"Ceraikan Kiyara!" ucapan Ardi, bagai petir di siang bolong, membuat ponsel Bian yang ada di tangan pria itu meluncur bebas ke lantai. "Kau tidak akan bisa membahagiakannya. Kau hanya bisa membuatnya semakin menderita." Suara Ardi membuat wajah Bian merah padam. Ipar gila, sungutnya menahan emosi. Sedangkan Kiyara langsung mematung. Kepalanya mendadak pening, mendengar ucapan kakaknya. Siapa yang sudah mencetuskan ide gila itu? Apa yang akan Kiyara lakukan ketika dipaksa untuk bercerai dengan Bian, lelaki yang ia cintai, yang sudah menemaninya selama sepuluh tahun pernikahan? Akankah Kiyara setia padanya , untuk berjuang bersama atau justru menyerah pada nasib?
Lihat lebih banyak"Apa yang bisa kamu berikan untuk Kiyara dan anakmu, hah? Membiayai hidupmu sendiri saja kamu tidak mampu, malah sok-sokan menolak bantuan kami." Suara Ardi menggelegar, memecah kesunyian malam.
Bian hanya duduk diam. Tidak ada sedikit pun niatannya untuk menjawab sekian banyak cercaan dan makian, yang keluar dari bibir tebal iparnya itu. Sedangkan Kiyara, wanita yang telah menemaninya berjuang selama 10 tahun terakhir, diam membisu, sambil sesekali mengusap airmatanya yang mulai mengalir turun dari sudut matanya.
"Mana usahamu yang berhasil? Dari sekian banyak rencana dan ceritamu yang setinggi awan, tidak ada satu pun yang berhasil. Tidak ada harta benda yang bertambah, tapi malah berkurang untuk menutupi semua hutang-hutangmu."
Ardi lalu diam sejenak, mencari asupan oksigen dan tenaga setelah dirinya meluapkan semua amarah dan kekesalan pada adik iparnya itu. Ia kemudian melanjutkan perkataannya. "Ini adalah tawaran terakhir dari kakak-kakak Kiyara. Daripada anak dan istrimu mati kelaparan di sini, antarkan saja mereka ke Jakarta. Biarlah mereka dirawat oleh tante-tantenya di sana, dan kau, kau cari saja pekerjaan yang bisa menghidupi dirimu sendiri."
Bian, mengepalkan kedua tangannya. Emosi? Jelas. Marah? Sangat. Ia menahan amarah yang kali ini sangat susah untuk dikendalikan olehnya. Ia memberanikan diri untuk menatap Ardi, yang duduk dengan gaya sombong, tepat di depan kursinya.
"Apa maksud Kakak?" Bian menatap lurus manik mata Ardi. Orang gila, umpatnya kasar, namun hanya berani ia lontarkan dalam hati.
"Kau tidak paham dengan maksud perkataanku?"
"Kiya! Di mana kau menemukan laki-laki bodoh seperti dirinya? Mengapa kau bisa memilih dia untuk jadi suamimu?" Ardi menatap sinis Kiyara, lalu kembali memperhatikan mimik wajah Bian yang sudah merah padam, menahan amarah.
"Kau marah? Hah! Lucu. Untuk apa kau marah jika semua yang aku katakan benar adanya. Jika kau tidak sanggup membiayai Kiya, harusnya jangan berani kau mengajukan diri untuk menikahinya. Lihatlah! Adikku sekarang sungguh mengenaskan penampilannya, dan itu semua gara-gara kau yang tidak becus mencari uang!" Bentakan Ardi membuat Kiyara kali ini menatap nyalang sang kakak.
"Kak! Berhentilah menghina Mas Bian! Bagaimana pun Mas Bian adalah suami Kiyara. Kiyara yang memilihnya sendiri. Jangan merendahkan orang seperti itu." Kiyara berusaha menahan tangisnya. Suaranya bergetar ketika kata-kata pembelaan mengalir tersendat dari bibirnya yang sudah tebal, akibat ia gigit sejak tadi.
Hari ini adalah hari terburuk dalam hidup mereka, yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam benak pasangan suami istri itu. Niatnya untuk meminjam uang kepada sang kakak ipar, untuk sekadar membeli beras, gas dan listrik untuk kebutuhan selama tiga hari, justru membuat Bian menjadi seorang pesakitan di mata kakak-kakak iparnya.
