Home / Romansa / Mauku Jadi Satu-satunya! / 3. Kita Bisa Melakukannya Berkali-kali

Share

3. Kita Bisa Melakukannya Berkali-kali

Author: Namericanou
last update Huling Na-update: 2024-07-11 20:15:34

“Mereka belum membayarmu sama sekali?”

Belum ada satu jam lamanya Daphne terlelap, dan kehadiran Tabitha–sahabat terbaiknya– membuat masa istirahatnya harus terjeda entah sampai kapan. Seharian kemarin setelah kejadian itu, Daphne kesulitan merasakan kantuk. Ia bersusah payah mengenyahkan pikiran sekaligus bayangan dari pasangan Livingston dari kepalanya dan berakhir terjaga sepanjang hari hingga kini.

“Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau tidak menjelaskan semuanya?” balas Daphne ketus. “Soal kontrak itu … mereka memintaku hamil, bukan sekadar menjadi teman tidur pria kaya semalam.”

“Oh, itu?” Bibir Tabitha menganga, rautnya terlihat bersalah. “Memang kau tidak membaca semuanya?”

Daphne melempar kain tipis yang menghalau tubuhnya dari dinginnya angin. “Kau benar-benar teman yang buruk, Tab,” dengkusnya sambil menggeleng heran. “Aku meminta bantuan agar bisa membayar utang dan menghentikan seluruh teror ini. Aku lelah.”

Bahkan telepon-telepon dan pesan-pesan mengancam masih ia terima pagi ini. Belum lagi semalam, ada saja hal yang terlintas di kepalanya untuk mengakhiri hidup karena lelah. 

“Maafkan aku, Daph.” Tabitha bangkit, memeluk Daphne dari samping dengan suara lembut. “Tapi menurutku, ini jauh lebih baik. Kau bisa membayar utang Nolan dan membersihkan namamu secepat mungkin.”

Daphne tak mengelak perlakuan sahabatnya saat itu, ia hanya meliriknya tajam karena kurang setuju. “Walaupun dengan cara mengandung anak orang lain, begitu?” balasnya menyindir.

“Dia Livingston!” Suara Tabitha melengking. Terdengar antusias sekali. “Anakmu nanti akan ada garis keturunan bangsawan, Daph. Aku yakin hidupmu akan berubah setelah ini.”

Daphne menarik diri, melangkah mendekati jendela kamar. “Mimpiku bukan menjadi wanita simpanan bangsawan, Tab. Aku ingin jadi aktor terkenal,” tanggapnya penuh keyakinan.

“Daph, kau tahu itu sulit.”

Perjalanan karirnya memang tidak mudah. Daphne harus bersikeras menghadapi lawan aktor yang bernaung di agensi besar yang siap sedia mencarikan job. Sementara ia pontang-panting sendirian  mencarinya.

“Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.” Daphne menyandarkan punggung di dinding. Lalu tubuhnya merosot dan duduk di atas ubin beralaskan karpet yang dulu dibelikan Nolan. 

Tak lama ponselnya berbunyi nyaring, lekas Daphne bangkit dan menyambar benda pipih itu dari nakas. Bahunya merosot ketika melihat nomor asing memanggilnya tanpa henti. Ia mendekati Tabitha dan memperlihatkan semuanya. 

“Lihat, penagih utang jahanam itu masih menelepon dan mengirimi pesan ancaman!” teriaknya frustasi.

Tabitha membuang napas dan menatapnya prihatin. “Jalan satu-satunya ambil kesempatan itu. Terima penawaran Livingston segera.”

“Tak pernah aku bayangkan akan hamil di usia sekarang.” Daphne mengerang, dua tangan menutupi wajah yang makin frustasi.

Sulit membayangkan bagaimana mengandung, melahirkan, bahkan mengurus bayi. Daphne tatap perutnya yang kurus, aneh benar menerima makhluk kecil akan hadir di sana jika perbuatan Adam berhasil.

“Bahkan anak-anak sekarang sebelum usia mereka legal pun sudah punya anak dua, Daph,” tanggap Tabitha santai. “Tunggu apa lagi?”

