Share

Bab 7

Author: Jingga Amelia
last update Last Updated: 2025-01-20 20:45:32

"Enak saja! Suamiku kerja keluar negeri itu buat aku sama Bara," tandas Mbak Rita ketika aku menyinggung lagi soal suaminya.

"Berarti Ibu nggak penting dong buat Mbak Rita? Buktinya perhitungan." Kutatap iparku itu dengan senyum miring.

Suasana semakin tak kondusif, tapi aku suka dengan situasi ini karena memang inilah yang kutunggu-tunggu selama ini. Selama lima tahun ini, aku tak pernah berani melawan karena takut dengan sikap dingin suamiku jika aku membangkang, tapi sekarang tidak lagi.

Kenapa aku harus takut jika dia saja tak pernah memberiku kesempatan untuk mengutarakan apa yang kurasakan? Bahkan dia juga tak pernah mengindahkan apa yang kuceritakan kepadanya. Baginya, semua sikap Ibu dan Mbak Rita selalu dianggap benar olehnya.

"Diana!" bisik Mas Lukas membuatku lantas meliriknya singkat.

"Kita kan sama-sama tinggal di rumah ini, kenapa harus ada perbedaan, Mas? Bukankah kita harus sama rata untuk membahagiakan Ibu?" Kutatap ibu mertuaku itu, tapi ia lantas memalingkan wajah.

Sebenarnya aku bukan bermaksud mencari muka atau durhaka karena mentang-mentang sudah memiliki tabungan seratus juta. Hanya saja aku memang menginginkan hal ini sejak dulu, yaitu keadilan.

Meskipun suami Mbak Rita bekerja di luar negeri dan aku yakin gajinya besar, tapi ia sama sekali tidak pernah keluar uang untuk kebutuhan rumah ini. Yang ia lakukan hanya belanja untuk kebutuhannya sendiri dan jajan Bara, selain itu Mas Lukas lah yang memikirkan. Padahal semua orang di rumah ini tahu jika Mas Lukas hanya bekerja sebagai buruh bangunan dan itupun terkadang tak ada pekerjaan.

"Bukankah memang seharusnya anak lelaki yang lebih wajib membahagiakan dan menanggung hidip Ibu sampai tua?" ucap Mbak Rita mencari pembelaan.

Ibu mengangguk, tapi Mas Lukas hanya terdiam dengan menundukkan kepalanya. Huda dan Bara sudah selesai makan sejak tadi, mereka lantas berhambut ke depan televisi. Jika sedang tak berdebat, keduanya akan sangat akur bak saudara sekandung. Tak seperti kami para orangtua yang selalu saja terlibat perdebaan.

"Iya memang benar, anak lelaki itu berkewajiban mengurus Ibu sampai beliau tua. Tapi Ibu, bukans saudara-saudaranya," tandasku dengan penuh penekanan.

Mbak Rita tampak geram. Ia memandangku dengan tajam, lalu berdiri dengan setengah menggebrak meja.

"Tak berselera!" katanya kasar sembari meninggalkan meja makan.

Tak berselang lama, Ibu pun juga bangkit dan meninggalkan meja makan pula. Aku tahu beliau sangat memanjakan Mbak Rita, dan pasti saat ini beliau pun tak terima dengan perkataanku. Padahal apa yang kukatakan adalah kebenaran, kan?

"Kamu keterlaluan, Diana." Hardik Mas Lukas lagi dengan memandangku lekat.

Aku hanya menghela nafas panjang, karena sikapnya yang seperti ini sudah kuprediksi belum berujar. Benar saja, kan? Mas Lukas akan memarahiku, dan bahkan setelah ini dia pasti akan mendiamkanku.

Sebenarnya aku tak bermaksud membangkang kepada suami. Hanya saja sekarang aku ingin memberinya sedikit pelajaran agar bisa sedikit saja berfikir mengenai perasaanku.

