"Aku gak mau ketemu Ayah, mas!"
Sean menghela napas panjang. Saat ini ia tengah membujuk Heera untuk bertemu dengan Ayah kandung gadis itu. Sean tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu dengan Heera dan Ayahnya, tapi bagaimana pun, Heera harus menemui Ayahnya dan meminta lelaki itu untuk menjadi wali nikahnya.
"Kamu tidak mau menikah dengan mas, Ra?" Sean bersimpuh di depan Heera yang duduk di atas sofa. Sudah hampir satu minggu Sean membujuk calon istrinya, tapi bukan Heera namanya kalau tidak keras kepala.
"Kenapa mas ngomong gitu?!" nada suara Heera meninggi. Tampak tidak senang mendengar ucapan Sean barusan.
"Habisnya kamu tidak mau ke rumah Ayahmu. Kalau kamu beneran mau menikah sama mas, turuti apa kata mas."
Heera mengalihkan pandangannya, mata gadis itu berlinang, dapat Sean lihat Heera yang sedang mengigit bibir bawahnya, gadis itu sedang menahan isaknya aga
Sean berdiri di depan pagar hitam yang menjulang tinggi. Sean ingin menepati janjinya kepada Prima kemarin, tapi secara bersamaan Sean juga mengingkari janji yang ia buat kepada Heera.Pria yang saat ini memakai setelan kasual itu menundukan kembali pandangannya, membaca ulang alamat yang kemarin Prima berikan. Benar, ia tidak salah alamat. Tapi, mengingat selama ini Heera banting tulang sendirian sementara Ayahnya tinggal di rumah mewah berlantai dua membuat Sean sedikit tidak percaya kalau ada seorang Ayah yang setega itu membiarkan putrinya bekerja keras sendiri.Tak ingin membuang banyak waktu, Sean segera memencet bel. Tak lama kemudian keluar seorang pria memakai seragam hitam, ia menatap Sean dari atas sampai bawah lebih dulu sebelum membuka suaranya."Nyari siapa, mas?""Benar ini rumahnya Pak Juni?" Sean berbalik tanya."Iya, benar."Mendengar jawaban pria itu, Sean terkekeh, ia menggelengkan kepalanya
Sean tidak dapat mengedipkan matanya melihat Heera memakai kebaya putih lengkap dengan aksesoris pengantin lainnya sedang berjalan ke arahnya sambil di gandeng Rahel dan Keenan di tangan kanan dan kiri. Dapat Sean lihat dari wajah full make-up itu Heera menahan senyumnya, gadis itu menunduk malu ketika mendengar bisik-bisik para tamu undangan yang memujinya cantik. Sean saja sampai pangling melihatnya. Ijab kobul dan doa sudah di panjatkan, beberapa menit lalu mereka sudah sah menjadi sepasang suami istri di mata agama dan hukum. Rasa senang di hati Sean saat ini tidak ada yang bisa menandingi. Pria itu bahkan sampai menitikkan air mata bahagianya memandang Keenan yang tersenyum lebar saat menuntun Heera berjalan menuju ke arahnya. Meski sebelumnya ia pernah menikah dua kali, tapi Sean hanya merasakan benar-benar menikah di sini. Hatinya merasa bahagia karena m
"Mas, kalau aku jadi ibu rumah tangga aja gimana?" Heera yang sedang menyenderkan kepalanya di bahu kokoh Sean tiba-tiba berkata, membuat Sean yang semula fokus pada layar televisi di depannya praktis menoleh. "Mas tidak keberatan sama sekali, Ra." jawab Sean dengan segaris senyum yang perlahan terlukis di wajah tampannya. Sudah satu bulan sejak kelulusan Heera, dan sampai saat ini Heera masih mempertimbangkan kemana gelar yang ia dapatkan itu akan dibawa. Sean sudah menawarkan Heera untuk bekerja di perusahaan milik keluarganya. Bekerja di perusahaan besar milik keluarga Rangadi adalah impian Heera sejak dulu, tapi sekarang situasinya berbeda. Heera sudah menjadi seorang istri dan ibu untuk Keenan, hal itu membuat Heera dilema. Mengingat bagaimana perjuangannya untuk mendapatkan gelar sarjana yang tidak mudah menghasut pikiran Heera untuk menerima tawaran dari Sean, setidaknya ia harus mencicipi kursi perusahaan besar sebagai hadiah atas dirinya sendiri karena s
"Pintar anak bunda dapat peringkat dua!" Heera mengacak penuh bangga puncak kepala Keenan. Membuat Keenan yang semula murung karena gagal menempati peringkat pertama kini tersenyum. Keenan kira Heera akan kecewa padanya karena peringkatnya turun satu tingkat. "Aku hebatkan, Bun?" tanya Keenan yang segera Heera angguki. "Hebat dong, kan anaknya bunda." senyum Keenan semakin terbentang lebar mendengarnya. "Nanti kita kasih tau ke Ayah ya, ayah pasti seneng kalau tau kamu dapat peringkat dua." lanjut Heera membuat senyum cerah Keenan perlahan menyurut. "Nanti kalau ayah marah bagaimana? Ayah pasti marah karena aku turun peringkat." lirih Keenan, raut wajahnya langsung berubah drastis. Hal itu membuat Heera langsung mengusap pundak Keenan dan melempar senyum terbaiknya. "Gak kok, ayah gak akan marah." Sebenarnya, Heera tahu kalau Sean akan marah setelah mengetahui kalau peringkat anaknya itu menurun. Tapi bagaimana pun, usaha Keenan harus diberi a