Sesaat Daphne menatap sahabatnya lekat. Ia mengerjapkan mata seraya mengalihkan pandangan ke ponsel di pangkuan. “Tab, beri aku waktu untuk berpikir.”

Tabitha memenuhi keinginan Daphne, menyediakan waktu memang, tapi hanya beberapa menit. Sebab wanita itu melontarkan suara cukup melengking tak lama kemudian.

“Oh, tidak!” Tabitha histeris sampai memegang kedua pipinya menggunakan tangan. “Lihat di bawah, ada mobil mewah yang sepertinya tamu spesial untukmu, Emilyn Daphne.”

Mata bulat Daphne melebar, bayangan Adam langsung terlintas begitu mendengar mobil mewah datang. Terlebih tamu spesial untuknya yang terucap dari mulut Tabitha. 

Daphne mendekat ke jendela. Tatapnya mengarah pada mobil yang ditunjuk Tabitha. “Oh, Tuhan,” ujar Daphne seraya menggigit ujung kukunya secara refleks.

“Itu Adam Livingston, bukan?” Tabitha menyengir senang. “Lihat, pria seksi itu keluar dari mobil mewah dengan kulit eksotis yang terbakar matahari. Ah, indah sekali.”

Bisa Daphne lihat dengan mata kepala sendiri bagaimana sosok Adam turun dari mobil. Pria itu mengenakan kemeja putih yang sedikit kontras dengan kulit tannya. Ia hampir mengangguk, menyetujui ucapan Tabitha karena hanyut dalam pesona Adam di bawah sana.

Lekas Daphne menimpali, “Hentikan pikiran mesummu itu, Tab.”

Sayangnya Tabitha belum mau berhenti, wanita itu menatapnya penuh kode menggelikan. “Apa kemampuannya di ranjang benar-benar—”

“Diamlah!” Daphne menyela cepat.

Tabitha hanya terkekeh. Lalu debat itu terhenti ketika suara ketukan pintu terdengar. Daphne mendesah kasar, belum siap menerima tamu. Sekalipun itu adalah orang penting seperti Adam.

Daphne sengaja mengulur waktu, tapi usahanya gagal karena Tabitha diam-diam membukakan pintu. Saat wajah Adam terlihat, Daphne melangkah cepat dan mendahului Tabitha. 

“Untuk apa kau datang kemari?” sergah Daphne begitu berhadapan langsung dengan Adam. Ia perlu mendongakkan kepala agar bisa melihat dua mata cemerlang itu dari dekat.

“Bolehkah aku masuk lebih dulu?” pinta Adam dengan suara seraknya. Daphne menghela napas kasar sambil memutar kedua bola matanya malas. Lantas mengedik dan membiarkan Adam masuk. “Terima kasih, Daph.”

“Oh, hai, Tuan Livingston.” Di balik pintu, Tabitha menyapa Adam begitu pria itu berhasil memasuki teritorial Daphne.

“Ini temanku,” timpal Daphne cepat. 

Tabitha masih menyunggingkan senyum lebarnya yang aneh. “Tabitha Meyer,” katanya sambil merendahkan tubuh sesaat seperti kebiasaan orang-orang ketika bertemu keturunan bangsawan.

“Adam Livingston.” Adam membalas seolah tak keberatan sama sekali. Kepalanya terangguk sebentar dan menyibukkan diri dengan mengalihkan pandangan ke sekeliling, meneliti seluruh bagian tempat tinggal Daphne. 

“Aku tidak ada waktu untuk membuatkanmu teh,” tukas Daphne yang sontak menghentikan kegiatan Adam. “Jadi duduk dan cepat bicara. Apa yang kau inginkan?”

Adam membalikkan tubuh tegapnya dan menghadap Daphne sepenuhnya sebelum menduduki sofa. “Baiklah, aku hanya ingin memastikan dirimu baik-baik saja,” balasnya super lembut.

“Aku tidak hamil,” cetus Daphne terus terang. “Itu kan informasi yang kau ingin dengar?”

