Share

Bab 12

Karina berdiri di depan cermin, menatap dirinya yang kini kembali mengenakan gaun pengantin. Sesaat ia termenung. Perasaan ini kembali memasuki relung hatinya yang terdalam, perasaan ragu yang begitu membumbung tinggi. Haruskah ia menikah, menikah dengan pria yang baru beberapa minggu ia mengenalnya. Semudah itu kah ia menjatuhkan pilihan. Ia menghembuskan napas kasar, sedari tadi ia tidak bisa bernafas normal disela detak jantung yang terus menerus bertalu tidak henti seakan membuat dirinya akan menyesali keputusannya ini.

            Seseorang masuk ke dalam ruangan yang hanya di isi olehnya, orang itu tersenyum dan berjalan menghampiri Karina yang masih berada di depan cermin. Orang itu berdiri di sampingnya, mereka tampak begitu serasi. Orang yang tidak lain adalah Aksa, tubuh pria itu berbalut jas putih. Ia tampak sangat tampan.

            “Aku tidak pernah mengira akan menikah seperti ini, aku bertemu pertama kali denganmu memakai gaun ini...” Karina tersenyum sambil menoleh kearah Aksa yang berada di sampingnya.

            “Sepertinya sejak awal kita bertemu, kita memang ditakdirkan untuk bersama...” Aksa menatapnya lekat. Karina hanya terdiam mematung, menatap mata sendu dan hangat milik pria di hadapannya.

            “Sepertinya memang begitu...” sahut Karina. Aksa memegang pundaknya, membuat tubuh Karina menghadap ke arahnya. Mereka saling berpandangan sejenak.

            “Aku punya sesuatu untuk kuberikan padamu,” kata Aksa membuat Karina menatapnya bingung. Ia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sesuatu yang berkilauan. Sebuah gelang putih dengan beberapa taburan berlian berkilauan. Ia memperlihatkan gelang itu padanya. Karina seakan mengenal gelang itu.

            “Ini...” gumam Karina sambil berusaha mengingat.

            “Mungkin kamu tidak mengingatnya, tapi ini adalah gelangmu...”

            Karina memutar ingatan di otaknya. Sesaat ia termenung sambil menatap Aksa yang berada di hadapannya memandangnya dengan tatapan penuh. Seketika sebuah bayangan akan ingatan masa lalu muncul begitu saja.

            “Sedang apa kamu di sini?” tanya seorang anak laki-laki yang menghampirinya, saat itu Karina tersesat dihutan. Saat ia mengejar kupu-kupu kuning, tanpa sadar ia meninggalkan villa keluarganya dan masuk ke hutan. Saat itu usia Karina baru tujuh tahun.

            Karina menghapus airmatanya, “aku tidak tahu jalan pulang...” sahutnya sambil terisak.

            “Aku akan mengantarmu pulang, rumahmu di mana?”

            Karina menggelengkan kepala pelan. Ia tersesat dan tidak tahu harus mencari villa milik keluarganya di mana. Anak laki-laki yang tidak lain adalah Aksa menghela napas, saat itu Aksa berumur delapan tahun. Ia mengulurkan tangan kearah Karina, dengan ragu gadis itu meraih tangannya. Aksa membantu Karina ke luar dari hutan dan membawanya pulang.

            “Bagaimana bisa kamu tersesat?”

            “Aku sedang bermain di halaman belakang, tiba-tiba ada kupu-kupu yang sangat cantik. Aku mengikutinya dan tanpa sadar masuk ke dalam hutan,” sahutnya.

            Aksa mengangguk tanda mengerti, setengah jam mereka berjalan untuk mencari keberadaan rumah Karina. Gadis itu sama sekali tidak bisa mengingat di mana rumahnya.

            “Kamu benar-benar tidak ingat di mana rumahmu?” tanya Aksa memandang ke arah Karina yang tampak bingung sambil menggelengkan kepala pelan.

            Kembali Aksa menghembuskan napas kasar, mereka sudah berjalan lama. Namun, gadis itu benar-benar tidak ingat di mana rumahnya. Sudah beberapa villa yang mereka singgahi. Karina selalu menggeleng dan mengatakan itu bukan villa-nya. Ia hampir menyerah menemukan villa Karina.

            “Bagaimana sekarang?” tanya Aksa. Karina hanya terdiam.

            “Tidak tahu,” jawabnya lemas. Saat keduanya sedang kebingungan dari kejauhan dua orang yang mengenal Karina memicingkan mata untuk melihatnya lebih jelas.

            “Nona Karina...” teriak seorang wanita yang berjalan menghambur ke arahnya. ia memegang kedua pundak Karina dan menatapnya dengan cemas. “Kami mencari nona kemana-mana, kami khawatir nona tiba-tiba menghilang...”

            “Maaf bi...” gumam Karina menyesal.

            “Tidak apa-apa, syukurlah nona baik-baik saja, lebih baik sekarang kita pulang. Nyonya dan Tuan benar-benar mencemaskan nona... ayo...” ia menuntun Karina dan membawanya pergi. Aksa terdiam mematung, bahkan gadis itu tidak mengatakan apapun padanya dan pergi begitu saja. Sesaat Karina menoleh ke belakang dan melihat Aksa yang hendak berbalik pergi.

            “Tunggu...” teriak Karina, ia melepaskan tangannya yang dipegang pelayan rumahnya. Dengan berlari kecil ia menghampiri Aksa. “Ini...” Karina memberikan gelang yang dipakainya pada Aksa. Ia tersenyum dan kembali pada pelayannya, mereka berjalan menjauh dari Aksa. Ia menatap Karina yang mulai menghilang di kejauhan dengan tatapan bingung. Untuk apa gadis itu memberinya sebuah gelang. Gelang yang cocok dipakai untuk anak perempuan. Apakah dia memintanya untuk memakai gelang itu? dengan tersenyum geli, ia memasukkan gelang itu dan bergumam, “anggap saja ini sebagai bayaran untukku karena telah menolongnya, tapi lebih baik dia mengatakan ‘terimakasih’...”

