“Sudah dari tadi, Diba?” tanya mertuaku begitu tiba rumah. “Oh belum, Bu. Kamu baru tiba.” Perempuan berparas cantik itu berdiri menghampiri ibu, menyalaminya dengan takjim. “Ibu apa kabar?” lanjutnya bertanya.“Allhamdulilah baik nak.” Ibu mengusap pundak mantan menantunya itu. “Udah ayo duduk. Dinikmatin ya kue-kuenya.”Adiba mengangguk. “Aku senang mendengar Ibu sekarang jauh lebih sehat.”“Iya, karena sekarang ibu jadi rutin kontrol. Apalagi menantu ibu juga seorang dokter, jadi seperti terpantau sekali, nak Diba.” Ibu melirik ke arah Pandu — suaminya Ria.“Oh iya aku lupa.” Adiba beralih menatap Khanza yang tampak. “Apa sayang?” tawarnya ketika putrinya itu menunjuk ke arah makanan. “Mamamam...”“Oh maem. Bunda ambillah ya.” Dia mengambil satu kue kering diberikannya pada Khanza.“Sudah besar ya Khanza. Sama nenek mau tidak.” Ibu mengulurkan tangannya menggendong Khanza. Tampak wajahnya berbinar terang, ia terlihat begitu bahagia. Ada rasa haru yang ku lihat. Berkali-kali ku l
Jakarta, lima tahun kemudian.“Saya pikir yang seperti ini lebih baik, Pak.”“Coba ku lihat.” Mas Ravi mengambil dokumen dari rekannya, menelitinya. “Oh oke, aku setuju."“Baiklah kalau Pak Ravi setuju.” Laki-laki itu mengambil kembali dokumennya. “Saya permisi ya, Pak.”“Lho kok buru-buru? Istri saya sedang masak.”Laki-laki itu tertawa kecil. “Haduh sebelumnya terima kasih banyak, Pak. Tadi saya sudah janji mau makan bareng sama istri di rumah. Nanti kalau saya sudah kenyang kasihan dia menunggu.”“Aku mengerti.”Sepeninggal lelaki itu, aku melanjutkan langkahku mengantarkan minuman jahe pada suamiku. “Ini, Pa. Segera diminum ya. Nanti keburu dingin gak enak.”Dia mengambil alih gelas dari tanganku, lalu menyesapnya pelan. “Gak ada yang gak enak kalau disentuh kamu. Karena sudah ditambah bubuk cinta.”“Gombal!” selorohku mencubit perutnya, membuat ia meringis pelan. “Sudah tua masih suka gombal.”“Lho lho... Usia itu hanyalah angka. Soal stamina masih okelah. Kamu gak boleh meraguk
POV Thalita AnggraeniBias hujan memantul dari rerumputan pemakaman. Aku menatap penuh kerinduan pada gundukan tanah dengan nisan bertuliskan Ardani Idris bin Bapak Danang. Kadang masih berpikir bahwa semua ini hanya mimpi. Meski ini sudah lima tahun sejak kepergian Mas Dani meninggalkanku dengan kembali ke pangkuan sang maha kuasa. Angin semilir memberikan rasa dingin di ujung senja. Aku melirik ke arah gadis kecil yang berada di sisiku. Fahira Azizahra Idris — putriku dengan mendiang Mas Dani yang saat ini tengah berusia empat tahun. Ya, setiap tahun aku akan ziarah ke makamnya. Suamiku meninggal karena kecelakaan, meninggalkan aku yang saat itu tengah mengandung Fahira tujuh bulan. Dialah sosok lelaki istimewa menurutku, hingga meski tahun telah berganti aku tidak pernah ada niat untuk segera mencari penggantinya. “Memang tidak pernah ada yang tahu kapan ajal akan menjemput. Hanya saja kepergianmu yang ku rasa begitu tiba-tiba, seolah meninggalkan luka untukku.” Aku mengambil seg
Pov Thalita“Dek...”Kedua mataku terkejut melihat lelaki yang delapan tahun yang lalu pernah mengisi hatiku, kini berada di depanku. Tatapannya terlibat teduh, sepasang alis hitamnya menyatu, dengan bola mata hitam yang terang. “Maaf,” ujarku yang langsung menarik pergelangan tanganku, yang tak sengaja di genggam olehnya, dengan salah tingkah. “Cie.... Cie...” Goda Mas Pram dan Mbak Atika yang berada di atas pelaminan.“Apaan sih, Mas.” Aku mendengus sebal tak mempedulikan tatapan Mas Ravi padaku. “Aku akan ambil sapu untuk membereskan pecahan gelas ini,” lanjutkan yang berlalu pergi, tak mempedulikan panggilan Mas Ravi padaku. Mengerti jika aku tidak ingin diganggu, Mas Ravi pun berlalu naik ke pelaminan memberikan ucapan pada Mas Pram. Aku seakan dibuat lupa hubungan Mas Ravi dan Mas Pram, mereka adalah teman semasa sekolah, tentu saja Mas Ravi akan datang di acara nikahan Mas Pram. Kalau sudah begini, aku seakan menyesal menyanggupi kemauan Ibu untuk datang. Seharusnya aku diam