Melihat bagaimana orang penting dan menawan itu datang tiba-tiba begini ke tempat tinggalnya, Daphne paham sekali niat tersebut. Cara Adam, dari tatapan, suara, hingga gerak-geriknya masih sama. Namun ada yang membedakannya ketika Mosha turut serta.

Adam tampak tulus mencintai istrinya. Dan mungkin kesudiannya untuk datang ke apartemen Daphne adalah bentuk cinta Adam untuk Mosha—seorang.

“Belum hamil,” koreksi Adam cepat. “Benar, ‘kan?”

Bahu Daphne melorot kompak. “Adam.”

Pria itu menautkan jemari, matanya terarah lurus pada si tuan rumah. “Daph, aku akan bersikeras. Kita bisa melakukannya lagi,” bujuknya berusaha meyakinkan lagi dan lagi.

Tak jauh dari keberadaan mereka, Tabitha berdehem pendek. Seakan berusaha bergabung pada percakapan. “Kalian tidak akan melakukannya di sini, bukan?”

“Hentikan pikiran kotormu itu sekarang juga, Tab!” dengkus Daphne sebal yang lucunya, suhu tubuhnya mulai naik dan membuat pipinya panas sekarang.

“Daph—”

“Aku belum memutuskan apa pun, jadi kau bisa pulang sekarang,” potongnya langsung seraya membuang wajah ke sisi lain.

“Kalian sudah makan siang?” Alih-alih memenuhi ucapan Daphne, Adam justru mengalihkan topik dengan bahasan baru penuh basa-basi.

Mata Daphne melotot tajam sekarang. “Adam, kumohon—”

“Belum!” sembur Tabitha dengan raut tanpa dosanya. “Kebetulan kami sangat lapar, apalagi Daphne. Dia selalu berusaha untuk diet ketat.”

Bola mata Daphne memutar malas. “Jangan mengada-ada, Tab,” cebiknya pada Tabitha yang terus saja mencerocos. Melontarkan kata-kata yang merujuk padanya.

Ringannya tangan Adam memberikan satu kartu pada Tabitha tanpa banyak bicara. “Oke, aku akan memesan makanan lebih dulu dengan uang Tuan Livingston.” Seakan mengerti suasana hati Daphne, Tabitha pun berpamit. Ia menghampiri dan menepuk pundak Daphne sepintas. “Baik-baik di sini, Daphne.”

Daphne memandang kepergian Tabitha hingga keluar dan menutup pintu rapat-rapat. Ada sisi hatinya yang lega selepas wanita itu pergi, tapi ia baru menyadari bahwa sekarang hanya ada Adam dan dirinya di satu atap.

“Jangan lakukan itu lagi, Daph,” gumam Adam kemudian.

Daphne menoleh dengan kening berkerut. “Apa?”

“Diet ketat. Kupikir, tubuhmu sudah cukup bagus.”

Daphne mendengkus kesal. “Hentikan tatapanmu itu, Adam.”

Daphne akui, ia tak bisa berlama-lama menghadapi dua mata cemerlang Adam yang kerap memabukan itu. Saat kejadian malam tersebut, mustahil bagi Daphne untuk melupakan segala apa yang terjadi di antara keduanya.

Dimulai dari sentuhan lembut, perlakuan Adam, suara berat yang mendesah di telinganya, Daphne ingat segalanya. Sampai kegilaan itu menariknya dari realita. Kenyataan bahwa Adam milik orang lain dan sikap Adam hanyalah siasat belaka yang dibuat Mosha.

“Kenapa dengan tatapanku?” Adam menaikkan kedua tangan, bertanya-tanya.

“Berhenti menatap seolah kau sudah melihat tubuhku tanpa busana.”

“Memang begitu adanya.” Adam terkekeh kecil. Sorot matanya yang dalam dan hangat itu menusuk pertahanan Daphne. “Kita sudah melakukan hal-hal yang menyenangkan, kau bahkan memanggil namaku di antara lenguhanmu.”

