Ponsel Kiyara terlepas dari genggaman tangan Bian. Matanya menatap kosong pemandangan di depannya. Kiyara berlari dari dalam, ke luar menghampiri Bian. Kedua matanya langsung melihat ke bawah kaki Bian. Ia segera mengambil ponselnya. Tidak pecah, tidak retak, tapi tidak tahu masih bisa berfungsi atau tidak.
"Kenapa, Mas?" Kiyara menatap Bian penuh dengan tanda tanya. Wajah Bian yang kaku, keras dan dingin terlihat begitu mengerikan. Kiyara lalu menatap ponsel yang baru saja ia pungut dari bawah tempat Bian berdiri. Ia menekan tombol on, mencoba mengaktifkan kembali benda pipih itu, tapi gagal. Ia lantas menatap kesal Bian yang masih tetap bergeming di tempatnya berdiri.
"Rusak, Mas." Kiyara menyoroti wajah Bian yang masih suram. "Ada apa, sih? Kenapa sampai harus banting hape segala? Kalau udah kayak gini, Kiya gimana mau cari order?" tanyanya kesal. Melihat Bian yang tidak juga mengucapkan sepatah kata pun, Kiyara segera memutar badannya. Baru saja ia melangkahkan kaki, terdengar satu kata dari Bian yang membuatnya tanpa sadar, melepas ponselnya dari genggaman tangannya.
"Cerai."
Bug. Pyar.
Kali ini, ponsel milik Kiyara benar-benar tercerai berai. Wanita muda itu langsung kembali memutar tubuhnya menghadap suaminya. Wajahnya langsung pucat pasi. Apa tadi yang baru saja diucapkan suaminya barusan? Cerai?
"Ap-Apa... Apa ya-yang baru saja Mas u-ucapkan?" Dengan terbata-bata Kiyara meminta Bian untuk mengulangi lagi kata yang sangat menakutkan baginya.
Bian mengalihkan tatapannya yang sejak tadi kosong. Ia menatap Kiyara, wanita yang kini begitu pucat pasi. Ia menghela nafas panjang. "Cerai. Kak Ardi memintamu untuk mengajukan gugatan cerai terhadap Mas."
Kelu lidah Bian saat mengucapkan kalimat itu. Nafasnya terasa begitu berat. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan kakak iparnya. Apakah ini ide semua iparnya atau hanya satu orang? Sudah gilakah mereka? Alih-alih mendukung adiknya supaya kuat dan tetap sabar menerima cobaan yang sedang menimpa sang adik, mereka justru dengan entengnya menyuruh sang adik untuk bercerai? Apakah mereka tidak memikirkan efek psikologi perceraian bagi anak-anak mereka? Saudara macam apa mereka, mengusulkan hal yang paling ditakuti orang-orang yang berumah tangga.
Bian kembali menghela nafas panjang, mencoba memikirkan jalan tengah bagi mereka.
Cerai? gumam Kiyara dengan menggigit telunjuk kanannya..
"Apa yang barusan Mas katakan?" Netranya mencari penegasan dari pria di depan. Ia sangat terkejut. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
"Cerai, Kiyara. Cerai! Saudara-saudaramu tersayang itu meminta kita untuk bercerai. Ber- pis-sah." Bian menekankan suaranya pada kata berpisah.
Demi Tuhan. Lutut Kiyara terasa lemas. Tubuhnya melorot hingga jatuh terduduk di lantai. "Apa maksudnya? Mengapa mereka menyarankan hal itu?" Kiyara memandang ke segala arah dengan tatapan bingung. Ia dibuat bingung dan linglung akibat saran gendeng saudaranya.
"Mengapa? Memangnya mereka siapa? Ibu kah? Bapakkah?" teriak Kiyara histeris. Air mata yang sejak tadi mulai terkumpul di sudut matanya, kini meluncur deras membasahi kedua pipinya.
