Share

10. Hilang

Keringat bercucuran dari dahi, napasnya memburu seirama dengan langkah kaki yang terus melaju. Tak peduli dengan embusan angin yang begitu dingin menusuk kulit, Rena terus berlari.

Pagi buta, Rena berlari sendirian mengelilingi jalanan komplek menuju taman yang tak jauh dari rumahnya. Semalaman ia terjaga, memikirkan kisah cintanya yang rumit. Bahkan setelah putus dari Alan, pria itu masih menghubunginya, meminta kesempatan kedua.

Rena sudah muak, ia sampai memblokir nomor Alan agar tidak bisa mengganggunya lagi. Tapi pria itu tak menyerah dan memakai nomor lain untuk meneror Rena. Sampai-sampai ia harus menonaktifkan ponselnya dan tak bisa memejamkan mata karena bayangan Alan terus menghantui pikirannya. Itu kenapa ia memutuskan lari pagi, berharap mampu melupakan sejenak masalah yang membelenggu.

Rena berhenti mendadak saat seseorang tiba-tiba menghadang langkahnya. Tubuhnya menegang, napasnya tercekat, takut. Bagaimana tidak, jika situasi taman yang sepi karena masih pukul setengah enam pagi. Belum ada orang-orang yang beraktivitas di sekitar taman, berhubung bukan weekend. Lalu ada orang asing yang muncul di hadapannya.

Rena menelan ludah, menatap ngeri seseorang yang berdiri di depannya. Orang itu memakai jaket hitam dan tudung kepala yang menutupi sebagian wajahnya. Siapa? Rena bertanya-tanya dalam benaknya, mencoba menerka-nerka siapa orang yang mencegatnya. Ketakutan menyergap, pikiran-pikiran negatif bergentayangan di dalam kepalanya.

"Siapa ya?" tanya Rena, memberanikan diri.

Pria itu membuka tudung kepala, mengangkat wajahnya. Betapa kagetnya Rena saat melihat wajah pria itu.

"Alan!" pekik Rena, tak percaya jika orang itu ternyata Alan. Mau apa lagi pria itu? Apa belum puas juga sudah menghancurkan hatinya, lantas sekarang datang lagi untuk mengusik ketenangannya. Rena mengepalkan kedua tangan, menahan gejolak emosi di dalam dada. "Mau apa kamu ke sini?"

Alan menatap lekat wajah Rena. "Kenapa kau menonaktifkan ponselmu?" Bukannya menjawab, Alan malah balik bertanya. "Kau sengaja menghindariku?"

Rena mendecih. "Minggir!" Ia tak ingin meladeni Alan, baginya hanya akan membuang waktunya percuma.

"Nggak mau." Alan si keras kepala, tentu saja ia tak akan menyingkir dari hadapan Rena sebelum wanita itu memaafkan dan menerimanya kembali. "Ren, dengarkan penjelasanku terlebih dahulu." Ia berusaha meraih tangan Rena, tapi wanita itu menepisnya dengan kasar.

"Cukup Alan!" bentak Rena, muak. "Nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan, aku nggak butuh penjelasan apa pun darimu. Bagiku semuanya sudah berakhir, jadi minggir dari hadapanku. Aku muak melihat wajahmu!" Rena meluapkan emosi yang menggebu-gebu, menatap nyalang pria itu dengan penuh kebencian. "Alan lepas!" Rena memberontak ketika Alan mencekal lengannya.

Alan tak menggubris teriakan Rena, ia menyeret wanita itu menuju ke mobilnya yang terparkir tak jauh dari taman.

"Alan! Tolong!" Rena menarik-narik tangannya, tapi cekalan Alan terlalu erat. "Alan lepas!" Pria itu tak menghiraukan jeritannya dan memaksa ia masuk ke mobil. "Alan, kau gila! Alan! Fuck!" Sumpah serapah Rena lontarkan, tangannya menggedor-gedor kaca jendela.

Alan masuk ke bangku kemudi, langsung menyalakan mobil dan segera pergi dari sana. Sepanjang perjalanan, ia terus menghalau serangan Rena yang brutal. Wanita itu  memberontak, teriakan nyaringnya memenuhi seisi mobil, hingga akhirnya Alan terpaksa harus mengikat kedua tangan dan melakban mulut Rena agar tidak berisik.

Mobil Alan berhenti di tepian danau yang dikelilingi pepohonan rindang. Rena bergidik, matanya menatap sekitar, mengamati tempat yang tak begitu asing. Tempat favoritnya dengan Alan ketika menghabiskan waktu akhir minggu, melepas penat dengan menaiki perahu di danau itu. Tapi mereka sudah lama tidak datang ke sini karena keduanya sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

"Kau masih ingat dengan tempat ini?" Suara Alan memecah keheningan di dalam mobil.

Rena mendelik, melirik sinis Alan yang duduk di sampingnya tengah memandang ke arah danau. Ia berusaha melepaskan ikatan tangan dan lakban yang membungkam mulutnya. Tapi Alan sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan melepaskannya.

