Heera meremas jari-jarinya, entah kenapa saat ini ia bisa berada didalam satu mobil yang sama dengan Sean dan Keenan. Beberapa menit lalu saat Heera sedang memakai sepatunya bersiap untuk berangkat kuliah, Keenan mendatanginya dan menyeret Heera untuk masuk kedalam mobilnya. Heera menolak karena Sean sudah duduk dikursi kemudi dengan wajah datarnya, tapi setelah Sean berkata dan memerintahkan Heera untuk ikut bersamanya, Heera pasrah, sementara Keenan bersorak ria.
Sedari tadi Sean tidak membuka suaranya, lelaki dengan wangi aroma maskulin yang menyeruak di hidung Heera itu hanya diam dan fokus menyetir. Tak ada suara radio, hanya ada suara Keenan dan Heera yang saling melempar pertanyaan dan jawaban. Sesekali mata tajam Sean melirik ke kursi belakang melalui kaca, tapi Heera dan Keenan tidak menyadarinya saking asiknya mengobrol.
"Tante tidak memakai make-up?" tanya Keenan sembari mengamati wajah polos Heera.
Heera tersenyum kikuk sambil mengusap tengkuknya, gadis itu lantas merespon pertanyaan Keenan dengan gelengan di kepala. Sebenarnya Heera ingin melakukan itu, memakai make-up. Tapi Heera tidak punya banyak uang dan waktu. Membeli peralatan make-up membutuh uang yang lumayan, sementara memakai make-up juga butuh waktu cukup lama untuk hasil yang memuaskan. Bersyukur Heera tidak bergantung pada make-up. Tapi, tentu saja Heera rutin merawat wajahnya dengan produk skincare. Walaupun ia tidak menggunakan make-up, tapi kulit wajahnya harus tetap sehat.
"Tidak, tante tidak punya waktu dan uang untuk membeli make-up." jawab Heera jujur apa adanya, membuat Sean praktis meliriknya.
"Tidak apa-apa, tante tetap cantik walaupun tidak memakai make-up. Iya kan, Yah?"
Awalnya Heera tersenyum saat mendengar jawab Keenan, tapi kalimat di akhir dari pertanyaan Keenan membuat wajah Heera menegang.
Sean yang sedari tadi menguping itu sama terkejutnya seperti Heera, tidak menyangka kalau Keenan akan melempar jawaban seperti itu padanya. Dengan wajah kaku yang disamarkan, Sean menoleh sejenak kearah Heera lalu mengangguk singkat.
"Ya," jawab Sean membuat Heera menunduk menahan senyumannya. Ia tidak salah dengarkan dengan jawaban yang Sean berikan?
"Sudah sampai, Ken." kata Sean sembari melepas seatbelt yang melilit tubuhnya, lalu turun dari mobil untuk membukakan pintu untuk Keenan.
Perlakuan manis Sean itu membuat Heera bertambah kagum. Memang yang Sean lakukan hanya hal sepele, tapi menurutnya tidak semua Ayah yang mengantar anaknya ke sekolah mau turun untuk sekedar membukakan pintu untuk anaknya seperti yang Sean lakukan.
"Sampai jumpa, tante Heera!" ujar Keenan kepada Heera. Mereka melakukan high five seperti biasa sebelum Keenan turun dari mobil dan berlari memasuki area sekolahnya yang super luas. Mata Heera saja tidak lepas menatap ke gedung sekolah Keenan. Tidak terbayangkan berapa kocek yang Sean keluarkan untuk menyekolahkan Keenan di sekolah bertaraf internasional itu.
"Kamu tidak berniat pindah?" tanya Sean menatap Heera yang duduk manis di kursi belakang.
"Saya bukan supir kamu." lanjut Sean membuat Heera buru-buru pindah ke kursi depan. Wah, dengan jarak sedekat ini wangi tubuh Sean semakin memanjakan indra penciumannya.
"Kuliah kamu sudah semester berapa?" tanya Sean untuk pertama kalinya membuka percakapan dengan Heera.
"Delapan, pak." jawab Heera sopan. Sean yang mendengar Heera memanggilnya dengan embel-embel 'pak' itu tersenyum, tipis dan sekilas. Apa wajahnya setua itu sampai Heera memanggilnya bapak?
"Jangan panggil saya pak, panggil nama saya saja. Sean." perintah Sean, Heera menggeleng ragu, sepertinya ia tidak bisa bersikap santai kepada Sean. Melihat respon Heera, Sean tersenyum tipis dan mengangkat pundak, terserah gadis itu saja mau memanggilnya apa.
"Nama lengkap kamu siapa?" lanjut Sean bertanya.
"Naheera Auristela." jawab Heera masih sedikit canggung dan gerogi berinteraksi dengan lelaki bermata tajam itu.