Dan Daphne membencinya. “Bisa kau pergi sekarang?”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Mauku Jadi Satu-satunya!   45. Asal Bersamamu

    “Adam. Jangan bercanda.”Dapat Adam saksikan bagaimana ekspresi Daphne yang terkejut bukan main. Bibir merona itu sampai bergetar, belum lagi sepasang mata yang kerap berbinar berubah dalam sekejap.Meski sulit mengakui, Adam akhirnya menganggukkan kepala pelan.“Apa kau gila membiarkan mereka melakukan hal itu di belakangmu?” Daphne meraih kemeja Adam bagian lengan dan menariknya gemas. “Sudah sejak kapan kau mengetahuinya, Adam?”Adam tersenyum seraya meraih tangan Daphne agar segera menghentikan kebiasaan buruk saat panik. Ia mendekatkan tangan mungil itu ke bibir dan melayangkan kecupan sebanyak dua kali.Baru ketika Daphne mulai tenang, ia angkat suara, “Sudahlah, Daph. Kita tidak perlu membahas hal ini lebih dalam.”“Adam, ini masalah besar.” Suara Daphne mengeras, jelas menolak setuju. “Mengapa kau bisa sepasrah ini, sih?”Napas Adam perlahan memberat. Rasanya ia baru diguyur es di kepala hingga membasahi sekujur tubuhnya. Kaget dan tak terima sudah menjadi makanan sehari-hari

  • Mauku Jadi Satu-satunya!   44. Aku Membiarkannya

    Baru saja Daphne merasa lega bertemu Adam, tapi dalam sekejap kelegaan itu harus digantikan oleh penyesalan.“Harusnya aku tidak mengatakannya, tapi bukannya sudah jelas?” gumamnya sembari menuruni anak tangga.Ketiadaan Maria sedikit membuat Daphne kebingungan berada di kastil megah milik Adam dan Mosha. Sesekali perhatiannya jatuh pada spot, dari atap yang memiliki desain luar biasa hingga pijakan anak tangga yang kerap membuat jantungnya nyaris copot ketika salah gerak.Tiba di lantai tempatnya bertemu Mosha, langkahnya terhenti mendadak. Ia menepi dan menempelkan punggung di dinding seperti sedang bersembunyi.“Apa Tuan Adam tidak akan marah jika kita melakukannya siang hari, Nyonya?” Diego, pengawal yang Daphne lihat tadi sedang mengamit pinggang Mosha.“Kau mengkhawatirkan hal itu?” kekeh Mosha seperti sedang menggoda Diego. “Aku dan Adam pisah kamar, toh dia sedang sibuk memerhatikan peliharaannya. Jadi tenang saja.”Mata Daphne terpejam. Ia tidak berniat untuk menguping, tapi

  • Mauku Jadi Satu-satunya!   43. Bersembunyi di Balik Kenikmatan

    Kaki Adam baru saja berpijak pada anak tangga terakhir begitu tiba di lantai yang dituju. Ia hendak pergi ke kamar untuk mengganti pakaian, tapi perhatiannya jatuh pada sosok Daphne yang celingukan dan kelihatan bingung.“Hai?” sapanya heran. “Kau ... di sini?”Kehadiran Daphne seorang diri di kastilnya cukup mengejutkan, bahkan Maria tidak terlihat. Adam menyapu pandangan, berusaha memastikan di mana asisten yang bertugas melayani Daphne, tapi nihil.Daphne tersenyum sambil mengangkat sebelah tangan. “Hai, Adam,” balasnya kikuk.“Kau sendiri? Di mana Maria?”“Sepertinya dia menungguku di dapur.”Adam manggut-manggut. Masih menunggu penjelasan tambahan yang keluar dari mulut Daphne, karena sejujurnya ia penasaran sekali.Namun setelah ditunggu beberapa saat, wanita itu masih diam. Matanya sesekali mengarah pada ruangan yang biasa menjadi tempat favorit Mosha menghabiskan hobinya.“Jadi, apa alasanmu datang ke kastilku?” Adam berusaha menahan diri untuk tidak menebak alasan Daphne data