"Dulu kita sering ke sini, kau dan aku memadu kasih berdua di tempat ini. Tempat yang menyimpan banyak kenangan." Rena mual mendengar ucapan Alan, menyesali semua waktu yang sempat ia habiskan bersama dengan pria itu. "Aku rindu Ren, aku sangat merindukan saat-saat kita berdua." Alan tersenyum tipis, menolehkan wajahnya ke Rena.

Gila!

Saiko!

Setan! Rena hanya bisa menjerit dalam hati. Usahanya sama sekali tak membuahkan hasil, meski pergelangan tangannya sampai lecet-lecet tapi ikatannya tak bisa dilepas.

"Maaf." Rena berhenti memberontak saat mendengar kata maaf yang terucap dari bibir Alan.

Maaf? Rena tersenyum kecut. Percuma, aku nggak butuh maafmu!" Rena kembali memberontak, Menggerak-gerakan tangannya berharap ikatannya akan terlepas. Walau ia tahu itu sangat mustahil, Alan mengikat kencang pergelangan tangannya dengan tali berlapis lakban.

"Aku khilaf Ren." Alan tiba-tiba terisak, pria itu menundukkan kepalanya. "Maafkan aku." Rena mengernyit, tak mengerti. "Aku sangat mencintaimu Ren, itu kenapa aku tak berani menyentuhmu. Karena aku tahu kau tak akan mau melakukannya, aku nggak mau kau membenciku jika aku meminta hal itu padamu."

Mata Rena berkedut, ia tahu ke mana arah pembicaraan Alan.

"Aku tidak benar-benar mencintai Vera, aku hanya mencintai kamu. Bahkan setiap bersama dengan Vera, aku selalu membayangkan dirimu." Rena melotot, jijik mendengar ucapan Alan yang begitu gamblang.

Apa pria itu gila? Rena tak habis pikir. Rasa bencinya semakin bertambah, karena pernyataan Alan yang terang-terangan mengatakan fantasi liar pria itu.

"Aku hanya menjadikan Vera sebagai pelampiasan sesaatku. Itu semua karena kau, karena kau tak memberikan hal itu padaku." Alan beralih menatap Rena, pandangan mereka saling beradu. "Seandainya kau memberikan hal itu padaku, aku tak mungkin tergoda dengan bujukan Vera."

Mata Rena berkedut, syok. Alan benar-benar sinting, harusnya pria itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa!

Alan sialan!

—————

Davin mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh ketika mendapat telepon dari Reyvan. Pria itu memberitahu kalau Rena menghilang dari rumah. Ia yang khawatir langsung tancap gas menuju kediaman orangtua Rena.

Sesampainya di sana, Davin disambut Reyvan yang tampak kebingungan, begitupun dengan orangtua Rena dan juga ada Kimmy yang sedang menggendong bayinya. Semua orang berkumpul di rumah orangtua Rena.

"Van." Davin berjalan menghampiri Reyvan. "Masih belum bisa?" tanyanya ketika melihat Reyvan sedang mencoba menghubungi nomor Rena.

Reyvan menggeleng. "Nomornya nggak aktif."

"Apa kita lapor polisi saja?" usul mamanya, terlihat jelas raut khawatir di wajahnya.

"Percuma Ma, nggak akan diproses sebelum dua puluh empat jam," kata Reyvan, kembali mencoba menelepon Rena, tapi hasilnya tetap sama.

Davin tak bisa tinggal diam, ia berusaha mencari ide. Lantas ia menghubungi seseorang yang diharapkan bisa membantunya untuk menemukan Rena.

"Halo." Beruntung orang itu langsung mengangkat panggilannya. "Gue mau minta tolong, darurat." Semua orang menatap Davin, berharap pria itu menemukan petunjuk keberadaan Rena. "Gue kirim nomornya ke lo, tolong lo cek lokasinya ... iya, darurat banget. Jadi, gue mohon bantuannya." Davin menganggukkan kepala ke semua orang, agar mereka tak perlu rusau lagi karena temannya bersedia membantu. "Oke, thank's bro. Nanti gue ke tempat lo kalau urusannya sudah selesai." Setelah itu Davin mengakhiri panggilan telepon dan segera mengirimkan nomor dan id Rena agar bisa dilacak oleh temannya yang kebetulan orang IT.

Selang lima belas menit kemudian, temannya mengirimkan pesan ke nomor Davin. Pesan tentang lokasi keberadaan ponsel Rena terakhir kali diaktifkan.

"Gue udah dapat alamatnya," kata Davin.

"Serius? Yaudah kita langsung ke sana aja." Reyvan tampak antusias, ia segera mengambil kunci mobilnya. "Pakai mobil gue aja." Davin mengangguk, setuju. "Ma, Pa, Sayang, kalian tunggu di rumah saja. Biar aku dan Davin yang nyusulin Rena." Orangtua Reyvan dan Kimmy mengangguk bersamaan.

