Compartir

Bab 6

last update Última actualización: 2025-01-15 10:50:06

"Mas, kenapa tidak minta sama Mbak Rita juga? Suaminya kan kerja di luar negeri? Pasti tabungannya banyak, sedangkan aku? Dapat dari mana?"

"Lha itu dari orangtuamu, Dek."

"Ini pinjaman buat modal usaha, bukan buat yang lain. Lagipula ini nanti dikembalikan. Kalau uangnya buat benerin dapur, aku balikinnya gimana?" tuturku sedikit geram dengan Mas Lukas karena ternyata dia menuruti perkataan ibunya untuk meminta uang itu dariku.

"Tapi Dek ...."

"Mas udah coba bilang ke Mbak Rita? Kalian sama-sama anak Ibu, kenapa harus kita yang terus-menerus seperti ini? Justru seharusnya Mbak Rita yang lebih dominan di rumah ini. Suaminya kerja di luar negeri, gajinya besar. Sedangkan suamiku? Hanya buruh bangunan," ucapku karena sudah merasa sangat jengkel dengan sikap ibu serta kakak iparku.

"Dek!"

"Kenapa? Memang benar, kan? Gajimu cuma berapa? Dan dipakai untuk memenuhi kebutuhan orang serumah, sedangkan Mbak Rita sama sekali tak pernah gantian memikirkan hal itu. Jujur saja aku sebagai istrimu merasa tak adil, Mas."

Kini air mataku luruh. Rasa sesak sudah memenuhi rongga dadaku. Selama lima tahun ini aku bertahan, terutama tiga tahun belakangan ini semenjak Mbak Rita masuk ke dalam rumah ini. Namun kenapa, Mas Lukas sama sekali tidak mau membuka matanya?

Aku berkata demikian pun bukan bermaksud ingin menjadi istri yang pembangkang atau durhaka. Hanya saja aku ingin ada sedikit keadilan di rumah ini. Jika perlu, aku dan Mas Lukas yang keluar dari rumah ini agar kami bisa mandiri dan tak terlalu di peralat seperti ini.

"Sudahlah, aku minta pengertianmu, Diana. Tolong, jangan memperkeruh keadaan. Aku hanya berusaha menjadi anak yang baik untuk ibuku. Di dunia ini aku hanya tinggal punya Ibu. Tolong kamu mengerti," kata Mas Lukas terdengar sayu. Namun hal itu justru membuatku mencibir.

"Kamu berkata hanya ingin menjadicanak yang baik untuk ibumu, Mas? Lalu apakabar denganku? Apa seorang wanita itu tidak pantas juga berbakti pada orangtuanya setelah menikah? Aku juga ingin melihat orangtuaku bahagia. Dan kebahagiaan mereka ketika melihat anaknya ini sukses. Apa kamu tidak ingin melihatku sukses pula? Terlebih kalau sampai bisa membantu perekonomian keluarga kita."

Sengaja, aku berkata demikian agar Mas Lukas sedikit saja berfikir dan berubah. Dia masih memilikiku dan Huda, membahagiakan orangtua memang tak ada salahnya tapi jangan sampai membuat hati istrinya terluka pula.

Sejenak kami terdiam, aku kira Mas Lukas benar-benar mencerna kata-kata yang kulontarkan. Atau setidaknya aku berfikir jika Mas Lukas setuju dengan pendapat yang kulontarkan.

Selama ini, Mbak Rita hanya pamer dan berkoar-koar mengenai gaji dan tabungan dari suaminya. Namun, ketika kebutuhan rumah habis dia tutup mata. Dan Ibu pun juga selalu membiarkannya seperti itu.

"Asshh! Sudahlah kalau kamu nggak mau, aku nggak maksa. Tapi kalau kamu mau jadi istri durhaka, terserah!" tuturnya dengan sedikit emosi.

Aku hanya diam, membiarkannya membiarkanku sendiri dengan kemarahannya. Mas Lukas memang seperti itu jika kehendaknya kuabaikan. Selama ini aku selalu berdoa agar ia bisa sedikit saja berubah, tapi nyatanya sampai hari ini dia terus menerus seperti ini.

..

Waktu makan malam tiba, dan Mas Lukas masih saja terdiam. Itulah khasnya ketika sedang marah denganku, akan mendiamkanku sampai aku luluh dan minta maaf padanya. Namun kali ini tidak, aku tidak mau diinjak-injak terus menerus olehnya ataupun keluarganya.

Lima tahun bukan waktu yang singkat untukku mengalah, tapi Mas Lukas justru semakin membuatku tunduk kepadanya. Betapa bodohnya, ketika aku hanya menurut saja ketika dia mengatakan apapun kepadaku. Padahal terkadang apa yang ia katakan tak sepenuhnya baik untukku dan Huda.

Baginya, kebahagiaan ibunya adalah nomor satu. Memang baik, aku salut dengannya. Namun seharusnya ia tak harus mengorbankan anak dan istrinya sendiri. Terlebih ada Mbak Rita yang seharusnya juga ikut membahagiakan ibunya, tak hanya Mas Lukas saja.