"Cantik ya istrinya Sean," Heera tersenyum malu, lantas menunduk sopan kepada Mira -Teman Lucia- yang baru saja memujinya. "Kalau kata Keenan, Ayahnya cuma suka sama cewek cantik. Cantik hati dan parasnya, seperti Heera." timpal Lucia menambahi, semakin membuat Heera menunduk dalam."Sudah isi belum?" tanya Mira tiba-tiba. Lucia menatap Heera dengan wajah tak enak hati. Ia tahu pertanyaan Mira mungkin mengganggu anak menantunya itu. "Belum. Masih mau fokus mengurus Keenan dulu, Tan." jawab Heera tersenyum kalem. Mira manggut-manggut, "Anak saya dulu belum sebulan nikah sudah hamil. Sekarang anaknya udah tiga, jaraknya cuma beda satu tahun." curhat Mira. "Memang sih kalau anaknya banyak istrinya jadi lebih repot, tapi keluarga mereka tambah seru lho karena banyak anggotanya." imbuhnya diakhiri tawa renyah.Tangan Lucia terulur dan jatuh dipunggung sempit Heera, mengusap lembut di sana. "Maklum bu, Heera masih muda. M
"Sayang, you okay?" Sean bertanya khawatir kepada Heera yang meringkuk bak janin di sampingnya. Disentuhnya pundak telanjang Heera yang berkeringat dingin, sepasang mata Sean yang sayup-sayup terbuka seketika langsung sepenuhnya terjaga melihat wajah sang istri yang pucat dan banjir keringat. Tangan Heera mencengkram lemas lengan Sean, sementara satu tangannya memegangi perutnya. "Aku mens," lirih Heera tampak kesakitan. Punggung tangan Sean jatuh di kening Heera, mengusap keringat istrinya sebelum menyibak selimut dan melihat banyak darah menodai seprai. "Maaf..." lirih Heera lagi penuh sesal. Heera mencoba menegakan tubuhnya, tapi tidak bisa karena nyeri yang menjalar di perutnya luar biasa mencengkram. Sean menggeleng, mengecup telapak tangan Heera sesaat sebelum menggotong badan mungil Heera dan memindahkannya ke sofa panjang di sudut ruangan. Langkah cepat Sean berjalan menuju lemari pakaian, mengambil celana milik Heera berserta dalaman, tak lup
"Kita gak pernah bertemu, tapi kamu mengenali saya." Sean tersenyum tipis. Saat ini ia sedang berbicara empat mata dengan Juni di salah satu kafe yang jaraknya tidak jauh dari sekolah Keenan. Sebenarnya, Sean sudah menolak ajakan Juni karena ia khawatir meninggalkan Heera sendirian di rumah, tapi Juni memohon dan meminta waktu Sean. Karena sungkan, Sean tidak ada pilihan lain. "Tidak mungkin saya tidak mengenal mertua saya sendiri," jawab Sean. Ia memang tidak pernah bertemu langsung dengan Juni, tapi bukan Sean namanya kalau tidak bisa mendapatkan informasi orang-orang yang berhubungan dengan Heera. Kalau sekedar mencari identifikasi Juni saja dalam satu menit pun bisa Sean dapatkan."Satu minggu lalu saya bertemu Heera saat sedang mengambil rapot untuk Keenan." ujar Juni membuat Sean tak bergeming. Heera tidak mengatakan apapun tentang hal itu. "Jadi, Keenan anak kalian?" imbuh Juni dengan kerut yang tercetak di keningnya. "Tapi, setahu saya
"Masih sakit perutnya, Sayang?"Heera yang sedang memainkan ponselnya di atas ranjang spontan menoleh dan mendapati Sean yang baru saja memasuki kamar. "Udah gak sesakit tadi," jawab Heera seraya meletakan ponselnya. Atensinya kini terfokus penuh pada Sean yang baru saja merebahkan badannya disamping sang istri. Tangan Sean bergerak, menyelinap masuk ke dalam piyama Heera lalu mengusap-usap hangat perut istrinya itu. "Syukurlah," katanya. "Mas mau nanya boleh?" sambung Sean membuat Heera mengernyitkan keningnya. "Nanya apa, Mas?" "Kamu pernah ketemu Ayah kamu di sekolah Keenan?" to the point. Sean tidak ingin ada rahasia diantara ia dan Heera. Meski Sean tahu Heera sedang berusaha menutupi hal ini darinya.Heera diam sesaat, seakan tertangkap basah rahasianya. Tapi dengan ragu cewek itu mengangguk, lengkap dengan wajah penuh sesalnya. "Iya. Tapi Ayah seperti gak kenal aku." lirih Heera tersirat kesedihan. Ia masih ingat bagaimana sikap Juni ketika bertemu dengannya dan Keenan beb