Sudah hampir seminggu Marsha dirawat. Selama itu pula setiap hari Fathir datang. Dia selalu membawakan makanan untuk berbuka kadang juga ikut berbuka bersamaku. Pernah suatu hari dia datang dini hari mengantarkan makanan untuk sahur. Aku sudah memperingatkan supaya dia jangan repot-repot. Masalahnya dia juga punya keluarga. "Aku sudah biasa makan di luar. Bahkan saat berbuka pun aku jarang makan di rumah, jadi istriku tidak masalah," jawabnya enteng. "Tapi kalau istrimu tahu lalu salah paham, itu yang jadi masalah." Mendengar itu, Fatir hanya tersenyum. "Hubungan kami memang sudah tidak se-manis dulu. Dia tidak akan mencariku meskipun aku tidak pulang. Sudah tidak sepenting itu diriku di rumah." Aku menghela panjang, entah benar atau salah yang dikatakan oleh Fatir. Yang jelas di antara kami tidak ada hubungan apa-apa dan aku tidak mau suatu saat aku disalahkan oleh istrinya Fatir. Bagaimana pun keadaan rumah tangga mereka. Besok hari raya, aku berharap hari ini dokte
"Jadi kamu tidak percaya kalau saya punya uang?" tanya wanita itu sambil mendekat. "Bukan masalah uang, tetapi lebih kepada kepercayaan dan niat. Zaman sekarang susah nyari orang jujur." "Ini alamat kantor saya. Sudah ada nomor telepon kantor." Pak Fauzan membuka dompet lalu memberikan sebuah kartu nama yang sebetulnya tidak perlu untukku lantaran nomor ponsel pribadi Pak Fauzan saja sudah ada di ponselku. Rumahnya pun aku sudah tahu. Tadi aku hanya berpura-pura saja, entah kenapa ada rasa senang melihat wanita itu terpancing emosi. Padahal ini bulan puasa. Aku juga kesal pada Sinta yang terkesan meremehkan orang lain. Mentang-mentang aku berpenampilan sederhana, dia memandangku sebelah mata. Jadi penasaran ada hubungan apa sebenarnya antara Sinta dan Pak Fauzan. Jika mereka suami istri, kenapa sikap Pak Fauzan terlihat dingin dan tidak ada romantis-romantisnya. Keduanya meninggalkan ruangan ini tanpa sempat melihat kondisi Marsha lebih dekat. Sepertinya hanya formalitas s
Mataku seketika melebar saat melihat sosok pria tersebut, begitu pun sebaliknya. Untuk beberapa saat kami hanya saling tatap tanpa saling sapa. "Pak Fauzan .... " Aku mengernyit melihat pak Fauzan terlihat gelisah saat kusebut namanya. "Kamu kenal orang ini?" tanya wanita yang berada di sampingnya. "Tidak," jawab Pak Fauzan singkat dan cepat. "Tapi barusan dia menyebut namamu?" Wanita dengan dandanan ala sosialita itu pun menoleh ke arahku sebentar lalu kembali menatap Pak Fauzan. "Aku ini publik figur, seorang CEO dari perusahaan ternama. Tentu saja banyak orang yang kenal." Oh, jadi, Pak Fauzan ini seorang CEO perusahaan terkenal. Percaya diri sekali ia mengatakan siapa saja bisa mengenalnya. Tetapi aku sama sekali tidak kenal dia sebelum ini. Wanita dengan bulu mata anti badai itu pun mengangguk pelan. Bola matanya yang tajam tetap menatapku penuh selidik. "Jadi Ibu ini orang tuanya korban kecelakaan kemarin?" Pak Fauzan kembali bertanya. "Iya, Pak .... " "Per
"Waalaikumsalam, anak Ibu mengalami kecelakaan. Sekarang ada di RSUD." Suara wanita di seberang telepon jelas buka suara Marsha. Seketika tubuhku terasa lemas seakan tak bertulang. Pantas saja aku tidak enak hati. Perasaan seorang Ibu memang tidak bisa dibohongi. Setelah bertanya lanjut untuk melengkapi informasi lainnya, aku bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Untung saja mobil sudah diantar oleh Fatir, jadi bisa menghemat waktu untuk segera sampai di rumah sakit. Dulu Mas Topan sendiri yang menyuruhku untuk belajar menyetir, katanya supaya aku bisa lebih mandiri. Awalnya aku menolak, tetapi setelah dipikir, karena kami punya kesibukan masing-masing, akhirnya aku pun bisa menyetir sendiri. Ternyata sekarang aku benar-benar mandiri. Saat aku datang, Marsha masih di IGD. Hatiku sedikit lega melihat keadaannya tidak begitu parah. "Ada beberapa luka yang perlu penanganan khusus. Jadi putri Ibu harus dirawat selama beberapa hari. Kebetulan ini baru saja mau dipindah ke kamar peraw
Aku berpikir sejenak. Awalnya memang tidak mau cerita pada Fatir, tetapi apa boleh buat, sekarang Fatir bertanya dan aku memang butuh bantuannya. Tanpa ada yang dilebihkan atau dikurangi akhirnya aku pun bercerita. Fatir menyimak tanpa banyak bicara hanya sesekali mengusap wajahnya. "Sulit dipercaya, sih. Aku tahu bagaimana dulu kalian kompak, berjuang bersama dan saling support." "Hati manusia tidak bisa diprediksi, Mas. Apalagi aku, sulit menerima kenyataan ini. Tapi aku harus kuat untuk anak-anakku." "Aku setuju. Jangan pernah terpuruk, anak-anak butuh kamu, Ra. Aku siap bantu kalau kamu butuh bantuan. Jangan sungkan, ya." "Eum ... iya, Mas." "Oh iya, soal mobil itu, nanti aku carikan yang bagus. Simpan saja nomor ponsel kamu, nanti aku hubungi." "Jadi mobilnya tidak ready?" Padahal tadi kulihat ada beberapa mobil di showroom-nya. "Eum ... anu ... itu kurang bagus." Fatir menggaruk tengkuknya. Aku mengernyit dengan perubahan sikap Fatir sekarang. Seperti gugup dan canggu
"Apa kita bisa bertahan di sini dulu, Mas." "Di rumah ini kita sudah hampir tidak bisa menggunakan semua fasilitas. Aldi juga sudah tidak butuh tenagamu. Itu artinya kita sudah tidak dianggap. Kalau kamu tidak mau ikut, ya terserah!" Dadaku berguncang hebat. Pernikahan ini baru dua hari, masa iya harus bubar. Akhirnya aku mengalah, bagaimana pun Mas Topan itu suamiku. Jadi aku harus manut. Sebelum pergi, aku menemui Aldi yang baru saja pulang dari kios. "Ini atas keinginan Mama sendiri, ya. Aku gak pernah usir Mama. Lebih baik memang kalau kalian belajar mandiri sebagai pengantin baru. Hidup Mama sekarang sudah menjadi tanggung jawabnya," ucap Aldi tenang. Aku sempat heran lantaran anak se-manja Aldi bisa tiba-tiba terlihat dewasa seperti itu. Lain lagi dengan Anita, anak bungsuku itu terisak saat tahu aku akan pergi dari rumah ini. "Nita ikut Mama aja, ya .... " "Tidak usah! Nita bersamaku di rumah ini. Lagian Mama juga di sana numpang sama mertua. Bagaimana kalau mert