Selama lima tahun pernikahan kami, sedikitpun aku tak pernah memiliki tabungan. Bahkan mas kawin yang ia berikan saja sudah diminta lagi dengan dalih Ibu lebih membutuhkan uang itu daripada aku yang memakai cincinnya.

Setiap malam aku tak berhenti berdoa, agar sikap Ibu dan Mbak Rita berubah. Terlebih sikap Mas Lukas yang terlihat masa bodoh kepadaku. Tak henti-hentinya aku memohon pada Sang Pencipta untuk membukakan hati nuraninya. Namun rupanya, sampai saat ini doa-doaku belum terjawab sedikitpun.

Sabar, adalah kunciku menjalani hidup selama ini. Aku yakin jika suatu saat nanti kehidupanku bisa berubah dan kebahagiaan bisa menyertaiku. Meskipun saat ini aku masih harus berjuang untuk mendapatkan kebahagiaan itu.

"Keterlaluan? Aku, Mas?" 

Sekarang rasa sabarku itu mulai terkikis. Wanita mana yang terima dengan perilaku yang seperti ini?

Kedua orangtuaku sudah membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Mereka memberikan semua yang terbaik untukku, dan yang terpenting adalah mereka menginginkan kebahagiaan untukku setelah menikah. Namun apa yang kudapat? Justru kemalangan yang kuterima.

Kulihat Mas Lukas sudah semakin tersulut emosi, memang tak biasanya aku membangkang seperti ini. Namun apa hidup harus selalu mengalah? Aku tahu Tuhan tak pernah tidak adil, tapi aku juga wajib mempertahankan harga diriku ketika suamiku sendiri sudah tak bisa menjaganya.

"Jika kamu berkata demikian, maka pikirkan baik-baik tentang apa yang sudah terjadi di rumah ini." Aku berdiri, hendak meninggalkannya yang masih ada di depan piringnya.

"Dan, ya ... Jika kamu merasa ingin jadi anak yang berbakti dan membahagiakan orangtuamu, maka turutilah apa yang diinginkan ibumu," tandasku lagi ketika baru berjalan selangkah.

Sengaja, aku meninggalkan meja makan yang masih dalam keadaan berantakan. Meskipun perutku kenyang tapi hatiku sangat kacau, tak ada satupun yang bisa mengerti bagaimana rasanya menjadi aku di rumah ini.

Dan lagi, aku juga tidak tahu apa yang membuat mereka bisa bersikap seperti ini kepadaku. Salah apa yang kubuat hingga mereka bisa bersikap semena-mena seperti ini.

..

Hari semakin malam, sampai Huda tidur pun Mas Lukas tak kunjung masuk ke dalam kamar. Mungkin dia masih marah denganku karena aku menjadi pembangkang seperti ini. Selama ini aku berusaha menjadi istri yang baik dan penurut. Sedikitpun aku tidak pernah membangkang, dan baru sekali ini aku seberani ini.

Kedua mataku sudah tak bisa diajak berkompromi. Rasanya tak perduli lagi meski Mas Lukas tak kunjung masuk ke dalam kamar. Aku sudah ingin tidur.

Namun, baru saja aku hendak memejamkan mata suara Mas Lukas masuk ke dalam kamar.

"Dek, kamu sudah tidur?"

Manis sekali kata-katanya? Aku kira dia akan marah seperti biasanya ketika aku menggerutu padanya soal Ibu 

"Ada apa, Mas?" jawabku singkat.

"Em ... Maaf kalau tadi aku terlalu kasar padamu. Niatku tak seperti itu. Tapi jika kamu berkenan aku ingin meminjam uangmu dulu untuk merenovasi dapur."

