"Enak saja! Suamiku kerja keluar negeri itu buat aku sama Bara," tandas Mbak Rita ketika aku menyinggung lagi soal suaminya.
"Berarti Ibu nggak penting dong buat Mbak Rita? Buktinya perhitungan." Kutatap iparku itu dengan senyum miring.
Suasana semakin tak kondusif, tapi aku suka dengan situasi ini karena memang inilah yang kutunggu-tunggu selama ini. Selama lima tahun ini, aku tak pernah berani melawan karena takut dengan sikap dingin suamiku jika aku membangkang, tapi sekarang tidak lagi.
Kenapa aku harus takut jika dia saja tak pernah memberiku kesempatan untuk mengutarakan apa yang kurasakan? Bahkan dia juga tak pernah mengindahkan apa yang kuceritakan kepadanya. Baginya, semua sikap Ibu dan Mbak Rita selalu dianggap benar olehnya.
"Diana!" bisik Mas Lukas membuatku lantas meliriknya singkat.
"Kita kan sama-sama tinggal di rumah ini, kenapa harus ada perbedaan, Mas? Bukankah kita harus sama rata untuk membahagiakan Ibu?" Kutatap ibu mertuaku itu, tapi ia lantas memalingkan wajah.
Sebenarnya aku bukan bermaksud mencari muka atau durhaka karena mentang-mentang sudah memiliki tabungan seratus juta. Hanya saja aku memang menginginkan hal ini sejak dulu, yaitu keadilan.
Meskipun suami Mbak Rita bekerja di luar negeri dan aku yakin gajinya besar, tapi ia sama sekali tidak pernah keluar uang untuk kebutuhan rumah ini. Yang ia lakukan hanya belanja untuk kebutuhannya sendiri dan jajan Bara, selain itu Mas Lukas lah yang memikirkan. Padahal semua orang di rumah ini tahu jika Mas Lukas hanya bekerja sebagai buruh bangunan dan itupun terkadang tak ada pekerjaan.
"Bukankah memang seharusnya anak lelaki yang lebih wajib membahagiakan dan menanggung hidip Ibu sampai tua?" ucap Mbak Rita mencari pembelaan.
Ibu mengangguk, tapi Mas Lukas hanya terdiam dengan menundukkan kepalanya. Huda dan Bara sudah selesai makan sejak tadi, mereka lantas berhambut ke depan televisi. Jika sedang tak berdebat, keduanya akan sangat akur bak saudara sekandung. Tak seperti kami para orangtua yang selalu saja terlibat perdebaan.
"Iya memang benar, anak lelaki itu berkewajiban mengurus Ibu sampai beliau tua. Tapi Ibu, bukans saudara-saudaranya," tandasku dengan penuh penekanan.
Mbak Rita tampak geram. Ia memandangku dengan tajam, lalu berdiri dengan setengah menggebrak meja.
"Tak berselera!" katanya kasar sembari meninggalkan meja makan.
Tak berselang lama, Ibu pun juga bangkit dan meninggalkan meja makan pula. Aku tahu beliau sangat memanjakan Mbak Rita, dan pasti saat ini beliau pun tak terima dengan perkataanku. Padahal apa yang kukatakan adalah kebenaran, kan?
"Kamu keterlaluan, Diana." Hardik Mas Lukas lagi dengan memandangku lekat.
Aku hanya menghela nafas panjang, karena sikapnya yang seperti ini sudah kuprediksi belum berujar. Benar saja, kan? Mas Lukas akan memarahiku, dan bahkan setelah ini dia pasti akan mendiamkanku.
Sebenarnya aku tak bermaksud membangkang kepada suami. Hanya saja sekarang aku ingin memberinya sedikit pelajaran agar bisa sedikit saja berfikir mengenai perasaanku.
Selama lima tahun pernikahan kami, sedikitpun aku tak pernah memiliki tabungan. Bahkan mas kawin yang ia berikan saja sudah diminta lagi dengan dalih Ibu lebih membutuhkan uang itu daripada aku yang memakai cincinnya.
Setiap malam aku tak berhenti berdoa, agar sikap Ibu dan Mbak Rita berubah. Terlebih sikap Mas Lukas yang terlihat masa bodoh kepadaku. Tak henti-hentinya aku memohon pada Sang Pencipta untuk membukakan hati nuraninya. Namun rupanya, sampai saat ini doa-doaku belum terjawab sedikitpun.
Sabar, adalah kunciku menjalani hidup selama ini. Aku yakin jika suatu saat nanti kehidupanku bisa berubah dan kebahagiaan bisa menyertaiku. Meskipun saat ini aku masih harus berjuang untuk mendapatkan kebahagiaan itu.
"Keterlaluan? Aku, Mas?"
Sekarang rasa sabarku itu mulai terkikis. Wanita mana yang terima dengan perilaku yang seperti ini?
Kedua orangtuaku sudah membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Mereka memberikan semua yang terbaik untukku, dan yang terpenting adalah mereka menginginkan kebahagiaan untukku setelah menikah. Namun apa yang kudapat? Justru kemalangan yang kuterima.