Bian berjalan mendekati Kiyara yang menangis. Ia tahu dan paham, jika Kiyara tidak pernah memiliki pemikiran ke arah itu. Dirinya sangat tahu seperti apa Kiyara, maka dari itu ia menikahinya. Wanita yang sangat kuat hatinya, berprinsip dan sangat memegang nilai-nilai agama.
"Kiya..." Bian yang semula murka melihat Kiyara yang seperti ini, menjadi tidak berdaya. Ia memeluk Kiyara, membenamkan wajah wanita cantik itu ke dalam dada bidangnya.
"Ada apa dengan otak mereka? Apakah sebegitu terganggunya mereka denganmu, Mas? Tahu apa mereka tentang kita? Tahu apa mereka, Mas??!!" teriak Kiyara kencang. Ia merasa frustasi. Tidak pernah terlintas sedikit pun dalam benak Kiyara untuk cerai dari Bian, dan ia yakin Bian juga sama seperti dirinya.
"Sudah, Kiya. Sudah..." Bian memeluk Kiyara dengan erat, berharap pelukan eratnya mampu memberikan wanita itu kekuatan. "Abaikan saja mereka. Abaikan omongan orang yang tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang hidup kita. Diamkan saja."
Kiyara masih saja menangis. Isak tangisnya terdengar hingga kedua anaknya datang menghampiri ibu mereka. "Mama kenapa? Ada apa dengan Mama, Pa?" Ayu duduk tepat di depan Kiyara yang masih menangis dalam pelukan Bian.
"Tidak ada apa- apa. Mama nangis karena hape mama rusak. Itu." Bian menunjuk ke arah ponsel Kiyara yang sudah tidak lagi berbentuk dengan ujung dagunya, sedangkan kedua tangannya masih mendekap erat Kiyara yang mulai mereda tangisannya.
"Mama. Jangan nangis lagi ya? Nanti Ayu belikan hape baru. Lusa kan Ayu ada lomba matematika. Hadiahnya lumayan, Ma." Gadis kecil itu memeluk sang mama sambil memasang wajah penuh semangat.
Kiyara dan Bian termasuk orang yang beruntung. Kedua anak mereka, meski dengan segala keterbatasan ekonomi yang sedang mereka hadapi, mampu menjadi anak-anak yang berprestasi. Jumlah piala di lemari rumah mereka sudah tidak muat lagi untuk menampung piala kejuaraan yang berhasil dimenangkan oleh Ayu dan adiknya.
Kiyara segera mengangkat wajahnya, memandang lekat wajah putrinya. Air mata yang sebelumnya sudah tidak lagi menggenangi kedua matanya, kini kembali tumpah ruah. Dipeluknya tubuh kecil Ayu. Ia menangisi sikap saudara-saudaranya yang benar-benar di luar dugaan.
"Kiya. Sudah. Tidak ada gunanya kamu menangisi sikap mereka. Mereka itu orang-orang hebat, yang bisa menyelesaikan semua masalah. Jadi untuk apa kamu sedih? Yang harus kamu pikirkan sekarang adalah apa yang akan kamu katakan pada mereka ketika nanti mereka datang kemari?"
Ucapan Bian seketika membuat Kiyara segera menghentikan sedu-sedannya. "Mas?" Ia mengernyitkan keningnya. Datang kemari? Dari mana suaminya bisa mengetahui jika kakaknya akan datang ke rumah mereka.
"Ya jelaslah, Ki. Apa kamu kira kakak-kakakmu saat ini tidak sedang menunggu jawaban darimu? Dengan hape kamu yang sudah ambyar itu, apa bisa mereka menelponmu? Paling banter, kalau hujan, ya mereka akan menelpon ke hape Mas," jawab Bian sambil membantu Kiyara berdiri.
"Kiya nggak mau bertemu Kak Ardi, Mas. Kiya mending pergi kemana gitu." Kiyara menghapus sisa air mata yang membasahi kedua pipi dan matanya.
