Share

5. Sepakat Untuk Bercerai

Ponsel Kiyara terlepas dari genggaman tangan Bian. Matanya menatap kosong pemandangan di depannya. Kiyara berlari dari dalam, ke luar menghampiri Bian. Kedua matanya langsung melihat ke bawah kaki Bian. Ia segera mengambil ponselnya. Tidak pecah, tidak retak,  tapi tidak tahu masih bisa berfungsi atau tidak.

"Kenapa, Mas?" Kiyara menatap Bian penuh dengan tanda tanya. Wajah Bian yang kaku, keras dan dingin terlihat begitu mengerikan. Kiyara lalu menatap ponsel yang baru saja ia pungut dari bawah tempat Bian berdiri. Ia menekan tombol on, mencoba mengaktifkan kembali benda pipih itu, tapi gagal. Ia lantas menatap kesal Bian yang masih tetap bergeming di tempatnya berdiri.

"Rusak, Mas." Kiyara menyoroti wajah Bian yang masih suram. "Ada apa, sih? Kenapa sampai harus banting hape segala? Kalau udah kayak gini, Kiya gimana mau cari order?" tanyanya kesal. Melihat Bian yang tidak juga mengucapkan sepatah kata pun, Kiyara segera memutar badannya. Baru saja ia melangkahkan kaki, terdengar satu kata dari Bian yang membuatnya  tanpa sadar, melepas ponselnya dari genggaman tangannya.  

"Cerai." 

Bug. Pyar.

Kali ini, ponsel milik Kiyara benar-benar tercerai berai. Wanita muda itu langsung kembali memutar tubuhnya menghadap suaminya. Wajahnya langsung pucat pasi. Apa tadi yang baru saja diucapkan suaminya barusan? Cerai? 

"Ap-Apa... Apa ya-yang baru saja Mas u-ucapkan?" Dengan terbata-bata Kiyara meminta Bian untuk mengulangi lagi kata yang sangat menakutkan baginya.

Bian mengalihkan tatapannya yang sejak tadi kosong. Ia menatap Kiyara, wanita yang kini begitu pucat pasi. Ia menghela nafas panjang. "Cerai. Kak Ardi memintamu untuk mengajukan gugatan cerai terhadap Mas."

Kelu lidah Bian saat mengucapkan kalimat itu. Nafasnya terasa begitu berat. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan kakak iparnya. Apakah ini ide semua iparnya atau hanya satu orang? Sudah gilakah mereka? Alih-alih mendukung adiknya supaya kuat dan tetap sabar menerima cobaan yang sedang menimpa sang adik, mereka justru dengan entengnya menyuruh sang adik untuk bercerai? Apakah mereka tidak memikirkan efek psikologi perceraian bagi anak-anak mereka? Saudara macam apa mereka, mengusulkan hal yang paling ditakuti orang-orang yang berumah tangga. 

Bian kembali menghela nafas panjang, mencoba memikirkan jalan tengah bagi mereka. 

Cerai? gumam Kiyara dengan menggigit telunjuk kanannya..

"Apa yang barusan Mas katakan?" Netranya mencari penegasan dari pria di depan. Ia sangat terkejut. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

"Cerai, Kiyara. Cerai! Saudara-saudaramu tersayang itu meminta kita untuk bercerai. Ber- pis-sah." Bian menekankan suaranya pada kata berpisah. 

Demi Tuhan. Lutut Kiyara terasa lemas. Tubuhnya melorot hingga jatuh terduduk di  lantai. "Apa maksudnya? Mengapa mereka menyarankan hal itu?" Kiyara memandang ke segala arah dengan tatapan bingung. Ia dibuat bingung dan linglung akibat saran gendeng saudaranya. 

"Mengapa? Memangnya mereka siapa? Ibu kah? Bapakkah?" teriak Kiyara histeris. Air mata yang sejak tadi mulai terkumpul di sudut matanya, kini meluncur deras membasahi kedua pipinya.

Bian berjalan mendekati Kiyara yang menangis. Ia tahu dan paham, jika Kiyara tidak pernah memiliki pemikiran ke arah itu. Dirinya sangat tahu seperti apa Kiyara, maka dari itu ia menikahinya. Wanita yang sangat kuat hatinya, berprinsip dan sangat memegang nilai-nilai agama. 

"Kiya..." Bian yang semula murka melihat Kiyara yang seperti ini, menjadi tidak berdaya. Ia memeluk Kiyara, membenamkan wajah wanita cantik itu ke dalam dada bidangnya.

"Ada apa dengan otak mereka? Apakah sebegitu terganggunya mereka denganmu, Mas? Tahu apa mereka tentang kita? Tahu apa mereka, Mas??!!" teriak Kiyara kencang. Ia merasa frustasi.  Tidak pernah terlintas sedikit pun dalam benak Kiyara untuk cerai dari Bian, dan ia  yakin Bian juga sama seperti dirinya.

"Sudah, Kiya. Sudah..." Bian memeluk Kiyara dengan erat, berharap pelukan eratnya mampu memberikan wanita itu kekuatan. "Abaikan saja mereka. Abaikan omongan orang yang tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang hidup kita. Diamkan saja."

Kiyara masih saja menangis. Isak tangisnya terdengar hingga kedua anaknya datang menghampiri ibu mereka. "Mama kenapa? Ada apa dengan Mama, Pa?" Ayu duduk tepat di depan Kiyara yang masih menangis dalam pelukan Bian.

"Tidak ada apa- apa. Mama nangis karena hape mama rusak. Itu." Bian menunjuk ke arah ponsel Kiyara yang sudah tidak lagi berbentuk dengan ujung dagunya, sedangkan kedua tangannya masih mendekap erat Kiyara yang mulai mereda tangisannya.

"Mama. Jangan nangis lagi ya? Nanti Ayu belikan hape baru. Lusa kan Ayu ada lomba matematika. Hadiahnya lumayan, Ma." Gadis kecil itu memeluk sang mama sambil memasang wajah penuh semangat. 

Kiyara dan Bian termasuk orang yang beruntung. Kedua anak mereka, meski dengan segala keterbatasan ekonomi yang sedang mereka hadapi, mampu menjadi anak-anak yang berprestasi. Jumlah piala di lemari rumah mereka sudah tidak muat lagi untuk menampung piala kejuaraan yang berhasil  dimenangkan oleh Ayu dan adiknya.

Kiyara segera mengangkat wajahnya, memandang lekat wajah putrinya. Air mata yang sebelumnya sudah tidak lagi menggenangi kedua matanya, kini kembali tumpah ruah. Dipeluknya tubuh kecil Ayu. Ia menangisi sikap saudara-saudaranya yang benar-benar di luar dugaan.

"Kiya. Sudah. Tidak ada gunanya kamu menangisi sikap mereka. Mereka itu orang-orang hebat, yang bisa menyelesaikan semua masalah. Jadi untuk apa kamu sedih? Yang harus kamu pikirkan sekarang adalah apa yang akan kamu katakan pada mereka ketika nanti mereka datang kemari?"

Ucapan Bian seketika membuat Kiyara segera menghentikan sedu-sedannya. "Mas?" Ia mengernyitkan keningnya. Datang kemari? Dari mana suaminya bisa mengetahui jika kakaknya akan datang ke rumah mereka.

"Ya jelaslah, Ki. Apa kamu kira kakak-kakakmu saat ini tidak sedang menunggu  jawaban darimu? Dengan hape kamu yang sudah ambyar itu, apa bisa mereka menelponmu? Paling banter, kalau hujan, ya mereka akan menelpon ke hape Mas," jawab Bian sambil membantu Kiyara berdiri.

"Kiya nggak mau bertemu Kak Ardi, Mas. Kiya mending pergi kemana gitu." Kiyara menghapus sisa air mata yang membasahi kedua pipi dan matanya.

Bian memungut ponsel Kiyara yang sudah tidak lagi utuh. Ia duduk lalu mengamati ponsel itu, mencoba merangkai kembali tetapi karena layarnya sudah retak parah bahkan ada beberapa bagian yang sudah hilang, hape itu benar-benar  sudah tidak bisa digunakan lagi.

"Jangan. Jangan seperti itu, Kiya. Kalau kamu menghindar justru akan membuat mereka semakin menuduh  Mas sebagai suami yang tidak becus membimbing istrinya, yang tidak bisa memberi contoh yang baik pada istrinya. Mas-mu ini sudah tidak dipandang oleh mereka. Orang asing yang tidak ada gunanya, dan hanya mempermalukan mereka."

Kiya menatap  dalam Bian, mencoba memahami kalimat terakhir yang diucapkan Bian. Seketika ia teringat lagi dengan isi pesan panjang yang dikirim  kakaknya beberapa waktu yang lalu. Kata-kata yang seharusnya tidak perlu diucapkan kecuali memang sengaja mereka ucapkan untuk menunjukkan sikap mereka yang sudah tidak lagi ingin bertemu dengan Bian.

"Mas, maaf," ucap Kiyara lirih.

Bian menatap lembut Kiyara. "Untuk apa meminta maaf? Wajar jika mereka kesal. Mereka kesal karena kamu lebih memilih bertahan, berjuang bersama Mas di sini. Kesal karena kamu tidak bisa mereka rayu." Bian mengalihkan pandangannya.

"Tapi Kiyara, untuk yang terakhir ini, Mas sudah tidak lagi bisa bersikap biasa pada mereka. Jika mereka masih bersikeras seperti itu, Mas akan datangi mereka. Mereka sudah kurang ajar, sudah keterlaluan. Menghasut seorang istri untuk berpisah dari suaminya, yang akan membuat anak-anak kehilangan sosok ayah dalam kehidupan mereka." Bian menarik nafas dan menghembuskannya pelan.

Suara ketukan mengagetkan Kiyara dan Bian. Sosok yang tiba-tiba membuka pintu rumah mereka, membuat raut muka Bian langsung berubah. 

"Apakah kalian sudah sepakat untuk bercerai?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status