat tawanya, lantas kepalaku memutar kedepan yang ternyata sudah tidak adalagi sosok Papa dan Mama. Kemana perginya mereka? Apa aku terlalu lama berkhayal sehingga mereka memilih pergi?

“Cieee yang ngebet kawin... Sana gih kawin sama pohon pisang. Atau sama buah pisangnya aja? Kan panjang!”

Mataku terbelalak kaget mendengar kalimatnya yang sangat menjijikan itu. Apalagi ini, dia mengatakan itu sambil mencubit pahaku berkali-kali. Tidak mau menjadi gila dadakan, aku segera beranjak pergi meninggalkannya.

Langkahku masuk ke kamar, menidurkan diri di kasur, tempat yang paling Indah setelah kamar mandi. Entahlah, aku suka kamar mandi. Karena disana, apapun bisa aku lakukan. Entah itu nyanyi, bugil sambil goyang-goyang alay, tidur, kecuali masak. Yakali masak di kamar mandi, yang ada masakannya bau kotoranku semua. Tidur telentang, mataku menjelajah langit-langit kamar. Dan tiba-tiba saja bayangan mantan pacar mulai memasuki otakku. 

Arman Saputra.

    Dia adalah lelaki yang membuat aku jadi ngebet pengin nikah. Gara-gara dia, aku gila nikah, sampai-sampai minta dicariin segala sama Orangtua. Gara-gara dia juga, otakku jadi hilang entah kemana.

Kalau saja Arman mau menikah muda denganku, mungkin semuanya tidak akan semengenaskan ini. Tapi sialnya dia membantah saat aku meminta untuk dihalalin cepet-cepet. Dia bilang, dia masih pengin membahagiakan kedua Orangtua, masih belum mau terikat dengan sebuah hubungan yang serius dan masih banyak lagi alasan-alasan basi yang dia ajukan. Membuatku akhirnya menggalau diri. Niatnya sih galau biar Arman luluh dan bersedia menikah muda denganku. 

Tapi rupanya gaes... Dengan sangat lantang, lewat via telepon, satu Bulan yang lalu, dia bilang, “Maaf Na, bukannya aku nggak mau hidup semati sama kamu. Aku cuma masih belum mau untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Apalagi nikah, itu masih jauh. Jadi, lebih baik kita putus aja. Bye!”

     Kepalaku geleng-geleng beberapa kali untuk menyadarkan otak. Baru saja aku mengintip masa lalu. Untuk apa? Aku mengerjapkan mata dan kembali terdiam sambil menggigit bibir bawah. 

Enam tahun kurang, aku menjalin hubungan pacaran dengan Arman. Sudah saling mengenal satu sama lain, bahkan dia tahu kapan jadwal PMS-ku. Tapi apa yang dia lakukan? Dia membuangku saat aku minta menjalin hubungan yang lebih serius lagi. Rasanya aku ingin menyiram wajah Arman dengan air keras, agar wajah tampannya tidak membuatku teringat lagi.

Arman... Arman... Andai kamu tahu Mas, kalo aku Cinta mati padamu, bahkan sampai saat ini. Biarlah kalian mau menilai aku sebagai anjing atau harimau, karena dari awal sudah menjelek-jelekkan Arman dan sekarang malah bilang Cinta. Tapi mau bagaimana lagi? Mulutku memang bilang benci padanya, tapi hati? Mana ada yang tahu? Memangnya hati bisa berbohong?

Perlakuannya yang selalu manis, senyumannya yang memikat, selalu menjaga tutur kata, pinter, tidak neko-neko, apalagi yang kurang? Tampan? Bahkan Arman lebih dari tampan. Dia memiliki kharismatik yang tinggi. Mataku saja jika sudah menatap wajahnya, jadi merah. Merah karena tidak kuat lihat dewa didepan mata. 

Ah, sudahlah. Membicarakan tentang Arman itu tidak akan ada ujungnya. Karena yang jelas dia selalu yang terbaik di hatiku, bukan di mulutku. Mulutku sih selalu bilang Arman itu jahat karena sudah membuangku begitu saja.

Tunggu tanggal mainnya saja, Arman. Aku akan segera menikah, lihat saja. Semoga hatimu bergemuruh api ya, melihatku duduk di pelaminan bersama suami. Dan aku berharap sampai saat ini kamu belum menemukan penggantiku di hatimu. Plis, Arman. 

Bicara tentang nikah, niatku untuk menikah bukanlah hanya sekedar untuk mengelabuhi Arman. Dengan menikah juga, secara otomatis aku keluar dari rumah ini. Yes! Karena jujur saja, andai kalian tahu kalau aku sangat-sangat tidak betah di rumah. Selain banyaknya jumlah penghuni disini, peraturan-peraturan aneh juga diterapkan. Ada juga alasan lain kenapa aku nggak betah, itu karena para ponakan-ponakan kecilku. Jangan di tanya jumlahnya berapa! Ada 9 gaes... 

Anaknya Mas Jefri ada 3, yang paling gede udah masuk SMA kelas 2. Kedua dan ketiga berjenis kelamin laki-laki dan mereka kembar, usianya 11 tahun kayaknya kalo tidak salah. Soalnya aku tidak paham usia para ponakanku . Sedang anaknya Mas Reza juga ada 3, perempuan semua dan masih kecil-kecil. Kalau Mas Rean 2, laki-laki dan perempuan. Mbak Mila anaknya baru 1 dan lagi dalam proses yang kedua. 

Jangan tanya nama mereka ya, karena aku saja yang menjadi Tantenya dan sering berinteraksi suka lupa sama mereka. Jadi, kadang-kadang kalo lagi main sama ponakan atau minta tolong sama ponakan, aku selalu memanggil mereka dengan nama asal-asalan saja. 

Hidupku susah ya dimengerti oleh kalian? Aku saja yang menjalani hidup ini juga merasa susah. Tapi jalani sajalah. Dan, beginilah aku. Nawang Wulan alias Nana, cewek tidak berpendidikan, otak cetek, cantik juga tidak dan setiap hari hidupnya selalu bergantung pada orangtua. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status