"Mas, kenapa tidak minta sama Mbak Rita juga? Suaminya kan kerja di luar negeri? Pasti tabungannya banyak, sedangkan aku? Dapat dari mana?"
"Lha itu dari orangtuamu, Dek."
"Ini pinjaman buat modal usaha, bukan buat yang lain. Lagipula ini nanti dikembalikan. Kalau uangnya buat benerin dapur, aku balikinnya gimana?" tuturku sedikit geram dengan Mas Lukas karena ternyata dia menuruti perkataan ibunya untuk meminta uang itu dariku.
"Tapi Dek ...."
"Mas udah coba bilang ke Mbak Rita? Kalian sama-sama anak Ibu, kenapa harus kita yang terus-menerus seperti ini? Justru seharusnya Mbak Rita yang lebih dominan di rumah ini. Suaminya kerja di luar negeri, gajinya besar. Sedangkan suamiku? Hanya buruh bangunan," ucapku karena sudah merasa sangat jengkel dengan sikap ibu serta kakak iparku.
"Dek!"
"Kenapa? Memang benar, kan? Gajimu cuma berapa? Dan dipakai untuk memenuhi kebutuhan orang serumah, sedangkan Mbak Rita sama sekali tak pernah gantian memikirkan hal itu. Jujur saja aku sebagai istrimu merasa tak adil, Mas."
Kini air mataku luruh. Rasa sesak sudah memenuhi rongga dadaku. Selama lima tahun ini aku bertahan, terutama tiga tahun belakangan ini semenjak Mbak Rita masuk ke dalam rumah ini. Namun kenapa, Mas Lukas sama sekali tidak mau membuka matanya?
Aku berkata demikian pun bukan bermaksud ingin menjadi istri yang pembangkang atau durhaka. Hanya saja aku ingin ada sedikit keadilan di rumah ini. Jika perlu, aku dan Mas Lukas yang keluar dari rumah ini agar kami bisa mandiri dan tak terlalu di peralat seperti ini.
"Sudahlah, aku minta pengertianmu, Diana. Tolong, jangan memperkeruh keadaan. Aku hanya berusaha menjadi anak yang baik untuk ibuku. Di dunia ini aku hanya tinggal punya Ibu. Tolong kamu mengerti," kata Mas Lukas terdengar sayu. Namun hal itu justru membuatku mencibir.
"Kamu berkata hanya ingin menjadicanak yang baik untuk ibumu, Mas? Lalu apakabar denganku? Apa seorang wanita itu tidak pantas juga berbakti pada orangtuanya setelah menikah? Aku juga ingin melihat orangtuaku bahagia. Dan kebahagiaan mereka ketika melihat anaknya ini sukses. Apa kamu tidak ingin melihatku sukses pula? Terlebih kalau sampai bisa membantu perekonomian keluarga kita."
Sengaja, aku berkata demikian agar Mas Lukas sedikit saja berfikir dan berubah. Dia masih memilikiku dan Huda, membahagiakan orangtua memang tak ada salahnya tapi jangan sampai membuat hati istrinya terluka pula.
Sejenak kami terdiam, aku kira Mas Lukas benar-benar mencerna kata-kata yang kulontarkan. Atau setidaknya aku berfikir jika Mas Lukas setuju dengan pendapat yang kulontarkan.
Selama ini, Mbak Rita hanya pamer dan berkoar-koar mengenai gaji dan tabungan dari suaminya. Namun, ketika kebutuhan rumah habis dia tutup mata. Dan Ibu pun juga selalu membiarkannya seperti itu.
"Asshh! Sudahlah kalau kamu nggak mau, aku nggak maksa. Tapi kalau kamu mau jadi istri durhaka, terserah!" tuturnya dengan sedikit emosi.
Aku hanya diam, membiarkannya membiarkanku sendiri dengan kemarahannya. Mas Lukas memang seperti itu jika kehendaknya kuabaikan. Selama ini aku selalu berdoa agar ia bisa sedikit saja berubah, tapi nyatanya sampai hari ini dia terus menerus seperti ini.
..
Waktu makan malam tiba, dan Mas Lukas masih saja terdiam. Itulah khasnya ketika sedang marah denganku, akan mendiamkanku sampai aku luluh dan minta maaf padanya. Namun kali ini tidak, aku tidak mau diinjak-injak terus menerus olehnya ataupun keluarganya.
Lima tahun bukan waktu yang singkat untukku mengalah, tapi Mas Lukas justru semakin membuatku tunduk kepadanya. Betapa bodohnya, ketika aku hanya menurut saja ketika dia mengatakan apapun kepadaku. Padahal terkadang apa yang ia katakan tak sepenuhnya baik untukku dan Huda.
Baginya, kebahagiaan ibunya adalah nomor satu. Memang baik, aku salut dengannya. Namun seharusnya ia tak harus mengorbankan anak dan istrinya sendiri. Terlebih ada Mbak Rita yang seharusnya juga ikut membahagiakan ibunya, tak hanya Mas Lukas saja.