POV ThalitaPada akhirnya aku kembali duduk, dalam beberapa detik kami hanya sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Aku enggan membuka suara. Pikiranku mengembara pada kejadian delapan tahun yang lalu. “Apa yang ingin kamu katakan pada Mas, Dek?” tanya Ravi lembut padaku. Tangannya bergerak meraih surai hitamku yang berterbangan karena tertiup angin, lalu menyelipkan ke daun telinga. Saat ini kami berada di Monas, tepatnya kami duduk di salah satu kursi panjang. Ku tatap wajah lelaki yang baru beberapa bulan ini dekat denganku dengan senyum masam. Menahan air mata yang ingin tumpah dari kedua sudut mataku. Rasanya aku tidak akan sanggup untuk mengatakan niatku. “Dek...” panggilnya lagi. “Kenapa hanya diam? Apakah ada masalah? Katakan pada Mas? Ceritakan pada mas.”Mendengar perhatiannya yang begitu tulus padaku. Rasanya membuat dadaku terasa sesak. Hingga akhirnya bulir air mata yang sejak tadi aku tahan pun luruh juga. Aku menangis, spontan dia menarik tubuhku ke dalam dekapannya
POV ThalitaAku buru-buru menghapus sudut air mataku, dan mengabaikan sapu tangan yang diberikan Mas Ravi. “Tidak ada peletnya di sapu tangan ini. Kenapa mesti takut?” tanyanya setengah mengejek diriku. Aku sontak menoleh ke arahnya menatapnya dengan kesal. “Aku tidak mengatakan demikian,” bantahku sedikit kesal. Kenapa dia selalu mencari perkara agar bisa ribut denganku. “Tapi sikapmu seolah menunjukkan hal itu,” kekeh Mas Ravi tak ingin disalahkan. Ia tersenyum tipis seraya mengangkat alisnya, tak memperdulikan aku yang menatapnya dengan geram, entah dia sengaja ingin membuatku kesal atau bagaimana. “Itu hakku!” tegasku lalu memalingkan wajah ke arah lain. Dia terkekeh kecil, menghela napas sebelum kemudian menjawab. “Ya kamu memang tidak pernah salah. Kamu mempunyai hak apapun tentang dirimu. Bahkan memutuskanku secara sepihak dengan alasan yang tak jelas itu juga hakmu. Bukan begitu Nona Thalita Anggraini?”“Ck!” Aku berdecak malas ke arahnya. “Sebenarnya yang kamu inginkan
POV Thalita Hari berlalu setelah kembali dari kampung, aku kembali pada aktivitasku seperti biasa. Usai mengantar Hira ke sekolah, aku langsung bertolak ke kantor tempatku bekerja. Aku memarkirkan motorku di tempat parkir.“Selamat pagi, Mbak Lita.” Pak Jono selaku tukang parkir menyapa.“Pagi juga, Pak.” Aku melepaskan helmku dan meletakkan di atas spion motorku. Kemudian tanganku beralih mengambil kantong kresek yang berisi oleh-oleh dari kampung. “Lita.” Langkahku terhenti ketika ada suara yang memanggil namaku. Sontak aku berbalik dan melihat Pak Yusuf menghampiriku, tangannya tampak menenteng kantong kresek berwarna putih. “Selamat Pagi, Pak.” Aku menyapanya dengan sopan mengingat posisi dia adalah atasanku. Ya dia merupakan manager operasional sedangkan aku hanya bagian customer service. “Ah, kamu Lita. Masih kaku saja.” Pak Yusuf melihat arloji di tangannya. “Belum masuk jam kerja. Panggilanmu udah formal saja. Coba sekali-kali panggil Mas gitu kan kedengarannya enak, k
Aku menghela napas berulang kali, mengenyahkan perasaan gugup dan kesal yang tiba-tiba mendera. Sadar jika saat ini adalah jam kerja. Dia adalah nasabahku, dan aku tentu harus profesional melayaninya dengan sepenuh hati. “Selamat siang, ada yang bisa saya bantu, Pak.” Aku menyapanya dengan ramah dan penuh sopan santun seperti aku menyapa nasabahku pada umumnya.“Siang juga.” Mas Ravi membalasnya lalu menegapkan badannya. “Kebetulan saya ingin membuat deposito. Bisakah Nona Thalita membantu saya?”“Bisa. Apakah sudah tahu persyaratannya?” “Tentu saja.” Mas Ravi mengeluarkan dokumen yang sudah ia bawa. “Kebetulan saya juga belum mempunyai rekening bank ini. Jadi, harus buat rekening dulu kan?”“Iya, Pak.”Aku menyiapkan beberapa formulir yang harus ia isi. Sejujurnya, jika hanya ingin rekening aku yakin ia pun tahu dan paham jika semua itu bisa dilakukan online, tapi aku tidak ingin tahu hal itu. Aku tetap melayaninya seperti pada umumnya. Menunjukkan apa saja yang harus ia isi serta