Wajah Kiyara tak kalah terkejut dari Bian. Emosi yang sempat menghilang kini kembali datang, merayap masuk memenuhi rongga dada dan isi kepalanya. Seakan asap siap untuk ke luar, mengepul di atas kepala dan kedua telinganya.
"Mau apa Kakak datang kemari?" hardik Kiyara, membuat Ardi terkejut. Pria paruh baya itu tidak menyangka jika adik bungsunya berani menghardiknya.
"Memang kenapa? Kakak datang karena ingin mendengar jawabanmu. Mana hape-mu?" Ardi mengedarkan pandangannya mencari benda pipih yang sejak satu jam lalu dihubunginya tapi tidak juga ada jawaban. "Apa kamu memang tidak mau menjawab telpon kakak?" Ardi menatap tajam Kiyara.
Kiyara menekan emosinya. Umpatan dan kata-kata kasar sudah berdesak-desakan dalam mulutnya, saling berebut, minta dimuntahkan dari bibir mungil Kiyara. "Apa sebenarnya tujuan kakak-kakak semua? Apa memang sengaja ingin memisahkan Kiya dengan Mas Bian? Ingin melihat Ayu dan Bagas jadi anak-anak broken home?" Satu kata pedas akhirnya meluncur bebas dari bibir mungil Kiyara, membuat Ardi tersentak kaget.
"Apa maksud kamu?" Ardi tidak terima diberi pertanyaan seperti itu oleh adik kesayangannya. Pria itu lantas menghujamkan tatapan tajam kepada Bian.
"Apa maksud kakak menyuruh Kiya mengajukan gugatan cerai pada Mas Bian? Mengapa Kakak begitu bernafsu memisahkan Kiya dengan Mas Bian? Ada dendam apa Kakak dengan Mas Bian? Apa salah Mas Bian sampai-sampai kakak-kakak semua begitu menginginkan kami bercerai?" Kiya sudah tidak bisa mengkondisikan dirinya lagi. Ia lupa jika malam telah larut. Suaranya nyaring memecah malam yang kian sunyi.
"Ssst, Kiya. Sudah malam. Nggak enak didengar sama tetangga." Bian menghampiri Kiya dan memegang tangan kanan istrinya itu dengan lembut.
"Biar, Mas. Biar saja semua tetangga tahu. Sekalian saja." Kiya sudah tidak bisa berpikir normal lagi. Amarah sudah menguasai dirinya. Selama ini, ia yang tidak pernah berkata dengan nada keras dan nyaring, namun malam itu benar-benar berubah. Ia seperti bukan Kiyara yang biasanya. Kiyara sudah menjadi wanita lain, yang begitu emosi, kecewa dan berusaha meluapkan semua rasa yang selama ini hanya bisa ia pendam dalam hati.
"Kamu itu ngomong apa?! Kakak di sini mewakili kakak-kakakmu yang lain. Kami mencoba menyelamatkan kamu dan anak-anakmu. Apa kamu tidak kasihan melihat anak-anakmu kelaparan?"
Kiyara menatap tajam Ardi. "Dari mana Kakak bisa mengambil kesimpulan seperti itu?"
Ardi memandang Kiyara dengan pandangan hina. "Tsk. Kakak bukanlah orang bodoh, Kiyara! Kalau bukan kelaparan karena kehabisan uang, lalu untuk apa meminjam uang pada kami? Bukankah memang uang itu untuk membeli beras, gas, listrik untuk sehari-hari? Atau untuk beli kosmetik kamu?" Nada bicara Ardi semakin menusuk kalbu Kiyara dan Bian.
"Kakak lebih baik ke luar dari rumah Kiyara sekarang," ucap Kiyara sambil menatap pintu rumahnya yang sekarang sudah terbuka lebar.
"Berani kamu mengusir kakakmu ini? Mengapa kamu sekarang berubah Kiyara? Mengapa kamu justru membela pria yang sama sekali tidak bisa membahagiakanmu? Pria yang justru menghabiskan hartamu? Pria yang justru tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai suami, menafkahi istri dan anak-anaknya?" Suara Ardi mulai meninggi.