Sejak tujuh tahun yang lalu, usahanya mengalami kemunduran. Meminjam sekian puluh juta kepada kakak ipar untuk memulai bisnis sendiri, namun tidak juga menunjukkan perkembangan. Bahkan, harta warisan sang istri terpakai untuk memperbaiki rumah mereka, yang dulu baru mencapai tiga puluh persen pembangunannya. Terlebih lagi, ia terlilit hutang akibat invetasi yang ia ikuti ternyata berujung pada investasi bodong. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Pada saat seperti ini, yang bisa ia mintai bantuan hanyalah kakak iparnya. Akan tetapi, keputusan yang diambilnya kali ini tidak sesuai dengan perkiraannya. Mereka tidak akan memberi bantuan lagi kepadanya. Sebagai gantinya, ia harus rela berpisah dengan anak istrinya untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Bian benar-benar tidak habis pikir, mengapa syarat yang diberikan kali ini begitu berat.
"Kalian pikirkan dulu syarat dari kami. Jika kalian setuju, akan aku transfer uang untuk berangkat ke Jakarta." Ardi meninggalkan rumah sang adik tanpa mengucap salam perpisahan, meninggalkan perih tersendiri di sudut hati Kiyara.
Kiyara diam membisu. Ia masih tidak percaya dengan kata-kata yang diucapkan Ardi, sejak kedatangan laki-laki paruh baya itu hingga beranjak pergi meninggalkan mereka. Bian menatap istrinya dengan sendu.
"Kiya..." panggilnya lembut, membuat wajah ayu di depannya langsung menoleh ke arahnya.
"Iya, mas?" Kiya mendekat ke arah Bian yang masih menatap dirinya sendu.
"Apa pendapatmu setelah mendengar semuanya?" Bian tidak sanggup merinci setiap ucapan Ardi.
"Mas, maafkan kakak ya... Aku tidak tahu, ah, sama sekali tidak mengira mereka akan mengambil keputusan seperti itu," ucapnya. Suaranya terdengar seperti cicitan tikus yang ketakutan karena bertemu dengan lawan yang lebih besar.
"Mungkin mereka sudah muak denganku, sudah tidak lagi percaya dengan semua perkataanku, hingga akhirnya jadi seperti ini." Bian menghela nafasnya, kembali menatap wajah Kiyara.
Kiyara masih memilih untuk diam. Ia sendiri enggan memperpanjang percakapan itu. Ia tahu ini semua tidak mudah, terlebih lagi mendengar perkataan kakaknya. Ia mendengar semua yang dikatakan Ardi, memperhatikan, betapa kakaknya itu sudah sangat berbeda dari yang dulu.
Bian meneguk habis sisa kopi lalu menatap wajah Kiyara. "Sekarang, setelah mendengar semua yang disampaikan Kak Ardi, apa yang akan kamu lakukan? Jika kau ingin mengikuti syaratnya, maka lusa aku akan mengantarkanmu dan anak-anak."
Kiyara mengangkat wajahnya dan menatap lekat suaminya. "Apakah mas menginginkan itu?" Wajah Kiyara mendadak berubah sendu. "Aku menikah denganmu bukan hanya untuk bersenang-senang. Ada masa-masa sulit yang harus dihadapi bersama..."
"Tapi, semua yang diucapkan Kak Ardi tadi tidak salah, justru nyaris mendekati kebenaran, dan aku tidak akan menyalahkanmu," ujarnya risau. Ia menyerahkan semua keputusannya pada Kiyara. "Hanya saja, aku lebih memilihmu untuk tetap di sisiku."
Kiyara menilisik wajah tampan Bian, yang mulai ditumbuhi jambang halus. "Aku akan tetap di sini bersama Mas. Akan lebih baik jika semua masalah dihadapi bersama, bukan justru meninggalkan pasangannya sendiri menghadapi ujian hidup."
Bian menggenggam erat tangan istrinya, lalu menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. " Maaf... Maafkan aku yang masih belum mampu membahagiakan kalian. Maafkan aku yang masih saja merepotkanmu, menghabiskan uang milikmu." Bian sekali lagi menghela nafasnya dengan berat.