Kulihat Mas Lukas sudah semakin tersulut emosi, memang tak biasanya aku membangkang seperti ini. Namun apa hidup harus selalu mengalah? Aku tahu Tuhan tak pernah tidak adil, tapi aku juga wajib mempertahankan harga diriku ketika suamiku sendiri sudah tak bisa menjaganya.
"Jika kamu berkata demikian, maka pikirkan baik-baik tentang apa yang sudah terjadi di rumah ini." Aku berdiri, hendak meninggalkannya yang masih ada di depan piringnya.
"Dan, ya ... Jika kamu merasa ingin jadi anak yang berbakti dan membahagiakan orangtuamu, maka turutilah apa yang diinginkan ibumu," tandasku lagi ketika baru berjalan selangkah.
Sengaja, aku meninggalkan meja makan yang masih dalam keadaan berantakan. Meskipun perutku kenyang tapi hatiku sangat kacau, tak ada satupun yang bisa mengerti bagaimana rasanya menjadi aku di rumah ini.
Dan lagi, aku juga tidak tahu apa yang membuat mereka bisa bersikap seperti ini kepadaku. Salah apa yang kubuat hingga mereka bisa bersikap semena-mena seperti ini.
..
Hari semakin malam, sampai Huda tidur pun Mas Lukas tak kunjung masuk ke dalam kamar. Mungkin dia masih marah denganku karena aku menjadi pembangkang seperti ini. Selama ini aku berusaha menjadi istri yang baik dan penurut. Sedikitpun aku tidak pernah membangkang, dan baru sekali ini aku seberani ini.
Kedua mataku sudah tak bisa diajak berkompromi. Rasanya tak perduli lagi meski Mas Lukas tak kunjung masuk ke dalam kamar. Aku sudah ingin tidur.
Namun, baru saja aku hendak memejamkan mata suara Mas Lukas masuk ke dalam kamar.
"Dek, kamu sudah tidur?"
Manis sekali kata-katanya? Aku kira dia akan marah seperti biasanya ketika aku menggerutu padanya soal Ibu
"Ada apa, Mas?" jawabku singkat.
"Em ... Maaf kalau tadi aku terlalu kasar padamu. Niatku tak seperti itu. Tapi jika kamu berkenan aku ingin meminjam uangmu dulu untuk merenovasi dapur."
Kedua mataku membola, aku kira dia bersikap baik karena memang menyesal. Namun rupanya tujuannya masih saja sama dan dia juga belum menyerah ingin meminta uang itu padaku. Andai dia tahu, uangku tak hanya dua puluh juta, melainkan seratus juta mungkin dia akan semakin gencar memerasku.
Pagi harinya aku sudah bersiap-siap hendak ke rumah mertuaku. Meskipun sedikit lesu, tapi aku sudah memantapkan hatiku untuk mengakhiri ini semua.Rasa-rasanya aku hanya dijadikan sapi perah oleh mereka. Saat mereka butuh, mereka memperlakukanku dengan baik. Sikap baik mereka nyatanya tidak tulus, mereka hanya menginginkan sesuatu dariku."Waah, kamu cantik sekali," puji Mas Lukaa ketika masuk ke dalam kamar dan aku baru selesai bersolek.Huda sudah kudandani juga, tak mungkin rasanya jika aku harus meninggalkannya sendiri meski aku hendak menghadapi masalah yang tak sepele. Masa depan Huda ada digenggaman tanganku, tapi aku memilih jalan ini. Semoga saja, pilihanku tak keliru, aku akan tetap memastikan kebahagiaan untuk anak lelaki itu."Memang biasanya tidak cantik, Mas?" balasku, tapi sedikitpun aku tak berani menatap wajahnya.Bukan karena apa, aku tidak ingin hatiku bergetar lagi jika melihatnya. Rasa cintaku untuk Mas Lukas masih membuncah, tapi aku tak tahu bagaimana jalan fiki
"Mbak, gimana kabar lelaki yang kemarin merusak kedai?" tanya Pak Nias ketika aku baru sampai.Aku yang semula fokus memperhatikan beberapa pelanggan lantas menolehnya. Pak Nias merupakan orang yang sangat baik, dia bahkan memikirkan nasib kedai ini. Padahal dulu ia adalah pemilik dari tempat ini. Mungkin justru karena itulah ia sangat sayang dengan tempat ini karena dulunya ia lah yang membangun dan merintisnya daeri bawah."Dia cuma kena denda, Pak.""Lho, nggak dihukum?"Kugelengkan kepalaku, "awalnya begitu, tapi waktu aku lihat istri mudanya nangis-nangis dan mohon-mohon supaya aku bebaskan jadi iba. Akhirnya aku hanya memilih jalur damai, tapi tetap ada denda," jawabku dengan lantas mengikutinya masuk.Pak Nias hanya menganggukkan kepala. Sepertinya ia tak ingin bertanya lebih banyak, karena ia justru langsung mengambil buku yang biasa ia gunakan untuk laporan kepadaku."Pak, apa ada uang lima belas juta di kedai?" tanyaku yang sontak membuatnya terkejut."Lima belas juta?" ungk