Bian memungut ponsel Kiyara yang sudah tidak lagi utuh. Ia duduk lalu mengamati ponsel itu, mencoba merangkai kembali tetapi karena layarnya sudah retak parah bahkan ada beberapa bagian yang sudah hilang, hape itu benar-benar sudah tidak bisa digunakan lagi.
"Jangan. Jangan seperti itu, Kiya. Kalau kamu menghindar justru akan membuat mereka semakin menuduh Mas sebagai suami yang tidak becus membimbing istrinya, yang tidak bisa memberi contoh yang baik pada istrinya. Mas-mu ini sudah tidak dipandang oleh mereka. Orang asing yang tidak ada gunanya, dan hanya mempermalukan mereka."
Kiya menatap dalam Bian, mencoba memahami kalimat terakhir yang diucapkan Bian. Seketika ia teringat lagi dengan isi pesan panjang yang dikirim kakaknya beberapa waktu yang lalu. Kata-kata yang seharusnya tidak perlu diucapkan kecuali memang sengaja mereka ucapkan untuk menunjukkan sikap mereka yang sudah tidak lagi ingin bertemu dengan Bian.
"Mas, maaf," ucap Kiyara lirih.
Bian menatap lembut Kiyara. "Untuk apa meminta maaf? Wajar jika mereka kesal. Mereka kesal karena kamu lebih memilih bertahan, berjuang bersama Mas di sini. Kesal karena kamu tidak bisa mereka rayu." Bian mengalihkan pandangannya.
"Tapi Kiyara, untuk yang terakhir ini, Mas sudah tidak lagi bisa bersikap biasa pada mereka. Jika mereka masih bersikeras seperti itu, Mas akan datangi mereka. Mereka sudah kurang ajar, sudah keterlaluan. Menghasut seorang istri untuk berpisah dari suaminya, yang akan membuat anak-anak kehilangan sosok ayah dalam kehidupan mereka." Bian menarik nafas dan menghembuskannya pelan.
Suara ketukan mengagetkan Kiyara dan Bian. Sosok yang tiba-tiba membuka pintu rumah mereka, membuat raut muka Bian langsung berubah.
"Apakah kalian sudah sepakat untuk bercerai?"
Wajah Kiyara tak kalah terkejut dari Bian. Emosi yang sempat menghilang kini kembali datang, merayap masuk memenuhi rongga dada dan isi kepalanya. Seakan asap siap untuk ke luar, mengepul di atas kepala dan kedua telinganya. "Mau apa Kakak datang kemari?" hardik Kiyara, membuat Ardi terkejut. Pria paruh baya itu tidak menyangka jika adik bungsunya berani menghardiknya. "Memang kenapa? Kakak datang karena ingin mendengar jawabanmu. Mana hape-mu?" Ardi mengedarkan pandangannya mencari benda pipih yang sejak satu jam lalu dihubunginya tapi tidak juga ada jawaban. "Apa kamu memang tidak mau menjawab telpon kakak?" Ardi menatap tajam Kiyara. Kiyara menekan emosinya. Umpatan dan kata-kata kasar sudah berdesak-desakan dalam mulutnya, saling berebut, minta dimuntahkan dari bibir mungil Kiyara. "Apa sebenarnya tujuan kakak-kakak semua? Apa memang sengaja ingin memisahkan Kiya dengan Mas Bian? Ingin melihat Ayu dan Bagas jadi anak-anak broken home?" Satu kata pedas akhirnya meluncur bebas dar