  • Mauku Jadi Satu-satunya!   42. Gelagat Misterius

    “Sekalipun Adam membalas perasaanmu, ingatlah bahwa semua itu akan berakhir begitu kau berhasil melahirkan nanti.”Mosha melangkah mendekati Daphne dan memasang wajah puas. Mungkin bagi wanita itu mengingatkan fakta pahit pada lawannya adalah kemenangan.Daphne akui, ia kehilangan kata-kata. Sampai matanya tak bisa lagi mengarah pada lawan bicara karena sadar bahwa sebanyak apa pun kata yang dilontarkan, rasanya sia-sia.“Bagaimana menurutmu?” Satu tangkai bunga Mosha arahkan padanya. “Adam menyukaiku hingga tergila-gila padaku karena kegemaranku merangkai bunga.”Daphne meringis pilu. “Kau sangat terampil. Aku akui itu,” jawabnya jujur.Mosha mengulum senyum bangga sambil menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga. “Benarkah?”Ketika kembali mengangkat wajah dan menatap Mosha, Daphne berusaha keras menghadapi jejak kemerahan itu yang kelihatan masih baru. Itu tandanya, Adam dan Mosha belum lama ini melakukannya.Daphne menelan ludah. Hatinya bergetar, mengarah pada ketidaknyamana

  • Mauku Jadi Satu-satunya!   41. SATU SELERA

    Berita kepulangan Mosha dan pertengkaran sepasang suami istri itu sampai ke telinga Daphne tak lama kemudian. Bukannya makin nyaman tinggal berada di kastil dengan fasilitas berlimpah, Daphne justru kian tak enak hati di sana.Daphne memandang dirinya dari pantulan cermin. Tubuhnya dibalut gaun khas yang biasa dikenakan orang-orang dengan derajat di atas rata-rata.“Nona?”Begitu suara Maria mengalun, Daphne mengakhiri sesi itu. Lantas menoleh dan menjawab panggilan.Sebuah piring besar dengan beragam jenisnya tersaji di nampan yang dibawa Maria untuknya. Semua kelihatan segar dan menggoda, membuat air liurnya penuh di mulut.“Ini ada kiriman buah untuk Nona Daphne.” Maria menyodorkan buah itu lengkap dengan alat makannya.Senyum muncul merekah di bibir Daphne. “Adam yang mengirimnya?”Maria berubah kikuk dan menggeleng. “Nyonya Mosha,” katanya. “Ini khusus dari Nyonya Mosha.”“Ah ....” Daphne menelan ludah, berusaha tenang sebaik mungkin. Ia tidak mengerti mengapa istri Adam tiba-tib

  • Mauku Jadi Satu-satunya!   40. Pengakuan

    Usai janji manis Adam berikan pada Daphne kemarin, kini bencana besar datang tanpa aba-aba. Langkah Mosha yang lebar dan menciptakan suara sepatu berhak tinggi yang bergesekan dengan lantai sukses memantik rasa gugup.Adam bangkit dari kursi dan mengaitkan tali jubah tidurnya selagi melangkah mendekati pintu. Jemarinya nyaris memegang gagang pintu, tapi sosok Mosha lebih dulu muncul.Rona merah terlihat jelas dari wajah Mosha. Entah karena sengatan terik matahari atau si empunya yang sedang terpancing emosi cukup besar.“Hai—“Plak!Belum sempat Adam menyambut kepulangan Mosha dengan hangat, tiba-tiba saja sensasi panas menimpa sebelah pipi kanannya. Telapak tangan sang istri rupanya kelewat kuat, tanpa ia duga.“Siapa yang memberimu izin mengajak perempuan itu tinggal di kastilku?” Suaranya lantang, membuat pelayan kompak menundukkan kepala. “Jawab aku, Adam!”Urung menjawab, Adam menarik tangan Mosha. Lalu ia bergegas menutup pintu kamar rapat-rapat.“Kecilkan suaramu.” Telunjuk Ada

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status