"Ibu lagi kesel!" kata Ibu tiba-tiba tanpa ada yang memulai bicara.
"Kenapa, Bu? Nggak ada daging, ya? Sama, aku juga," tandas Mbak Rita mencibir, tapi aku berusaha tenang karena memang seperti itu biasanya.
"Uang yang kemarin sudah habis, Bu? Apa sudah tidak cukup untuk beli daging? Maaf ya Lukas tak bisa memberi banyak." Astaga, suamiku. Selalu saja seperti itu.
Aku makan dalam diam. Beruntung kali ini Huda pun juga duduk dengan tenang di kursinya. Dia terlihat sangat lahap meski hanya berlaukkan sepotong tahu kecap.
"Mbak Rita, ini kan awal bulan. Baru gajian dong suaminya? Boleh lah sekali-kali ditraktir beli daging biar dimasak Ibu," cetusku tanpa ragu lagi.
Spontan, perkataanku membuat seluruh anggota keluarga menatapku. Mungkin mereka heran karena aku berani berkata seperti itu. Kenapa tidak? Sekarang aku sudah benar-benar bosan dengan sikap mereka semua.
"Nggak ada. Mas Erwin belum gajian." Suaranya terdengar sangat ketus, tapi aku sama sekali tidak takut dengannya lagi.
"Yasudah kalau begitu makan dagingnya nunggu Mas Irwan gajian aja, soalnya Mas Lukas juga masih lama gajiannya. Kan kemarin sudah habis dikasihkan ke Ibu buat kebutuhan rumah," tandasku dengan menyuapkan nasi dengan tahu kecapku.
Mbak Rita tampak tidak nyaman, ia lantas minum dan menyudahi makannya. Peduli apa aku? Selama ini justru mereka yang sudah menjatuhkan mentalku.
"Diam! Bukan karena daging, tapi karena dapur yang sudah semakin reot, butuh di benerin. Ibu kesel kalau tiap masak harus lihat kondisi dapur yang seperti itu. Lukas kamu bisa ...."
"Waah, sekalian aja Bu nunggu Mas Irwan gajian. Katanya gajinya kan udah dua digit, pasti banyak dong tabungan Mbak Rita. Kita kan sama-sama tinggal di rumah ini, kenapa tidak Mas Lukas yang mencari uang untuk kebutuhan rumah, sedang Mas Irwan untuk memperbaiki kondisi rumah?" ucapku dengan santai, membuat mereka bertiga begitu tercengang dengan kata-kata yang kulontarkan.
Memang sudah seharusnya seperti itu, kan? Apa aku salah?
Pagi harinya aku sudah bersiap-siap hendak ke rumah mertuaku. Meskipun sedikit lesu, tapi aku sudah memantapkan hatiku untuk mengakhiri ini semua.Rasa-rasanya aku hanya dijadikan sapi perah oleh mereka. Saat mereka butuh, mereka memperlakukanku dengan baik. Sikap baik mereka nyatanya tidak tulus, mereka hanya menginginkan sesuatu dariku."Waah, kamu cantik sekali," puji Mas Lukaa ketika masuk ke dalam kamar dan aku baru selesai bersolek.Huda sudah kudandani juga, tak mungkin rasanya jika aku harus meninggalkannya sendiri meski aku hendak menghadapi masalah yang tak sepele. Masa depan Huda ada digenggaman tanganku, tapi aku memilih jalan ini. Semoga saja, pilihanku tak keliru, aku akan tetap memastikan kebahagiaan untuk anak lelaki itu."Memang biasanya tidak cantik, Mas?" balasku, tapi sedikitpun aku tak berani menatap wajahnya.Bukan karena apa, aku tidak ingin hatiku bergetar lagi jika melihatnya. Rasa cintaku untuk Mas Lukas masih membuncah, tapi aku tak tahu bagaimana jalan fiki
"Mbak, gimana kabar lelaki yang kemarin merusak kedai?" tanya Pak Nias ketika aku baru sampai.Aku yang semula fokus memperhatikan beberapa pelanggan lantas menolehnya. Pak Nias merupakan orang yang sangat baik, dia bahkan memikirkan nasib kedai ini. Padahal dulu ia adalah pemilik dari tempat ini. Mungkin justru karena itulah ia sangat sayang dengan tempat ini karena dulunya ia lah yang membangun dan merintisnya daeri bawah."Dia cuma kena denda, Pak.""Lho, nggak dihukum?"Kugelengkan kepalaku, "awalnya begitu, tapi waktu aku lihat istri mudanya nangis-nangis dan mohon-mohon supaya aku bebaskan jadi iba. Akhirnya aku hanya memilih jalur damai, tapi tetap ada denda," jawabku dengan lantas mengikutinya masuk.Pak Nias hanya menganggukkan kepala. Sepertinya ia tak ingin bertanya lebih banyak, karena ia justru langsung mengambil buku yang biasa ia gunakan untuk laporan kepadaku."Pak, apa ada uang lima belas juta di kedai?" tanyaku yang sontak membuatnya terkejut."Lima belas juta?" ungk