Kedua mataku membola, aku kira dia bersikap baik karena memang menyesal. Namun rupanya tujuannya masih saja sama dan dia juga belum menyerah ingin meminta uang itu padaku. Andai dia tahu, uangku tak hanya dua puluh juta, melainkan seratus juta mungkin dia akan semakin gencar memerasku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
wanita bodoh kayak gini cuma ada di imajinasi penulis kampungan.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Masakan Mertua   Bab 16

    Waktu terus berjalan, kabar tentang Tania yang meninggalkan kota juga sudah sampai di telingaku. Meskipun masih ada sedikit kekhawatiran di hatiku, aku berusaha mempercayai keputusan Pak Arya.Hubungan kami kembali berjalan seperti semula. Bahkan, kini aku merasa ada lebih banyak kejujuran dan keterbukaan dari Pak Arya. Sedangkan aku juga selalu berkata jujur padanya agar tidak lagi.Namun, di tengah kebahagiaanku itu, kabar lain mulai tersebar. Kabar soal Mas Lukas dan keluarganya cukup membuat perhatianku teralihkan. Ternyata, selama ini keluarga Lukas memiliki banyak utang di bank. Karena gagal melunasi cicilan, semua aset mereka disita. Rumah mereka dijual, beberapa barang berharga mereka diambil alih, dan mereka akhirnya harus pindah keluar kota.“Diana, kamu tahu tentang keluarga Mas Lukas? Semua asetnya disita bank. Katanya, Mbak Rita punya pinjaman besar yang tak bisa mereka bayar. Sekarang mereka pindah ke luar kota,” kata salah satu pelanggan yang kebetulan sedan makan di k

  • Masakan Mertua   Bab 15

    Beberapa hari berselang, suasana sibuk mulai menyita pikiranku. Mawar sedang sibuk membungkus pesanan nasi kotak, dan beberapa karyawan lain sibuk dengan pelanggan.Aku berusaha menenangkan diri dan memfokuskan perhatian pada pekerjaan. Apa yang terjadi kemarin aku anggap hanya angin lalu yang tak perlu aku pikirkan. Namun, pikiranku terus melayang-layang, kembali ke wajah perempuan yang beberapa hari yang lalu sempat merusak suasana hatiku. Ada sesuatu tentang cara bicaranya—entah itu rasa cemburu, kebencian, atau mungkin sekadar keputusasaan—yang membuatku merasa harus menyelidiki lebih jauh.Sebenarnya aku ingin sekali percaya pada Pak Arya. Aku lihat sorot keseriusan dalam matanya. Namun tetap, dalam sudut hatiku masih ada sedikit keraguan. Sore itu, setelah semua pesanan selesai, aku duduk di kursi dekat jendela sambil menyeruput teh hangat. Ponselku berdering lagi. Kali ini pesan dari Pak Arya.[Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Bisa kita bertemu malam ini?]Aku menarik na

  • Masakan Mertua   Bab 14

    Aku kembali ke kedai dengan kepala yang penuh pertanyaan. Siapa wanita itu? Apa benar dia kekasih Pak Arya? Ataukah ini hanya upaya untuk menjatuhkanku seperti yang sering terjadi sebelumnya?Helaan napas panjang keluar dari bibirku saat aku membuka pintu kedai, aroma kopi dan makanan menyapa hangat, tapi hatiku tetap bergemuruh.Selama ini aku memang tak pernah mendengar desas-desus apapun perihal Pak Arya. Kabarnya tenang, tak ada berita tentang kehidupannya. Mungkin ia sengaja menyembunyikan apapun yang berhubungan dengan masalah pribadinya. Mengingat bahwa dia adalah seorang kepala desa yang mana harus tetap mempertahankan wibawanya. "Ada apa, Mbak? Mukanya kusut begitu," tanya Mawar sambil menata beberapa gelas di rak.Aku menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, cuma lagi banyak pikiran," jawabku singkat, karena aku belum ingin bercerita kepada siapapun perihal ini. Terlebih sebelum aku menanyakan langsung pada Pak Arya. Siapa tau, apa yang wanita itu katakan dan apa yang aku pikirka