"Hati-hati," ucap Kimmy saat Reyvan mengecup keningnya sebelum pergi.

"Pasti." Reyvan pamit, menyalami kedua orangtuanya, disusul Davin yang melakukan hal serupa.

"Tolong bawa Rena dengan selamat ya Vin," ucap mama Rena, menumpukan harapannya pada Davin.

Davin mengangguk. "Iya Tante. Pasti. Aku akan bawa Rena kembali dengan selamat."

Davin dan Reyvan bergegas menuju lokasi yang berjarak lumayan jauh, karena berada di pinggiran kota Jakarta. Reyvan melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, hingga satu jam kemudian mereka tiba di lokasi. Di sebuah danau yang jauh dari jalan raya, di kanan kirinya terdapat pepohonan rindang.

"Itu 'kan ... sialan!" Reyvan langsung keluar dari mobil saat melihat sebuah mobil yang sangat dikenalinya terparkir di dekat danau.

Davin ikut keluar, mengejar Reyvan yang sudah berlari lebih dulu. Ia menyusul Reyvan menghampiri mobil yang terparkir di tepi danau.

"Rena!" teriak Davin, berharap Rena ada di dalam mobil. Namun harapannya pupus saat melihat ekspresi kecewa Reyvan.

"Nggak ada," kata Reyvan, memberitahu.

Davin yang tak percaya, lantas melihat ke dalam mobil yang kosong dan ia tak menemukan apa-apa kecuali ponsel Rena yang sudah remuk, layarnya pecah.

"Alan sialan! Berengsek!" Reyvan yang emosi, melampiaskan kekesalannya ke mobil Alan, menendang-nendang dengan sepenuh tenaga.

"Alan?" Davin menatap Reyvan. "Apa maksud lo?"

Reyvan mengusap kasar wajahnya. "Ini mobil Alan, gue yakin pria itu yang menculik Rena. Sialan emang!" Lagi, Reyvan menghantam mobil Alan sampai tangannya berdarah.

"Shit!" Davin tak bisa membendung emosinya lagi, panik dan cemas bercampur jadi satu. Ketakutan menyergap, ia takut jika terjadi sesuatu dengan Rena. Davin celingukan, melihat ke sekitar. "Mereka pasti belum jauh dari sini, sebaiknya kita berpencar. Lo ke sana." Davin menginteruksi Reyvan ke arah kiri, di mana terdapat pepohonan rindang dan semak-semak di sekitarnya. "Gue ke sana." Lalu menunjuk ke arah berlawanan yang sama memiliki pepohonan rindang dan semak belukar.

"Oke, kalau lo temuin Rena, langsung kabarin gue," kata Reyvan sebelum berpencar.

Davin menerobos semak-semak, tak peduli dengan rasa gatal dari tumbuhan liar yang mengenai kulitnya. Ia terus menjelajahi tempat itu, sembari berteriak memanggil-manggil nama Rena.

"Rena!"

"Rena, kau di mana?" Davin tak menyerah, meski ia sudah berjalan lumayan jauh. Matanya bergerak liar melihat ke sekitar, dalam hati terus merapalkan do'a, berharap keselamatan untuk Rena.

"Ren!"

"Kau di mana?"

Davin menghela napas panjang, keringat bercucuran di dahi. Rasa khawatir kian menyiksa, pikiran-pikiran buruk silih berganti muncul di dalam kepalanya.

Tuhan tolong lindungi Rena, di mana pun dia berada. Batin Davin.

Di saat ia melangkah, tiba-tiba Davin berhenti, mendengar suara rintihan. Dengan cepat ia berputar arah, mengikuti suara samar itu. Hingga akhirnya ia tiba di bawah sebuah pohon yang sangat lebat, kini rintihan itu diselingi suara tangis sesenggukan.

Davin menelan ludah, tubuhnya menggigil. Ia berharap itu bukan suara tangisan mba-mba penunggu pohon, meski situasi yang sepi di tengah hutan seperti ini jelas mendukung spekulasinya.

"Ren," panggil Davin, pelan. "Ren, itu kamu?" Davin perlahan melangkah mendekat ke samping pohon, dengan perasaan campur aduk. "Ren———" Ia tercekat saat melihat seorang wanita tertunduk lesu memeluk tubuhnya sendiri, bersembunyi di balik pohon. "Rena?"

Wanita itu mengangkat wajahnya, pandangannya bertemu dengan mata Davin yang sedang menatapnya. "Davin," gumam wanita itu yang ternyata Rena.

Sontak Davin langsung menghambur, memeluk Rena, membawa tubuh ringkih wanita itu ke dalam dekapannya. "Syukurlah, akhirnya aku berhasil menemukanmu."

Rena menangis, mempererat pelukannya pada Davin. Bibirnya bergetar, tak mampu berkata-kata kecuali meloloskan isakan pilu. Namun dalam hati, ia mengucap syukur atas kedatangan Davin. Terima kasih Tuhan, sudah mengabulkan doaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status