"Single"
Heera mengedipkan matanya beberapa kali, "Maksudnya, pak?" tanya Heera takut ia tadi salah dengar atau salah paham dengan pertanyaan Sean.
Sean menoleh sekilas kearah Heera kemudian kembali fokus kearah jalanan di depannya, "Kamu sudah punya pacar atau masih single?" kata Sean mengulang. Berarti tadi Heera tidak salah tanggap. Habisnya aneh saja jika Sean langsung bertanya hal seperti itu kepadanya.
"Ah, iya. Aku single."
"Sama, saya juga." balas Sean semakin membuat Heera kebingungan. Ia tidak mengerti mengapa Sean memberitahukan status singlenya, padahal ia tidak bertanya.
Tak kunjung mendengar respon dari gadis di sampingnya, Sean kembali buka suara.
"Tadi pagi Keenan bertanya kepada saya. Katanya, 'Ayah, bisa tidak Ayah menafkahi tante Heera?', karena tidak mungkin saya memberikan jawaban saya kepada Keenan. Jadi saya akan kasih jawabannya ke kamu saja langsung, kebetulan juga kamu ada disini. Saya sih sangat mampu untuk menafkahi kamu, kalau kamu ingin."
Sebentar, Heera masih mencerna ucapan Sean agar tidak salah paham. Namun setelah di cermati lagi dengan detail, sepertinya Heera tidak salah dengar atau salah tangkap maksud ucapan Sean. Heera mengerjapkan matanya, ia tersenyum kaku kearah Sean.
"Rileks, Heera." Sean tertawa kecil melihat wajah tegang Heera.
Heera mendumel dalam hati, bisa-bisanya duda di sampingnya itu tertawa setelah membuatnya terbang ke awang-awang.
"Alih-alih menafkahi saya, lebih baik bapak mempekerjakan saya." jawab Heera.
Kedua alis Sean terangkat, suasana kini tidak setegang sebelumnya. "Maksud kamu?"
"Tentang tawaran pak Sean kemarin, saya mau pak. Saya mau jadi baby sitter Keenan."
***
Heera mengantuk, tapi ia tidak bisa tidur. Matanya menatap kearah dosen di depan sana, telinganya terbuka lebar-lebar mendengarkan penjelasannya materi dari dosennya, tapi semua penjelasan dari dosennya tidak masuk ke otak Heera.
Konsentrasi Heera pagi ini pecah. Arwahnya seakan hilang dari raga. Pasalnya, ucapan Sean dimobil tadi ternyata bukan mimpi. Itu nyata tapi sangat tidak bisa Heera percaya. Ini di luar nalar logika. Laki-laki yang baru beberapa kali berbicara dengannya tiba-tiba menawarkan diri untuk menafkahinya.Walaupun Heera tadi mengalihkan topik, tetap saja ia kepikiran.
Di tawarin untuk di nafkahi oleh duda tampan beranak satu seperti Sean, siapa yang tidak kepikiran?
YA, Heera akui kalau Sean itu tampan, sangat tampan sampai Heera kesulitan bernapas saat duduk bersebelahan dengannya. Tapi, karena Sean tampan bukan berarti lelaki itu boleh menyepelekan perasaannya. Apa maksudnya bertanya seperti itu padahal mereka baru mengenal nama satu sama lain saja? Heera benar-benar tidak habis pikir.
Untung saja Heera memiliki senjata untuk mengalihkan pembicaraan. Tentang menjadi baby sitter Keenan, Heera memang sudah memikirkannya saat di jalan pulang dari kelab malam. Kalau di pikir-pikir, sepertinya tidak sulit mengasuh Keenan. Keenan bukan anak yang nakal, dia pintar, penurut dan sangat manis, jadi tidak ada salahnya Heera mencoba.
Sean bilang Heera bisa mulai bekerja hari Senin, kebetulan besok masih hari sabtu, jadi ia memiliki dua hari untuk mempersiapkan diri. Jam 6 sudah harus datang ke rumah Sean, menyiapkan perlengkapan sekolah Keenan dan sarapan, mengantar dan menjemput Keenan sekolah, menemani Keenan bermain dan mengawasi Keenan sampai Sean pulang dari kantornya.
Tidak ada yang sulit, Heera yakin bisa melakukannya.
"Ra,"
Heera tertegun kecil saat pundaknya di tepuk pelan dari belakang. Spontan Heera berbalik badan dan mendapati Arta yang tersenyum kearahnya.
"Makan yuk." ajak lelaki yang memiliki senyum manis itu.
Heera menoleh kembali ke depan kelasnya, dosennya sudah menghilang, itu tandanya kelas sudah selesai. Hebat, Heera sama sekali tidak menyerap ilmu mata kuliah hari ini dan itu semua karena Sean!