"Maaf dengan sangat, Kak. Silakan kakak pulang dulu. Mohon maaf. Sudah waktunya untuk beristiratahat." Bian kembali mengingatkan Ardi. Kali ini ia harus berani untuk bersikap tegas, meski terkesan kurang ajar, tapi ini adalah langkah terbaik yang harus ia ambil untuk menghentikan semua omong kosong iparnya itu. "Baik. Ini adalah pilihan kalian sendiri. Jangan pernah menyalahkan siapa pun atas keputusan yang kalian ambil. Apa yang aku ucapkan sebelumnya, maka itulah yang akan terjadi diantara kita." Ardi memutar tubuhnya, memunggungi adik kandung dan iparnya, berjalan dengan langkah lebar sembari menahan amarah. Kiyara sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun, tidak juga mengucap kata perpisahan. Ia sudah terlanjur sakit hati. Kesedihan dan rasa sakit di dalam hatinya, membuatnya tidak lagi menyimpan rasa yang sama dengan sebelumnya pada sang kakak. Kekecewaan yang menumpuk dari hari ke hari membuatnya enggan untuk merespon perkataan Ardi. Biarlah semua seperti ini. Mungkin in
Apa harus menjadi kaya lebih dulu untuk menolak bantuan seseorang? Kiyara menelan salivanya. "Tidak penting sudah kaya atau tidak. Yang penting Mas Bian masih bisa membelikan mainan dan jajanan kesukaan anak-anak," tandas Kiyara dengan suara sedikit bergetar menahan emosi."Bagaimana denganmu? Apakah Bian juga sudah bisa membelikan pakaian baru dan kosmetik untukmu? Apakah Bian juga sudah bisa mengajakmu jalan-jalan? Piknik, pergi ke tempat wisata?"Kiyara menggigit bibir bawahnya. Apa-apaan kakaknya ini? Sengaja mencari masalah baru atau bagaimana? Apa belum cukup mereka merendahkan dirinya dan suami kemarin? Masih belum puas mereka menghina dirinya dan menginjak-injak harga diri suaminya?"Maksud kakak apa bertanya seperti itu?" tanya Kiyara tajam. Dirinya sudah menanggalkan rasa hormatnya pada pria itu."Tidak ada maksud apa-apa. Hanya bertanya saja apa tida
Bian masih menatap layar ponselnya. Kedua matanya masih terbelalak usai membaca rangkaian kalimat yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Berulang kali ia mengerjapkan keduanya, mengira dan merasa yakin jika dirinya past telah salah baca dan salah mengartikan kalimat-kalimat dan angka yang tertera di sana, namun ternyata kata-kata itu masih sama, tidak berubah sedikitpun, masih tetap kalimat-kalimat dan angka yang sama.Kiyara, demi melihat sikap suaminya yang seperti itu, semakin merasa penasaran. Sebenarnya pesan apa yang dikirim kepada suaminya, kalimat-kalimat seperti apa yang sudah membuat suaminya tercekat seperti sekarang ini, hingga pria itu bergeming, masih melihat layar ponsel yang baru dibelinya. "Mas? Mas kenapa?" Kiyara benar-benar tidak sabar ingin ikut membaca pesan itu."Kiya! Coba kamu baca pesan ini. Apa benar angka yang tertera di sana sejumlah itu? Apa tidak salah tulis? Kebanyakan atau..." Kiyara mengangguk dan langsung mengambil ponsel baru itu dari tanga
Bian menjadi tegang. "Mengapa Papa tiba-tiba ingin bicara dengan Kiyara?" Suaranya sedikit bergetar. Hal yang sangat jarang terjadi. Papa yang selama ini tidak begitu banyak berinteraksi dengan Kiyara, tiba-tiba menelpon mencari istrinya. Lumrahkan jika dirinya khawatir dan curiga? "Memangnya kenapa? Apa Papamu ini tidak boleh mencari menantunya sendiri?" "Aneh." Jawaban pendek Bian langsung membungkam bibir tebal Pak Atmaja. Pria tua itu tidak merespon jawaban Bian. "Betulkan, Pa? Aneh. Mengapa tiba-tiba Bapak ingin berbicara langsung dengan Kiyara. Selama ini Papa tidak pernah seperti ini. Ada masalah apa hingga mencari Kiyara? Cukup katakan pada Bian, biar nanti Bian sampaikan pada Kiyara," ucap Bian membuat pria tua di ujung sana merasa tersudut. "Kamu dikasih jampi-jampi apa sama wanita itu sampai seperti ini?" "Jampi-jampi? Maksud Papa apa?" Bian semakin mengernyitkan keningnya. Ada apa ini sebenarnya? "Kamu begitu banyak berubah sejak menikah dengan wanita itu." Berubah