  • Masakan Mertua   Bab 13

    "Kamu mau menikah?" tanya Mas Lukas yang tiba-tiba menghadangku di tengah jalan. Kebetulan hari ini aku tidak bawa mobil jadi ikut angkutan umum dan turun lumayan jauh dari kedai. Aku terkejut karena tiba-tiba Mas Lukas ada di depanku. Apakah ia memang sudah mengikutiku atau hanya kebetulan saja."Em, belum. Kenapa?"Mas Lukas tersenyum miring dan melirikku tajam. "Bohong," ujarnya dingin.Aku hanya menghela nafas panjang, lalu membalas tatapan elangnya. Memang begitu Mas Lukas sejak dulu. Jika ada yang ia tak suka dariku, pasti ia akan menatapku seperti itu. "Benar ataupun tidak, memangnya kenapa? Ada masalah apa denganmu, Mas?""Aku tidak rela jika Huda memiliki ayah baru."Mulutku menganga, "lantas?""Kamu tahu yang aku maksud dan jangan berbelit-beli, Diana."Aku terkekeh kecil, Mas Lukas memang pandai bergurau. Namun kali ini aku tidak berniat bergurau soal ini. Seharusnya dia sudah tidak berani menampakkan wajahmya di depanku, terlebih sejak kejadian Mbak Rita kemarin. Namun

  • Masakan Mertua   Bab 12

    Udara pagi ini terasa sejuk dengan mentari pagi menyapa lembut dedaunan yang berembun. Biasanya aku tak bersemangat ini jika hendak ke kedai. Namun hari ini aku terlihat sangat bersemangat. “Selamat pagi, Mbak Diana” sapa Pak Arya ramah membuatku terkejut. Bagaimana bisa sepagi ini dia sudah sampai di kedai. Biasanya dia dan anaknya datang pukul sembilan atau sepuluh. Aku membalas senyumnya, mencoba menyembunyikan debar di dadaku. “Selamat pagi, Pak Arya. Pagi, Aira,” balasku, tak lupa mengusap lembut kepala gadis kecil itu.Setelah beberapa menit berbasa-basi, aku akhirnya menarik napas panjang dan berkata, “Pak Arya, saya ingin bicara serius mengenai apa yang Bapak sampaikan kemarin.”Wajah Pak Arya berubah serius namun tetap lembut. Ia menatapku dengan penuh perhatian. “Tentu. Apa yang ingin kamu sampaikan?” jawabnya membuatku takut dan hendak mengurungkan niatku. Aku merapatkan kedua tanganku di atas meja, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Saya sudah memikirkan apa yang

  • Masakan Mertua   Bab 11

    Malam itu, setelah Aira bertanya dengan polosnya tentang "ibu baru," pikiranku dipenuhi banyak hal. Aku tahu, waktunya sudah tiba untuk berbicara dengan Huda. Sebagai anakku, pendapatnya sangat berarti. Aku tak ingin mengambil langkah besar tanpa memastikan bahwa Huda merasa nyaman dengan perubahan ini.Setelah makan malam, kami duduk di ruang tamu. Huda sedang menggambar sesuatu di buku gambarnya, seperti biasa. Aku duduk di sampingnya, merapikan rambutnya yang mulai panjang."Huda, Ibu mau ngomong sesuatu sama kamu," kataku pelan.Dia mengangkat wajahnya, tersenyum kecil, dan meletakkan pensilnya. "Apa, Bu?"Aku mengatur napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Kamu tahu kan, sekarang kita sering ketemu sama Pak Arya dan Aira?"Huda mengangguk dengan semangat. "Iya, Ma. Aku suka main sama Aira. Dia lucu, nggak seperti anak-anak lain yang suka ganggu."Aku tersenyum, lega mendengar antusiasmenya. "Bagaimana menurut kamu tentang Pak Arya? Mama lihat kamu juga sering ngobrol sama

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status