"Lima belas juta?" tanyaku mengulangi kata-katanya.Mas Lukas mengangguk, lalu mengalihkan pandangan dariku. Entah apa yang sedang ia pikirkan, aku benar-benar sedang tak bisa menebaknya."Iya. Aku malu di ejek orang-orang. Mereka selalu mengataiku jika aku hanya menumpang hidup denganmu. Sekarang usahamu sudah maju, dan mereka semua tahu apa pekerjaanku. Aku malu, sebagai kepala keluarga tidak bisa memberimu yang terbaik."Suamiku itu memandang keluar jendela. Sebelumnya aku tak pernah melihat Mas Lukas bersikap demikian. Selama ini pun aku juga tak pernah mempermasalahkan soal pekerjaan dan penghasilan yang ia dapat."Kenapa harus begitu? Bukankah selama ini aku tak pernah mempermasalahkan soal hal itu, Mas? Bahkan sejak masih di rumah Ibu pun aku menerimamu, berapapun uang yang kamu berikan," sanggahku.Sebenarnya bukan karena aku tidak ada uang, atau aku tidak ingin suamiku memiliki usaha sepertiku. Namun aku ingin benar-benar memastikan soal niatnya itu. Aku tak ingin jika apa ya
Dadaku bergemuruh saat taksi online yang kutumpangi berputar arah sesuai alamat yang kuberikan. Pak Nias tak mungkin bohong kepadaku, terlebih soal seperti ini.Kuremas ujung bajuku, rasanya hatiku teramat sakit. Ada saja ujian dalam hidupku. Padahal aku baru saja hendak merasakan kebahagiaan. Semoga saja, ini bukan masalah yang berarti.Setelah beberapa saat akhirnya kendaraan yang kutumpangi sampai di kedai. Nampak beberapa orang lalu lalang, ada juga yang sibuk dengan ponselnya. Sepertinya beberapa dari mereka mengambil gambar atau video.Aku melirik Huda. Bahkan aku lupa jika ada anak kecil bersamaku. Rasanya tak aman jika aku membiarkan anakku ini ikut turun bersamaku."Pak, tolong jaga anak saya. Berapa tagihannya nanti akan saya bayar. Sekarang biarkan saya menyelesaikan masalah di depan sana," tuturku sebelum turun dan meninggalkan Huda.Beruntung, aku mendapat seorang sopir yang sangat baik dan anakku pun bukan tipe anak yang suka membangkang. Huda sangat mengerti keadaan ibu
Pada akhirnya Mas Lukas berjalan mendekati kamar Mbak Rita dan mengetuknya. Sedangkan aku hanya duduk di ruang tamu sendirian, karena Huda sudah asik bermain dengan Bara. Lama tak jumpa membuat Huda dan Bara saling rindu.Rumah ini tak banyak berubah setelah aku keluar dari sini. Hanya saja jika mau mengakui memang sedikit berantakan daripada dulu ketika aku masih tinggal di sini. Mungkin Ibu ataupun Mbak Rita tak punya cukup waktu untuk membersihkan rumah, atau bagaimana aku juga tak tahu.Kuambil ponselku, memeriksa beberapa pesan Pak Nias yang masuk dan belum sempat kubalas. Usaha yang kudirikan atas bimbingan Pak Nias kini berjalan sangat pesat. Bahkan aku sudah hampir mengembalikan modal awal ketika membuka usaha itu.Sedikit banyaknya aku bisa bernafas lega karena kini satu persatu masalah dan hal-hal yang mempersulit hidupku selesai satu persatu. Semoga saja, ini merupakan akhir dari penderitaanku kemarin. Sekarang aku benar-benar hanya ingin fokus pada kebahagiaanku dan Huda.
Pov Rita II"Rita, makan dulu. Jangan siksa dirimu dengan mengurung diri di kamar. Kasian Bara," ucap Ibu dari luar kamar, tapi sedikitpun aku tak menanggapinya.Sejak kepulangan Mas Irwan kemarin, aku masih saja mengurung diri di dalam kamar. Rasanya duniaku seperti runtuh. Harapan dan angan-angan yang kubayangkan selama ini harus kandas begitu saja.Semua yang kuimpikan sejak dulu harus hilang dan sia-sia. Mas Irwan, suami yang kubanggakan nyatanya bisa bersikap demikian. Dia tak ubahnya seperti serigala berbulu domba. Aku pikir kepergiannya keluar negeri memang murni karena ingin mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Nyatanya aku salah, kepulangannya justru menjadi bencana bagiku.Rumah mewah, kendaraan pribadi, hal itulah yang menjadi angan-anganku beberapa tahun belakangan ini. Semua sudah hampir terwujud, bahkan aku sampai mengosongkan perutku agar tabunganku semakin banyak. Namun ternyata, semua itu justru dirampas kembali oleh Mas Irwan dengan mudah. Dan lebih parahnya lagi