“Pa, Ma aku pengin nikah!”
“APA?!”
Dua pasang mata yang ada di hadapanku membelalak tidak percaya padaku. Papa dan Mama. Keduanya sangat kompak membulatkan bola mata mereka, bahkan ekspresinya pun sama. Sama-sama tegang. Beberapa detik memandangku seolah akan memakanku hidup-hidup, Papa dan Mama kini saling pandang. Sedangkan aku yang melihat tingkah Orangtuaku sendiri hanya bisa menghela napas gusar sambil garuk-garuk pantat.
Diusiaku yang sudah menginjak 21 tahun, apa sebegitu diharamkannya untuk meminta nikah? Sehingga Papa dan Mama begitu terkejut sekali mendegar permintaanku. Ini sudah lebih dari satu menit mereka saling terkejut, tapi mereka sama sekali tidak menghentikannya. Membuatku berteriak, “Pa, Ma! Jadi gimana...?!”
Barulah Papa dan Mama menghentikan aksi terkejutnya yang berlebihan itu. Papa memandangku penuh selidik, sedangkan Mama malah senyum-senyum gulali.
“Kamu nggak hamil, kan Na?” tanya Papa.
Kontan saja bola mataku melotot kearah beliau. Sembarangan kalo tanya! Dengan wajah memerah karena menahan amarah, kepalaku menggeleng.
“Ish, Papa! Anak minta nikah kok malah di fitnah segala!” celetuk Mama, masih dengan senyum gulalinya yang bikin aku pengin narik itu bibir.
“Ya.. Bukan gitu, Ma. Papa heran aja sama anak kita. Tiba-tiba minta nikah. Nggak kayak biasanya, mintanya uang jajan.”
Setelah tadi bola mataku melotot tidak karuan, kini beralih memutar jengah karena perkataan Papa. Entah Papaku keturunan apa, kenapa bisa beliau punya mulut kok nyablak banget kalo ngomong. Beliau persis perempuan, suka ceplas-ceplos sekenanya kalo ngomong.
“Terserah Papa mau bilang aku hamil atau apa. Yang jelas aku pengin nikah! Dalam waktu dekat ini! Sama siapapun yang penting dia bisa nafkahin aku!” aku berteriak lantang di ruang keluarga, didepan kedua orangtuaku.
Usai berteriak, bisa kulihat Papa memijit pelipis sendiri sambil geleng-geleng. Lantas beberapa detik kemudian beliau menatapku, “Yasudah, nanti coba Papa carikan calon yang mapan. Tapi kamu harus mau dengan pilihan Papa dan tidak boleh dibantah.”
“Eh, nggak usah dicarikan, Pa! Sama anak teman arisannya Mama aja...” tiba-tiba Mama menimbrung lagi, memberi ide yang sangat tidak kreatif pada Papa.
Iya, tidak kreatif. Bagiku, dijodohin sama anaknya teman arisan atau kerabat, itu sudah biasa.
Dan karena aku tidak mau, kepalaku menggeleng mengarah pada Mama “Nggak! Aku mau dicariin Papa aja!” lantas berlalih pada Papa, “Diusahakan jangan yang satu kerjaan sama Papa. Aku nggak mau punya suami yang pengusaha-pengusaha! Kalo bisa cariin yang jaksa-jaksa muda, atau... Apapun lah yang penting jangan pengusaha!” kataku.
Hanya dibalas anggukan frustasi oleh Papa.
Aku, Nawang Wulan biasa di panggil Nana oleh orang-orang. Usiaku 21 tahun, lahir pada rahim Ibu Amelia dan donoran sperma dari Bapak Abdullah. Aku anak terakhir dari 6 bersaudara.
Kakak pertama, kedua dan ketiga berjenis kelamin laki-laki. Namanya, Mas Jefri, Reza dan Mas Rean, semuanya sudah pada nikah dan punya anak. Sedang keempat, kelima dan keenam berjenis kelamin perempuan, bernama Mbak Mila, Anida dan aku. Mbak Mila sudah menikah dan sedang hamil saat ini. Kalo Mbak Anida, beliau sudah pulang ke rahmatullah karena kecelakaan mobil tiga tahun lalu, tepat saat aku sedang melaksanakan hari pertama UN tingkat SMA.
Yang membuat aku jadi tidak lulus. Karena hari UN selanjutnya, semangatku hilang melenyap bersama di kuburan Mbak Anida. Tapi... Entahlah, aku tidak konsentrasi menjawab soal UN karena kematian Mbak Anida atau aku-Nya saja yang memang bodoh dalam masalah materi. Alhasil aku harus mengulang kembali, duduk di kelas akhir selama 9 Bulan. Saat itu aku malu sekali dan ingin rasanya mengubur diri bersama Mbak Anida saja.
Bertelor di bangku sekolah itu rasanya tidak enak. Semua teman membullyku habis-habisan, mengataiku bodoh dan sebagainya. Bahkan tidak ada satu anak pun yang mau berteman denganku lagi, kecuali Zahra dan pacarku.
Dari dulu aku selalu mengatakan bahwa sekolah itu tidak enak. SD saja aku sering tidak berangkat tanpa keterangan. Apalagi SMP, seminggu aku cuma berangkat tiga hari saja. Itupun aku pilih-pilih hari yang tidak ada jadwal pelajaran matematika-Nya. Masa SMA tiga tahun yang lalu, sedikit ada perubahan. Satu minggu aku bisa berangkat terus, tapi kalo ada pelajaran yang hitung-hitungan aku selalu bolos. Jujur saja, aku ini orang bodoh. Apalagi tentang matematika. Ditanya lima tambah lima saja aku harus berfikir dulu beberapa detik.
Dan, jangan tanya dulu aku masuk TK atau tidak. Tidak perlu masuk TK, langsung masuk SD, pada saat usiaku 6 tahun.
Lulus dari bangku SMA, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan studi pendidikan lagi! Aku menolak Mama yang memintaku untuk masuk ke UI. Jangankan UI, universitas swasta saja belum tentu menerimaku. Aku juga menolak usulan Papa yang memintaku untuk lanjut ke pesantren dan ngaji-ngaji saja disana, tidak disuruh menjawab soal matematika seperti yang aku takutkan selama sekolah namun aku tetap menolak.
Bully saja aku, karena diusiaku yang sudah menginjak 21 tahun ini baru khatam Juzz Amma. Doa-doa saja yang jumlahnya banyak, aku hanya bisa hapal doa mau tidur dan mau makan. Doa yang lain aku ganti saja dengan membaca bassmalah.
Akhirnya aku tidak melanjutkan sekolah dan dengan sah, Aku anak terakhir dari Bapak Abdullah dan Ibu Amelia hanya tamat pada pendidikan SMA saja. Selama tidak melanjutkan sekolah, aku bebas melakukan apa saja. Pacaran setiap hari, hang out sana-sini bareng Zahra, main pagi pulang malam, sudah kayak kerja saja.
Tapi itu hanya berlangsung selama dua tahun saja, karena selanjutnya aku disuruh mengelola caffee milik Mas Reza. Awalnya aku membantah, tapi karena Kakak-Kakakku mengancam tidak akan menganggapku sebagai adiknya lagi, akhirnya aku mau. Hingga saat ini aku masih mengelola caffee Mas Reza. Kerjanya enak kok, cuma marah-marahin pekerja yang tidak becus saja sama menerima duit.
Tubuhku dikejutkan oleh seseorang dibelakang sofa yang aku duduki. Lamunan tentang lelaki tampan yang akan Papa kenalkan padaku tiba-tiba hilang dan mulutku tanpa di kontrol dulu sudah memanggil nama hewan, “Anjing!” sambil berjingkat kaget.
Menoleh, aku melihat Mbak Mila ketawa keras sambil memegangi perut buncitnya. Kakakku yang keempat ini memang jahilnya tidak ada yang bisa ngalahin. Sejahil-jahilnya Sule dan Andre, masih jahilan Mbak Mila. Bola mataku memutar jengah melihat tawanya, lantas kepalaku memutar kedepan yang ternyata sudah tidak adalagi sosok Papa dan Mama. Kemana perginya mereka? Apa aku terlalu lama berkhayal sehingga mereka memilih pergi?
“Cieee yang ngebet kawin... Sana gih kawin sama pohon pisang. Atau sama buah pisangnya aja? Kan panjang!”
Mataku terbelalak kaget mendengar kalimatnya yang sangat menjijikan itu. Apalagi ini, dia mengatakan itu sambil mencubit pahaku berkali-kali. Tidak mau menjadi gila dadakan, aku segera beranjak pergi meninggalkannya.
Langkahku masuk ke kamar, menidurkan diri di kasur, tempat yang paling Indah setelah kamar mandi. Entahlah, aku suka kamar mandi. Karena disana, apapun bisa aku lakukan. Entah itu nyanyi, bugil sambil goyang-goyang alay, tidur, kecuali masak. Yakali masak di kamar mandi, yang ada masakannya bau kotoranku semua. Tidur telentang, mataku menjelajah langit-langit kamar. Dan tiba-tiba saja bayangan mantan pacar mulai memasuki otakku.
Arman Saputra.
Dia adalah lelaki yang membuat aku jadi ngebet pengin nikah. Gara-gara dia, aku gila nikah, sampai-sampai minta dicariin segala sama Orangtua. Gara-gara dia juga, otakku jadi hilang entah kemana.
Kalau saja Arman mau menikah muda denganku, mungkin semuanya tidak akan semengenaskan ini. Tapi sialnya dia membantah saat aku meminta untuk dihalalin cepet-cepet. Dia bilang, dia masih pengin membahagiakan kedua Orangtua, masih belum mau terikat dengan sebuah hubungan yang serius dan masih banyak lagi alasan-alasan basi yang dia ajukan. Membuatku akhirnya menggalau diri. Niatnya sih galau biar Arman luluh dan bersedia menikah muda denganku.
Tapi rupanya gaes... Dengan sangat lantang, lewat via telepon, satu Bulan yang lalu, dia bilang, “Maaf Na, bukannya aku nggak mau hidup semati sama kamu. Aku cuma masih belum mau untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Apalagi nikah, itu masih jauh. Jadi, lebih baik kita putus aja. Bye!”
Kepalaku geleng-geleng beberapa kali untuk menyadarkan otak. Baru saja aku mengintip masa lalu. Untuk apa? Aku mengerjapkan mata dan kembali terdiam sambil menggigit bibir bawah.
Enam tahun kurang, aku menjalin hubungan pacaran dengan Arman. Sudah saling mengenal satu sama lain, bahkan dia tahu kapan jadwal PMS-ku. Tapi apa yang dia lakukan? Dia membuangku saat aku minta menjalin hubungan yang lebih serius lagi. Rasanya aku ingin menyiram wajah Arman dengan air keras, agar wajah tampannya tidak membuatku teringat lagi.
Arman... Arman... Andai kamu tahu Mas, kalo aku Cinta mati padamu, bahkan sampai saat ini. Biarlah kalian mau menilai aku sebagai anjing atau harimau, karena dari awal sudah menjelek-jelekkan Arman dan sekarang malah bilang Cinta. Tapi mau bagaimana lagi? Mulutku memang bilang benci padanya, tapi hati? Mana ada yang tahu? Memangnya hati bisa berbohong?
Perlakuannya yang selalu manis, senyumannya yang memikat, selalu menjaga tutur kata, pinter, tidak neko-neko, apalagi yang kurang? Tampan? Bahkan Arman lebih dari tampan. Dia memiliki kharismatik yang tinggi. Mataku saja jika sudah menatap wajahnya, jadi merah. Merah karena tidak kuat lihat dewa didepan mata.
Ah, sudahlah. Membicarakan tentang Arman itu tidak akan ada ujungnya. Karena yang jelas dia selalu yang terbaik di hatiku, bukan di mulutku. Mulutku sih selalu bilang Arman itu jahat karena sudah membuangku begitu saja.
Tunggu tanggal mainnya saja, Arman. Aku akan segera menikah, lihat saja. Semoga hatimu bergemuruh api ya, melihatku duduk di pelaminan bersama suami. Dan aku berharap sampai saat ini kamu belum menemukan penggantiku di hatimu. Plis, Arman.
Bicara tentang nikah, niatku untuk menikah bukanlah hanya sekedar untuk mengelabuhi Arman. Dengan menikah juga, secara otomatis aku keluar dari rumah ini. Yes! Karena jujur saja, andai kalian tahu kalau aku sangat-sangat tidak betah di rumah. Selain banyaknya jumlah penghuni disini, peraturan-peraturan aneh juga diterapkan. Ada juga alasan lain kenapa aku nggak betah, itu karena para ponakan-ponakan kecilku. Jangan di tanya jumlahnya berapa! Ada 9 gaes...
Anaknya Mas Jefri ada 3, yang paling gede udah masuk SMA kelas 2. Kedua dan ketiga berjenis kelamin laki-laki dan mereka kembar, usianya 11 tahun kayaknya kalo tidak salah. Soalnya aku tidak paham usia para ponakanku . Sedang anaknya Mas Reza juga ada 3, perempuan semua dan masih kecil-kecil. Kalau Mas Rean 2, laki-laki dan perempuan. Mbak Mila anaknya baru 1 dan lagi dalam proses yang kedua.