"Ibu lagi kesel!" kata Ibu tiba-tiba tanpa ada yang memulai bicara.

"Kenapa, Bu? Nggak ada daging, ya? Sama, aku juga," tandas Mbak Rita mencibir, tapi aku berusaha tenang karena memang seperti itu biasanya.

"Uang yang kemarin sudah habis, Bu? Apa sudah tidak cukup untuk beli daging? Maaf ya Lukas tak bisa memberi banyak." Astaga, suamiku. Selalu saja seperti itu.

Aku makan dalam diam. Beruntung kali ini Huda pun juga duduk dengan tenang di kursinya. Dia terlihat sangat lahap meski hanya berlaukkan sepotong tahu kecap.

"Mbak Rita, ini kan awal bulan. Baru gajian dong suaminya? Boleh lah sekali-kali ditraktir beli daging biar dimasak Ibu," cetusku tanpa ragu lagi.

Spontan, perkataanku membuat seluruh anggota keluarga menatapku. Mungkin mereka heran karena aku berani berkata seperti itu. Kenapa tidak? Sekarang aku sudah benar-benar bosan dengan sikap mereka semua.

"Nggak ada. Mas Erwin belum gajian." Suaranya terdengar sangat ketus, tapi aku sama sekali tidak takut dengannya lagi.

"Yasudah kalau begitu makan dagingnya nunggu Mas Irwan gajian aja, soalnya Mas Lukas juga masih lama gajiannya. Kan kemarin sudah habis dikasihkan ke Ibu buat kebutuhan rumah," tandasku dengan menyuapkan nasi dengan tahu kecapku.

Mbak Rita tampak tidak nyaman, ia lantas minum dan menyudahi makannya. Peduli apa aku? Selama ini justru mereka yang sudah menjatuhkan mentalku.

"Diam! Bukan karena daging, tapi karena dapur yang sudah semakin reot, butuh di benerin. Ibu kesel kalau tiap masak harus lihat kondisi dapur yang seperti itu. Lukas kamu bisa ...."

"Waah, sekalian aja Bu nunggu Mas Irwan gajian. Katanya gajinya kan udah dua digit, pasti banyak dong tabungan Mbak Rita. Kita kan sama-sama tinggal di rumah ini, kenapa tidak Mas Lukas yang mencari uang untuk kebutuhan rumah, sedang Mas Irwan untuk memperbaiki kondisi rumah?" ucapku dengan santai, membuat mereka bertiga begitu tercengang dengan kata-kata yang kulontarkan.

Memang sudah seharusnya seperti itu, kan? Apa aku salah?

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Masakan Mertua   Bab 16

    Waktu terus berjalan, kabar tentang Tania yang meninggalkan kota juga sudah sampai di telingaku. Meskipun masih ada sedikit kekhawatiran di hatiku, aku berusaha mempercayai keputusan Pak Arya.Hubungan kami kembali berjalan seperti semula. Bahkan, kini aku merasa ada lebih banyak kejujuran dan keterbukaan dari Pak Arya. Sedangkan aku juga selalu berkata jujur padanya agar tidak lagi.Namun, di tengah kebahagiaanku itu, kabar lain mulai tersebar. Kabar soal Mas Lukas dan keluarganya cukup membuat perhatianku teralihkan. Ternyata, selama ini keluarga Lukas memiliki banyak utang di bank. Karena gagal melunasi cicilan, semua aset mereka disita. Rumah mereka dijual, beberapa barang berharga mereka diambil alih, dan mereka akhirnya harus pindah keluar kota.“Diana, kamu tahu tentang keluarga Mas Lukas? Semua asetnya disita bank. Katanya, Mbak Rita punya pinjaman besar yang tak bisa mereka bayar. Sekarang mereka pindah ke luar kota,” kata salah satu pelanggan yang kebetulan sedan makan di k

  • Masakan Mertua   Bab 15

    Beberapa hari berselang, suasana sibuk mulai menyita pikiranku. Mawar sedang sibuk membungkus pesanan nasi kotak, dan beberapa karyawan lain sibuk dengan pelanggan.Aku berusaha menenangkan diri dan memfokuskan perhatian pada pekerjaan. Apa yang terjadi kemarin aku anggap hanya angin lalu yang tak perlu aku pikirkan. Namun, pikiranku terus melayang-layang, kembali ke wajah perempuan yang beberapa hari yang lalu sempat merusak suasana hatiku. Ada sesuatu tentang cara bicaranya—entah itu rasa cemburu, kebencian, atau mungkin sekadar keputusasaan—yang membuatku merasa harus menyelidiki lebih jauh.Sebenarnya aku ingin sekali percaya pada Pak Arya. Aku lihat sorot keseriusan dalam matanya. Namun tetap, dalam sudut hatiku masih ada sedikit keraguan. Sore itu, setelah semua pesanan selesai, aku duduk di kursi dekat jendela sambil menyeruput teh hangat. Ponselku berdering lagi. Kali ini pesan dari Pak Arya.[Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Bisa kita bertemu malam ini?]Aku menarik na