           

            Karina terdiam mematung. Ia masih menatap lekat Aksa yang juga memandang kearahnya. “Jadi, kamu anak laki-laki itu...” tunjuk Karina membuat Aksa gemas, ia menurunkan telunjuk yang mengarah padanya.

            “Waktu itu aku heran, kenapa kamu memberiku gelang ini? dari pada mengatakan kata terimakasih...”

            “Ah... itu, gelang itu sebagai ucapan terimakasihku...”

            “Apakah aku seorang pengemis yang membutuhkan uang?”

            “Tidak... aku benar-benar memberikan gelang itu sebagai tanda terimakasih.”

            Aksa mengangguk pelan. “Baiklah, aku mengerti. Aku akan menganggap itu sebagai tanda terimakasih. Tapi...”

            Karina mendongakkan kepalanya menatap kearah Aksa menunggu pria itu menyelesaikan ucapannya.

 

            “Tapi... gelang ini juga sebagai jembatan masa depanku denganmu...”

            Karina mengerutkan kening tidak mengerti. Ia mengenakan kembali gelang itu ke lengan Karina. Saat ia kecil dulu, gelang itu terlalu longgar. Sekarang gelang miliknya itu sangat pas ditangannya. Aksa mengecup singkat kening Karina, membuat gadis itu tampak canggung. Sesaat mereka saling berpandangan dalam diam, Aksa meraih tubuh Karina ke dalam pelukkannya sambil tersenyum bahagia.

***

            Tn. Rama duduk di hadapan tiga orang yang menunduk takut dan duduk dengan tidak nyaman. Sesekali mereka menghela napas. Tn. Rama mengetuk-ngetuk jarinya pada penyangga kursi. Ia melirik ke arah orang-orang yang terdiam.

            “Aku tidak akan membiarkan putriku menikah dengan pria itu, anak dari keluarga Anggara. Kalau sampai itu terjadi, lebih baik aku membunuh putriku...” kata Tn. Rama dengan mata menyalak marah.

            “Sayang, apa yang kamu bicarakan? Kamu ingin membunuh Karina. Tidak boleh... kalau kamu mau melakukan hal itu, kamu juga harus membunuhku lebih dulu...” teriak Ny. Arta yang menahan kesal. Kenapa suaminya begitu keras kepala? Sebegitu dendamkah suaminya itu pada keluarga Anggara Dendam yang tidak akan mungkin hilang begitu saja.

            “Kalau begitu, bagaimana caranya batalkan pernikahan mereka. Aku mengandalkanmu Sena...” ujar Tn. Rama membuat Sena mengepalkan kedua tangannya erat.

            “Paman...” Nando merasa bersalah membawa pacarnya dalam masalah keluarga. Tn. Rama memanfaatkan Sena sebagai sahabat Karina, hanya dia yang bisa membujuk Karina. walaupun terkadang Sena juga susah untuk membujuk Karina.

            Sena menghela napas, “Aku mengerti paman, aku akan melakukannya sebisaku...” sahut Sena dengan bibir bergetar. Nando meraih tangan Sena dan menggenggamnya erat.

            “Aku mengandalkanmu, kalau kamu tidak bisa membawanya. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan pada anak itu...” ujar Tn. Rama seraya bangkit dari sofa dan berjalan masuk ke dalam kamarnya.

            “Sayang...” lirih Ny. Arta cemas, ia memandang ke arah Sena. “Kamu harus bisa membawa Karina dan membatalkan pernikahan itu. Aku tidak ingin terjadi apa-apa pada putriku. Aku mohon padamu Sena, bawa Karina kembali...” kata Ny. Arta dengan penuh pengharapan. Sena mengangguk dengan penuh tekanan.

            Setelah keluar dari rumah keluarga Karina, Sena terdiam di dalam mobil Nando. Pria itu menatapnya khawatir. Ia meraih tangan Sena yang begitu dingin, “Sena, kamu tidak apa-apa?”

            Sena mengangguk kecil.

            Nando menghembuskan nafas pelan, ia menatap kekasihnya itu. Ia tahu Sena begitu tertekan dengan apa yang dipinta Tn. Rama dan Ny. Arta padanya. Tidak mudah untuk membatalkan pernikahan Karina. Beberapa kali Sena menarik napas. Ia memalingkan wajah menatap ke arah Nando yang memandangnya.

            “Apa yang harus aku lakukan kak? kalau aku tidak bisa membatalkan pernikahan itu? apa Tn. Rama akan mencelakai Karina?” tanya Sena dengan mata berkaca-kaca.

            Nando menggelengkan kepalanya pelan, “aku tidak tahu, tapi mungkin saja itu hanya gertakan. Tidak mungkin pamanku dengan tega membunuh putrinya sendiri.”

            “Tetap saja aku takut, apa yang akan terjadi pada Karina. Kenapa masalah ini semakin besar, setelah dia kabur dari pernikahannya dan sekarang dia akan menikah dengan pria yang merupakan anak musuh ayahnya. Dia benar-benar sudah gila,” Sena memegang kepalanya yang terasa sangat pusing.

            “Lebih baik kita pergi ke tempat di mana Karina akan menikah, kita pikirkan sama-sama jalan keluar terbaik untuk masalah ini...” ujar Nando yang langsung mendapatkan anggukkan setuju dari Sena. ia menyalakan mesin mobil dan mulai melajukan mobilnya ke luar dari halaman rumah Karina.

.

.

.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status