Share

Bab 11

Di rumah Handi. Ketiga sahabat Aksa memandanginya dengan tatapan tidak percaya dan meminta sahabatnya itu menjelaskan apa yang sebenarnya dipikirkan Aksa saat ini.

            “Jangan menatapku seperti itu,” tegur Aksa tidak suka.

            “Kalau begitu jelaskan pada kami, apa kamu sudah gila ...? bagaimana bisa kamu ingin menikah dengannya?” tanya Handi.

            Aksa menghela napas kasar, ia memandang ketiganya.

            “Kamu tahu gadis itu kan, dia juga sudah memiliki suami sah. Walaupun dia mengaku belum menikah, hanya karena ayahnya mendaftarkan pernikahaannya dengan pria itu. Tapi tetap saja, statusnya adalah seorang istri. Kamu bisa dituntut karena hal ini, pikirkan baik-baik sebelum kamu mengambil keputusan yang akan merugikan dirimu sendiri,” ujar Handi menasehati.

            “Aku setuju dengannya, kamu tidak seharusnya menikahi wanita yang sudah memiliki suami. Itu tidak benar...” Jaki menggelengkan kepala menandakan ketidak setujuannya.

            Aksa tersenyum simpul, dan memandang ketiga sahabatnya bergantian.

            “Kalian tenang saja, aku sudah meminta ijin pada suaminya... aku mengatakan padanya kalau aku sudah menikah dengan istrinya,” kata Aksa sekenanya membuat mata ketiganya seakan ingin meloncat keluar.

            “Apa kamu benar-benar meminta ijin dari suaminya?”

            Aksa menganggukkan kepala dengan yakin, membuat ketiganya mendesah tidak percaya ia memandang Aksa dengan mata melebar.

            “Jangan main-main Aksa, kamu pikir pernikahan itu hanya sebuah permainan yang bisa kamu mainkan lalu kamu akhiri begitu saja...” teriak Handi marah.

            Jaki dan Bino memegangi kepalanya. Tindakan sahabatnya yang satu ini cukup berani. Dia benar-benar sudah gila. Aksa terdiam, ia menunduk sejenak.

            “Aku tidak main-main, aku serius dengan apa yang akan aku lakukan saat ini. Menikah dengannya adalah jalan terbaik untuk hidupku...”

            Handi dan yang lainnya saling berpandangan, mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk membuat Aksa merubah keputusannya.

            “Jangan katakan, kalau pernikahan ini hanya untuk membalas rasa sakit hatimu pada Amanda,” kata Handi memandang lekat Aksa yang tiba-tiba saja mengepalkan kedua tangannya erat.

            “Kalau kamu melakukan ini hanya untuk membalasnya, lebih baik urungkan kembali niat itu. Jangan menyakiti hati wanita yang ingin memulai semuanya dari awal denganmu,” Handi menepuk pundak Aksa pelan, ia beranjak dari sofa dan berjalan masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Aksa. Jaki dan Bino juga ikut menepuk pundaknya, mereka berlalu dari hadapan Aksa. Meninggalkan pria itu dengan pikirannya.

            Sementara itu, Karina duduk di luar. Tepatnya di halaman belakang. Ia duduk dikursi yang menghadap ke arah halaman luas rumah itu. Anita yang baru saja kembali dari dapur, memberikannya secangkir teh hangat. Karina menerimanya, ia kembali merenung. Anita mendudukkan tubuhnya di samping Karina. Keduanya menikmati teh hangat dengan ditemani bintang-bintang dan bulan purnama yang indah.

            “Aku benar-benar terkejut, saat mengetahui Aksa ingin menikah denganmu...” kata Anita membuka pembicaraan. “Apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu itu? Menentang ayahmu? Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan cemas memandang ke arah Karina, gadis itu menoleh dan tersenyum.

            “Aku baik-baik saja, sudah cukup menjadi anak yang penurut. Aku juga memiliki keinginanku sendiri. Apa aku tidak boleh bahagia?”

            “Bukan begitu, tapi apa kamu yakin menikah dengannya adalah keputusan terbaik?”

            Karina menunduk, melihat ke arah air teh didalam gelas yang sedang ia pegang. Helaan nafas keluar dari mulutnya, “untuk saat ini, itu jalan yang bisa aku ambil. Aku yakin pada hatiku dan aku tidak akan menyesali keputusanku ini...” Karina menarik senyum di bibirnya dengan sedikit dipaksakan. Ia sedih, kenapa ayahnya tidak pernah mau mengerti perasaannya.

            “Apa kamu menyukainya?” tanya Anita penasaran, Karina menatap padanya. “Kamu menyukai Aksa...?” pertanyaan itu seakan membuatnya bimbang. Entah apa yang ada di dalam hatinya, menyukai pria itu. Benarkah, karena menyukainya ia mengambil keputusan ini.

            “Aku tidak tahu,” sahutnya membuat Anita menghembuskan napas kasar.

            “Kalau kamu tidak menyukainya, lebih baik batalkan saja niat itu. Kamu bisa melukai perasaanmu sendiri Karina...” nasehat Anita membuat Karina kembali merenung.

            “Benar, pikirkanlah baik-baik. Jangan karena emosi, kamu ingin menikah denganku,” ujar Aksa yang mendengar pembicaraan mereka muncul dari belakang. Ia mendekati keduanya dan kini berdiri di hadapan Karina. “Aku tidak akan memaksamu untuk menikah denganku. Kalau kamu tidak mau, aku bisa membatalkan semuanya.”

            “Tidak...” sahut Karina cepat. Membuat kedua orang itu menatap bingung padanya. “Aku akan tetap melakukannya,” ucap Karina dengan lirih sambil tertunduk.

            “Anita, bisa tinggalkan kami... aku ingin berbicara dengannya. Hanya berdua,” pinta Aksa yang langsung mendapatkan anggukan cepat dari Anita. Gadis itu beranjak meninggalkan keduanya, setelah ditinggalkan Anita. Aksa menekuk kedua lututnya mensejajarkan tubuhnya dengan Karina.

            “Walaupun kamu mengatakan akan melakukannya, tapi aku tahu. Kamu masih ragu akan hal ini. Pernikahan bagimu mungkin adalah sesuatu yang sangat penting. Kamu tidak ingin salah melangkah dan memilih orang yang tepat untuk menemani hidupmu...” Aksa memandang lekat Karina yang menatapnya dalam dengan mulut yang tertutup rapat seakan tidak ada kata yang bisa dia ucapkan saat ini.

            “Aku bisa mengerti hal itu, jadi aku tidak akan memaksamu untuk menikah denganku. Pikirkanlah baik-baik, aku tidak ingin membuatmu menyesal nanti.”

            Karina menggelengkan kepala pelan, “aku sudah membuat keputusan. Aku ingin membuktikan pada ayahku. Kalau aku bisa bahagia dengan keputusan yang aku ambil. Aku akan menikah denganmu.”

            Aksa terdiam, ia meraih gelas yang sedari tadi dipegang Karina. Meletakkan gelas itu di kursi, memandangnya dengan tatapan lekat. Tangannya meraih tangan Karina dan menggenggamnya erat.

            “Apa kamu yakin? Aku masih bisa melihat keraguan dalam matamu...” Aksa menyentuh wajah Karina yang dibasahi airmata. Entah sejak kapan airmatanya keluar. “Dan ini sebagai buktinya... kamu menangis...”

            “Aksa... mau kah kamu memelukku??” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Karina. Ia benar-benar membutuhkan kekuatan. Ini adalah keputusan besar yang pernah ia ambil.

            Aksa mengangguk, seketika melebarkan tangannya untuk menyambut Karina kedalam pelukannya. Melihat hal itu, Karina segera berhambur kepelukannya dan menangis sepuas yang dia inginkan. Aksa mengelus punggung Karina mencoba memberikan rasa nyaman untuk gadis itu dan membuatnya tenang. Dari dalam rumah, keempat orang itu memandang keduanya. Mereka berempat saling berpandangan dan terdiam.

***

            Amanda termenung di kamarnya, ia menoleh arah jendela kamarnya. Menatap bulan terang malam ini. Hatinya dirundung gelisah, ia melirik ponsel yang sedari tadi dipegangnya. Sebuah pesan yang masih terbuka dapat ia lihat dengan jelas. Pesan yang membuatnya bimbang, haruskah ia menemuinya saat ini. isi pesan dari seseorang itu membuatnya ragu dan pikirannya melayang entah kemana. Ia menjadi tidak fokus. Padahal tinggal beberapa minggu lagi.

            Aku menunggumu ditempat dulu kita pernah berjanji, kamu pasti ingat tempat itu. Aku harap kamu datang. Karena ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu. Aku akan menunggumu...

                                                                               

            Isi pesan yang begitu  singkat, namun mampu membuat pikirannya dilanda kegundahan. Hatinya bergejolak, di satu sisi ia ingin menemuinya untuk menjelaskan sesuatu. Walaupun mungkin penjelasan tidak akan bisa membuatnya mengerti. Amanda menutup kedua matanya perlahan dan membukanya kembali. Ia mengepalkan satu tangannya kuat.

.

.

.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status