"Tumben lo hari ini tidak ketiduran, Ra?" tanya Arta yang kini berdiri di samping meja Heera. Memperhatikan Heera yang sedang memasukan laptopnya kedalam tas. Sejujurmya, pertanyaan Arta cukup nyelekit dan menyinggung perasaan Heera.
"Gue juga heran, Ar." jawab Heera sembari bangkit dan memakai tasnya.
Mereka berdua jalan beriringan menuju kantin kampus seraya berbincang tentang hal apapun yang ada di kepala. Kecuali Sean, walaupun nama Sean terus berputar di kepalanya, tapi Heera tidak ingin membicarakan lelaki itu, ia ingin menikmati makan siangnya dengan tenang bersama Arta, cowok yang sebenarnya sudah Heera taksir sejak lama.
Mungkin Heera sedikit berlebihan saat pertama kali melihat Sean dan mengatakan bahwa laki-laki itu adalah sosok manusia tampan sesungguhnya yang baru pertama kali ia lihat. Tapi sebenarnya, Heera sudah lebih dulu bertemu dengan Arta yang ketampanan juga melampui batas normal. Hanya saja, bedanya wajah Sean lebih tegas dan gentle. Arta tampan, tapi bentuk wajahnya sangat kecil membuat wajah lelaki itu terlihat cantik meski sebenarnya Arta juga laki-laki tulen.
Tapi Heera menyukai Arta bukan hanya karena cowok itu memiliki wajah yang tampan. Tampan namun sikapnya menyebalkan juga Heera tidak sudi menyukainya. Arta itu tampan wajahnya, baik prilakunya, pintar otaknya dan banyak uangnya. Ibarat kata, Arta ini paket lengkap. Tidak heran kalau Arta menjadi idola di kampusnya.
Kalau saja Heera tidak bisa menahan perasaannya, mungkin sudah dari lama Heera menyatakan cinta kepada Arta. Cuma saja Heera sadar diri, Arta pasti menolaknya dan hal itu pasti akan membuat hubungan pertemanan mereka menjadi renggang. Lagi pula Heera tidak berminat untuk pacaran. Dekat tapi tidak memegang komitmen jelas lebih menyenangkan.
Sean menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya beserta sang istri. Dengan tak sabaran pria itu menanggalkan daster Heera yang kenakan. Melihat gunung kembar Heera yang menganggur didepan mata, segera ia gunakan mulut serta tangannya untuk bekerja. Tidak perlu di jelasin apa yang Sean lakukan saat ini, karena ya, memang yang sedang pria itu lakukan sesuai dengan isi kepala kalian sekarang. Heera melenguh di antara tidurnya. Tentu wanita hamil itu tertegun saat membuka mata dan mendapati Sean sedang bersarang di tempat favorit suaminya. Memasuki bulan kelahiran, Sean dan Heera sepakat untuk puasa alias tidak melakukan hubungan badan. Tapi tetap saja, soal menyusu sudah menjadi aktivitas rutin Sean setiap malam. Terkadang Heera juga memuaskan suaminya itu dengan segala cara yang bisa ia lakukan. Tangan Sean bekerja dengan baik saat ini, memijat dan memainkan payudara sintal sang istri yang makin membesar karena efek kehamilan. Gairah Sean tak terelakkan begitu mendengar desahan H
Beberapa Tahun Kemudian... "Pegang tangan abang, Kel." perintah Keenan sambil tersenyum lembut, ia lantas menggenggam erat tangan mungil sang adik kesayangannya dengan sigap setelah mereka keluar dari mobil. Saat ini kakak beradik itu tengah berjalan menuju sebuah taman kanak-kanak tempat Keela bersekolah. Ya, Shakeela Isyana Rangadi, putri kedua Sean dan Heera. "Ayah, ayo cepetan." ujar Keela dengan suara menggemaskan. Ia tidak sabaran ingin bertemu teman-temannya, sementara Sean sedang mengeluarkan tas dan totebag berisi kotak bekal yang Heera buatkan untuk Keela. "Sabar dong, Sayang. Ayo, pegang tangan ayah." Sean menyampirkan tas berwarna pink milik Keela ke pundaknya, lalu tangan kanannya yang bebas ia gunakan untuk menggandeng tangan mungil Keela. Sambil dituntun dua bodyguard yang selalu menjaganya Keela berjalan memasuki halaman sekolahnya, seorang guru menyapanya dengan senyum manis seperti biasa. "Pagi, Keela." "Pagi, Bu Vira." jawab Keela setelah menyalimi tangan sang