Jangan tanya nama mereka ya, karena aku saja yang menjadi Tantenya dan sering berinteraksi suka lupa sama mereka. Jadi, kadang-kadang kalo lagi main sama ponakan atau minta tolong sama ponakan, aku selalu memanggil mereka dengan nama asal-asalan saja.
Hidupku susah ya dimengerti oleh kalian? Aku saja yang menjalani hidup ini juga merasa susah. Tapi jalani sajalah. Dan, beginilah aku. Nawang Wulan alias Nana, cewek tidak berpendidikan, otak cetek, cantik juga tidak dan setiap hari hidupnya selalu bergantung pada orangtua.
Tanganku terus memasukkan keripik kentang goreng kedalam mulut, tidak ada hentinya. Sedangkan mata kuarahkan selalu pada layar televisi yang tengah menayangkan sebuah FTV pagi. Aku tidak menonton televisi sendirian, disebelahku ada Zahra, sang pemilik televisi dan seisi rumah.Ya, aku sedang ada di rumah Zahra, sahabat paling terbaikku, si hijabers akut, anaknya Ibu Solekhah dan bapak Soleh. Aku bangga memiliki sahabat seperti Zahra. Dia selalu ada untukku, disaat apapun itu. Bahkan saat aku tidak lulus pun, dia masih mau menjadi sahabatku. Dulu waktu aku harus mengulang kelas akhir kembali dan Zahra sudah memasuki dunia perkuliahan, dia seringkali bermain kerumahku, hang out bareng dan hal-hal lainnya yang selalu kita lakukan bersama ketika waktu SMA.Zahra ini cantik, mirip model pakaian muslim. Tubuhnya yang tidak terlalu berisi, tinggi, mancung, putih, bola mata besar, be
Papaku ternyata beneran niat mencarikanku calon suami. Buktinya, saat ini aku sedang duduk bertiga dengan Papa dan Mama, tepatnya di ruang televisi. Setelah beberapa menit tadi membahas tentang Papa yang ternyata sudah pensiun jadi arsitek, beliau mengganti topik lain yaitu mengenai calon suamiku. Duh, jadi malu. Deg-degan juga.“Jadi gini, Na. Papa punya kenalan mantan client Papa. Kira-kira umurnya... Em.. 30-an, dia itu du—,”“Namanya, Pa.. Nama...” selaku.“Arsyad.”Arsyad? Itu bukannya nama orang yang kemarin SMS aku, ya? Oke-oke, di dunia ini pasti ada banyak orang yang bernama Arsyad. Tapi kok, bisa kebetulan begini. Untuk memastikan, aku kembali bertanya, “Nama panjangnya siapa, Pa?”“Kamu kok buru-buru banget, gitu sih Na. Jangan terlalu antusias, jatuh itu sakit, Nana.” Mamaku menasehatiku. Kuputar bola mata untuk melihat eksper
Mataku menatap intens pada Fika yang saat ini ada di depanku. Dia sedang menceritakan bahwa kemarin dia di hukum oleh Pak Arsan karena ketawan pulang telat. Fika mendapat hukuman membersihkan gudang sekolahan. Aku tahu sekali gudangnya SMA Satu, berantakannya melebihi rumah orang tukang rongsokan. Dan baunya jangan ditanya, ada bau macam-macam disana, mulai dari bau kotoran tikus, anak tikus yang mati dan lainnya. Lagian sih, salahnya juga kemarin pulang sekolah bukannya langsung ke rumah malah main ke Mall.“Lagian ya, kenapa kemarin Pak Arsan ada disini, sih? Aku kan nggak ada masalah di sekolahan, kenapa Arsan datang kesini?”Fika bertanya dengan raut sebal. “Yeee... Sirik aja! Terserah dia dong mau kesini! Kamunya aja yang suka Badung! Pulang sekolah bukannya ke rumah malah ngemall!”“Iiihh... Aku ke Mall bukan buat seneng-seneng, Teh! Aku ke gramedia, nyari novel buat kado ulta
Minggu yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Seperti apa yang dikatakan Pak Arsan, hari ini beliau akan memperkenalkan anaknya padaku. Dari semalam aku sudah menebak-nebak bagaimana rupa anaknya Pak Arsan. Apakah mirip Pak Arsan yang kaku atau mirip Ibunya? Entah bagaimana rupa Ibunya, semoga saja jauh lebih berekspresi daripada suaminya.Selesai merias diri, dengan tampilan t-shirt abu-abu dan celana jins yang sedikit sengaja kurobek, aku keluar menghampiri Pak Arsan di ruang tamu. Untungnya Fika sudah pergi lebih pagi bersama teman-temannya, jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan pertanyaannya yang pasti akan bertanya, 'ada hubungan apa teteh sama pak Arsan?'.Setelah pamit pada Mama dan Papa, aku dan Pak Arsan bergegas pergi. Awalnya aku bingung dengan kedatangannya yang malah hanya seorang diri, bukan bersama anaknya. Kemarin kan beliau bilang mau memperkenalkan anaknya.
Bolehkah aku bilang bahwa hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan? Karena seorang Arman, mantan pacarku tiba-tiba saja menelpon dan bilang bahwa dia ingin bertemu denganku karena ada sesuatu penting yang mau disampaikan.Entah aku yang merasa berlebihan atau apa, yang jelas aku berfikir Arman ingin bertemu denganku karena dia ingin memperbaiki hubungan kami yang sempat kandas di tengah jalan.Tanpa menunggu waktu lama lagi, lima menit setelah Arman memutus teleponnya, aku segera keluar dari rumah untuk menemui Gojek yang sudah menungguku.Sesuai dengan permintaan Arman, dia ingin kami bertemu di tempat yang dulu sering dijadikan tempat kencan. Adalah kaffee lovely, tempatnya dekat SMA Satu.Tiba di kaffee aku mencari-cari sosok Arman. Katanya dia sudah datang lebih dulu. Ketika aku menoleh kearah kanan, kulihat Arman melambaikan tangan padaku. Aku segera
"Pak, pokoknya aku mau kita nikah secepatnya!""Kita?""IYA!""Saya belum setuju dengan perjodohan ini. Jangan mengambil keputusan sendiri.""Nggak mau tau! Pokoknya nikah secepatnya!"Aku menunggu sahutan dari seseorang diseberang sana, yang tak lain adalah Pak Tarsan, ralat! pak Arsan. Selama sepuluh detik tidak ada sahutan, aku mencoba memanggil-manggilnya namun bukannya sahutan malah suara sambungan terputus yang aku dengar. Sial! Aku yang menelfon, harusnya aku juga yang memutuskan panggilan!Tidak lama, aku mendapat pesan dari nomor Pak Arsan.Pak Arsan :Skrg km ada dmn?Me:Di rumah, PakPak Arsan :D rmh ada siapa?Me:Sendirian, Pak. Memangnya knp?Hari Sabtu ini aku dirumah memang sendirian. Semua para penghuni sedang berlibur pergi ke
Pemandangan pertama yang kulihat ketika mobil Pak Arsan berhenti adalah sebuah rumah bak istana yang memiliki dua lantai. Aku terbengong-bengong menatap rumah megah itu lewat kaca jendela mobil. Benarkah ini rumah keluarga Pak Arsan? Apa sekaya itu?Tin!Tubuhku terlonjak kaget, “Astaghfirullah!” sebutku.Pak Arsan dengan jahilnya menyalakan klakson mobil. Aku menatap punggungnya dan memutar bola mata sebal sambil berusaha menenangkan batin agar tidak menyumpah serapah.“Ayo turun.” ajaknya seraya membuka pintu mobil.Aku membuka pintu mobil penumpang dan keluar. Berlarian kecil untuk mensejajarkan langkah dengan Pak Arsan. Tidak lupa berdo'a dan selalu menundukkan kepala. Jantungku berdegup kencang kala langkah kami sudah di ambang pintu rumah megah ini.“Pak, malu nih...” cicitku.Entah Pak Arsan melirikku atau tidak yang jelas
Mantan sudah menikah. Sahabat, sudah ijab qabul dan malam ini akan mengadakan resepsi. Lalu, aku kapan? Mataku menatap kosong diri sendiri didepan cermin rias dalam kamar. Lima menit yang lalu aku telah sampai di rumah, setelah dua hari menginap di rumahnya Zahra karena dia minta ditemani menjelang hari H. Sahabat karibku itu kini sudah menjadi milik orang, beberapa jam lalu.Dengan malas, tanganku meraih tisu basah dan mulai membersihkan sisa-sisa make-up. Setelah dirasa sudah menghilang, aku memutuskan untuk segera tidur. Nanti malam aku harus tidur terlambat, karena harus menghadiri resepsi pernikahannya Zahra.Entahlah aku akan datang dengan siapa. Kalau Mama, jelas dengan Papa. Sedangkan Mas Jefri, Mas Reza dan Mas Rean jelas datang bersama bini dan anak mereka masing-masing. Mbak sedang hamil besar, dia tidak ikut. Kalau aku menggandeng Fika, dia pasti tidak mau.Kurebahkan tubuh di atas tempat t