"Lima belas juta?" tanyaku mengulangi kata-katanya.Mas Lukas mengangguk, lalu mengalihkan pandangan dariku. Entah apa yang sedang ia pikirkan, aku benar-benar sedang tak bisa menebaknya."Iya. Aku malu di ejek orang-orang. Mereka selalu mengataiku jika aku hanya menumpang hidup denganmu. Sekarang usahamu sudah maju, dan mereka semua tahu apa pekerjaanku. Aku malu, sebagai kepala keluarga tidak bisa memberimu yang terbaik."Suamiku itu memandang keluar jendela. Sebelumnya aku tak pernah melihat Mas Lukas bersikap demikian. Selama ini pun aku juga tak pernah mempermasalahkan soal pekerjaan dan penghasilan yang ia dapat."Kenapa harus begitu? Bukankah selama ini aku tak pernah mempermasalahkan soal hal itu, Mas? Bahkan sejak masih di rumah Ibu pun aku menerimamu, berapapun uang yang kamu berikan," sanggahku.Sebenarnya bukan karena aku tidak ada uang, atau aku tidak ingin suamiku memiliki usaha sepertiku. Namun aku ingin benar-benar memastikan soal niatnya itu. Aku tak ingin jika apa ya
Dadaku bergemuruh saat taksi online yang kutumpangi berputar arah sesuai alamat yang kuberikan. Pak Nias tak mungkin bohong kepadaku, terlebih soal seperti ini.Kuremas ujung bajuku, rasanya hatiku teramat sakit. Ada saja ujian dalam hidupku. Padahal aku baru saja hendak merasakan kebahagiaan. Semoga saja, ini bukan masalah yang berarti.Setelah beberapa saat akhirnya kendaraan yang kutumpangi sampai di kedai. Nampak beberapa orang lalu lalang, ada juga yang sibuk dengan ponselnya. Sepertinya beberapa dari mereka mengambil gambar atau video.Aku melirik Huda. Bahkan aku lupa jika ada anak kecil bersamaku. Rasanya tak aman jika aku membiarkan anakku ini ikut turun bersamaku."Pak, tolong jaga anak saya. Berapa tagihannya nanti akan saya bayar. Sekarang biarkan saya menyelesaikan masalah di depan sana," tuturku sebelum turun dan meninggalkan Huda.Beruntung, aku mendapat seorang sopir yang sangat baik dan anakku pun bukan tipe anak yang suka membangkang. Huda sangat mengerti keadaan ibu
Pada akhirnya Mas Lukas berjalan mendekati kamar Mbak Rita dan mengetuknya. Sedangkan aku hanya duduk di ruang tamu sendirian, karena Huda sudah asik bermain dengan Bara. Lama tak jumpa membuat Huda dan Bara saling rindu.Rumah ini tak banyak berubah setelah aku keluar dari sini. Hanya saja jika mau mengakui memang sedikit berantakan daripada dulu ketika aku masih tinggal di sini. Mungkin Ibu ataupun Mbak Rita tak punya cukup waktu untuk membersihkan rumah, atau bagaimana aku juga tak tahu.Kuambil ponselku, memeriksa beberapa pesan Pak Nias yang masuk dan belum sempat kubalas. Usaha yang kudirikan atas bimbingan Pak Nias kini berjalan sangat pesat. Bahkan aku sudah hampir mengembalikan modal awal ketika membuka usaha itu.Sedikit banyaknya aku bisa bernafas lega karena kini satu persatu masalah dan hal-hal yang mempersulit hidupku selesai satu persatu. Semoga saja, ini merupakan akhir dari penderitaanku kemarin. Sekarang aku benar-benar hanya ingin fokus pada kebahagiaanku dan Huda.
Pov Rita II"Rita, makan dulu. Jangan siksa dirimu dengan mengurung diri di kamar. Kasian Bara," ucap Ibu dari luar kamar, tapi sedikitpun aku tak menanggapinya.Sejak kepulangan Mas Irwan kemarin, aku masih saja mengurung diri di dalam kamar. Rasanya duniaku seperti runtuh. Harapan dan angan-angan yang kubayangkan selama ini harus kandas begitu saja.Semua yang kuimpikan sejak dulu harus hilang dan sia-sia. Mas Irwan, suami yang kubanggakan nyatanya bisa bersikap demikian. Dia tak ubahnya seperti serigala berbulu domba. Aku pikir kepergiannya keluar negeri memang murni karena ingin mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Nyatanya aku salah, kepulangannya justru menjadi bencana bagiku.Rumah mewah, kendaraan pribadi, hal itulah yang menjadi angan-anganku beberapa tahun belakangan ini. Semua sudah hampir terwujud, bahkan aku sampai mengosongkan perutku agar tabunganku semakin banyak. Namun ternyata, semua itu justru dirampas kembali oleh Mas Irwan dengan mudah. Dan lebih parahnya lagi