Sesuai dugaannya, pagi ini Anyelir mendapatkan konsekuensi atas kelakuannya sendiri. Dia sengaja membiarkan perutnya kosong sejak kemarin. Dan pagi ini, perempuan itu berakhir muntah-muntah di kamar mandi dengan langkah sempoyongan karena kepala yang juga didera pusing.Bi Wati yang baru masuk ke kamar perempuan itu guna mengajaknya sarapan karena perintah Damian, akhirnya harus melotot panik. Perempuan tua itu segera membantu Anyelir dengan mengurut tengkuknya pelan.Selesai muntah di kamar mandi, Bi Wati membantu Anyelir untuk kembali ke kasurnya tanpa banyak kata. Untuk pertama kalinya, perempuan yang kerap ia sebut majikan cerewet dan banyak akal itu, patuh saja dituntun Bi Wati untuk berbaring di kasurnya lagi."Pasti Non Anye maag sama aneminya kambuh ini. Kepalanya sakit juga, ya?" tanya Bi Wati yang diangguki Anyelir lemah."Yasudah, Bibi turun ke lantai bawah dulu ya. Mau ambilin obat sama sarapan dulu. Sekalian ngasih tau Tuan Damian."Anyelir ingin mencegah pergerakan perem
Selesai diperiksa dan diberikan obat oleh dokter yang dipanggil langsung ke rumahnya, Anyelir memilih ikut turun dan duduk di sofa ruang tengah. Dia pikir, semakin berada di kamar, semakin sakit kepala juga perutnya berkumpul dan menyerangnya keroyokan.“Yasudah, saya balik dulu ya, Pak Damian? Nak Anye, jangan lupa minum obatnya loh ya!” titah Dokter tua bernama Mr. Hasan tersebut sambil mengacak puncak Anyelir gemas. Entah gemas karena wajah atau tingkah perempuan itu.Anyelir yang diperingatkan membalas dengan senyum manis. Damian yang melhatnya ontan mendelik sewot. Lihatlah wajah penurut maha manisnya di depan dokter tua itu, sedangkan jika disuruh minum obat olehnya yang jauh lebih tampan ini, dia malah terus menolak dan berlaku nakal. Dasar tidak adil! Jadi sebenarnya suaminya itu siapa, sih?!Begitu sudah menghilang di ambang pintu, Damian memilih duduk di samping Anyelir. Keduanya sama-sama diam. Damian sibuk duduk bak patung. Sedangkan Anyelir memilih bersandar di sandaran s
Mungkin, kalau saja Anyelir tidak baru saja agak sembuh atau perasaan bersalah Damian yang meronta minta dibunuh, pria itu tidak akan pernah mengiyakan permintaan perempuan itu. Pagi-pagi sekali, kicauan Anyelir sudah menyapa telinga membuat Damian mau tidak mau mengangguk dengan kelewat pasrah.“Jadi, beneran dikasih ikut ke kantor jadinya nih, Om?” Wajah perempuan itu yang masih agak pucat dengan pipi sedikit menirus bahkan tersamarkan oleh senyum sumringahnya. Damian bahkan takut kalau bibir Anyelir bakal robek karena saking lebarnya tersenyum.“Hm.” Seperti biasa, Damian hanya membalas dengan deheman acuh. Terlalu malas menanggapi perempuan berisik itu.“Ayo dong cepetan pake jasnya, Om! Ntar telat ke kantor loh,” perintah Anyelir tidak sabar.Damian melirik perempuan yang sudah rapi dengan kaos putih bergaris-garis hitam juga rok selutut gantung berwarna biru muda tersebut. Kira-kira, siapa yang bakal berada di kantor pukul setengah enam begini kalau bukan para petugas kebersihan
"Uwwu ... pulaaang!" Anyelir berlari di koridor kantor sambil menyeret Damian. Begitu semangat untuk pulang kerja padahal kerjaannya dari pagi sampai sore ini cuma ngerjain karyawan dan Damian saja. Beberapa karyawan yang sudah mengetahui tingkah istri sang atasan, sebisa mungkin melipir dan menjauhkan diri dari perempuan itu. Tidak mau kalau sampai kena razia senyum apalagi baju seksi lagi. Terutama yang perempuan yang di sini kebanyakan pakai baju jenis begituan."Tutup mata, Om! Tutup mataaa! Ada serangan teroris di kiri kanan," heboh Anyelir sambil mencoba menggapai mata sang suami untuk menutupnya menggunakan telapak tangan.Damian yang tidak mengerti malah menoleh kiri kanan. Mencari keberadaan teroris yang disebutkan Anyelir."Teroris apaan?" "Aaa udah kubilang jangan lihat ke kiri kanaan!" heboh Anyelir menarik kepala Damian agar tetap memandang lurus ke depan."Mana terorisnya?" tanya Damian dengan bodohnya."Itu, pegawai perempuanmu. Dadanya besar semua, bajunya juga seks