  • Masakan Mertua   Bab 14

    Aku kembali ke kedai dengan kepala yang penuh pertanyaan. Siapa wanita itu? Apa benar dia kekasih Pak Arya? Ataukah ini hanya upaya untuk menjatuhkanku seperti yang sering terjadi sebelumnya?Helaan napas panjang keluar dari bibirku saat aku membuka pintu kedai, aroma kopi dan makanan menyapa hangat, tapi hatiku tetap bergemuruh.Selama ini aku memang tak pernah mendengar desas-desus apapun perihal Pak Arya. Kabarnya tenang, tak ada berita tentang kehidupannya. Mungkin ia sengaja menyembunyikan apapun yang berhubungan dengan masalah pribadinya. Mengingat bahwa dia adalah seorang kepala desa yang mana harus tetap mempertahankan wibawanya. "Ada apa, Mbak? Mukanya kusut begitu," tanya Mawar sambil menata beberapa gelas di rak.Aku menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, cuma lagi banyak pikiran," jawabku singkat, karena aku belum ingin bercerita kepada siapapun perihal ini. Terlebih sebelum aku menanyakan langsung pada Pak Arya. Siapa tau, apa yang wanita itu katakan dan apa yang aku pikirka

  • Masakan Mertua   Bab 13

    "Kamu mau menikah?" tanya Mas Lukas yang tiba-tiba menghadangku di tengah jalan. Kebetulan hari ini aku tidak bawa mobil jadi ikut angkutan umum dan turun lumayan jauh dari kedai. Aku terkejut karena tiba-tiba Mas Lukas ada di depanku. Apakah ia memang sudah mengikutiku atau hanya kebetulan saja."Em, belum. Kenapa?"Mas Lukas tersenyum miring dan melirikku tajam. "Bohong," ujarnya dingin.Aku hanya menghela nafas panjang, lalu membalas tatapan elangnya. Memang begitu Mas Lukas sejak dulu. Jika ada yang ia tak suka dariku, pasti ia akan menatapku seperti itu. "Benar ataupun tidak, memangnya kenapa? Ada masalah apa denganmu, Mas?""Aku tidak rela jika Huda memiliki ayah baru."Mulutku menganga, "lantas?""Kamu tahu yang aku maksud dan jangan berbelit-beli, Diana."Aku terkekeh kecil, Mas Lukas memang pandai bergurau. Namun kali ini aku tidak berniat bergurau soal ini. Seharusnya dia sudah tidak berani menampakkan wajahmya di depanku, terlebih sejak kejadian Mbak Rita kemarin. Namun

  • Masakan Mertua   Bab 12

    Udara pagi ini terasa sejuk dengan mentari pagi menyapa lembut dedaunan yang berembun. Biasanya aku tak bersemangat ini jika hendak ke kedai. Namun hari ini aku terlihat sangat bersemangat. “Selamat pagi, Mbak Diana” sapa Pak Arya ramah membuatku terkejut. Bagaimana bisa sepagi ini dia sudah sampai di kedai. Biasanya dia dan anaknya datang pukul sembilan atau sepuluh. Aku membalas senyumnya, mencoba menyembunyikan debar di dadaku. “Selamat pagi, Pak Arya. Pagi, Aira,” balasku, tak lupa mengusap lembut kepala gadis kecil itu.Setelah beberapa menit berbasa-basi, aku akhirnya menarik napas panjang dan berkata, “Pak Arya, saya ingin bicara serius mengenai apa yang Bapak sampaikan kemarin.”Wajah Pak Arya berubah serius namun tetap lembut. Ia menatapku dengan penuh perhatian. “Tentu. Apa yang ingin kamu sampaikan?” jawabnya membuatku takut dan hendak mengurungkan niatku. Aku merapatkan kedua tanganku di atas meja, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Saya sudah memikirkan apa yang

  • Masakan Mertua   Bab 11

    Malam itu, setelah Aira bertanya dengan polosnya tentang "ibu baru," pikiranku dipenuhi banyak hal. Aku tahu, waktunya sudah tiba untuk berbicara dengan Huda. Sebagai anakku, pendapatnya sangat berarti. Aku tak ingin mengambil langkah besar tanpa memastikan bahwa Huda merasa nyaman dengan perubahan ini.Setelah makan malam, kami duduk di ruang tamu. Huda sedang menggambar sesuatu di buku gambarnya, seperti biasa. Aku duduk di sampingnya, merapikan rambutnya yang mulai panjang."Huda, Ibu mau ngomong sesuatu sama kamu," kataku pelan.Dia mengangkat wajahnya, tersenyum kecil, dan meletakkan pensilnya. "Apa, Bu?"Aku mengatur napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Kamu tahu kan, sekarang kita sering ketemu sama Pak Arya dan Aira?"Huda mengangguk dengan semangat. "Iya, Ma. Aku suka main sama Aira. Dia lucu, nggak seperti anak-anak lain yang suka ganggu."Aku tersenyum, lega mendengar antusiasmenya. "Bagaimana menurut kamu tentang Pak Arya? Mama lihat kamu juga sering ngobrol sama

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status