Ia sendiri tidak tahu mengapa jalan di depannya begitu sulit. Segala cara sudah ia lakukan, tapi hingga saat ini, tidak juga menunjukkan hasilnya. Tidak bertambah hartanya tapi justru berkurang. Beberapa kalimat yang diucapkan Ardi, tertinggal dan melekat erat di otaknya.
Pikirannya melayang. Tiba-tiba terdengar suara perut yang bernyanyi, membuatnya menjauhkan tubuhnya dari Kiyara. "Kamu belum makan?" Diangkatnya dagu wanita itu. Manik mata Bian menembus ke dalam manik mata Kiyara, yang berwarna coklat cerah, meminta jawaban yang sebenarnya.
"Aku sudah makan, Mas. Kan tadi kita makan bareng dengan anak-anak. Bubur beras dengan sedikit bumbu rempah. Tidak terlalu buruk kan? Sisa beras yang tinggal setengah kilo, aku buatkan bubur rempah seperti tadi saja, untuk sarapan sekaligus makan siang pribadi. Cukuplah untuk makan sehari besok."
Kembali Bian harus tersenyum dalam duka, mendengar laporan dari Kiyara. Harus kemana ia mencari pinjaman uang?
"Cepat! Aku tidak mau masalah ini berlarut-larut. Jangan sampai Bian melaporkan kejadian ini ke polisi. Aku tidak mau nama baikku dan keluargaku tercoret karena ulahmu!"Murni tergagap. Ia tidak punya pilihan lain. Ia harus merelakan mobil yang baru ia beli satu bulan lalu. Dengan langkah gontai, Murni mengambil kunci mobil dari dalam tasnya, dan menyerahkannya kepada Henri."Yang lain?"Hah?! Murni menatap Henri dengan tatapan bingung. "Apa maksudmu yang lain?""Kunci mobil yang lain. Kau tidak hanya punya satu mobil, bukan? Jika hanya ini yang kau serahkan untuk melunasi hutangmu pada Bian, maka tidak cukup. Ingat, hutangmu lebih dari setengah milyar. Aku hanya akan membantu sebesari yang aku tahu saja. Dua puluh juta. Tidak lebih."Murni menggigit bibir bagian bawahnya. Habislah dia. Ia tidak punya lagi mobil yang bisa ia banggakan di depan teman sosialitanya. Murni mengeluarkan dua kunci mobil dari laci meja riasnya. Ia tidak rela, akan tetapi tangan Henri dengan cepat mengambil
Hujan turun begitu deras, membuat suasana hati Bian semakin sendu. Ia merasa sangat kesepian. Suara canda dan tawa Bagas beserta Ayu, membuat Bian berpikir untuk menjemput Kiyara. Tapi- Tunggu dulu... Dimana ia dapat menemukan Kiyara? Kemana perginya Kiyara saja, ia tidak tahu.Bian mengusap kasar wajahnya. Andai dirinya mendengar semua nasihat dan peringatan dari Kiyara, pasti ia tidak akan mengalami semua ini. Hidupnya berantakan. Tidak ada istri yang biasanya melayani semua kebutuhannya, tidak juga anak yang menghibur dirinya dengan rengekan dan teriakan mengganggu mereka.Bian menatap sisi kasurnya yang kini kosong. Ia menyentuh sisi yang kini terasa sangat dingin. Lagi, Bian hanya bisa menghembuskan napas kasar. Ia menatap bantal dan guling yang tertata rapi di sebelahnya.Ia merindukan sosok yang biasa menemani istirahat malamnya. Sosok yang selalu panik jika ia pulang kehujanan, yang selalu mengomel jika ia melewatkan jam makan siang."Aah, Kiyara! Kamu ada dimana, Sayang?" Bia
Kiyara sedang mengangkat jemuran ketika ponselnya berdering. Dengan sigap, Kiyara mengambil benda pipih itu di atas nakas.K: "Halo?"M: "Selamat Sore, Bu. Ini saya, Maryono, Bu."Wajah Kiyara seketika cerah.K: "Bagaimana kabarnya, Mar?"M: "Baik, Bu. Bapak sekarang sudah kembali bekerja di pabrik, Bu. Sejak tiga hari yang lalu. Pulang dari rumah sakit langsung ke pabrik, tapi hanya sebentar. Saya mengingat pesan Ibu untuk menjaga bapak."Kiyara mengangguk puas. Ia harus memberi sesuatu kepada pemuda itu karena sudah bersedia menjaga suaminya dengan begitu tulus.K: "Terima kasih, ya? Saya tidak tahu harus bagaimana untuk berterima kasih sama kamu?"M: "Oh-Tentu tidak , Bu. Ini sudah kewajiban saya sebagai karyawan bapak. Bapak sudah sangat baik kepada kami, sudah seyogyanya kami membalas kebaikan bapak."K: "Sampaikan ucapan terima kasih saya kepada teman-teman kamu di sana."M: "Baik, Bu. Eng-..."Kiyara menangkap sesuatu yang ingin diutarakan Maryono, tapi pemuda itu tampaknya rag