"Kamu di mana, Ra?" Heera merapatkan bibirnya, mendengar suara rendah Sean, sepertinya pria itu sudah menunggunya pulang di rumah."Aku masih di mall, mas.""Masih sama Jessi?" Beberapa detik Heer terdiam, pandangannya menoleh ke arah Jessi dan dua pria yang baru saja dikenalnya. Yang satu teman kencan Jessi, yang satu lagi adalah teman dari teman kencannya Jessi. "I-iya, masih dong." Heera tak berbohong, ia memang masih bersama Jessi, hanya saja istri Sean itu tidak berterus terang kalau ada dua pria yang bersamanya sekarang. "Pulang. Keenan nyariin kamu. Mas tunggu." ucapan Sean yang menekan disetiap kalimat dan langsung mematikan sambungannya begitu saja membuat Heera membatu di tempat. Heera takut, kenapa Sean bersikap demikian? Apa ia mengetahuinya? Kepala Heera spontan menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari radar Sean, tapi tidak menemukan. "Siapa?" Rakha, pria yang duduk dihadapan Heera bertanya saat melihat kepanikan yang melanda wajah Heera. "Suami aku. Aku udah disuruh
"Mas, aku boleh keluar gak sama Jessi?" Heera bertanya, menatap dengan pandangan sedikit ragu kearah Sean yang baru saja mendudukan diri di atas sofa. Ini sudah sore, dan Sean baru bangun dari tidurnya. Pria itu langsung istirahat setelah menyetir perjalanan panjang dari rumah mertuanya. "Mau kemana, Sayang?" tanya Sean sambil mengusak rambutnya yang sedikit aut-autan. Melihat itu, tangan Heera jadi gatal dan ikut merapikan rambut sang suami. "Mau jalan aja, udah lama juga aku gak jalan sama Jessi." jawab Heera. Sean manggut-manggut. Semenjak menikah, Heera memang jarang keluar bersama temannya, selain karena kadang Sean larang, tapi Heera juga memikirkan Keenan. Siapa yang akan menjaga anak itu jika ia pergi? Meski beberapa kali Heera mengajak Keenan saat ngumpul bersama temannya. Itu pun kalau Sean izinkan."Ngajak Keenan?" tanya Sean. Heera terdiam sesaat, sebelum menggeleng perlahan. "Kasihan Keenan habis pergi jauh, lagian kan ada Mas di rumah." Alasan Heera menerima tawaran J
"Gimana ngurus suami sama anak kamu, gak ada kesulitan, kan?" Heera yang sedang menyiram tanaman di halaman lantas menoleh ke arah Prima yang lagi duduk di kursi teras. Sebelum menjawab, Heera tertawa kecil lebih dulu. "Gak ada kok, Bu. Mas Sean sama Keenan gampang diurusnya." jawab Heera dengan nada guyon. "Coba kamu duduk sini dulu bentar, Ra." perintah Prima, meminta Heera untuk duduk di kursi kosong di sebelahnya. Saat ini di rumah hanya ada mereka berdua karena Keenan, Sean dan Rahel sedang bersepeda. Kebetulan sekarang sudah sore, cuacanya cocok untuk bermain di luar rumah. Tanpa membantah, Heera mematikan keran air lebih dulu kemudian duduk di sebelah sang Ibu. Raut wajah Heera tampak serius mengikuti mimik milik Prima. "Ada apa, Bu?" tanya Heera penasaran. Tidak biasanya sang Ibu tampak hendak membicarakan hal serius begini. "Tadi Sean minta di do'akan supaya kamu cepat isi. Memangnya kamu sudah siap memberikan Sean
"Masih sakit perutnya, Sayang?"Heera yang sedang memainkan ponselnya di atas ranjang spontan menoleh dan mendapati Sean yang baru saja memasuki kamar. "Udah gak sesakit tadi," jawab Heera seraya meletakan ponselnya. Atensinya kini terfokus penuh pada Sean yang baru saja merebahkan badannya disamping sang istri. Tangan Sean bergerak, menyelinap masuk ke dalam piyama Heera lalu mengusap-usap hangat perut istrinya itu. "Syukurlah," katanya. "Mas mau nanya boleh?" sambung Sean membuat Heera mengernyitkan keningnya. "Nanya apa, Mas?" "Kamu pernah ketemu Ayah kamu di sekolah Keenan?" to the point. Sean tidak ingin ada rahasia diantara ia dan Heera. Meski Sean tahu Heera sedang berusaha menutupi hal ini darinya.Heera diam sesaat, seakan tertangkap basah rahasianya. Tapi dengan ragu cewek itu mengangguk, lengkap dengan wajah penuh sesalnya. "Iya. Tapi Ayah seperti gak kenal aku." lirih Heera tersirat kesedihan. Ia masih ingat bagaimana sikap Juni ketika bertemu dengannya dan Keenan beb