Bian merasa iparnya ini sudah keterlaluan. "Kak, mohon maaf. Hari sudah malam. Sebaiknya Kak Ardi pulang. Masalah ini tidak usah diperpanjang lagi. Bian pikir Kakak bisa menarik kesimpulan dari perkataan Kiyara tadi. Mati hidup istri dan anak-anak adalah tanggung jawab saya, bukan Kak Ardi atau kakak-kakak yang lain."
"Kau!!!!" Jari telunjuk Ardi terangkat mengarah tepat ke wajah Bian. Amarahnya memuncak. "Kau tahu hukum menelantarkan istri dan anak-anakmu kan? Berat!"
"Saya tahu. Tapi, ini adalah salah satu cobaan yang harus kami lalui. Mengapa kakak semua tidak mendoakan kami saja, daripada mengusulkan perceraian pada kami? Mengapa kakak tidak mendukung Kiya yang masih bersedia setia pada saya, bukan justru menyuruhnya untuk mengajukan gugatan cerai terhadap saya?"
Ardi diam mematung.
"Kak Ardi sudah menikahkan? Punya anak istri juga kan? Apa Kakak ingin istri kakak mengajukan cerai ketika usaha Kakak sedang dilanda kebangkrutan? Kakak ikhlas istri kakak mengajukan gugatan cerai karena disuruh oleh ipar-ipar kakak?" Bian berusaha membuka mata hati iparnya itu.
"Kasusnya lain. Aku punya usaha yang setiap hari aku kerjakan, sedangkan kau? Usaha apa yang kau punya? Kau hanya mencoba-mencoba tapi tidak kunjung ada hasilnya?"
Bian menarik nafas panjang. Ia masih berusaha menjaga kewarasannya. Jangan sampai ia terpancing emosi. Ia masih merendahkan suara dan dirinya. Benar-benar berusaha sesabar mungkin. Dirinya sendiri sebenarnya tidak yakin akan sampai kapan dirinya mampu menghadapi ipar keras kepalanya itu.
"Kakak siapa? Tuhankah?" Pertanyaan pendek Bian membuat Ardi mematung dengan tangan mengepal keras.
"Apa maksudmu? Jangan membawa-bawa Tuhan di sini!" Ardi tersinggung dengan pertanyaan pendek Bian.
"Saya tidak membawa-bawa Tuhan, tapi kakak sendiri yang sudah membawa-bawa Tuhan di sini sejak beberapa hari yang lalu, oh bukan, tapi sejak dulu." Bian diam sejenak.
"Siapa kakak yang sudah berani mendahului Tuhan? Siapa kakak yang sudah memvonis saya tidak akan bisa membahagiakan istri dan anak-anak saya? Siapa kakak, yang sudah berani mengetok palu, usaha yang sedang saya rintis ini suatu saat tidak akan bisa berkembang dan menjadi maju dan besar? Siapa kakak berani bersikap layak Tuhan dalam rumah tangga saya?"
Bian sudah tidak lagi menyebutkan namanya dalam ucapannya. Ia sudah mengganti namanya dengan saya, tanda jika ia sudah benar-benar berada di ambang batas kesabarannya. Ia sudah menganggap iparnya itu sebagai orang lain yang sudah mengganggu keluarganya dan harus segera didepak ke luar dari hadapannya.
Ardi berdiri kaku. Ia tidak bisa membalas perkataan adik iparnya itu. Kedua matanya masih memancarkan kilat amarah. Ia tidak terima disindir sedemikian rupa oleh iparnya.
"Sudah malam, Kak. Lebih baik kakak pulang sekarang. Tolong lupakan permintaan kami yang meminjam uang kemarin. Mulai hari ini kami tidak akan lagi merepotkan kakak-kakak semua. Semua uang yang pernah masuk ke dalam rekening kami, akan kami catat sebagai hutang dan akan kami bayar. Tapi, saya tidak bisa menjanjikan langsung lunas. Akan saya usahakan mencicil setiap bulan," ujar Bian. Ia berharap kata-kata pamungkasnya ini akan bisa mengusir ipar keras kepalanya itu.
Ardi masih menyimpan amarahnya. Ia masih tidak rela meninggalkan rumah adiknya. Pria itu masih ingin melampiaskan amarahnya. "Benar kalian ingin mengusirku sekarang?"
Kiyara dan Bian bergeming. Tidak merespon pertanyaan Ardi.
"Jika kakiku sudah berada di luar pintu rumah kalian, maka kalian tidak akan bisa menghubungi kami lagi, dan kalian tidak akan bisa meminta bantuan lagi pada kami," ancam pria itu. Ia masih berusaha mengancam untuk melemahkan pendirian adik dan iparnya saat ini.
"Apakah kalian sanggup?"
Kiyara menatap Ardi dengan tatapan tidak percaya. "Kakak mengancam Kiya? Kakak ingin memutus hubungan saudara kita?" Suara Kiyara bergetar. Batinnya semakin remuk redam mendengar ancaman yang diucapkan Ardi barusan.
"Cepat! Aku tidak mau masalah ini berlarut-larut. Jangan sampai Bian melaporkan kejadian ini ke polisi. Aku tidak mau nama baikku dan keluargaku tercoret karena ulahmu!"Murni tergagap. Ia tidak punya pilihan lain. Ia harus merelakan mobil yang baru ia beli satu bulan lalu. Dengan langkah gontai, Murni mengambil kunci mobil dari dalam tasnya, dan menyerahkannya kepada Henri."Yang lain?"Hah?! Murni menatap Henri dengan tatapan bingung. "Apa maksudmu yang lain?""Kunci mobil yang lain. Kau tidak hanya punya satu mobil, bukan? Jika hanya ini yang kau serahkan untuk melunasi hutangmu pada Bian, maka tidak cukup. Ingat, hutangmu lebih dari setengah milyar. Aku hanya akan membantu sebesari yang aku tahu saja. Dua puluh juta. Tidak lebih."Murni menggigit bibir bagian bawahnya. Habislah dia. Ia tidak punya lagi mobil yang bisa ia banggakan di depan teman sosialitanya. Murni mengeluarkan dua kunci mobil dari laci meja riasnya. Ia tidak rela, akan tetapi tangan Henri dengan cepat mengambil
Hujan turun begitu deras, membuat suasana hati Bian semakin sendu. Ia merasa sangat kesepian. Suara canda dan tawa Bagas beserta Ayu, membuat Bian berpikir untuk menjemput Kiyara. Tapi- Tunggu dulu... Dimana ia dapat menemukan Kiyara? Kemana perginya Kiyara saja, ia tidak tahu.Bian mengusap kasar wajahnya. Andai dirinya mendengar semua nasihat dan peringatan dari Kiyara, pasti ia tidak akan mengalami semua ini. Hidupnya berantakan. Tidak ada istri yang biasanya melayani semua kebutuhannya, tidak juga anak yang menghibur dirinya dengan rengekan dan teriakan mengganggu mereka.Bian menatap sisi kasurnya yang kini kosong. Ia menyentuh sisi yang kini terasa sangat dingin. Lagi, Bian hanya bisa menghembuskan napas kasar. Ia menatap bantal dan guling yang tertata rapi di sebelahnya.Ia merindukan sosok yang biasa menemani istirahat malamnya. Sosok yang selalu panik jika ia pulang kehujanan, yang selalu mengomel jika ia melewatkan jam makan siang."Aah, Kiyara! Kamu ada dimana, Sayang?" Bia
Kiyara sedang mengangkat jemuran ketika ponselnya berdering. Dengan sigap, Kiyara mengambil benda pipih itu di atas nakas.K: "Halo?"M: "Selamat Sore, Bu. Ini saya, Maryono, Bu."Wajah Kiyara seketika cerah.K: "Bagaimana kabarnya, Mar?"M: "Baik, Bu. Bapak sekarang sudah kembali bekerja di pabrik, Bu. Sejak tiga hari yang lalu. Pulang dari rumah sakit langsung ke pabrik, tapi hanya sebentar. Saya mengingat pesan Ibu untuk menjaga bapak."Kiyara mengangguk puas. Ia harus memberi sesuatu kepada pemuda itu karena sudah bersedia menjaga suaminya dengan begitu tulus.K: "Terima kasih, ya? Saya tidak tahu harus bagaimana untuk berterima kasih sama kamu?"M: "Oh-Tentu tidak , Bu. Ini sudah kewajiban saya sebagai karyawan bapak. Bapak sudah sangat baik kepada kami, sudah seyogyanya kami membalas kebaikan bapak."K: "Sampaikan ucapan terima kasih saya kepada teman-teman kamu di sana."M: "Baik, Bu. Eng-..."Kiyara menangkap sesuatu yang ingin diutarakan Maryono, tapi pemuda itu tampaknya rag
Kiyara menatap Bian yang masih terlelap. Ada rasa bersalah yang dirasakan Kiyara melihat suaminya yang terbaring lemah di hadapannya. Namun, sebuah kilatan amarah melintas di kedua netranya."Lihat, Mas! Saat kau sakit seperti ini, dimana mereka yang kamu beri bantuan kemarin? Dimana mereka saat kamu menderita seperti sekarang? Datang melihat pun tidak. Mereka sama sekali tidak peduli denganmu, Mas. Mereka hanya peduli dengan perut mereka sendiri. Mereka mendekatimu hanya saat kamu punya uang."Kiyara menghembuskan napasnya. "Tapi mengapa ... Mengapa kau justru lebih mendengarkan mereka yang memanfaatkanmu? Kau justru lebih memilih mereka daripada keluargamu sendiri? Aku dan anak-anak justru kau abaikan. Kau lebih mementingkan mereka daripada kami?"Terdengar sedikit isakan tapi itu hanya sebentar. Kiyara menyeka air mata yang sempat memenuhi sudut matanya. "Semoga Mas bisa segera sembuh. Ada banyak kebenaran yang harus Mas ketahui. Jadi, jangan menyerah."Selama tiga hari, Kiyara menj
"Lagipula Kiyara, apakah kamu rela ada perempuan lain yang menggantikan posisimu di sisinya? Bian itu ganteng loh. Tante berani taruhan, pasti dulu banyak yang ngantri untuk jadi istrinya." Melina terus berusaha meyakinkan Kiyara.Kiyara hanya menyimak penuturan wanita paruh baya itu. Ia tidak lagi berani membantah. Tidak mudah bagi Kiyara untuk melupakan semua kejadian masa lalunya bersama Bian. Sikap Bian yang membuat dirinya mengajukan cerai, sungguh meninggalkan luka mendalam di hatinya."Udah, Ma. Setidaknya, biarkan Kiyara berpikir dan menenangkan dirinya dulu. Bian juga sekali-kali harus dipaksa mikir. Dia juga keterlaluan. Mama bayangkan sendiri, jika Papa seperti Bian, apakah Mama bisa bertahan sampai sejauh ini seperti Kiyara?"Melina setuju. Mungkin ini adalah jalan terbaik untuk Bian dan Kiyara. Perpisahan sementara ini bisa jadi salah satu cara untuk keduanya saling memahami satu sama lain. Utamanya untuk Bian. Pria itu tampaknya harus merasakan kehilangan dulu baru bisa
Bian masih duduk terpengkur di kursi makan. Pandangannya keosong. . Hingga pagi ini, Kiyara belum juga kembalil. Ia tidak tahu harus menghubungi siapa.Di saat pikirannya melayang entah kemana, mencari sosok Kiyara di sela ingatannya beberapa hari yang lalu, sebuah pesan masuk membuat Bian terlonjak dari duduknya."Pak Bian. Saya mau order mukena sebanyak 50 puluh kodi. Motif yang saya pillih akan saya kirim segera. Saya juga akan mengirim tanda jadi sebesar tiga puluh persen di awal, tiga puluh persen saat barang akan dikirim, dan sisanya akan saya bayar setelah barang dalam perjalanan."Bian hanya membaca pesan itu dengan ekspresi datar. Tidak seperti biasanya. Ia akan melonjak kegirangan lalu lari mencari Kiyara,dan langsung menghambur memeluk istri tercintanya itu.Jumlah order yang tertera di layar ponselnya tidak dapat mengusir kesedihannya. Apalah arti pesanan besar tetapi ia tidak memiliki seorang pun untuk berbagi kebahagiaan.Ponsel Bian berdering. Bian hanya mengabaikannya