Kiyara meringis kesakitan dalam diam. Sialan! Mengapa pasangan suami istri menyebalkan ini bertamu saat suaminya tidak di rumah, umpat Kiyara dalam hati. "Maksud kakak apa? Saya tidak punya uang sebanyak itu." Ini orang kenapa sih, datang-datang minta uang? Kiyara memandang kesal Murni, istri Henri, kakak iparnya. Mengapa mereka datang saat Mas Bian tidak di rumah? Selalu saja mencari gara-gara di saat suaminya tidak sedang ada di rumah. "Tsk. Jangan bohong kamu! Kalau kamu tidak punya uang, mengapa bisa membangun rumah sebagus ini?" Murni menatap kesal Kiyara. "Bisa membangun rumah sebagus ini, masa iya tidak punya uang?" cibir Murni. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, dan ia hanya menemukan satu buah televisi lcd ukuran empat puluh dua inci, yang tergantung di tengah ruang dan sebuah laptop. Iisshhhh! Sumpah demi apa pun, saat ini Kiyara sangat ingin menarik wanita berhati iblis di depannya itu, ke dalam bak mandi dan menenggelamkan kepalanya hingga ke dasar bak. Su
Bian membuka pintu rumahnya dan berjalan masuk ke dalam. Tumben kok tidak ada suara anak-anak. Apa mereka semua sedang pergi? Bian meletakkan tasnya di atas meja ruang tamu, selanjutnya merebahkan tubuhnya di atas sofa sambil memejamkan kedua matanya. Hari ini begitu panas, membuat tenggorokannya terasa begitu kering. Bian mengeluarkan botol minum dari tas kerjanya dan meneguk air yang tersisa. Ia melirik jam dinding, yang terpasang tepat di atas pintu masuk rumahnya. Jam dua siang. Mengapa rumah begitu sepi? Kemana istri dan anak-anaknya? Bian berdiri dari duduknya, melangkah masuk ke ruang tengah lalu masuk ke kamarnya. Ketika langkah kakinya sampai di depan pintu kamar, samar telinganya menangkap suara Kiyara yang sedang mengomeli seseorang atau tentang seseorang? Bian mengetuk pintu kamar sebelum melangkah masuk. Sengaja ia mengetuk pintu itu dengan ketukan lemah, agar supaya Kiyara hanya mendengarnya samar. Bian melihat sang istri tengah melipat pakaian sambil mengomel. Mengom
Kiyara duduk mematung di samping Bian. Berulang kali mengigiti bibirnya, merasa gundah. Berita bahagia yang baru saja ia terima, harus secepat itu sirna karena kenyataan yang ada di depan mereka. Mereka tidak punya modal untuk menerima order itu. Helaan nafas panjang terdengar silih berganti antara Kiyara dan Bian. Lama mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba Kiyara menjentikkan jarinya ke udara. Wanita itu melirik ke arah suaminya yang masih saja menatap kosong langit-langit ruangan itu. "Mas, mengapa tidak meminjam pada papa dan saudaranya mas?" Kiyara mencoba memberi solusi. Ia pikir ini adalah jalan terbaik daripada meminjam uang ke bank, meski dalam hatinya ada keraguan yang sangat besar. Tidak ada salahnya mencoba, meski mungkin jawaban yang sama akan kembali mereka terima. Bian langsung bangun dari tidur rebahannya. Wajahnya sedikit mengendur, tidak lagi tegang seperti sebelumnya. Ada senyum tipis mengembang di sudut bibirnya. "Ide bagus. Aku akan da