Kiyara menatap Bian yang masih terlelap. Ada rasa bersalah yang dirasakan Kiyara melihat suaminya yang terbaring lemah di hadapannya. Namun, sebuah kilatan amarah melintas di kedua netranya."Lihat, Mas! Saat kau sakit seperti ini, dimana mereka yang kamu beri bantuan kemarin? Dimana mereka saat kamu menderita seperti sekarang? Datang melihat pun tidak. Mereka sama sekali tidak peduli denganmu, Mas. Mereka hanya peduli dengan perut mereka sendiri. Mereka mendekatimu hanya saat kamu punya uang."Kiyara menghembuskan napasnya. "Tapi mengapa ... Mengapa kau justru lebih mendengarkan mereka yang memanfaatkanmu? Kau justru lebih memilih mereka daripada keluargamu sendiri? Aku dan anak-anak justru kau abaikan. Kau lebih mementingkan mereka daripada kami?"Terdengar sedikit isakan tapi itu hanya sebentar. Kiyara menyeka air mata yang sempat memenuhi sudut matanya. "Semoga Mas bisa segera sembuh. Ada banyak kebenaran yang harus Mas ketahui. Jadi, jangan menyerah."Selama tiga hari, Kiyara menj
"Lagipula Kiyara, apakah kamu rela ada perempuan lain yang menggantikan posisimu di sisinya? Bian itu ganteng loh. Tante berani taruhan, pasti dulu banyak yang ngantri untuk jadi istrinya." Melina terus berusaha meyakinkan Kiyara.Kiyara hanya menyimak penuturan wanita paruh baya itu. Ia tidak lagi berani membantah. Tidak mudah bagi Kiyara untuk melupakan semua kejadian masa lalunya bersama Bian. Sikap Bian yang membuat dirinya mengajukan cerai, sungguh meninggalkan luka mendalam di hatinya."Udah, Ma. Setidaknya, biarkan Kiyara berpikir dan menenangkan dirinya dulu. Bian juga sekali-kali harus dipaksa mikir. Dia juga keterlaluan. Mama bayangkan sendiri, jika Papa seperti Bian, apakah Mama bisa bertahan sampai sejauh ini seperti Kiyara?"Melina setuju. Mungkin ini adalah jalan terbaik untuk Bian dan Kiyara. Perpisahan sementara ini bisa jadi salah satu cara untuk keduanya saling memahami satu sama lain. Utamanya untuk Bian. Pria itu tampaknya harus merasakan kehilangan dulu baru bisa
Bian masih duduk terpengkur di kursi makan. Pandangannya keosong. . Hingga pagi ini, Kiyara belum juga kembalil. Ia tidak tahu harus menghubungi siapa.Di saat pikirannya melayang entah kemana, mencari sosok Kiyara di sela ingatannya beberapa hari yang lalu, sebuah pesan masuk membuat Bian terlonjak dari duduknya."Pak Bian. Saya mau order mukena sebanyak 50 puluh kodi. Motif yang saya pillih akan saya kirim segera. Saya juga akan mengirim tanda jadi sebesar tiga puluh persen di awal, tiga puluh persen saat barang akan dikirim, dan sisanya akan saya bayar setelah barang dalam perjalanan."Bian hanya membaca pesan itu dengan ekspresi datar. Tidak seperti biasanya. Ia akan melonjak kegirangan lalu lari mencari Kiyara,dan langsung menghambur memeluk istri tercintanya itu.Jumlah order yang tertera di layar ponselnya tidak dapat mengusir kesedihannya. Apalah arti pesanan besar tetapi ia tidak memiliki seorang pun untuk berbagi kebahagiaan.Ponsel Bian berdering. Bian hanya mengabaikannya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen