Suara tawa terdengar di depan teras rumah, pagi yang sangat cerah, sinar matahari bersinah begitu indah. Semenjak kehadiran bayi perempuan, suasana di rumah itu semakin ramai. Banyak sekali yang ingin melihat bayi lucu dengan mata sipit, kulit putih dan juga hidup mancung. Kalau saja tidak dilarang, orang-orang terus berdatangan, padahal acara syukuran sudah dilakukan dua minggu lalu. Meskipun secara sederhana, orang-orang senang merayakannya, Kini bayi itu sedang dipangku oleh wanita paruh baya si pemilik rumah. Setiap pagi, setelah dimandikan, bayi itu memang sering diajak berjemur oleh tetangga sementara ibunya membersihkan pakaian sekaligus mandi."Mau sentuh," ucap anak lelaki berusia lima tahun pada mamanya yang masih terlihat sangat muda. "Jangan dulu ya Le, kulitnya masih sensitif. Kasian nanti kalau sakit." Bukan judes atau apa, rumah sakit cukup jauh dari daerah ini, jadi mereka harus benar-benar menjaga kesehatan, terutama pada bayi."Tuh dengerin, kata Alfa tadi cuma mau
Dian berjalan mendekat sambil merentangkan tangan. Sedetik kemudian, Hasya sudah berada di dalam pelukannya. Diusapnya punggung Hasya dengan lembut, berusaha menenangkan adik iparnya."Mungkin ini sudah takdirnya Sya.""Suami kamu orang baik, siapa pun tau itu.""Tapi sekarang nama baiknya tercoreng karena kelakuan Alya, Mbak...""Anak itu, harusnya aku bisa mendidiknya dengan baik!" Emosi Hasya semakin meletup-letup mengingat kejadian tadi saat suaminya melihat berita skandal Alya."Mbak, apa ini semua karena dosaku ? Aku Ibu yang gagal.""Rasanya sakit waktu pertama kali mengetahui kelakuan Alya dulu. Aku menyembunyikan kelakuan Alya bukan karena membelanya. Aku hanya takut mas Rama kecewa, pasti dia yang paling sakit mengetahui hal itu.""Sudah Sya, kamu sudah berusaha menjadi Ibu yang baik.""Sekarang kita ke kamar ya, sebentar lagi Rama akan pulang, kita antar dia ke tempat peristirahatan dengan tenang," ajak Dian sambil menuntun Hasya kembali ke kamar.***Seperti biasa, tiap su
Suara tangisan tak berhenti sejak dokter mengumumkan kematian Rama Siswandi di ruang IGD. Padahal supir sudah secepat mungkin membawa Rama dari rumahnya, rupanya takdir berkata lain. Rama mengalami serangan jantung. Sebenarnya sudah sejak dulu ia mengeluhkan dadanya sakit, karena kesibukannya ia lupa untuk periksa ke rumah sakit.Rosa menangis pilu di pelukan Irwan, tak menyangka anak bungsunya pergi begitu cepat. Tak ada yang lebih sakit ditinggal terlebih dahulu oleh anak sendiri. Rosa masih merasa ini mimpi, ia ingin dibangunkan, oleh siapa pun itu."Irwan, ini mimpi kan ? Bangunkan Ibu...""Tolong bangunkan Ibu," pinta Rosa kian keras. Apa ini teguran karena ia terlalu menganakemaskan Rama ? Ingatannya juga kembali pada dua puluh tahun lalu. Irwan juga selalu pilih kasih pada putri sulungnya, dan ia juga ikut andil menyakiti Diana."Rama tidak mungkin secepat ini meninggalkan Ibu..."Lagi-lagi Irwan terus mengusap punggung ibunya. Kini ia sedikit mundur agar mereka bisa duduk. Ia
"Teruskan Pak," titah Arman. Darren saat ini tidak bisa membuka mulut. Ia terlalu syok."Kami menemukan belasan ponsel si kontrakannya. Ponsel yang dibawa saat kecelakaan itu hanya salah satunya, sebagai pengalihan jika sewaktu-waktu ia tertangkap.""Ini adalah ponsel yang berisi chat dengan Ibu Alya."Tanpa berlama-lama Darren membuka aplikasi hijau di ponsel itu. Ia langsung membaca papan percakapan Bobby dengan Alya.Sekarang Diana kabur dengan mobilnyaDia keluar dari kediaman Irwan dalam keadaan kacau***Bagus, ikuti dia***Siap nyonya***Buat mobil itu kecelakaanMau kau mencuri atau menyabotasenya aku tak perduliSegera kabari kecelakaan ituAku harap dia kembali amnesiaAtau lebih baik mati saja1 M cukup ?Setelah itu, pergilah ke luar negeriAkan ada polisi yang membantumu***Kali ini dia masuk ke dalam mall***mau apa dia ke mall***sepertinya membeli perlengkapan persalinan***Aku lupa dia sedang hamil***nyonya, saya berubah pikirankalau dilihat-lihat Diana canti
Sudah empat puluh hari semenjak kepergian sepupunya yang sangat mengenaskan. Rupanya Darren membeberkan semua kelakuannya pada keluarga Siswandi. Ia masih ingat nenek tua itu sama sekali enggan menatapnya, tak sedikit pun membela. Kurang lebih lima tamparan ia terima dari mereka, pipinya hampir kebas. Tapi ia tak perduli, setelah diusir pun, ia masih bisa tinggal di apartemen mewah, hadiah dari Herman.Senyuman tak pernah pergi dari wajahnya setelah kepergian Diana. Seolah berita kecelakaan itu menjadi sumber dari segala kebahagiaannya. Kini Alya sedang berenang di kolam renang hotel. Kali ini ia memakai bikini one set. Beberapa pria yang sudah beristri bahkan diam-diam melirik kepada Alya. Sudah dapat dipastikan kalau sepulang liburan, para wanita itu akan bertengkar bahkan yang lebih buruk meminta cerai kepada suaminya.Alya pun bangkit, dengan santainya ia melewati kursi beberapa pasangan yang sedang berjemur. Berlenggak-lenggok mencari perhatian, sungguh urat malu wanita itu sudah
"Kok diem aja sih Pa ?" heran Delia, memandangi suaminya penuh tanda tanya."Itu mobil Diana, Ma," gumam Arman. Ia tak mungkin salah.1"Papa ?!" Mata Delia langsung membulat. Ia tidak suka dengan suaminya yang sering menduga-duga."Papa nggak mungkin lupa, Mama tau sendiri ingatan Papa seperti apa kan ? Papa juga antar Diana ke depan teras tadi sore.""I-itu nggak mungkin Pa, Diana nggak mungkin kecelakaan...""Pasti, pasti itu cuma kebetulan nomornya sama..." Delia terus berusaha berpikir positif."Nomor bisa saja kebetulan, tapi mobil ? Itu mobilnya dan nomornya sama. Dan juga perlengkapan persalinan, bukannya Diana minta baju bayi sama Mama ?" Arman terus berbicara dengan panik."DIAM! DIAM! BISA NGGAK PAPA DIAM ?!"Seketika Arman menutup mulutnya. Ditatapnya sang istri yang sudah menangis."Harusnya Papa itu yakinkan Mama kalau itu bukan Diana, harusnya Papa menyangkal itu semua. Itu bukan Diana...""Mama nggak mau kehilangan Diana Paa...""Dia menantu kesayangan Mama...""Menantu