Damian dan Anyelir sampai rumah tepat pukul 6 sore. Mungkin, kalau saja Anyelir tidak merengek minta memakan bakso hamil---yang ternyata sama dengan bakso beranak di tempat penjualnya langsung, mereka tidak bakal sampai rumah setelat ini. Untung saja sebelum pulang, Damian lebih dulu makan siang hampir sore di kantor."Aku kenyang, Om." Anyelir mengadu yang di telinga Damian tidak cukup berfaedah untuk didengarkan.Damian mengangguk menyetujui. "Aku juga kenyang."Anyelir menoleh heran pada pria galak itu. Perasaan tadi cuma dia yang makan di warung bakso. Kok malah jadi Damian yang ikutan kenyang?"Kok bisa sih, Om? Bukannya di warung tadi Om nggak ikut makan?" tanya Anyelir heran.Damian mengangguk lagi. "Iya, aku kenyang liat muka kamu. Tiap hari keliatannya tambah bikin kesel aja," jawab pria galak itu sambil bersandar pada sandaran sofa.Anyelir yang tadi berniat untuk ikut duduk, lebih dulu menyundul perut Damian keras dengan kepala cantiknya. Kontan, suaminya yang belum sempat
“Aku sangat tidak bisa mengerti, Anye. Kenapa kau begitu bersikeras untuk bekerja?” tanya Damian begitu pagi ini pria itu akan mengantar istrinya menuju tempat kerjanya.Anyelir lagi-lagi Cuma membalas dengan senyum kelewat lebar. “Aku lebih nggak ngerti kenapa Om mau-mau aja biarin aku nganggur kayak sebelumnya. Bukannya liat aku di rumah ngehancurin barang-barang Om lebih ngeselin, ya?” tanya Anyelir balik membuat Damian medesah jengah.“Terserah lah, intinya jika sudah kerja nanti, jangan banyak merepotkan Bagas. Dia temanku dan aku sudah sangat cukup malu untuk menerima laporan tentang kinerja buruk istriku.” Damian menitah tegas yang dibalas Anyelir dengan anggukan semangat.“Tenang aja, Om. Gini-gini aku udah pernah jadi editor kok. Tapi ya gitu, baru seminggu kerja udah disuruh berhenti sama Papa. Katanya dia mau ngambek kalau sampai aku kerja lagi,” Anyelir bercerita sambil terkekeh geli. Ingat sekali dengan wajah merajuk Papanya saat perempuan itu bersikeras untuk tetap beker
Anyelir memakan makan siang yang repot-repot dibawakan Damian ke kantornya. Sesekali, perempuan itu bakal menyodorkan sesendok nasi kotak pada suaminya. Lalu, ketika suapannya ditolak, Anyelir bakal menjejalkannya ke mulut Damian secara paksa.Benar-benar istri durhaka!"Jadi ... apa alasanmu datang ke sini, Tuan Narendra yang biasanya sibuk sampai nggak punya waktu ke kantin buat makan siang?" tanya Bagas yang di telinga Damian malah terdengar tengah mengejeknya.Pria itu menyorot Bagas garang. Memberi pertanda bahwa dia tidak terima atas tuduhan yang bahkan belum dilayangkan padanya."Hanya mau mengantar makanan lebih, memang kenapa? Salah?" jawab dan tanya Damian menantang.Bagas terkekeh geli dengan reaksi sahabatnya. Damian tetaplah Damian. Si pemarah yang kadang tidak bisa mengekspresikan keinginan dan perasaannya sendiri pada orang lain. Untung saja Bagas merupakan pengamat yang handal."Benarkah? Tumben nganter makanan lebihnya sampai ke kantor sebelah segala. Lagi nggak banya
Sudah tiga hari semenjak Anyelir bekerja di kantor penerbitan buku mayor Bagas. Dan selama itu pula, Damian merasa istrinya jauh berbeda. Perempuan itu lebih banyak mengabaikannya bahkan tidak lagi suka mengganggunya.Bukan karena Damian merasa kesepian dan suka diganggu sih. Tapi, maksudnya terasa aneh saja. Satu hari tanpa omelan atau rengekan manja Anyelir itu rasanya aneh sekali. Begitu sepi dan terlalu monoton.Seperti malam ini."Nye ... kamu nggak laper?" tanya Damian sambil menusuk sebuah pentol berlumur saus di meja dengan garpu."Enggak, Om. Tadi sore sudah makan bakso beranak sama Pak Bagas. Aku makan dua mangkuk loh!" tolak sekaligus cerita Anyelir tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi."Dih, dasar rakus! Perut karet!" ejek Damian yang anehnya malah tidak ditanggapi Anyelir."Emang sih, Om. Kata Pak Bagas juga gitu." Bahkan, perempuan itu mengalah dan mengiyakan ejekannya."Tumben kamu nggak nyemil jam segini," komentar Damian lagi.Sepertinya, menonton Anyelir m